Oleh: Rohman, M.A.
(Sekretaris ICMI Banten)

Di tengah kemajuan teknologi yang begitu pesat, kita semakin sering mendengar pertanyaan retoris yang menggugah: “Untuk apa guru, jika semua pengetahuan kini dapat dicari sendiri oleh murid melalui internet atau AI seperti ChatGPT?” Pertanyaan ini tidak lahir begitu saja, tetapi berakar pada perubahan besar dalam dunia pembelajaran. Murid hidup dalam zaman ketika pengetahuan datang dengan cepat, instan, dan tanpa batas. Namun justeru kerana itulah, tantangan guru hari ini menjadi jauh lebih kompleks dan multidimensi.

Guru tidak lagi sekadar mengajar di kelas dengan papan tulis dan spidol. Mereka menghadapi generasi yang tumbuh dengan gawai di tangan, generasi yang memperoleh jawaban hanya dalam hitungan detik, tetapi sering keliru dalam memilah mana informasi yang dapat dipercaya dan mana yang menyesatkan. Tantangan terbesar guru bukan lagi sekadar menyampaikan materi, melainkan membantu murid memaknai informasi yang berlimpah itu. Guru harus menjadi penuntun, penyaring, dan penjaga arah berfikir murid agar mereka tidak tersesat dalam lautan data yang tidak selalu jernih.

Jika dahulu guru adalah sumber utama pengetahuan, maka hari ini peranan itu telah bergeser. Bukan berkurang, tetapi berubah. Guru kini menjadi fasilitator yang membimbing murid berfikir kritis, memahami konteks, menimbang nilai, dan membuat keputusan yang bijaksana. AI mungkin mampu menjawab “apa”, tetapi hanya guru yang mampu menerangkan “mengapa” dan “bagaimana”. Mesin dapat menganalisis data, tetapi guru membentuk integritas, empati, dan watak. Teknologi dapat menyediakan informasi, tetapi tidak dapat memberikan sentuhan nurani.

Tantangan lain yang tidak kalah pelik adalah meningkatnya kesedaran hukum di kalangan orang tua. Perubahan sosial membuat orang tua semakin memahami hak anak dan mekanisme perlindungan hukum. Kasus seperti yang terjadi di SMAN 1 Cimarga Lebak, dimana orang tua melaporkan guru ke polisi kerana tindakan kekerasan, menggambarkan perubahan besar dalam hubungan antara sekolah, guru, dan keluarga. Banyak guru merasa ruang geraknya kini terbatas; sedikit saja keliru, boleh berbuntut panjang.

Namun fenomena ini bukanlah ancaman, melainkan panggilan untuk meningkatkan profesionalisme. Dunia telah berubah, demikian pula cara mendisiplinkan anak. Kekerasan walau kecil dan walau bertujuan baik tidak lagi dapat dibenarkan. Disiplin tetap penting, tetapi pendekatannya perlu bergeser dari hukuman fisikal ke disiplin positif yang menekankan tanggungjawab, kesepakatan kelas, dialog, dan pembinaan karakter. Guru tetap boleh tegas dan menetapkan batas, tetapi tidak lagi dengan tangan yang keras. Wibawa tidak lahir dari ketakutan, melainkan dari keteladanan dan integritas.

Di sisi lain, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap suara sebahagian netizen yang menilai bahwa tindakan keras seorang kepala sekolah terhadap murid yang kedapatan merokok masih dapat difahami. Dalam pandangan mereka, disiplin tegas dianggap perlu ketika perilaku murid telah melampaui batas, apalagi berkaitan dengan kebiasaan merokok yang jelas berbahaya dan melanggar aturan sekolah. Mereka melihat tindakan tersebut sebagai bentuk “cinta keras” demi masa depan anak, bukan semata-mata kekerasan. Persepsi ini hidup kerana banyak orang dewasa hari ini tumbuh dalam kultur disiplin tradisional dan merasakan manfaatnya. Walau demikian, pandangan semacam ini tetap perlu dikritisi agar tidak berkembang menjadi pembenaran atas kekerasan fisikal. Kehadirannya membantu kita memahami bahwa masyarakat masih mencari bentuk disiplin yang efektif di tengah perubahan norma pendidikan.

Sebahagian orang mungkin berpendapat bahwa moral lebih penting daripada prestasi akademik dan itu benar. Tetapi moral tidak pernah lahir dari rasa takut. Ia tumbuh dari hubungan yang sehat antara guru dan murid, dari komunikasi yang membina, dari kebiasaan baik yang diulang setiap hari, dan dari teladan yang diperlihatkan secara konsisten. Guru adalah sosok yang menunjukkan bagaimana berperilaku, bukan yang membuat murid patuh kerana ancaman. Guru yang baik bukan yang paling galak, tetapi yang paling tegas dalam nilai dan paling sabar dalam membimbing.

Dalam dunia yang semakin tidak pasti ditandai oleh hoaks, polarisasi sosial, hingga kecanduan digital, murid kita bukan hanya perlu pintar, tetapi juga perlu kokoh secara moral. Dan ini tidak dapat diberikan oleh mesin. AI boleh menghasilkan esai, tetapi tidak dapat mengajarkan kejujuran. Internet boleh menjelaskan konsep, tetapi tidak dapat menumbuhkan empati. YouTube boleh menunjukkan eksperimen, tetapi tidak dapat menanamkan ketekunan dan tanggungjawab. Semua itu hanya tumbuh melalui interaksi manusiawi: di ruang kelas, dalam percakapan selepas belajar, dan dalam teladan yang dilihat murid dari gurunya setiap hari.

Di Hari Guru ini, kita perlu menegaskan kembali bahwa peranan guru tidak pernah hilang. Ia hanya berubah bentuk—dan bahkan semakin penting. Ketika dunia semakin canggih, manusia semakin memerlukan bimbingan moral. Ketika AI semakin pandai, manusia semakin memerlukan teladan. Ketika informasi semakin mudah didapat, nilai semakin perlu dijaga.

Pada akhirnya, guru bukan sekadar pengajar. Mereka adalah penyalur cahaya, penjaga nurani, dan penuntun generasi. Teknologi mungkin membantu kita melangkah, tetapi hanya guru yang mampu menunjukkan arah. Selama manusia hidup dalam dunia yang kompleks dan moralitas tetap menjadi taruhan, guru akan selalu menjadi fajar yang menyinari jalan masa depan.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *