Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Saat ini sedang rame-ramenya pelaksanaan acara Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), baik di tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, dan bahkan berlanjut sampai ke tingkat nasional dan internasional. Namun sejak zaman dulu, konon katanya, yaitu sejak munculnya salah seorang ulama asal Banten yang sempat menggetarkan dunia, yaitu Syaikh Tabagus Ma’mun, maka sejak saat itu pula Banten dikonotasikan sebagai gudangnya para Qori dan Qori’ah di Indonesia.
Lebih dari itu, pada tulisan kali ini, saya mencoba untuk melakukan tela’ah kritis atas kemunculan dan perkembangan naghamat al-qur’an atau ilmu seni baca al-qur’an di Indonesia, dan termasuk bagaimana eksistensi seni baca al-qur’an ketika di zaman Nabi. Mudah-mudahan tulisan kali ini bisa menginsfirasi kita semua, mengingat masih adanya kesalahpahaman di internal umat Islam dalam memandang ilmu nagham al-Qur’an. Tapi, pada sa’at yang sama, di Indonesia pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya, nagham al-Qur’an telah menjadi bagian dari penerimaan dan interaksi umat dengan al-Qur’an. Bahkan, “Resepsi” terhadap al-Qur’an dalam bentuk nagham yang berkembang saat ini telah menjadi fenomena yang mendunia. Karena, penerimaan umat Islam terhadapnya membuktikan bahwa nagham al-Qur’an dipercaya sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam. Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebagian besar juga telah menunjukkan sikap yang terbuka terhadap nagham al-Qur’an. Hal itu diperkuat dengan adanya media Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang diadakan sendiri oleh masyarakat yang kemudian secara resmi menjadi salah satu program dari pemerintah Indonesia. Kefasihan membaca al-Qur’an telah menjadi lebih sempurna dengan masuknya nilai-nilai estetika yang disebut dengan “handasah al-saut” ke dalamnya.
Dari tanah Arab ke seluruh penjuru dunia, nagham telah menjadi teman setia bagi tajwid al-Qur’an, kemudian umat Islam juga bisa membaca al-Qur’an dengan versi murattal dan versi mujawwad. Sekalipun muncul perbedaan pendapat tentang boleh atau tidaknya nagham (lagu/irama) dalam membaca al-Qur’an, akan tetapi perbedaan pendapat yang sudah tua itu, memang bermuara pada sikap kehati-hatian dari ulama madzhab Maliki akan tercemarnya kemurnian al-Qur’an. Fenomena nagham al-Qur’an ini, menggelitik penulis untuk melakukan tela’ah kritis (mengadakan pengkajian) terhadap asal-muasal munculnya nagham di dunia Islam dan bagaimana perkembangannya di Indonesia, hal itu bertujuan untuk mencari kebenaran ilmiah dengan cara merekonstruksi berbagai peristiwa masa lampau tentang munculnya seni baca al-Qur’an ini. Intinya tulisan kali ini mencoba menjelaskan awal mula munculnya nagham al-Qur’an di dunia Islam serta mencoba melacak awal penyebarannya di Indonesia.
Lebih dari itu, pada tulisan kali ini, demi akurasi tulusan yang akan penulis ungkapkan. Maka tak urung juga, penulis melakukan riset terlebih dahulu, terutama riset kepustakaan (Library Research). Adapun metode yang digunakan pada tulisan kali ini adalah metode deskriptif-kualitatif. Sementara pendekatan yang dipakai pada tulisan kali ini adalah pendekatan sejarah (pendekatan sejarah). Berdasarkan perangkat penelitian di atas (terutama melalui studi pustaka), sedangkan ending (kesimpulan) pada tulisan kali ini, sampai juga pada titik simpul bahwa nagham al-Qur’an adalah tradisi Arab yang muncul bersamaan dengan perkembangan Islam yang memberikan kekuatan kepada ayat-ayat al-Qur’an yang berbahasa Arab. Rangkaian peristiwa masa lalu yang terekam dalam data-data sejarah, hal itu telah membuktikan tentang diterimanya secara sosio kultural oleh masyarakat Indonesia terhadap nagham al-Qur’an. Menjaga muru’ah al-Qur’an menjadi patokan dalam menggunakan nagham ke dalam bacaan al-Qur’an. Penjagaan itu dilakukan secara berjama’ah dan berkesinambungan dari generasi ke generasi. Dengan kearifan, maka kesalahpahaman yang membekukan tentu bisa dicairkan lagi.
Kemudian nagham al-Qur’an akan menjadi ruh bagi bacaan al-Qur’an dan dapat menyentuh hati pendengar serta menyinarinya.
Sementara diadakannya media untuk memberikan motivasi kepada masyarakat Indonesia dengan Musabaqah Tilawatil Qur’an, yang saat ini sedang giat-giatnya dilakukan di berbagai daerah Kabupaten di setiap Provinsi, hal itu telah menumbuhkan kembali semangat umat Islam untuk mencintai al-Qur’an dalam arti sesungguhnya dan mengantarkan, bahkan hal itu pada presisi yang unik dan menjadi “ikon kebudayaan muslim nusantara” serta mampu melahirkan “bebet dan bobot” insfirasi dan kreasi bagi umat Islam dalam rangka mewujudkan nilai-nilai al-qur’an yang membumi, sekaligus terjadinya proses “fastabikul khoirat” menurut pandangan ajaran Islam.
II. Kemunculan Syaikh Tubagus Ma’mun, Dan Konotatif Wilayah Banten Sebagai Gudangnya Qori’ Dan Qiri’ah
Banten, sebagai salah satu wilayah yang kaya dengan tradisi Islam di Indonesia, karena Banten memiliki sejarah panjang, dan penuh dengan perjuangan serta kontribusi dalam perkembangan agama Islam di nusantara. Sekitar abad ke-16 M, Sultan Maulana Hasanuddin bersama Sunan Gunung Jati mulai mendirikan Kesultanan Banten. Kemudian wilayah Banten menjadi pusat peradaban pertemuan antara budaya dan pemikiran, sementara ulama Banten yang berasal dari kalangan pesantren dan lembaga pendidikan agama memegang peran vital dalam konteks mengajarkan ilmu agama dan memperkuat kehidupan beragama di tengah masyarakat Banten. Mereka tidak hanya dikenal sebagai ahli fiqih dan tasawuf, namun sebagai sosok yang menjembatani antara ajaran Islam dengan kebudayaan lokal sehingga Islam dapat diterima dan dipraktekkan secara harmonis. Di balik keagungan sejarah Banten, salah satunya adalah para ulama memegang peranan penting dalam penyebaran dan pengembangan ajaran Islam. Ulama Banten, dengan keteladanan dan pengetahuannya, tidak hanya menjadi pemimpin spiritual, namun menjadi motor penggerak sosial, bertugas membimbing masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik berdasarkan prinsip-prinsip agama.
Berikut sejarah hidup ulama Banten yang memiliki keteladan dan kepedulian sosial tinggi. Salah satunya adalah Syaikh Tubagus Ma’mun. Karena, sebelum terbentuknya Pesantren Al-Quran yang didirikan oleh putra dari Syaikh Tubagus Ma’mun, yaitu KH. Sholeh
Ma’mun. Nanun, di akhir avad ke 19 M, Syekh Tubagus Ma’mun merupakan pemegang juara satu Qari terbaik yang digelar kerajaan Kairo Mesir pada saat itu. Kemudian Raja Arab Saudi saat itu tertarik dengan keindahan dan ilmu dan bacaan Alquran yang dimiliki Syekh Tubagus Ma’mun. Beliau kemudian dipersilakan oleh Raja Arab menjadi imam di Masjidil Haram Mekkah. Namun karena keindahan suara yang dimiliki Syekh Tubagus Ma’mun, Raja Arab Saudi mengeluarkan maklumat agar Syekh Tubagus Ma’mun tidak memimpin kembali jamaah shalat di Masjidil Haram. Raja saat itu khawatir para jamaah tidak konsentrasi karena keindahan suara dan kemampuan Syekh Tubagus Ma’mun dalam melafalkan Al-Qur’an. Beliau hanya satu kali memimpin shalat, setelah itu diharamkan oleh raja karena keindahan suaranya.
Syekh Tubagus Ma’mun lahir di Kaloran, Serang, Banten pada tahun 1872 M. Namun, penulis tidak menemukan data mengenai tanggal dan bulan kelahirannya. Ayahnya bernama Tubagus Rafiuddin yang dijuluki masyarakat sekitar dengan nama Ki Banjir. Julukan Ki Banjir itu, karena suaranya yang indah ketika mengumandangkan adzan sehingga jama’ah yang mendengar adzannya langsung membanjiri Masjid Kaujon tempat ia mengumandangkan adzan. Ibunya bernama Ratu Thoyyibah bin Tubagus Qolyubi yang berasal juga dari Serang.
Pada tahun 1873 ayah dan ibunya menunaikan ibadah haji, dan Ma’mun kecil saat itu, dibawa serta ke Tanah Suci, kemudian setelah selesai menunaikan ibadah haji mereka tinggal di Makkah Al Mukarromah. Pada tahun 1880 ibundanya wafat di Makkah. Pada umur duabelas tahun, Syaikh Ma’mun sudah berhasil menghafal Al-Qur’an. Gurunya dalam Al-Qur’an adalah Syekh Syarbini Al-Dimyati. Selain belajar Al-Qur’an, Syaikh Ma’mun juga belajar ilmu lainnya kepada para ulama di sana, diantaranya, Syekh Abdul Hamid Nazil, Syekh Ibrohim Ghomrowi. Kemudian ketika di tahun 1890 M, Syaikh Ma’mun pulang ke Banten bersama ayahnya, Namun tak lama di Banten, akhirnya ia kembali lagi ke makkah untuk melanjutkan studinya. Dan akhirnya ia menjuarai qiraat Al-Qur’an di Mesir dan pernah mengimami solat di Masjidil haram berdasarkan penunjukan dari pemerintah Arab Saudi dan rekomendasi para ulama di sana.
Sedangkan murid-murid Syaikh Tubagus Ma’mun cukup banyak diantara yang termashur adalah putranya sendiri, KH. Tubagus Soleh bin Ma’mun Lontar, KH. Tubagus Ahmad Syihabuddin bin Ma’mun, KH. Tohir Pelamunan, KH. Tubagus Muhammad Abbas Kasemen, Ki Arsyad Terumbu, KH. Muhammad Ali Kebanyakan, KH. Tubagus Ahmad Khotib Kasemen (Residen Banten), Kiayi Zen (Banten), KH. Muarif Keramat Watu, Kiayi Syamsuddin Banten, KH. Abdul Hadi Jombang Wetan, Cilegon, KH. Mas Abdurrahman (Pendiri Matlaul Anwar), KH. Yasin Menes, KH. Nahrowi Lengkong, Tangerang, KH. Ahmad bin Mujtaba, Tanah Abang, Jakarta, KH. Hamzah, Tanah Abang, Jakarta, KH. Abdullah (Gan Uyek), Sukabumi, KH. Tajuddin, Sinanggahan, Bandung, KH. Dahlan, Bandung, KH. Adam, Babakan Ciparay, Bandung, Ki Emed, Cicalengka, Bandung, Cik Hamzah, Cicalengka, Bandung, Syekh Ahmad, Garut, KH. Salim, Balong, Garut, KH. Siroj, Garut, KH. Ahmad Abbas, Buntet, Cirebon, KH. Anas, Buntet, Ki Ilyas, Buntet, Ki Ahyas, Buntet, KH.Baidowi, Ketanggungan, Brebes, KH. Abdul Malik, Kendal, Jateng, KH. Baidowi, Kaliwungu, Kendal, KH. Abdurrahman, Pasuruan, Syekh Mustofa Rawas, Palembang, Syekh Barliyan, Palembang, Syekh Ahmad Hijazi, Makkah, KH. Jamhari, Kaujon.
Sementara secara genetik dan geneologis (silsilah keturunan), Syaikh Tubagus Ma’mun terutama dari silsilah atau keturunan dari jalur ayahnyanya diantaranya ; Syaikh Tubagus Ma’mun Bin Tubagus Rafiudin (Ki Banjur), Bin Tb. Zubair, Bin Tb. Hafidz, Bin Tb. Qodi Santika, Bin Pangeran Mandu Raja, Bin Sultan Abul Mafakhir (Sultan Banten Ke 4), Bin Maulana Muhammad, Bin Maulana Yusuf, Bin Maulana Sultan Hasanuddin.
Sementara silsilah (keturunan dari jalur Ibu) diantaranya ; Syaikh Tubagus Ma’mun, Binti Ratu Thiyibah, Bin Tb. Ismail, Bin Tb. M. Sadzili, Bin Tb. Abdul Hamid, Bin Tb. Abdurrahman (Pangeran Singadaru), Bin Sultan Abul Mafakhir, Bin Maulana Muhammad, Bin Sultan Maulana Yusuf, Bin Sultan Maulana Hasanuddin. Sementara Syaikh Tubagus Ma’mun, ia juga memilki beberapa tulisan diantaranya : Risalah syurb Al-Dukhan, Ashaab badr, Hijb Nashr, Suhada Uhud, Marhaba. Bahkan, nada marhaba yang ada di Banten sekarang ini menurut suatu pendapat berasal dari Syekh Ma’mun. Sementara tanggal dan hari wafatnya belum berhasil penulis dapatkan. Sedangkan kepakaran beliau dalam seni baca Al-Qur’an dilanjutkan oleh putranya, yaitu KH. Soleh bin Ma’mun yang mendirikan pesantren di Lontar-Serang.
A. Peluncuran Buku Sejarah Syekh Tubagus Ma’mun
Pada acara haul ke-98 Syekh Tubagus Ma’mun Al-Bantani, salah seorang nara sumber diacara itu (Tubagus Hasan Aang) mengatakan, haul ke-98 Syekh Tubagus Ma’mun Al-Bantani bin Tubagus M Rafi’uddin digelar dan sekaligus sebagai acara silaturahim keluarga besar Bani Ma’mun. ’’Ini menjadi ajang temu kangen antar sedulur keluarga besar dari keturunan Syekh Ma’mun Al-Bantani,’’ ujar putra KH Tubagus Achmad Idrisi itu mewakili keluarga keturunan Syekh Ma’mun di halaman Pesantren Al-Qur’an Syihabuddin bin Ma’mun, Kampung Caringin, Labuan, Pandeglang, Banten, Ahad (10/12/2023, NU Online).
Yang berbeda pada acara haul Syaikh Tubagus Ma’mun kali ini, yaitu ada launching buku berjudul “Manaqib Syekh Ma’mun Al-Bantani, Al-Qur’an Mengalir Sampai Hati.’’ Saya harap bisa menginsfirasi santri-santri maupun alumni yang lain di Pesantren Al-Qur’an Syihabuddin bin Ma’mun agar termotivasi untuk berkeinginan menulis sebuah buku. Kami memberi apresiasi positif atas hadirnya buku tersebut. Terlebih, buku tersebut ditulis oleh salah satu keluarga besar,’’ ungkap Tubagus Hasan Aang, yang juga ketua panitia itu (NU Online, Selasa (12/12/2023). Buku tersebut menurut Tubagus Hasan Aang, sangat bermanfaat bagi keluarga besar serta bagi para santri agar lebih mengenal sosok Syekh Ma’mun lebih dekat. Sedangkan Tubagus Bambang Qomaruzzaman, yang nota bene sebagai penulis buku tersebut memaparkan, niat awal menulis buku itu untuk arsip pribadi dan keluarga. ’’Setidak-tidaknya sebagai pengingat bahwa leluhur dari keluarga kami (Syekh Tubagus Ma’mun) memang memiliki sejarah besar yang tentu saja harus diteruskan oleh generasi selanjutnya dalam mengamalkan bidang ilmu seni Al-Qur’an. Saya sangat bersyukur dilahirkan dari ‘rahim’ keluarga dengan nasab baik,’’ tutur Tubahus Bambang Qomaruzzamsn (NU Online, 12/12/2023).
B. Tus Kuncung, Qori Nasional Pertama Asal Banten, Pernah Menjadi Imam Solat Subuh Buya Hamka
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Adagium tersebut sangat masyhur di telinga anak bangsa, namun masih asing di tingkat pengamalan. Bangsa kita terbukti sering mudah lupa, termasuk tentang para pelaku sejarah di lingkungannya dan (tentu saja) yang ikut membesarkannya. Salah satunya tentang Tus Kuncung, qori nasional pertama asal Banten. Tubagus Wasi’ Abbas atau lebih dikenal dengan sapaan Tus Kuncung, merupakan salah seorang pelaku sejarah yang masyhur pada zamannya. Ia bukan saja berhasil mengharumkan nama Banten di panggung nasional lewat alunan Alquran, tapi juga menuntun masyarakat Banten ketika itu menjadi komunitas yang cinta Alquran.
Sekitar era 70-an, siapa yang tidak kenal Tunagus Wasi’ Abas, alias Tb. Tus Kuncung. Suaranya yang merdu, mengantarkanya sebagai salah seorang peserta pertama dalam sejarah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Nasional yang diselenggarakan di Medan. Ketika itu ia mewakili Jawa Barat. Pria kelahiran 1930 di Kasunyatan Kasemen, Serang itu, memang memiliki segudang pengalaman soal belajar dan mengajarkan Alquran. Para santrinya tersebar di berbagai pelosok negeri, dari guru ngaji di kampung-kampung sampai qori tingkat internasional. Dalam perjalanannya sebagai qori, ulama yang menguasai Bahasa Belanda dan Arab itu sempat bertemu dengan sejumlah tokoh nasional seperti Presiden Soekarno dan Hamka. Pertemuan dengan dua tokoh tersebut menyisakan kenangan tersendiri di hati putra pasangan dari KH. Tubagus A. Abbas dan Hj. Nyi Mas Uryan itu.
Semasa hidupnya, suami Hj. Siti Junaedah dikenal sebagai orang tua yang sangat jarang sakit. Ketika usianya menginjak 75 tahun, ia tampak masih perkasa. Pancaindranya masih berfungsi normal. Ia, misalnya, masih mampu mengingat tahun-tahun bersejarah dalam perjalanan hidupnya. Ia juga masih hafal nama sejumlah qori yang seangkatan dengannya. Tentang kelebihan itu, ia pernah bebagi rahasi. “Saya tidak punya resep khusus untuk menjaga stamina, termasuk olahraga. Hanya saja, saya membiasakan ngederes Alquran. Saya selalu mengupayakan agar setiap dua bulan hatam (tamat) Alquran. Tapi itu juga tergantung kegiatan, kalau lagi sibuk bisa tiga bulan baru hatam,” ungkap alumnus Pondok Pesantren Alquran Caringin Labuan itu, ketika diwawancari oleh para awak media ketika masih hidup.
Pendiri Pesantren Alquraniyah Banten Lama itu dikaruniai delapan anak, masing-masing (Alm) KH. Tubagus Hafidz Al Abbas, Tubagus Ismetullah Al Abbas, H. Tubagus A. Sadzili Wasi, Ratu Masmudah, Tubagus A. Abbas Wasee, Ratu Lailatul Qomariyah, Tubagus A. Khotib, dan Ratu Mamah Musawwamah. Sejak 1980-an, ulama kharismatik ini lengser keprabon, ia memilih menjadi “guru bangsa yang baik”. Meski sesekali masih menerima tamu, namun roda kepemimpinan Pesantren Alquraniyah diserahkan kepada anaknya, H. Tubagus Hafid. Karena “pewaris” kepemimpinan pesantren ini wafat di usia muda, ulama yang mudah akrab ini menunjuk KH. Tubagus Sazili sebagai penerusnya. Santri kesayangan KH. Tubagus Syihabuddin Makmun Caringin ini sudah mendalami ilmu qiroat masih usia anak-anak. Sementara Dasar-dasar qiroat dipelajari dari orangtuanya. Kebetulan selain menjadi naib (penghulu), orang tua Tus Kuncung juga seorang hafizd (penghafal Alquran).
Namun pendalaman tentang Alquran seperti tafsir dan tajwid, diperolehnya dari KH. Syihabuddin sekitar tahun 1943 (masa pendudukan Jepang). Beliau pengasuh Pesantren Alquran Caringin, Labuan.
“Ketika itu saya ikut Tubagus A. Khatib (paman) yang bertugas sebagai Daidanso di Labuan,” ungkapnya ketika itu. Kemudian tahun 1945, Tubagus A. Khatib mendapat tugas menjadi Residen Banten. Karena kantornya di Serang, Tus Kuncung ikut ke Serang. Skitar tahun 1947 sampai 1948, ia kembali lagi ke Caringin untuk khataman Alquran. Bersamaan dengan itu, terjadi Agresi Belanda II. Tahun 1948-1951 ia kembali ke Banten Lama, mendapat tugas khusus sebagai muadzin di Mesjid Agung.
Pada usia masih muda, Tus Kuncung pernah terjun sebagai guru qiraat di Majalawang Taktakan, Serang. Keputusan yang dinilainya berat itu dilakoninya pada tahun 1952. Karena merasa ilmu tentang Alquran yang dimiliki masih kurang, sekitar tahun 1955 sampai 1960 ia kembali berguru Alquran ke Pesantren Lontar asuhan KH. Tubagus Soleh Makmun. Akhirnya, julukan qori mulai menempel pada dirinya sejak bulan Maulid 1962. Ketika itu, Jawa Barat menggelar MTQ tingkat naional yang pertama. MTQ tersebut diikuti tiga Provinsi, yaki DKI Jakarta, Lampung, dan Jawa Barat. Pada momentum tersebut, ia terpilih sebagai juara pertama. Sejak itu, namanya mulai dikenal sebagai qori. Banjir “order” membaca Alquran bukan hanya datang dari Banten, tapi juga di luar wilayah Jawa Barat ketika itu.
Saking padatnya pesanan, ia pernah tidak pulang selama satu bulan. Siang malam berkeliling memenuhi undangan membaca Alquran, sampai-sampai ia pernah kehabisan suara. Cerita tentang kemerduan suara Tus Kuncung, nampaknya sampai ke telinga Presiden Soekarno. Sehingga pada 1962, presiden mengundangnya untuk membaca Alquran di Istana, bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Muhamad SAW. Selain dirinya, ada juga qoriah asal Yogyakarta. Pertemuan dengan Soekarno di istana, melahirkan kesan mendalam pada diri Tus Kuncung tentang tokoh proklamator tersebut. Meski hanya bertemu beberapa menit di ruang khusus, Tus Kuncung menangkap kesan kecerdasan dan merasakan wibawa presiden pertama RI itu. Kepada Tus Kuncung, Soekarno mengungkapkan keheranannya tentang kultur Banten. Menurut Soekarno, para Sultan Banten itu berasal dari Jawa. Tapi dalam perkembangan selanjutnya, bahasa resmi yang digunakan beragam yakni bahasa Sunda, Jawa, Arab, dan sebagainya. Soekarno heran, kenapa masyarakat Banten tidak menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa tunggal yang resmi. Tentang keharanan Soekarno itu, Tus Kuncung tidak berkomentar. Ia membiarkan Soekarno bicara tentang Banten. Diam-diam ahli qiroat asal daerah kesultanan itu mengagumi pengetahuan Soekarno tentang budaya Banten.
Tiba giliran memberi wejangan, Soekarno kembali mengeluarkan statemen yang mengejutkan Tus Kuncung. Ketia itu, Soekarno dengan tegas menyatakan tidak suka dengan ulama yang menganggap ada hadist dhaif (lemah). Menurutnya, yang dhaif adalah rawi-nya (orang yang meriwayatkan), bukan hadistnya.
Pengalaman ikut MTQ di luar Banten, pertama kali dialaminya ke tingkat Jawa Batat. Pada tahun 1971, Jawa Barat menggelar MTQ tingkat provinsi yang pertama. Pada acara yang berlangsung di Cirebon itu, kembali Tus Kuncung mendapat juara I. Pesertanya antara lain berasal dari Sukabumi, Bogor, Jakarta, Lampung, dan Serang. Tahun yang sama, ia menjadi wakil Jawa Barat mengikuti MTQ tingkat nasional di Medan. Tapi pada MTQ tersebut, seluruh utusan Jabar masuk kotak. Pemenangnya utusan tuan rumah (Medan), yakni H. Hasan Basri. Tahun 1973 Tus Kuncung total mengabdikan hidup untuk membangun generasi qurani. Cita-cita itu diwujudkannya dengan mendirikan Pesantren Alquraniyah di Banten Lama.
Selama malang melintang dalam dunia qori, Tus Kuncung menemui banyak pengalaman menarik. Pengalaman paling tidak bisa dilupakan, antara lain perkenalannya dengan Buya Hamka, pemuka Muhammadiyah. Ketika itu Hamka sudah menjadi ulama yang kebesarannya masyhur di masyarakat internasional. Ke dua ulama ini sering dakwah bareng, Tus Kuncung sebagai qori dan Hamka bagian penceramahnya. Dalam sebuah acara, Tus Kuncung pernah tidur satu kamar dengan Buya Hamka. Ketika datang waktu salat subuh, Hamka menjadi imam dan Tus Kuncung makmumnya. Betapa heran Tus Kuncung, dalam Salat Subuh itu Hamka memakai doa qunut. Padahal ketika itu, soal doa qunut menjadi salah satu sebab perseteruan antara pengikut Muhammadiyah dan NU. Seusai salat Tus Kuncung bertanya padanya, “Kenapa memakai doa qunut?”. Buya Hamka menjawab, “Ulama Banten dan ulama Padang satu aliran”. Jawaban filosofis Buya Hamka membuat Tus Kuncung terkagum-kagum. Jawaban itu dipandangnya sebagai diplomasi yang sangat luar biasa.
Dengan jawaban itu, Tus Kuncung tidak perlu lagi mencecar Buya Hamka dengan pertanyaan-pertanyaan susulan yang tidak esensial. Tus Kuncung menyayangkan, sikap arif Buya Hamka tersebut sulit menurun kepada para pengikut dua organisasi itu di tataran akar rumput. Selain dengan Buya Hamka, Tus Kuncung juga pernah satu acara dengan KH. Musaddad dari Garut. Di mata Tus Kuncung, KH Musaddad merupakan kiai unik. Ketika beliau berceramah, panitia wajib menyediakan papan tulis sebab isi ceramahnya selalu diperkuat dengan gambar di papan tulis.
Kalau cerita soal panasnya neraka jahanam misalnya, KH Musaddad menggambar neraka dengan apinya yang berkobar. Demikian pula ketika cerita soal surga, tangannya kreatif menggambar keindahan surga. Menurut Tus Kuncung, metoda ceramah KH Musaddad satu-satunya di Indonesia hingga saat ini. Sebagai pelaku sejarah MTQ, Tus Kuncung melihat ada perbedaan penilaian MTQ tahun baheula dengan sekarang. Zaman awal-awal MTQ, penilaian lebih mengutamakan kaidah-kaidah tajwid. Penilaian berikutnya baru soal suara, lagu dan akhlak. Tapi pada MTQ sekarang, yang diutamakan soal suara dan lagu. Sedang kaidah-kaidah tajwidnya menjadi nomor dua. Akibatnya, menurut Tus Kuncung banyak qori/qoriah yang tajwidnya minim tapi bisa lolos menjadi juara MTQ. Alasannya satu, suara dan lagunya bagus.
Meski memaklumi sebagai bagian dari perkembangan MTQ, namun ia menilai hal itu sebagai perkembangan yang kurang baik. Menurutnya, qori harus tetap berpegang teguh pada kaidah-kaidah tajwid. Ia mengingatkan agar para qori tidak bosan mendalami tajwid.
Tus Kuncung juga bebagi tips agar suara tetap merdu, yakni istirahat yang cukup, tidak merokok, kurangi buah-buahan mentah, kurangi makanan pedas, dan es. Ia menganjurkan para qori agar membiasakan minum air putih yang diembunkan. Nanun demikian, Tus Kuncung mengaku tidak pernah menjalani tips tersebut.
Selama menjalani karier di duia qiroat, Tus Kuncung nyaris tidak punya pantangan. Sejak muda ia sudah menjadi perokok berat. Bahkan, ia juga tidak pernah ikut gegurah. Kebiasaan qori asal Banten.
III. Menelisik Sejarah Ilmu Tilawah Al-Qur’an
Dalam teori “living qur’an”, yaitu suatu studi tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran al-Qur’an atau keberadaan al-Qur’an di dalam sebuah kelompok masyarakat disebutkan, bahwa al-Qur’an mempunyai dua fungsi yang dominan, di antaranya ialah fungsi informatif (informative function) dan fungsi performatif (performative function). Fungsi informatif pada Al-Qur’an biasanya dipahami sebagai pendekatan interpretatif, yakni untuk memahami apa yang tersurat di dalam sebuah teks. Sedangkan fungsi performatif adalah apa yang dilakukan khalayak ramai terhadap teks itu sendiri. Misalnya, ilmu Nagham Al-Qur’an atau yang familiar dengan tradisi seni baca Al-Qur’an, merupakan salah satu bentuk dari fungsi performatif terhadap Al-Qur’an.
Seni tilawah merupakan Al-Qur’an dibaca dengan dilagukan beragam note lagu yang sudah distandarisasi. Bahkan, di Indonesia, tradisi melagukan Al-Qur’an sudah banyak diperlombakan secara berjenjang, yakni mulai dari tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, hingga Nasional. Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Anna K Rasmussen seorang profesor dibidang musik dalam penelitiannya yang berjudul “Women, the Recited Qur’an, and Islamic in Indonesia”. Pada tulisan tersebut dijelaskan, bahwa di Indonesia ada tradisi unik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, dimana mereka berlomba-lomba melagukan Al-Qur’an dalam sebuah event yang disebut dengan MTQ. Bahkan, uniknya lagi seni tilawah ini diajarkan di hampir semua lembaga-lembaga pendidikan Al-Qur’an yang ada di Indonesia.
A. Latar Belakang Kemunculan Lagu-Lagu Al-Quran (Tilawatil Qur’an)
Tulisan ini tidak akan membahas mengenai bagaimana hukum melagukan Al-Qur’an, karena tentu saja sudah banyak sekali tulisan-tulisan yang membahas hal tersebut. Namun, melalui tulisan ini setidaknya penulis akan mencoba menelusuri bagaimana latar belakang kemunculan lagu-lagu Al-Qur’an, apa faktor-faktor yang membuat hal ini terjadi, serta bagaimana perkembangan seni tilawah Al-Qur’an tersebut. Jauh sebelum Al-Qur’an berbentuk mushaf seperti sekarang ini, Al-Qur’an terlebih dahulu diajarkan melalui sebuah sistem yang disebut dengan talaqqi, yaitu Nabi membacakan langsung Al-Qur’an di depan para sahabat atau sebaliknya para sahabat menyetorkan bacaan yang telah dihafalkan kepada Nabi untuk dikoreksi. Hal itu dilakukan dengan tanpa perantara mushaf atau apapun yang berbentuk tulisan. Fakta tersebut terjadi karena Al-Qur’an turun di lingkungan masyarakat Arab yang sangat kental dengan budaya oral, sehingga wajar-wajar saja jika proses belajar mengajar pada saat itu berbasis oral (lisan) dan aural (bunyi). Di sisi lain, kita juga mengetahui bahwa salah satu mukjizat Al-Qur’an adalah ‘ijaz lughawi (mukjizat kebahasaan). Bahasa yang indah yang terdapat di dalam al-qur’an, di satu sisi merupakan bukti kesempurnaan Al-Qur’an, tapi di sisi lain juga merupakan dampak pengaruh budaya Arab yang pada saat itu sangat dekat dengan seni sastra sampai suatu waktu Al-Qur’an hadir untuk mendominasi budaya sastra tersebut. Keindahan sastra yang ada pada Al-Qur’an ternyata tidak berhenti hanya pada pilihan kata, tetapi juga termasuk dalam bunyi, ketika dibaca dan diperdengarkan, akhirnya tidak jarang juga kita menemukan kesamaan bunyi akhir pada ayat-ayat Al-Qur’an.
Fakta-fakta di atas sementara ini setidaknya sudah cukup untuk mengaitkan hubungan antara Al-Qur’an dan suara (aspek bunyi). Fakta-fakta di atas juga menjadi salah satu faktor yang membuat Al-Qur’an dilantunkan secara indah. Jika dilihat melalui bingkai sejarah, ada beberapa riwayat yang menampilkan hal itu, dan salah satunya ialah riwayat dari Abdullah bin Mughaffal yang menginformasikan bahwa Nabi pernah melantunkan surah Al-Fath ketika sedang menunggangi unta, karena keindahan bacaan Nabi unta tersebut terperanjat dan secara spontan menghentikan Langkah kakinya.
Riwayat lain misalnya, dari kalangan sahabat ada seseorang yang langsung mendapat pengakuan dari Nabi Muhammad akan kemerduan suaranya ketika sedang membaca Al-Qur’an, yaitu Abdullah bin Mas’ud yang nantinya menjadi salah satu rujukan pengajar Al-Qur’an dan sanad dalam ilmu Qiraat Al-Qur’an. Dalam sebuah riwayat lain juga dikisahkan, Rasulullah Saw, pernah lewat ketika Abu Musa Al-Asy’ari sedang membaca Al-Quran. Nabi pun berhenti untuk mendengarkan bacaan sahabatnya itu. Beliau lalu bersabda, “Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi keindahan suara sebagaimana keindahan suara keturunan Nabi Daud.” (HR Bukhari 5048, Muslim 793). Riwayat-riwayat inilah yang kemudian menjadi landasan epistimologis pembacaan Al-Qur’an dengan indah yang nantinya berkembang menjadi seni-seni tilawah yang terangkum dalam ilmu Nagham Al-Qur’an.
Ibnu Manzur, seperti dikutif oleh Dr. Basyar Awad Ma’ruf, yakni di dalam kitabnya berjudul “Al-Bayan fi Hukm At-Taghanni bi Al-Quran”, ada dua teori tentang asal-usul munculnya nagham Al-Quran. Pertama, nagham Al-Quran berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua, nagham terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Al-Quran pada mulanya memang berasal dari khazanah tradisional Arab. Sehingga tidak heran tradisi itu terus berlanjut hingga ke masa Nabi, sahabat, bahkan hingga sampai saat ini. Secara detail memang tidak ada riwayat atau catatan historis yang membahas mengenai perkembangan nagham Al-Qur’an yang pada saat ini sudah mempunyai delapan “maqamat qur’aniyyah (delapan irama lagu Al-Qur’an). Namun, kalangan akademisi Islam meyakini bahwa, transformasi seni baca Al-Qur’an berlangsung secara sederhana dan diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedelapan varian nagham tersebut seperti lagu ; Bayyati, Shoba, Hijaz, Nahawand, Rasta, Jiharkah, Sikah, dan Banjaka (Rakbi).
Data teraktual saat ini mengenai “maqamat qur’aniyyah” sebagaimana hasil penelitian M. Husni Thamrin dalam tesisnya yang berjudul “Nagham Al-Qur’an : Telaah Atas Kemunculan Dan Perkembangannya di Indonesia” menyebutkan bahwa maqamat qur’aniyyah
yang ada pada hari ini diindikasikan terinsfirasi dari wilayah Mesir. Qari-qari yang lahir di Mesir, seperti Syeikh Muhammad Rif’at, Syeikh Mustafa Ismail. Dan Syeikh Abdul Basith Samad mampu menunjukkan kepada dunia bahwa nagham adalah nyawa dari bacaan Al-Qur’an.
IV. Seni Tilawah Al-Qur’an : Memahami Makna, Tujuan, Dan Tekniknya
Seni baca al-qur’an secara etimologis (bahasa) berasal dari kata “tilawah qur’an”, yang artinya seni bacaan. Sedangkan menurut istilah, tilawah Al-Qur’an adalah membaca Al-Qur’an dengan jelas huruf-hurufnya dan berhati-hati saat membacanya. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah pembacaan ayat suci Al-Qur’an dengan baik dan indah. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa tilawah Al-Qur’an adalah pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan memperhatikan tempat keluarnya huruf (makharijul huruf), berhati-berhati atau memperhatikan tajwid dan tahsin, serta dibawakan dengan indah. Membaca Al-Quran dengan khidmat, tujuannya bisa sangat beragam dan bisa bervariasi tergantung pada individu dan konteksnya. Walaupun begitu, pada dasarnya, tujuan utamanya tilawatil qur’an adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperdalam pemahaman terhadap agama Islam, dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual dan moral. Namun jika dapat kita rincikan, berikut adalah tujuan tilawah Al-Qur’an secara umum bagi pembaca serta pendengarnya :
Pertama, memberikan pengetahuan dan wawasan terhadap pembacanya bahwa lantunan ayat suci Al-Qur’an tidak bisa disamakan dengan musik. Ini karena sifatnya yang memiliki kedalaman spiritual dan makna yang mendalam. Lantunan ayat suci Al-Qur’an sendiri bukanlah sebagai hiburan atau pengalihan perhatian semata, melainkan suatu bentuk ibadah yang penuh dengan kekhusyukan dan kekaguman kepada kebesaran Allah.
Jadi, ketika seseorang mendengarkan tilawah Al-Quran, mereka tidak hanya menikmati melodi atau ritme, tetapi juga meresapi pesan-pesan yang terkandung di dalamnya, yang dapat menyejukan hati dan jiwa. Kedua, memperindah bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Pada dasarnya manusia dihiasi oleh sifat-sifat, karena manusia kerap menyukai sesuatu yang indah. Hal itu sudah menjadi naluri dari Allah SWT. kepada manusia, dan hal itu juga sebagaimana telah disitir di dalam al-qur’an, sebagaimana berikut ini :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
Artinya : “Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (QS. Ali -Imran [3]: 14)
Menurut KH. Ahmad Syahid dalam bukunya berjudul “Bunga Rampai Mutiara Al-Qur’an”, beliau mengungkapkan rasa senang datang dari sesuatu yang indah, sebagai hasil daya tangkap panca indra. Hal itu dapat pula menghasilkan sesuatu yang baik dalam segala tingkah laku, dalam segala usaha mengadakan sesuatu yang baik sesuai anjuran agama. Ketiga, memudahkan pembaca atau orang yang mendengarkan dalam menghayati ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dilantunkan. Melalui makna spiritual mendalam serta pembawaan yang indah, hal itu akan memberikan suasana positif untuk hati dan pikiran. Tilawah Al-Qur’an adalah seni membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Hal itu adalah praktik yang sangat dihargai dalam Islam, karena membaca Al-Qur’an dengan benar adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Sepengalaman penulis ketika pernah ingin meniti karir di dunia “Qiri'”, diantaranya ada beberapa tips dan trik yang dapat membantu kita untuk memulai belajar tilawah Al-Qur’an dengan baik dan benar : (1). Niat yang ikhlas karena Allah dan yakin dengan kapabilitas diri. Karena, niat adalah prasyarat penting untuk diterimanya amal, karena niat menjadi pendorong yang kuat dalam setiap tindakan kita. (2). Yakin, yaitu meyakini bahwa setiap individu tanpa memandang latar belakang atau situasi, memiliki kesempatan yang sama untuk menguasai tilawah Al-Qur’an dengan lancar. Percayalah bahwa dengan usaha sungguh-sungguh (man jadda, wajadda), Allah SWT akan membantu dalam prosesnya. (3). “Talaqi” dan “Musyafaha”. Yaitu, belajar langsung Al-Qur’an kepada seorang guru (mursyid), hal itu memungkinkan kita untuk belajar secara berhadap-hapan, alias bisa tatap muka, bisa mendengar langsung, melihat langsung, dan membaca langsung dari seseorang yang ahli.
Hal itu tidak hanya mempromosikan keterlibatan aktif, tetapi juga memastikan bahwa pembelajaran yang berkelanjutan dan autentik dari sumber yang berpengalaman secara langsung. (4). Disiplin dalam membaca setiap hari, dengan membaca Al-Qur’an setiap hari atau jadwal yang spesifik, maka kita akan melatih lidah dan bibir kita untuk menjadi lebih terbiasa dan fleksibel dalam mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal itu akan memudahkan penyesuaian dengan contoh dan koreksi yang diberikan oleh guru atau pembimbing dalam memperbaiki bacaan atau “Tahsin” dengan lebih cepat. (5). Membuka diri kita untuk menerima nasihat, dengan sikap yang terbuka untuk menerima nasihat dan kritik, baik dari teman, sahabat, terutama guru, dan orang tua, kita akan lebih menyadari kelemahan dan kekurangan kita. Hal itu akan mendorong kita untuk lebih bersemangat dalam memperbaiki diri dan mencapai tingkat yang lebih baik.
Selain itu, seorang “Qari” dan “Qariah” yang ingin sukses dalam penampilan bacaannya, maka ia juga harus mengetahui sekaligus mempraktekkan hal-hal yang disebutkan dibawah ini. Berikut ini merupakan tips-tips teknis yang dapat dilakukan saat praktik tilawah Al-Qur’an : Penguasaan tajwid secara total. Karena, ilmu tajwid adalah membaca Al-Qur’an dengan memberi atau memperhatikan hak-haknya huruf yaitu dari segi makhroj, sifat, dan dari yang lainnya seperti panjang pendek, waqaf, washal, ghunnah, idzhar, iqlab, ikhfa’ dan lainnya. Latihan Nafas. Sebab hal itu merupakan satu bagian yang sangat penting dalam seni baca Al-Qur’an. Bahkan, seorang Qari-Qariah yang mempunyai nafas panjang, ia akan membaca kesempurnaan dalam bacaannya. Suara. Di dalam bidang seni baca Al-Qur’an terdapat beberapa tipe/bentuk suara yang lazim ditemukan ditengah-tengah masyarakat. Bentuk suara-suara tersebut yaitu : suara perut, suara tenggorokan, suara hidung, suara mulut, suara dada.
Memahami nagham-nagham Al-Qur’an, untuk melagukan Al-Qur’an, para ahli “qurro” di Indonesia sebagaimana telah dijelaskan di sub judul bagian atas, memang ada tujuh lagu dalam seni baca al-qur’an diantaranya ; Bayyati, Shoba, Hijaz, Rast, Nahawand, Sikah, dan Jiharkah. Dengan menerapkan tips dan trik, sebagaimana telah disampaikan diatas, maka kita semua seyogyanya dapat meningkatkan kemampuan tilawah Al-Qur’an dengan lebih baik. Mari kita jadikan Al-Qur’an sebagai panduan utama dalam kehidupan kita dan teruslah berusaha untuk membaca dengan baik dan benar. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan dan keberkahan dalam perjalanan kita menuju kedekatan-Nya melalui tilawah Al-Qur’an.
V. Sejarah Qira’at Sab’ah Dan Upaya “Tahsin” Atau Membaguskan Bacaan Al-qur’an
Secara etimologis, kata “qiraah” merupakan mashdar dari kata kerja yang berarti “membaca”. Bentuk jamaknya yaitu qiraat.
Sedangkan “Qira’at” muncul sebagai bentuk pemeliharaan kemurnian Alquran. Yang pertama kali melakukannya adalah Rasulullah SAW. Bersama para sahabat, Nabi Muhammad SAW memelihara hafalan ayat-ayat suci Alquran dengan memperhatikan tafkhim (pensyahduan bacaan), tarqiq (pelembutan), imla (pengejaan), madd (panjang nada), dan qasr (pendek nada). Kemudian, diperhatikan pula tasydid (penebalan nada) serta takhfif (penipisan nada). Satu hal lagi yang menjadi perhatian adalah lajnah (dialek).
Bila menilik pada sejarah, sejak zaman Nabi Muhammad SAW, umat Muslim sudah diperintahkan untuk membaca Alquran dengan suara yang indah. Pada masa Rasulullah SAW, tidak sedikit diantara para sahabat yang memiliki suara bagus-bagus. Alquran menghadirkan penggunaan bahasa Arab dengan keanggunan yang tertinggi. Ia bahkan tidak bisa dibandingkan atau diubah-ubah (modifikasi). Namun, agar lebih indah lagi saat didengar, maka melagukannya dengan benar pun perlu dilakukan. Ada hadis yang mengatakan, “Hiasi Alquran dengan suaramu yang bagus”. Menurut Mangun Budiyanto di dalam makalah yang ditulisnya berjudul “Qiraat dalam Alquran” menyatakan, asal usul munculnya macam-macam qira’at. Itu bermula tatkala adanya sekelompok orang, para sahabat Nabi, yang berbeda di zaman beliau menekuni bacaan (qira’at) Alquran. Mereka pun mengajarkan dan mempelajarinya. Para sahabat itu selalu ingin mengetahui ayat-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad, kemudian menghafalkannya. Terkadang, mereka juga membacakan ayat-ayat itu di hadapan Rasulullah agar disimak. Sebagian dari para sahabat itu menjadi guru. Orang-orang yang belajar qira’at kepada mereka meriwayatkannya dengan menyebutkan sanadnya dan mereka sering menghafalkan qira’at yang diriwayatkan dari seorang guru.
Penghafalan dan periwayatan seperti itu memang sesuai untuk masa itu karena tulisan yang digunakan pada waktu itu adalah tulisan kufi. Dalam tulisan itu, satu kata dapat dibaca dengan beberapa cara. Oleh karena itu, cara pembelajarannya harus belajar langsung kepada guru, kemudian menghafalkan, dan meneruskannya pada muridnya. Selain itu, kebanyakan orang pada waktu itu masih buta huruf, tidak bisa tulis baca dan belum mengenal cara menjaga pelajaran selain menghafal dan meriwayatkan. Cara itu juga terus diikuti dalam masa-masa berikutnya. Kelompok pertama para qori adalah dari kalangan sahabat Nabi yang tekun mengajar dan belajar pada masa hidupnya.
Mereka itu, antara lain, Usman, Ali, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari. Para sahabat itu kemudian meneruskan ilmu qiraat itu kepada seluruh kaum Muslimin untuk sama-sama menjaga keaslian Alquran. Karena yang menghafalkannya bukan satu orang saja, sering terjadi perbedaan-perbedaan dalam lantunan nada dan cara membacanya. Qira’at ini berbeda satu dengan lainnya karena mereka mengambilnya dari sahabat yang berbeda pula. Perbedaan itu berlanjut pada tingkat tabiin di setiap daerah penyebaran Islam masing-masing.
Hadist riwayat Bukhari Muslim dari Ibnu ‘Abbas dan riwayat Muslim dari Ubay bin Ka’ab menyatakan, memang kemudian qiraat ini muncul menjadi banyak ragamnya. Tapi, dengan adanya qiraat Alquran yang bermacam-macam tersebut (Sab’atu Ahruf atau kira’at sab’ah), sebenarnya Allah bermaksud memberikan kemudahan bagi umat Islam yang tidak seluruhnya dapat membaca Alquran dengan sempurna. Kemudahan tersebut menunjukkan Islam dalam hal membaca Alquran dengan bahasa Arab tidak memberikan beban yang berat bagi Mukminin. Menurut KH M Afifuddin Dimyathi, wujud qira’at Alquran sangat banyak sekali variannya. Namun, yang dapat dipakai hanyalah yang riwayatnya mutawatir. Dalam arti, jalurnya sangat kuat karena diriwayatkan banyak orang yang tidak mungkin mereka semua bersepakat berbohong.




