Ocit Abdurrosyid Siddiq
Allah SWT telah memberikan sebuah berkah kepada manusia, yang tidak Dia berikan kepada makhluk lain. Misalnya malaikat dan setan. Berkah itu adalah akal.
Dengan akal, manusia dapat berpikir. Berbeda dengan malaikat dan setan. Keduanya tidak menggunakan pikiran untuk menjadi dasar tindakannya. Keduanya tidak punya akal.
Karena manusia mampu berpikir, maka dia bisa membedakan antara yang benar dan salah, antara yang baik dan buruk, antara yang pantas dan tidak pantas.
Oleh manusia, akal digunakan untuk meneliti, melakukan penelitian. Penelitian itu, sifatnya empirik dan rasional. Empirik artinya kasat mata. Rasional artinya kaharti ku akal.
Penelitian manusia menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan memunculkan ilmu. Ilmu melahirkan teknologi. Teknologi membantu hidup manusia.
Produk teknologi itu misalnya mesin tik. Dulu, zaman Bapak dan Ibu, serta Kaka dan Teteh angkatan baby boomer, waktu sekolah dan kuliah, mengenal mesin tik untuk menulis.
Teknologi kemudian berkembang. Ditemukanlah komputer, lalu laptop, tablet, handphone, dan bentuk gadget lainnya. Teknologi ini lebih canggih dibanding mesin tik.
Dalam perkara tulis menulis di kelas, dulu mengenal kapur. Lalu pakai spidol. Kini bisa dengan menggunakan layar sentuh memakai teknologi IFP. Seperti televisi gede jasa bantuan pemerintah untuk sekolah itu.
Dulu, bahan bacaan itu hanya buku, majalah, dan koran. Kini berubah dan bergeser menjadi digital; media sosial, website, dan portal media online.
Dulu, untuk menggandakan naskah menggunakan kertas karbon. Lalu ditemukan fotocopi. Kemudian berkembang menjadi scan dalam bentuk digital PDF.
Dulu, untuk nelpon mesti diengkol. Lalu ditemukan PSTN. Kemudian handphone. Dulu, telpon hanya bisa dipakai untuk bicara. Lalu bisa berkirim SMS, bahkan video call.
Karena manusia senantiasa berpikir, melakukan penelitian, maka setiap saat muncul hal baru sebagai produk teknologi. Yang terbaru adalah artificial intelligence atau AI.
AI ini bisa mengadakan, meniadakan, mengganti, mengubah, mengedit, dan merekayasa sesuatu. Dengan AI, keperluan atau kebutuhan manusia bisa terbantu.
Misalnya saya. Saya bukan pemusik, bukan penyanyi. Hanya suka menyanyi, dan sedikit bisa menulis lirik. Dengan bantuan AI, saya bisa menciptakan lagu dalam tempo singkat.
Kini saya bisa menciptakan lagu dalam beberapa menit saja tanpa harus bisa atau mampu menguasai alat musik atau paham nada musik, apalagi not balok.
Saya sudah menciptakan lebih dari 50 buah lagu dengan beragam genre; slow rock, pop melayu, reggae, ska, mars, hymne, hingga dangdut koplo.
AI membantu saya. Tetapi, AI juga bisa menjadi bumerang, bahkan menjadi alat fitnah yang dapat merusak tatanan hidup manusia. AI bisa mashlahat, tapi bisa juga madharat.
Misalnya ketika beredar video yang menayangkan seolah-olah ucapan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani beberapa waktu lalu. Gegara AI, dia seolah mengatakan bahwa “guru itu beban negara”.
Padahal, dia tidak pernah menyebutkan demikian. Akibatnya, publik terprovokasi. Rumah dan harta kekayaannya dijarah masa. Masa yang marah gegara ucapan yang dia tidak ucapkan.
AI bisa meniadakan yang ada, dan sebaliknya, mengadakan yang tiada. Sri Mulyani tidak mengatakan begitu. Tapi dalam video yang beredar, dia mengatakan begitu. Dia korban fitnah.
Produk AI juga bisa kita temukan dalam bentuk lain. Misalnya tayangan dalam bentuk video, yang berisi sebuah berita. Padahal, faktanya tidak ada. Tapi berkat AI, seolah ada.
Simpulannya, tidak setiap yang ada itu nyata. Tidak setiap yang nyata itu fakta. Tidak setiap fakta itu benar. Tidak setiap yang benar itu baik. Dan tidak setiap yang baik itu bermanfaat.
Karenanya, mari kita lebih selektif dalam menerima dan berbagi informasi. Jangan karena cocok dan pas lalu dengan enteng membagikannya. Padahal tidak valid.
Mari membiasakan diri untuk selalu saring sebelum sharing, kaji sebelum bagi, dan kupas sebelum copas. Dengan begitu, semoga kita tidak masuk dalam rantai penyebaran hoax.
Bagaimana caranya untuk memilah informasi antara yang sahih dengan yang hoax, mana yang valid dan mana yang palid, mana yang benar dan mana yang salah?
Gampang! Kalau kita mendapat sebuah kiriman informasi di handphone, cari pembanding informasi yang sama di televisi, website resmi, atau portal media online mainstream.
Kalau informasi yang bersumber dari WA, Tiktok, YouTube, itu bisa dilakukan oleh setiap orang. Karenanya, rentan dengan informasi yang tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Sementara televisi itu institusi besar. Portal media online mainstream seperti detiknews, kompas.com, tribunnews, viva.com, dan yang semacamnya merupakan portal media besar.
Mafhumnya, mereka kecil kemungkinan melakukan kebohongan secara berjamaah. Jadi, berita yang ada pada portal media tersebut, bisa menjadi pembanding informasi.
Kalau informasi yang kita terima lewat WA yang dikirim oleh anggota group ternyata tidak tersua dalam televisi atau portal media pembanding tersebut, kemungkinan itu hoax. Gampangnya begitu.
Yang kasihan, karena ketidaktahuan, atau ketidakpahaman, di antara kita kadang ada yang menjadi bumbu penyedap atas sebuah informasi yang sejatinya tidak sahih.
Puguh sebuah informasi yang dibagikan tersebut adalah hoax, tapi karena merasa cocok, langsung disambar dan dihantam dengan komentar yang menguatkan. Lengkap sudah.
Bagaimana caranya mengidentifikasi tayangan video, apakah benar atau tidak? Itu bisa kita temukan dalam bentuk atau model tayangan tersebut. Nah, perkara ini butuh skill.
Perkara skill ini, kita akan bahas pada tulisan saya berikutnya. Pesan saya, mari kita lebih tepat, cermat, dan bijak dalam bermedia sosial.
Jangan serampangan dan sembarangan membagikan sebuah informasi, sebelum dipastikan apakah informasi tersebut, benar, baik, dan bermanfaat.
Jangan sampai menjadi pelaku rantai penyebaran hoax. Karena fitnah di media sosial yang kadung tersebar, sangat sulit untuk ditarik kembali. Kalau sudah begitu, akan jadi jariyah dosa yang tidak berkesudahan.
Wallahualam.
*
Banjarsari, Sabtu, 29 November 2025
Penulis adalah pengurus ICMI Orwil Banten




