Oleh : Adung Abdul Haris
I. Prolog
Pada tulisan kali ini, penulus mencoba untuk mengeksplorasi hubungan antara filsafat Islam dan Barat, terutama ketika di “Abad Kegelapan Eropa”, yakni pada periode ketika dunia Islam mengalami masa keemasan terutama dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Lebih dari itu, tulisan kali ini mencoba untuk mengkaji serta menjelaskan, bagaimana para filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd, mereka akhirnya bisa menyelaraskan antara akal dan wahyu, dan kemudian meletakkan fondasi intelektual yang secara signifikan mempengaruhi pemikiran rasional di Eropa (terutama di zaman Renaisanse).
Namun pada akhirnya, ilmu pengetahuan Islam yang cemerlang itu, dicuri kembali oleh Barat (Eropa), yaitu berawal dari proses penerjemahan karya-karya para filsuf Muslim, dan kemudian mereka terjemahkan ke dalam bahasa Latin, terutama berawal dari wilayah seperti Andalusia dan Sisilia (Sepanyol), dan itu menjadi jembatan bagi kemajuan intelektual di dunia Eropa hingga saat ini, yang berkontribusi pada kebangkitan Renaisans dan tradisi skolastik. Bahkan, warisan filsafat Islam sangat mempengaruhi perkembangan ilmu kedokteran, matematika, astronomi, dan metodologi ilmiah modern.
Oleh karena itu, tulisan kali ini mencoba ingin menekankan betapa pentingnya untuk menghidupkan kembali pemikiran filsafat Islam, hal itu untuk menjawab tantangan kontemporer, khususnya dalam membangun peradaban yang menjunjung tinggi keadilan, toleransi, dan rasionalitas. Karena, filsafat Islam berfungsi sebagai jembatan intelektual antara peradaban Timur dan Barat dan menawarkan solusi bagi krisis epistemologis dan eksistensial modern.
II. Zaman Keemasan Islam
Zaman keemasan Islam adalah periode kemajuan intelektual dan budaya yang luar biasa yang terjadi di internal umat Islam di dunia. Bahkan, saat itu dunia Eropa sedang bergelimang dengan kegelapan. Sementara zaman keemasan Islam itu sendiri berlangsung kira-kira dari abad ke-8 hingga ke-14 Masehi, terutama selama masa Dinasti Abbasiyah. Ciri khas utama zaman keemasan Islam, yaitu muncul dan masifnya “Gerakan Penerjemahan” (Translation Movement) teks-teks kuno, khususnya filsafat Yunani, ke dalam bahasa Arab.
A. Zaman Keemasan Islam
Zaman keemasan Islam mencapai puncaknya di Baghdad, yaitu Ibu Kota Abbasiyah, yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan terbesar di dunia pada saat itu. Para Khalifah Abbasiyah, seperti Harun al-Rasyid dan Al-Ma’mun, sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dengan mendirikan institusi pendidikan dan riset, yang paling terkenal, yaitu “Baitul Hikmah” (House of Widhfhom). Di Baitul Hikmah itulah para sarjana dari berbagai latar belakang, agama, dan etnis bekerja sama untuk mengasimilasi dan mengembangkan pengetahuan dari berbagai peradaban, termasuk Yunani, Romawi, Persia, India, dan Tiongkok.
B. Proses Penerjemahan Filsafat Yunani Kuno
Gerakan penerjemahan filsafat Yunani Kuno dimulai secara serius pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi, hal itu didorong oleh keinginan para penguasa Muslim untuk memperoleh dan mengintegrasikan sains dan filsafat kuno ke dalam kerangka Islam. Proses itu melibatkan beberapa tahapan kunci :
- Akuisisi Manuskrip.
Para khalifah mengirim utusan untuk mengumpulkan berbagai manuskrip kuno, terutama dalam bahasa Yunani, dari berbagai wilayah seperti dari Bizantium dan Persia. - Pusat Penerjemahan.
Baitul Hikmah berfungsi sebagai pusat utama untuk kegiatan gerakan penterjemahan itu. Di Baitul Hikmah, berbagai manuskrip diterjemahkan dari bahasa Yunani (atau terkadang melalui bahasa perantara seperti Suryani) langsung ke dalam bahasa Arab. - Peran Penerjemah.
Para penerjemah digaji dengan sangat tinggi dan memiliki status sosial yang tinggi pula. Sementara tokoh-tokoh kunci seperti Hunayn Ibn Ishaq (seorang dokter dan sarjana Kristen Nestorian), ia menerjemahkan banyak karya Plato dan Aristoteles, serta teks-teks medis dan ilmiah lainnya, ke dalam bahasa Suryani dan Arab. - Integrasi Dan Pengembangan.
Para filsuf Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibnu Rusyd (Averroes), mereka tidak hanya menerjemahkan karya-karya Yunani Kuno, tetapi juga menganalisis, mengkritik, dan membangun ide-ide baru di atas fondasi pemikiran Yunani, dan lalu mengintegrasikannya dengan teologi Islam. Sedangkan dampak hasil dari gerakan penerjemahan itu sangat signifikan. Karena, pengetahuan Yunani yang sebelumnya terancam hilang, akhirnya bisa berhasil dilestarikan, dikembangkan, dan pada akhirnya diteruskan kembali ke dunia Eropa pada Abad Pertengahan, dan memainkan peran penting dalam konteks untuk memicu “Renaisans” di dunia Eropa.
III. Pandangan Filsuf Muslim
Pandangan filsuf Muslim terhadap Barat hingga saat ini telah berkembang, yakni mulai dari pengakuan kontribusi intelektual yang signifikan selama abad pertengahan hingga kritik terhadap sekularisasi dan materialisme pada era modern saat ini.
A. Era Klasik : Jembatan Intelektual
Pada masa kejayaan peradaban Islam, “Barat” (Eropa Kristen) saat itu sebagian besar dilihat sebagai penerima warisan intelektual dari umat Islam, dimana para filsuf Muslim saat itu memang memainkan peran penting dalam melestarikan dan mengembangkan pengetahuan Yunani kuno. Ibnu Rusyd (Averroes) misalnya, ia dikenal sebagai “Sang Filsuf dari Barat” (wilayah Islam Spanyol/Andalusia). Bahkan, Ibnu Rusyd dipandang oleh orang-orang Barat sebagai sosok yang membuka jalan bagi rasionalisme di Eropa. Sementara karya Ibnu Rusy, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, sangat memengaruhi pemikiran Barat modern dengan menekankan keselarasan antara filsafat (akal) dan agama (wahyu), meskipun interpretasi tertentu dari ajarannya di Barat (Averroisme) kemudian memicu perdebatan teologis tersendiri. Kemudian saat itu muncul pula para filsuf Muslim lainnya seperti; Ibnu Sina (Avicenna), Al-Farabi, dan Al-Kindi. Para filsuf Muslim itu adalah tokoh sentral yang karya-karyanya terutama dibidang ilmu kedokteran, logika, metafisika, dan politik menjadi dasar bagi pendidikan dan ilmu pengetahuan di universitas-universitas Eropa selama berabad-abad.
B. Era Modern Dan Kontemporer : Kritik Dan Perbandingan
Di era modern, pandangan para filsuf Islam terhadap Barat akhirnya menjadi lebih kompleks, dan seringkali berfokus pada perbedaan mendasar dalam pendekatan terhadap pengetahuan, etika, dan masyarakat, dan yang lebih menonjol diantaranya :
- Sekularisasi
Banyak pemikir Muslim mengkritik peradaban Barat saat ini, karena Barat secara masif mempromosikan sekularisasi, yang dianggap mengikis nilai-nilai agama dalam kehidupan publik dan memisahkan agama dari politik serta hukum. - Rasionalisme vs Wahyu.
Filsuf Islam cenderung menekankan wahyu sebagai sumber pengetahuan tertinggi dan penuntun bagi akal, sementara mereka melihat filsafat Barat modern lebih menekankan sentralitas rasionalisme murni dan empirisme, yang terkadang mengabaikan dimensi metafisika atau spiritual. - Materialisme Dan Individualisme.
Beberapa filsuf Muslim banyak mengkritik filsuf Barat, karena terlalu fokus pada aspek materialistis, konsumerisme, dan individualisme, yang berpotensi terus merusak struktur sosial dan moralitas komunal yang ditekankan dalam konteks ajaran Islam. - Tanggapan Beragam.
Secara umum, ada dua respons utama, yaitu ada yang menerima modernisasi Barat dalam sains dan teknologi, tetapi menolak westernisasi dan nilai-nilai sosialnya. Sementara ada pula yang menolak pengaruh Barat secara keseluruhan. Singkatnya, “Barat” di mata para filsuf Muslim adalah entitas yang dinamis, namun awalnya merupakan mitra intelektual dan murid, kemudian menjadi sumber kekaguman sekaligus kekhawatiran moral di zaman modern saat ini.
IV. Averroisme
Averroisme adalah filsafat Ibnu Rusyd yang akhirnya berkembang di dunia Barat hingga saat ini. Sementara “Averroisme” itu sendiri merupakan suatu mazhab filsafat di abad pertengahan yang dinisbatkan pada pemikiran dan karya-karya dari Ibnu Rusyd di abad ke-12 M. Sementara filsafat Islam merupakan hasil pemikiran umat Islam secara keseluruhan. Sedangkan pemikiran umat Islam merupakan buah dari dorongan ajaran yang termaktub di dalam al-Quran dan hadis. “Avveroisme” dan pengaruh filsafat Islam ke Barat, akhirnya pada tulisan kali ini penulis mencoba menelisik (melakukan tela’ah kritis), terutama melalui riset kepustakaan (Library Research) sambil terus mengelaborasi dan memahaminya dari sisi hostoris-filosofisnya. Sedangkan teknik analisis yang digunakan oleh penulis adalah pada analisis isi dan substansi dari pemikiran Ibnu Rusy itu sendiri.
Adapun hasil dari analisis dan kotemflatif penulis, pada akhirnya penulis bisa menyimpulkan bahwa filsafat Ibnu Rusyd memang berkembang di Barat, yaitu melalui berbagai gerakan penerjemahan atas karya-karyanya. Sementara mazhab “Averroisme” ini, mencoba mengembangkan gagasan rasionalisme Ibnu Rusyd. Bahkan, dari semua hasil karya dari Ibnu Rusyd, akhirnya berdampak secara utuh pada pemikiran ilmiah di Eropa yang sedang bangkit dalam konteks ilmu pengetahuan saat itu (di akhir abad ke 12 M). Yakni, ketika bangsa Eropa sudah mulai memiliki kekuasaan dan menganggap penting terhadap hasil karya dari Ibnu Rusyd. Oleh karena itu, hasil karya dari Ibnu Rusyd itu akhirnya menjadi “Pusaka yang amat sangat berharga” dan sekaligus menjadi pisau analisis ilmiah yang tajam bagi kemajuan filsafat dan sains di dunia Eropa saat itu (antara abad ke 12 dan ke 13 M).
Dengan kata lain, “Averroisme” adalah filsafat Ibnu Rusyd yang berkembang di dunia Barat, yaitu suatu mazhab filsafat di abad pertengahan yang dinisbatkan pada pemikiran dan karya-karya Ibnu Rusy di abad ke-12 M. Sementara filsafat Islam itu sendiri merupakan hasil pemikiran umat Islam secara keseluruhan. Pemikiran umat Islam itu merupakan buah dari dorongan ajaran yang termaktub di dalam al-Quran dan hadis. Sementara “Averroisme” mencoba mengembangkan gagasan rasionalisme Ibnu Rusyd. Yakni, hasil karya dari Ibnu Rusyd, yang berdampak positif pada pemikiran ilmiah di Eropa yang memang sedang bangkit dalam konteks ilmu pengetahuan, terutama ketika bangsa Eropa memiliki kekuasaan dan menganggap penting terhadap hasil karya Ibnu Rusyd. Namun sangat disayangkan, karena hasil karya Ibnu Rusyd itu akhirnya malah diklaim menjadi milik bangsa Eropa. Padahal sejatinya, bahwa pemikiran Ibnu Rusyd atau “Averroisme” itu menjadi faktor penting dan pemicu dalam pemikiran Eropa yang melahirkan ilmu pengetahuan dan eksperimental modern.
A. Al-Kindi dan Harmoni Akal : Filsafat Islam yang Menjembatani Timur dan Barat
Dalam sejarah intelektual Islam, nama Al-Kindi (801–873 M), ia seringkaki disebut sebagai filsuf Arab pertama. Namun gelar itu terlalu kecil untuk menampung kebesarannya. Ia bukan hanya penerjemah gagasan Yunani ke dalam bahasa Arab, melainkan penyatu dua peradaban akal, yaitu “Timur yang spiritual dan Barat yang rasional”.
- Akal Sebagai Jembatan Wahyu Dan Ilmu
Bagi Al-Kindi, filsafat bukan sekadar logika yang kering, melainkan sarana untuk memahami kebijaksanaan Ilahi. Dalam karyanya yang berjydul “Fi al-Falsafah al-Ula” (Filsafat Pertama), ia menjelaskan bahwa kebenaran tidak punya bangsa dan agama. Jika filsuf Yunani menemukan kebenaran, maka seorang Muslim wajib menghargainya, karena kebenaran datang dari Tuhan, bukan dari geografi. Pernyataan dari Al-Kindi itu memang terlalu revolusioner, terutama ketika di zamannya. Ia menolak dikotomi antara wahyu dan akal. Baginya, wahyu memberi arah, dan akal memberi cara. Menurut Al-Kindi, “Iman tanpa akal adalah kebutaan, sementara akal tanpa iman adalah kesombongan”.
- Sains Dan Musik Sebagai Bahasa Harmoni
Al-Kindi adalah polimath sejati, karena ia juga menulis tentang matematika, kedokteran, kimia, dan musik. Sementara dalam risalah musiknya, ia menjelaskan bahwa harmoni nada mencerminkan harmoni kosmos, yaitu sebuah metafora filosofis bahwa alam semesta bergerak dengan keteraturan yang bisa dipahami akal. Baginya, memahami ilmu pengetahuan adalah bentuk “dzikir intelektual”, yaitu mengenal Tuhan lewat keteraturan ciptaan-Nya. Dan itulah keindahan pemikiran Al-Kindi, karena akal bukan alat tanding bagi iman, tapi sebagai jembatan menuju pemahaman yang lebih tinggi.
- Pengaruh Yang Melintasi Peradaban
Pemikiran Al-Kindi menjadi fondasi bagi filsuf besar setelahnya. Karena, mulai dari zaman Al-Farabi, Ibnu Sina, hingga Averroes, dan ternyata dari tangan mereka-lah, filsafat Yunani diterjemahkan, disistematisasi, lalu dikembalikan dan bahkan direbut kembali oleh pihak Barat, yaitu melalui Andalusia (Spanyol). Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusy, merupakan mata rantai yang menghubungkan Plato dengan Aquinas, dan Baghdad dengan Athena.
- Menghidupkan Kembali Tradisi Akal
Sementara warisan dari Al-Kindi, yaitu mengingatkan bahwa Islam tidak pernah takut pada akal. Justru dengan akal-lah, iman menjadi kokoh dan ilmu menjadi terang. Di tengah zaman yang sering memisahkan logika dari spiritualitas, justru pemikiran Al-Kindi terasa seperti sebuah obat penawar. Karena sejatinya, bahwa berpikir adalah bentuk ibadah, dan harmoni sejati lahir, yaitu ketika akal dan iman saling harmoni dan bersalaman.
V. Kecemerlangan Ibnu Rusyd Dalam Filsafat Paripatetik
Menurut Ghulam Hossein Ebrahim Dinani (penulis buku pemenang pertama pada acara festival tahunan para penulis buku, terutama di negara Iran, pada tahun 2007, terutama dalam kategori filsafat Islam). Ghulam Dinani menjelaskan, bahwa pihak sejarawan Barat hingga saat ini mereka memandang bahwa filsafat Islam telah mengalami kemunduran. Bahkan, dunia Islam menjadikan filsafat secara umum telah musnah. Sekalipun anggapan itu tidak benar sepenuhnya, namun hal itu sebagai bukti bahwa semangat penentangan terhadap filsafat ketika terjadi polemik antara Imam Al-Ghazali dan Inbu Rusy hingga saat ini masih tersisa. Bahkan, hebatnya setelah terjadi penentangan (polemik) antara para filsuf dan para teolog di abad ke 12 dan ke 13 M, maka sejak saat itu pula tidak ada lagi para filosof Muslim yang muncul terutama di kawasan timur dunia Islam.
Namun dalam konteks perjalanan sejarahnya, bahwa dimensi filsafat di dunia Islam, telah melalui berbagai periode. Mengingat perjalanan filsafat di dunia Islam dimulai secara resmi di abad ke 2 dan ke 3 Hijriyah, yaitu berbarengan dengan proses penerjemahan karya-karya pemikir Yunani Kuno. Namun sebelumnya, kajian teologi cukup digandrungi di dunia Islam, dan saat itu filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Sedangkan sang filsuf Muslim pertama, yaitu Abu Ishaq al-Kindi (185-260 H), ia kemudian disusul oleh Abu Nasr al-Farabi. Mereka adalah para filsuf Muslim pertama yang mengonsep filsafat Islam. Bahkan, Al-Farabi selama hidupnya, berusaha mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, pada akhirnya salah menganggap buku Ontologia tulisan Plotinus itu sebagai milik Aristoteles. Itulah mengapa tanpa disadarinya, ia malah terpengaruh oleh “Neo Platonisme”. AL-Farabi termasuk penggagas filsafat “Paripatetik”, namun akhirnya berhadap-hadapan langsung dengan “Filsafat-Irfani”, yakni dengan Syaikh Maqtul Suhrawardi. Sementara Abu Ali Sina (Ibnu Sina), ia salah seorang filsuf Muslim yang menggabungkan aliran filsafat Paripatetik. Dengan kejeniusannya, ia telah menuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan, bahkan ia telah berhasil mendidik muridnya (Bahmaniyar) menjadi salah seorang pemikir berbakat dalam filsafat Paripatetik.
Sedangkan masa keemasan filsafat Paripatetik berada di tangan Ibnu Sina. Faktor itu membuat filsafat menjadi faktor penentu budaya dan penentu ilmu-ilmu yang lain. Dengan Ibnu Sina, para teolog dan para filsuf menjadi tertantang. Dan bahkan saat itu, para teolog tertantang dan sekaligus menganggap bahwa argumentasi para falsafi itu seperti tongkat kayu yang rapuh. Bahkan, para teolog saat itu mulai kasak-kusuk untuk menjauhkan filsafat dari kaum muslimin. Mereka mengnggap bahwa jalan terbaik dan terdekat dan satu-satunya cara untuk mengenal “al-Haq” adalah dengan membersihkan hati dan ibadah. Karena filsafat hanya akan membuat orang terus menjauh dari jalan yang sebenarnya.
Dengan kata lain, para teolog saat itu tidak menerima filsafat. Mereka berpendapat apa yang diungkapkan oleh para filsuf Muslim bertentangan dengan al-Quran dan Hadis, bahkan Islam menolak filsafat. Sementara salah seorang teolog besar yang berpolemik dengan para filsuf (namun proses pelemiknya secara tidak langsung, karena kurun waktu dan zamannya yang berbeda), yakni antara zaman Imsm Al-Ghazali (seorang teolog) dengan Ibnu Rusy (seorang filduf). Dimana saat itu Imam Al-Ghazali menetang keras pemikiran para filsafat. Bahkan, Imam Al-Ghazali yang dipengaruhi oleh pemikiran tasawwuf itu menyebutkan bahwa dalam 20 pendapat sang filsuf Ibnu Sina, menurut Imam Al-Ghazali, memang sangat bertentangan dengan Islam. Bahkan, dalam tiga pandangannya telah sampai pada batas kafir. Tiga pandangan Ibnu Sina yang dianggap kafir oleh Imam Ghazali diantaranya : (1). Keyakinan akan qidamnya alam. (2). Pengingkaran akan ilmu Allah atas obyek-obyek parsial dan kasuistik. (3). Pengingkaran terhadap hari kebangkitan manusia dengan jasad.
Setelah Imam Al-Ghazali, para pemikir dan teolog yang paling menentang filsafat, yaitu muncul puls Fakhruddin ar-Razi. Ia meyakini bahwa ide-ide filsafat Paripatetik dan semua terjemahan pemikiran Yunani itu, membuat agama menjadi kering. Bahkan, penentangan terhadap filsafat dan pembakaran buku-buku filsafat membuat filsafat Islam mengalami kemunduran. Akhirnya, para sejarawan Barat memandang bahwa kemunduran filsafat Islam di belahan timur dunia Islam, menjadikan filsafat secara umum telah punah di kawasan itu (di dunia Islam).
Sekalipun anggapan itu tidak benar sepenuhnya, namun hal itu telah menunjukkan bahwa semangat penentangan terhadap filsafat sangat kuat (terutama mulai akhir abad ke 12 M). Hebatnya penentangan yang dilakukan oleh para teolog saat itu, mengakibatkan tidak ada lagi para filsuf Muslim yang muncul dari kawasan timur dunia Islam. Ketika filsafat mengalami kemunduran di kawasan timur dan di dunia Islam, saat itu malah muncul beberapa filsuf di kawasan Barat. Mereka adalah Ibnu Bajah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd. Sementara Ibnu Bajah, ia mengkonsentrasikan ide-idenya untuk melawan tasawwuf. Ia menganggap bahwa tasawwuf sendiri sebagai hijab dan penutup manusia dari kebenaran, yaitu kebalikan dari cara pandang para teolog yang menganggap bahwa filsafat juga tidak benar dan bahkan dianggap haram dll.
Lebih dari itu, Ibnu Bajah menganggap bahwa satu-satunya jalan untuk mengenal adalah filsafat. Karena filsafat tidak dicampuri oleh segala macam kelezatan fisik. Ia menambahkan bahwa kemungkinan inilah yang membuat para filosof diasingkan oleh masyarakat yang bodoh. Setelah Ibnu Bajah, muncul pula Ibnu Thufail dengan kisah monumentalnya “Hayyu bin Yaqzhan”. Kisah itu membuatnya sangat terkenal. Dalam cerita falsafinya itu, ia berusaha untuk membuktikan bahwa manusia dengan perangkat akalnya akhirnya bisa mengenal Allah. Kemampuan itu dapat diraih sekalipun tanpa bantuan wahyu dan Nabi. Bahkan, cerita itu mendapat perhatian dari dunia Barat, sehingga orang-orang Barat (Eropa) menerjemahkannya dalam berbagai bahasa. Dan termasuk oleh sang peneliti yang bernama Daniel Defoe, yang menciptakan tokoh “Robinson Crusoe” ia benar-benar dipengaruhi oleh ide dari Ibnu Thufail.
Sebegitu terkenalnya kedua pemikir dan filsuf itu (Ibnu Tufail dan Robinson Crusoe), namun mereka juga masih di bawah bayang-bayang dari Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd atau Ibnu Rusy (520-595 H). Hal itu karena pengaruh Ibnu Rusyd saat itu lebih kuat dari keduanya. Ibnu Rusyd seperti tokoh-tokoh filsafat Paripatetik lainnya, ia berusaha untuk mengharmoniskan antara filsafat dan agama. Selain itu, ia juga menulis buku berjudul “Tahafut at-Tahafut”. Terbitnya buku tersebut demi untuk menjawab tulisan dari Imam Al-Ghazali yang berjudul “Tahafut al-Falasifah”. Bahkan, dalam membela pemikiran filsafat, Ibnu Rusy sampai pada kesimpulan bahwa hanya filsuf-lah yang mengetahui rahasia-rahasia al-Quran dan yang berhak untuk mentakwilkannya. Ibnu Rusyd menganggap bahwa kritikan Imam Al-Ghazali terhadap filsafat, memang muncul karena gara-gara pemikiran dari Ibnu Sina yang saat itu kurang mampu menjelaskan filsafat sebagaimana yang dijelaskan di dalam bukubuku hasil karya dari Ibnu Sina itu sendiri.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd akhirnya menjawab kritikan dari Imam Al-Ghazali itu, dan sekaligus mengkritik Ibnu Sina juga. Bahkan, perbedaan Ibnu Rusyd dengan Al-Farabi dan Ibnu Sina, yaitu pada pengaruh ide-ide “Neo Platonisme”. Karena, Ibnu Sina dan Al-Farabi, mereka banyak dipengaruhi oleh ide “Neo Platonisme”. Sementara Neo Platonusme menolak ide penciptaan dari tiada dan menetapkan keabadian materi. Akhirnya Ibnu Rusy menulis syarah buku-buku dari Aristoteles yang sampai saat ini buku syarah-syarah yang ditulis oleh Ibnu Rus itu, masih dikaji oleh para pengamat pikiran-pikiran Aristoteles. Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh William David Rush, yakni salah seorang peniliti pikiran-pikiran Aristotels dalam buku-bukunya, yang masih menggunakan penjelasan dari Ibnu Rusyd.
Dengan syarah-syarahnya atas buku Aristoteles, malah pemikiran Ibnu Rusy hingga saat ini masih banyak dikaji di Barat. Lebih dari itu, Ernest Renan, menganggapnya bahwa Ibnu Rusy adalah orang yang berpemikiran bebas. Tapi, sebelum Ibnu Rusy untuk menetapkan sebuah istilah, ia juga secara substantif tidak mempertentangkan antara wahyu dan akal. Bahkan, pengaruh Ibnu Rusyd di Barat hingga saat ini dapat dilacak lewat tulisan-tulisan para pemikir Barat, terutama di abad pertengahan yang menimbulkan semakin luasnya ide “Rasionalisme” di dunia Barat. Ironisnya, pengaruh Ibnu Rusy di Barat kenyataannya tidak sepadan dengan respon kaum muslimin di kawasan timur dunia Islam, mungkin akibat pengaruh tasawwuf yang cukup kuat, yang akhirnya membuat pikiran-pikiran filsafat Ibnu Rusyd tidak dikenal di dunia Islam.
Bahkan, dengan penjelasan yang lebih detil menurut Ernest Renan, terutama di periode awal abad ke 13 M, perjalanan filsafat Islam memang ada ketaktertautan yang menganga (filsafat Islam mengalami degradatif). Karena di satu sisi, Ibnu Rusyd tidak dikenal oleh kaum muslimin, sementara di sisi lain, dengan meninggalnya Ibnu Rusyd, malah Barat menganggap filsafat Islam telah tutup dan musnah. Akhirnya, kemunculan para filsuf seperti Suhrawardi, Khajah Nashiruddin at-Thusi, Mir Damad dan Mulla Shadra, mereka akhirnya tidak dikenal. Sementara buku “kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik”, terutama dalam bahasa Persia berjudul “Derakhshesh-e Ibnu Rusyd Dar Falsafe-ye Massha”, merupakan buku yang secara terperinci membahas ide-ide filsafat dari Ibnu Rusyd.
Oleh karena itu, Profesor Ghulam Hossein Ebrahimi Dinani, dengan pengalaman bertahun-tahun ia terus mengajar dan menulis filsafat, ia berusaha memperkenalkan kembali kecemerlangan pemikiran dari Ibnu Rusyd yang tidak terlalu dikenal di dunia Islam, bahkan ia menyebutkan “Ibnu Rusyd begitu terkenal di pusat-pusat penelitian dunia”, namun diantara para filosof Iran sendiri, nama Ibnu Rusy tidak begitu dikenal, dan itu bukan omong kosong manakala ada yang mengatakan, bahwa selama delapan abad setelah meninggalnya Ibnu Rusyd, memang belum ada lagi buku berbahasa Parsi yang terbit di dunia Islam dan sekaligus ditulis untuk menjelaskan berbagai pemikiran dari Ibnu Rusy. Dan akhirnya, itulah yang mendorong Profesor Ghulam Hossein Ebrahim, untuk menulis buku filsafat di tahun 2007, dan menjadi pemenang pada acara festival di tahun 2007, terutama dalam kategori kajian filsafat. Profesor Ghulam, berusaha untuk membahas dan menganalisa pikiran-pikiran Ibnu Ruysd. Sekaligus sebagai buku pertama yang ditulis dalam bahasa Parsia, dalam rangka mengkaji secara terperinci pemikiran Ibnu Rusyd. Karena menurut Profesor Ghulam, bahwa kecemerlangan Ibnu Rusyd dalam filsafat Paripatetik yang maha luar biasa itu, memang diungkapkan oleh Profesor Ghulam di dalam kata pengantar buku yang ia tulisnya. Bahkan, di dalam kata pengantar buku karya Profesor dari Ghulam itu, dibahas juga tentang hubungan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani. Bahkan, di akhir kata pengantar buku karya Profesoe Ghulam itu, dinyatakan bahwa Ibnu Rusyd diperkenalkan sebagai filsuf yang mengikuti ide-ide Aristoteles dan membela pemikiran Yunani.
Profesor Ghulam menganggap bahwa kebanyakan filsuf muslim, terutama Al-Farabi dan Ibnu Sina, dalam mengkaji ide-ide Aristoteles tidak mengambil sikap pasif, namun aktif melakukan kritik. Dengan alasan itu, maka kedua filosof itu tidak murni menganut pikiran Aristoteles. Bahkan, pikiran filsafat mereka dipengaruhi juga oleh Plato, atau “Neo Platonisme” serta dipengaruhi oleh pikiran mereka sendiri yang muncul ketika mereka melakukan kritik terhadap pikiran Aristoteles. Atas dasar itulah, Ibnu Rusyd menganggap, bahwa Ibnu Sina telah keluar dari bingkai pemikiran Aristoteles.
Lebih dari itu, Profesor Ghulam Ebrahimi Dinani, meyakini bahwa kebenaran tuduhan Ibnu Rusyd terhadap Ibnu Sina. Namun, itu tidak berarti kekurangan Ibnu Sina, melainkan untuk menunjukkan kebebasan berpikir dari Ibnu Sina. Dan di situlah kelebihan Ibnu Sina. Menurut Ghulam Dinani, dengan melihat penilaian Ibnu Rusyd atas Ibnu Sina, maka kita dapat mengetahui bahwa Ibnu Rusy benar-benar sebagai perwakilan pemikiran Aristoteles.
Sementara di Bab pertama di dalam buku karya Ghulam Dinani, yaitu membahas “Pengaruh pemikiran Ibnu Ruysd dan Ibnu Sina terhadap karya-karya filsafat Barat di abad pertengahan”. Di bab tersebut, Ghulam Dinani membeberkan bagaimana Ibnu Ruysd dipengaruhi oleh ide-ide pemikir Islam sebelumnya. Selain itu, Ghumam Dinani juga menjelaskan pengaruh pemikiran Ibnu Rusyd selama empat abad dalam pemikiran Barat. Ia membawakan dialog antara pemikiran Ibnu Ruysd dengan para pendeta. Sementara karya Ibnu Rusyd pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa latin, yaitu pada abad ke 13 M. Bahkan, bukunya diajarkan dan menjadi primadona di universitas-universitas di Eropa. St. Aquinas, yaitu sang pemikir paling terkenal di abad pertengahan, ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Ibnu Rusyd. Sementara di kalangan Yahudi yang terpengaruh pemikiran Ibnu Ruysd seperti; Musa bin Maimun, Yossef bin Yahuda dan pemikir-pemikir Yahudi Andalusia. Mereka menyebut Ibnu Rusyd sebagai semangat dan akal Aristoteles.
Sedangkan di Bab kedua di dalam buku karya Profesor Ghulam Dinani berjudul “Hakikat ganda atau dua hal yang dicerap dari hakikat yang satu”. Di bab kedua itu ia berbicara tentang substansi hakikat menurut pandangan Ibnu Rusyd. “Hakikat ganda” atau “hakikat muzdawij” merupakan pandangan khas milik Ibnu Rusyd. Pendapat tersebut sangat menarik perhatian pemikir-pemikir Barat. Sedangkan yang dimaksud dengan ide hakikat ganda Ibnu Rusyd adalah “Memiliki arti bahwa Ibnu Rusyd ingin membedakan antara hakikat yang dibawa oleh agama dan hakikat yang dipahami oleh para filosof”. Setelah menukilkan dan menjelaskan teori hakikat ganda milik Rusyd, Ghulam Finani kemudian melakukan analisa kritis terhadapnya. Yang paling menarik di bab kedua adalah usaha Ghulam Dinani untuk menerapkan teori ini dalam berbagai disiplin ilmu; dimulai dari hubungan antara agama dan negara sampai masalah pluralisme agama. Pada akhir dari bab kedua, Ghulam Dinani menukil ibarat dari Ibnu Rusyd dan menganalisanya dan menyimpulkan bahwa sebenarnya ide Ibnu Rusyd tidak bermakna ada dua hakikat tapi ada dua tingkatan hakikat; yaitu hakikat batin dan hakikat lahir. Mereka yang meyakini bahwa hakikat ada dua, dan bukan dua tingkatan, tidak tepat dalam memahami ibarat Ibnu Rusyd.
Di Bab ketiga berjudul “Musuh para teolog telah menggantikan mereka”. Pada bab ketiga ini, dapat ditemukan kajian Ghulam Dinani tentang hubungan pemikiran keagamaan Ibnu Rusyd dan Imam Al-Ghazali. Di sini, Ghulam Dinani membawakan contoh-contoh pentakwilan dari Ibnu Rusyd. Setelah membawakan contoh-contoh itu, Ghulam Dinani kemudian melakukan analisa. Akhirnya, Profesie Ghulam Dinani meyakini bahwa kritikan dan cibiran Ibnu Rusyd terhadap para teolog, karena Ibnu Rusyd dari sisi kefaqihan dan pemikirannya membuatnya lebih mirip ahli teolog juga.
Bab keempat membicarakan usaha Ibnu Rusyd untuk mengharmoniskan fiqih dan filsafat. Cara pandang ibnu Rusyd terhadap fiqih membawa pada keyakinan akan terbukanya pintu ijtihad. Sayangnya, itu tidak diikuti dengan penjelasan yang lebih tentang substansi ijtihad dan bagaimana terbukanya pintu ijtihad itu. Sementara Bab kelima berjudul “Tahafut at-Tahafut” dimana Ibnu Ruysd melakukan kritikan terhadap Imam Al-Ghazali dan kepada Ibnu Sina”. Bab kelima ini memang menganalisa dua buku masyhur dari Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Di sela-sela itu, Ghulam Dinani juga membawakan pemikiran Ibnu Sina. Bab itu sangat menarik, karena Ghulam Dinani secara terperinci dan luas mengkaji dinamika dan kehidupan (aktivitas sosial Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina). Informasi itu sangat menarik karena menyingkap banyak hubungan-hubungan yang selama ini tidak diperhatikan. Dengan membaca buku karya dari Profesor Ghulam Hossein Ebrahim Dinani, setidaknya kita tau, bahwa ketika zaman dulu memang pernah terjadi polemik (debat keilmuan) antara para filsuf dan para teolig di internal umat Islam zaman klasik.



