Oleh : Adung Abdu Haris
I. Prolog
Dalam sebuah perjalanan di suatu lingkungan Kampus yang tradisi intelektualnya sudah cukup mapan dan melembaga, saya mencoba singgah di lokasi tempat diskusi para Mahasiswa, dan kebetulan di sebelah tempat diskusi para Mahasiswa itu, ada perpustakaan yang reperensi buku-bukunya cukup lengkap. Bahkan, di perpustakaan tersebut secara tidak sengaja, saya menemukan sebuah buku berjudul “The Death of Expertise : The Campaign against Established Knowledge and Why It Matters” (Kematian Kepakaran : Kampanye Melawan Pengetahuan yang Mapan dan Mengapa Itu Menjadi Masalah). Buku tersebut merupakan karya dari Tom Nichols (2017). Ketika saya memegang dan menco membaca buku itu, saya malah terpaku pada judulnya, dan saya terus tergelitik untuk membaca buku itu. Hal yang membuat saya terperangah lagi, karena di isi buku tersebut menggelorakan keresahan yang sama dengan apa yang tengah dialami oleh masyarakat Indonesia saat ini, yaitu soal literasi yang serba instan. Semula saya menduga, gelombang literasi instan itu, yakni melalui media sosial yang akhir-akhir ini mendominasi hampir semua wacana dalam kehidupan, hanya terjadi di Indonesia. Tapi ternyata tidak juga, karena dalam isi buku karya dari Tom Nichols itu, setidaknya menjadi bukti bahwa gejala itu (literasi yang serba instan) memang terjadi secara global di seluruh dunia, dan konnon katanya termasuk di melanda Amerika juga. Bahkan, Tom Nichols membuka isi bukunya (terutama di bagian prolog) dengan jelas memaparkan apa yang sedang terjadi di Amerika Serikat, yaitu menyangkut informasi dan pengetahuan. Menurutnya, hidup di era informasi seperti saat ini justru banyak melahirkan apa yang ia sebut sebagai “ignorance” atau kedunguan (di kalangan oknum publik).
Lebih dari itu, Tom Nichols di dalam bukunya (2017: ix-x) menulis, “… Amerika Serikat sekarang ini adalah sebuah negara yang terobsesi dengan kedunguan (ignorance-nya) sendiri… Masalahnya, bukan pada kenyataan bahwa orang tidak memahami geografi… Masalah yang lebih besar adalah kita bangga karena tidak mengetahui banyak hal.” Tak terlalu sulit menyetujui pengamatan Tom Nichols atas apa yang terjadi di Amerika Serikat itu. Karena “ignorance” dan “kegandrungan pada literasi instan itu” menggejala demikian massif, maka apa yang disebut sebagai kepakaran terancam mati. Ya, tidak berarti benar-benar mati. Tetapi setidaknya kepakaran berada dalam ancaman serius. Kata Nichols, ”… dengan kematian para pakar, saya tidak mengatakan bahwa kemampuan kepakaran benar-benar telah musnah…” Secara praktis, “…dokter, pengacara, diplomat, insinyur dan keahlian-keahlian dalam bidang lain akan tetap selalu ada. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, tidak mungkin dunia berfungsi tanpa mereka. Jika kita mengalami patah tulang misalnya, atau ditangkap (polisi), kita memanggil seorang dokter atau pengacara.” Tetapi, kata Tom Nichols bukan keahlian dalam bidang-bidang teknis ini yang ia maksudkan. Lebih dari itu adalah keahlian dalam bidang intelektual yang seolah-olah tak lagi dibutuhkan masyarakat. Dalam konteks Amerika, apa yang dikhawatirkan oleh Tom Nichols adalah berkaitan dengan kebijakan publik. Masyarakat sudah tidak pernah lagi menganggap penting adanya akademia di kampus-kampus, dan merasa tak perlu belajar kepada para pakar, karena ada perasaan mereka telah mengetahuinya melalui internet.
Di Indonesia sama juga keadaannya, tetapi bidang yang lebih sering dijadikan perdebatan adalah dibidang keagamaan, terutama di internal umat Islam. Saat ini, seolah-olah tidak perlu lagi berguru kepada Kiyai, namun tinggal cukup klik di internet, semua bentuk fatwa para ulama akan banyak keluar. Itulah salah satu fakta yang dihawatirkan dan sekakigus dipotret (dikritisi) oleh Dr. Nadirsyah Hosen. Hal itu sebagaimana ia jelaskan di dalam sebuah tulisannya (artikelnya) berjudul “Fatwa in Indonesia : From Fatwa Shopping to Googling A Kiai”. Lebih dari itu menurut Dr. Nadirsyah Hosen, dalam situasi yang sedemikian rupa, akhirnya keberadaan lalu buku, seolah-olah menjadi tidak bermakna. Bahkan, para pakar yang menulis buku juga seolah-olah menjadi tak berharga juga. Padahal buku memainkan peran penting dalam transmisi intelektualisme dalam sebuah peradaban.
Sementara dalam tradisi intelektualisme Islam, buku bisa dijadikan sebagai salah satu ukuran kualitas intelektual seorang sarjana. Tapi, coba kita bayangkan, jika para sarjana Muslim di zaman klasik dan di zaman pertengahan Islam (para ilmuan Muslim) seandainya mereka tidak menulis buku sesuai dengan kepakaran mereka masing-masing, bagaimana kita yang hidup ratusan tahun setelah mereka, yakni untuk bisa mendalami warisan intelektual mereka, baik dalam bidang ilmu-ilmu keislaman maupun dalam bidang-bidang yang lain?
Khaled Abou El Fadl, seorang sarjana Muslim asal Kuwait yang bermukim di Amerika Serikat misalnta, ia menulis sebuah buku yang bermaksud untuk menunjukkan betapa penting menulis buku, hal itu untuk mempertahankan tradisi intelektual. Sementara idealisme ilmu adalah sebuah perjuangan yang melelahkan memang. Bahksn, fi dalam bukunya berjudul “The Search of Beauty in Islam: A Conference of the Book” (2006), Khaled ingin menunjukkan bahwa salah satu cara memahami keindahan Islam adalah dengan melihat kepada tradisi intelektual yang demikian kuat dalam Islam. Bagaimana perjuangan para sarjana Muslim di zaman klasik dan di zaman pertengahan Islam dulu, yakni seperti al-Jahiz, Abu Hunayn al-Twahidi, Imam Haramayn al-Juwaini, Fakhr al-Din al-Razi, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Jalal al-Din al-Suyuthi, dan Imam al-Ghazali dalam konteks untuk mempertahankan tradisi intelektual Islam, dan salah satu jawaban yang paling pasti adalah menulis dan mewariskan buku. Sebuah kalimat mutiara yang sering dinisbahkan kepada Imam al-Syafii menyatakan: “al-ilmu shayyidun wa al-kitabatu qayyiduhu, qayyid shuyudaka bi-hibali al-watsiqati, fa min al-hamaqati an tashida ghazalatan wa tatrukuha baina al-khalaiqi thaliqatan”. Pepatah itu bisa diterjemahkan secara bebas dengan: “Ilmu itu ibarat binatang buruan, dan tulisan adalah pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu itu dengan tali yang kuat. Adalah sebuah kebodohan berburu kijang, dan engkau melepaskannya begitu saja, justru setelah engkau berhasil menangkapnya. Kalimat kiasan tersebut mengadung makna, bahwa menulislah atau harus menulis, dan tulislah semua pengetahuan yang kita peroleh, agar ia tidak sirna dan sia-sia. Maka, jika kita tidak ingin menyaksikan kematian kepakaran, para pakar harus kita tempatkan sebagaimana mestinya. Dan kita harus kembali menggalakkan literasi dengan membaca buku ketimbang membaca informasi di media sosial, hal itu akan menjadi salah satu tonggak untuk mengurai dilema-dilema pada wilayah sosial yang akhir-akhir ini mengemuka dalam kehidupan kita.
II. Kegandrungan Pada Dunia Intelektual
“Kegandrungan pada dunia intelektual”, hal itu mengacu pada minat yang kuat dan mendalam terhadap ide-ide, serta berbagai pengetahuan, pembelajaran, dan aktivitas mental-intelektual yang serius. Ini melibatkan kecintaan pada pemikiran kritis, analisis mendalam, dan eksplorasi konsep-konsep yang abstrak dan kompleks. Sedangkan orang yang memiliki kegandrungan pada dunia intelektual biasanya menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut :
- Rasa Ingin Tahu Yang Mendalam.
Mereka terus-menerus mencari tahu “mengapa” dan “bagaimana” sesuatu itu bisa terjadi. - Kesenangan Dalam Belajar.
Proses memperoleh pengetahuan baru itu sendiri memberikan kepuasan bagi mereka yang gandrung terhadap dunia intelektual, terlepas dari tujuan praktisnya. - Apresiasi Terhadap Seni Dan Budaya.
Mereka seringkali tertarik pada sastra, filsafat, seni rupa, dan dibidang ilmu humaniora lainnya yang menantang pemikiran. - Pemikiran Kritis.
Mereka cenderung menganalisis informasi secara mendalam, mempertanyakan asumsi, dan tidak mudah menerima sesuatu begitu saja. - Diskusi Bermakna.
Mereka menikmati percakapan yang lebih substansial dan merangsang intelektual, bahkan seringkali lebih memilih pemikiran yang bersifat idealis-dilematis ketimbang obrolan santai. Secara singkat, kegandrungan terhadap dunia intelektual adalah kecintaan yang tulus dan bergairah terhadap segala sesuatu yang melibatkan pikiran dan pengetahuan.
Apa yang telah penulis ungkapkan diatas, yakni ketika terus tergelitik untuk menjadi dan merambah ke dunia intelektual. Maka di situlah penulis kerapkali menyempatkan untuk terus membaca dan merenungkan dari daftar bacaan yang telah dibulak-balik (dibaca sampai mendalam) bertahun-tahun dan sudah tersimpan di bawah alam sadar penulis. Dari proses perenungan dan pengendapan ilmiah itu, kemudian penulis juga terus mencoba memperkuat basis (fondasi) intelektual dan kembali berjibaku dengan perkembangan ilmu pengetahuan terkini. Proses itu sangat diperlukan, sehingga tidak menganggap diri kita itu seolah-olah sudah paham betul akan semuanya. Karena, penyakit yang kerapkali muncul biasanya adalah “self centered”. Yakni, apapun yang dilakukan selalu dimulai dari pengalaman pribadinya. Dalam setiap pembicaraan, selalu dimulai dengan keakuan diri dan lain sebagainya.
Lebih dari itu, perilaku “self centered” seperti itu, sudah pasti tidak akan ada yang mau mengingatkannya. Tapi, ada kalanya orang di sekitar kita yang merasa “glak” dengan perilaku keakuan seseorang atau keakuan diri itu, atau bisa juga disebut sebagai penyakit “ego sentris”. Karena itu, “mentor akademik” sangat diperlukan di dalam perjalanan akademik seseorang, sampai dia berada pada tahapan puncak. Sementara upaya untuk mencari “mentor akademik” memang bukanlah pekerjaan mudah, karena terkadang mereka tidak mau menggurui atau memperingatkan sesuatu, sebelum ada hubungan secara kebatinan (soul connection).
Dari uraian di atas, tampak bahwa perjalanan intelektual seseorang tidak akan langsung loncat pada gelar seorang filsuf. Ada banyak proses yang harus dilalui dalam perjalanan intelektual. Jika terlalu cepat menyebut dirinya sang pemikir atau sang filsuf, maka satu persatu nasihat kehidupan dalam dunia intelektual, akan menjauh dari diri kita. Bahkan, orang tersebut akan terus dibiarkan di dalam “kubangan intelektual yang dipenuhi dengan buih sanjungan dan pujian, hingga akhirnya tidak ada orang lagi yang memperingatkannya”. Kondisi itu memang pernah penulis lihat di beberapa tempat (pembelajaran akademis) di negeri ini. Mereka yang merasakan dirinya sudah menjadi sang pemikir dan sang filsuf, kerapkali tidak bisa melepaskan keterjebakannya pada pemahaman kediriannya, dimana para “mentor akademik” itu sudah menjauh, karena tidak dapat diingatkan, maka sang pemikir atau sang filsuf tersebut, akan berbicara dalam kondisi yang dia sedang “tersangkut dengan satu pemikiran”. Sedangkan konsep “tersangkut dengan satu pemikiran” memang susah dikeluarkan, karena sang pemikir dan filsuf yang terkesan “instan” itu, kerapkali juga ia tidak mau lagi menjadi peneliti terlebih dahulu, terlebih sudah menjadi selebriti intelektual. Beberapa kalangan yang “tersangkut dengan satu pemikiran” itu biasanya hanya berbicara dengan apa yang dia seorang diri tahu dan pahami. Bahkan, proses mengeluarkan “tersangkut dengan satu pemikiran” itu memang sangat susah.
Hal itu disebabkan ketidakmampuan dirinya untuk menguasai berbagai dasar-dasar berpikir di dalam ilmu pengetahuan. Di samping itu, mereka yang “tersangkut dengan satu pemikiran” biasanya tidak mampu berkomunikasi, apalagi menulis, dalam bahasa yang lebih (universal) dan komflikitit. Pada akhirnya, mereka juga tidak mampu mengakses tulisan atau karya terbaru yang terbit di berbagai belahan dunia. Hal itu merupaksn gejala seseorang yang sudah “tersangkut dengan satu pemikiran” yang kemudian mengantarkan dirinya sebagai seorang pemikir atau filsuf yang serba “instan”. Gagasan yang dia pikirkan-pun sangat susah dikomunikasikan dalam jagat raya rimba intelektual. Karena, apa yang dipikirkan hanya untuk dia saja. Orang lain dipaksa mengerti dengan jalan berpikirnya. Lantas, karena sudah menganggap dirinya sebagai sang filsuf, maka orang lain dipaksa untuk memahami dirinya.
Gejala dari mulai “memahami orang lain” ke “dipahami oleh orang lain” merupakan proses perjalanan intelektual yang penuh suka dan duka. Namun penulis melihat dan sekaligus bisa membaca dari beberapa ilmuwan besar di barat dan timur (terutama melalui produktifitas kepenulisannya). Ternya para ilmuwan besar itu, mereka selalu memulai karir mereka sebagai seorang peneliti. Mereka menapaki pengelaman intelektual dalam berkarya dari mempelajari dan memahami pemikiran orang lain. Jam terbang di dalam membaca buku pun, tidak hanya dalam satu bahasa, melainkan berbagai bahasa. Jadi, sangat wajar ketika (guru intelektual penulis meminta penulis) untuk terus belajar berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa Inggeris dan Jerman. Dia ingin mengatakan bahwa penulis masih sebagai penulis (peneliti) pemula yang memang harus haus dengan berbagai informasi ilmu pengetahuan. Tapi, beruntung penulis pada akhirnya memiliki “mentor akademik” yang mengarahkan penulis secara terus menerus untuk menuju dinamika kehidupan berpikir yang lebih memadai (intelek).
III. Menjaga Kemurnian Intelektual
Ketika penulis menuangkan tulisan pada sub judul bagian ini, penulis mencoba melakukan perenungan yang mendalam, sembari berhitung waktu, sudah berapa lama penulus hidup seolah-olah berada “di dalam lingkungan intelektual, atau lingkungan yang terintelektualisasi”. Bahkan, baik sebagai orang yang hingga saat ini masih konsen untuk menulis (buku) maupun menjadi aktivis organisasi yang fokus pada gerakan intelektual. Maka tulisan pada sub judul ini, memang bukan semata-mata untuk “menggurui”, tetapi sebagai cara untuk melakukan kontemplasi pribadi atas pemikiran dan tindakan penulis yang mengkonotasikan diri, seolah-olah sedang bergumul dan bergaul dengan orang-orang “yang sudah terhabitisasi jaringan intelektual”. Pada saat yang sama, ulasan pada sub judul bagian ini, dituliskan dalam momentum negara ini memang perlu pencerahan dari kaum intelektual, sebuah ruang dan waktu terbaik untuk melakukan “pencerahan intelektual kolektif”.
A. Kondisi Intelektualisme Indonesia
Jika kita rajin mengamati perkembangan intelektual pada dinamika ke-Indonesiaan dewasa ini, niscaya muncul rasa syukur bahwa di tengah pusparagam masalah intelektual, tetap saja terjadi perkembangan yang signifikan. Perkembangan itu utamanya membiak ketika keran demokrasi terbuka pasca Orde Baru. Bahkan, suara-suara yang muncul dari para akademisi mulai rajin menghiasi ruang publik, di samping itu, kampus-kampus juga kini rajin memproduksi guru besar, menghasilkan sebanyak mungkin sarjana. Saat yang sama, kabar baik juga datang dari kian banyaknya publikasi hasil karya ilmiah dari para dosen dan para mahasiswa, dan lain sebagainya.
Kendati terjadi perkembangan yang membanggakan, namun kita juga tidak boleh luput dari usaha melihat tantangan dan hambatan yang masih menemani gerak perkembangan dunia intelektual terkini. Demi itu, penulis mencoba memetakan beberapa tantangan baru di dunia intelektual. Pertama, tantangan pragmatisme akademik. Karena, rentang tahun belakangan ini, gejala pragmatisme akademik terkesan semakin bergejolak, terutama bisa dilihat dari giat para akademisi yang sibuk mengejar nilai-nilai material ketimbang mengabdi pada nilai-nilai ilmu pengetahuan, kebenaran universal, dan kemanusiaan. Bahkan, kehendak untuk melakukan percepatan dan peningkatan kuantitas lulusan kampus, terkesan mengabaikan upaya untuk mementingkan kualifikasi akademik. Karena, ada juga para (oknum) pelajar/mahasiswa kita saat ini yang terus mengejar orientasi lulus cepat, sementara dosen juga terkesan masih terjebak pada dorongan untuk mengejar angka rasio kelulusan mahasiswa demi mempertahankan nilai akreditasi. Hal itulah yang akhirnya mendorong (oknum) para akademisi akhirnya terperangkap di jurang pragmatisme yang akut.
Kedua, tantangan selebritisasi akademik. Belakangan ini ada juga (oknum) akademisi yang sibuk untuk tumbuh menjadi selebritas. Mereka asyik mengejar status “artifisial” sebagai pakar atau ahli demi meraup popularitas publik. Situasi itu semakin membiak dengan kehadiran media sosial yang turut mendongkrak reputasi seseorang, terutama ketika menggunakan narasi-narasi populis dan bombastis. Ketiga, tantangan kemunduran kualitas diskursus di kampus. Situasi belakangan memperlihatkan ada pergeseran signifikan diskusi-diskusi dan seminar di kampus. Bukan saja pada aspek kuantitasnya, namun lebih-lebih pada aspek kualitas diskursusnya. Kampus, terkesan menyelenggarakan forum ilmiah saat ini, tapi tidak jarang juga untuk ikut sibuk memberi panggung bagi para politisi (untuk membawa kepentingannya lewat seminar-seminar) yang seolah-olah akademis.
Keempat, tantangan peluruhan militansi akademik. Alih-alih mengabdikan diri pada kebenaran universal, para (oknum) akademisi ada juga yang melakukan berbagai tindakan penelitiannya hanya demi menggugurkan kewajiban administratif-akademis semata. Kelima, meluruhnya moralitas intelektual, yaitu seiring dengan meningkatnya “scientific misconduct”. Tindakan memaksakan (plagiasi) yang sesungguhnya merupakan tindakan yang menyimpang dari praktik-praktik ilmiah. Semua masalah sebagaimana telah penulis ungkapkan di atas, memang bukan fakta yang begitu saja terjadi. Melainkan buah dari kompleksitas masalah di belakang layar. Misalnya, masalah kesejahteraan ekonomi para akademisi yang kian tidak menentu, problem rapuhnya sistem pendidikan, etos kerja yang meluruh dan pelemahan kebebasan akademik, dan lain sebagainya.
B. Menjaga Kemurnian Intelektual
Di tengah situasi dunia intelektual sejati yang terus mengalami pluktuatif serta penuh ketidak-pastian, namun salah satu tanggung jawab moral bagi insan akademis adalah tetap harus menjaga kemurnian intelektual. Sedangkan kemurnian intelektual itu sendiri bermakna usaha untuk memurnikan kembali gerak intelektualisme pada jalan yang seharusnya (on the right way). Hal itu tentu bukan pekerjaan mudah, apalagi di tengah banyaknya masalah-masalah eksternal yang menghampiri para akademisi. Sementara upaya untuk terus menjaga kemurnian intelektual adalah merupakan suatu keniscayaan, utamanya bila kita masih punya kehendak untuk hidup dalam kehidupan yang baik dan benar. Menjaga kemurnian intelektual sesungguhnya membutuhkan bangunan moralitas intelektual. Sedangkan moralitas berfungsi untuk memastikan bahwa intelektualisme berjalan dalam rel yang benar, memastikan bahwa intelektualisme tidak berjalan destruktif dan merusak bangun moralitas intelektual.
Lebih dari itu, nenjaga kemurnian intelektual bisa diteguhkan dengan beberapa langkah : Pertama, penguatan kultur akademik dan penguatan etos kerja para akademisi. Etos kerja akademisi itu ditandai dengan profesionalitas dan tidak asal-asalan, sikap terbuka, dan keinginan untuk terus belajar serta meningkatkan kualitas pengetahuan. Kedua, menjamin kebebasan akademik, yakni kebebasan dalam melakukan penelitian, penyebarluasan dan penerbitan hasil karya tulis ilmiah. Sedangkan terbukanya keran kebebasan akademik niscaya merupakan prasyarat bagi lahir dan tumbuhnya pikiran-pikiran ilmiah yang baru. Ketiga, menjamin kesejahteraan ekonomi para akademisi. Mengingat, kesejahteraan itu bermakna jaminan hidup bagi para akademisi untuk bebas dari kemiskinan, ketidak-tercerahkan, kesakitan dan kekhawatiran.
IV. Lima Langkah Menjadi Intelektual Sejati Menurut Perspektif Islam
Sebagaimana telah diuraikan begitu panjang lebar di sub judul bagian atas, terutama bagaimana untuk membangun basis intelektual yang lebih handal dan kokoh. Oleh karena itu, pada sub judul bagian ini, penulis mencoba melihat kehadiran seorang intelektual sejati dalam perspektif ajaran Islam. Karena, intelektual sejati sangat dibutuhkan masyarakat di seluruh dunia, tidak terkecuali di negeri ini. Bahkan, masyarakat membutuhkan bimbingan dari seorang intelektual agar mereka bisa mencapai harapan-harapan dan cita-cita kolektif mereka, bahkan agar dapat mengatasi berbagai problematika yang dihadapi mereka. Sejak zaman dahulu, seorang intelektual memang memperoleh kedudukan yang sangat mulia, meskipun ia tidak dilahirkan dari kalangan bangsawan.
Tapi sang intelektual sejati, ia dapat diartikan sebagai seorang yang mampu memadukan potensi kecerdasan dan kepintarannya untuk melakukan perubahan-perubahan yang bersifat positif di masyarakat. Perubahan-perubahan positif itu dilakukan dengan tetap berada dalam koridor nilai-nilai ajaran Islam (syariat Allah Swt). Sehingga dalam pandangan Islam, para intelektual sejati itu dikenal dengan istilah “Ulul Al-bab”. Sementara cita-cita menjadi intelektual sejati perlu dimiliki oleh setiap umat Islam, terutama generasi muda. Sedangkan berbagai saluran yang dapat dilalui untuk mencapai cita-cita tersebut adalah dengan menjadi ulama (alim), ilmuwan, muslihun, serta teknokrat yang “Itqan” di bidangnya masing-masing.
Agar bisa menjadi intelektual sejati, ada lima langkah yang harus dilakukan. Langkah pertama adalah rajin membaca. Karena, wahyu pertama yang diberikan Allah swt. kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad Saw. adalah perintah untuk membaca. Allah Swt. berfirman, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhan-Mu…” (QS. al-‘Alaq : 1). Dengan demikian, seorang intelektual sejati memiliki kegemaran atau rajin membaca, karena aktivitas tersebut merupakan ibadah penting yang telah diperintahkan Allah Swt dan rasul-Nya.
Seorang intelektual sejati, ia tidak hanya rajin membaca referensi-referensi pada bidang ilmu yang digelutinya saja, tetapi juga referensi-referensi dari sejumlah bidang ilmu lainnya. Tentu saja intensitas membaca referensi pada bidang yang digeluti jauh lebih banyak, hal itu demi memperdalam keahliannya. Ia sangat menyadari betapa pentingnya profesionalitas yang tentu juga diperintahkan Islam. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, (ia) mengerjakannya secara profesional.” (HR. Thabrani No. 891). Sementara itu, referensi-referensi dari bidang ilmu lainnya dibaca seorang intelektual sejati sebagai pelengkap untuk memperluas pengetahuan dan wawasan. Tidak hanya rajin membaca saja, intelektual sejati akan selalu selektif dengan informasi-informasi apa saja yang akan dibacanya, ia akan menghindari informasi-informasi yang tidak bermanfaat baginya maupun bagi masyarakat yang dibimbingnya.
Langkah kedua, berfikir objektif. Seorang intelektual sejati pada umumnya mulai diajari berfikir objektif pada waktu remaja, ketika berada pada tingkat pendidikan SMP dan SMA. Selanjutnya, prinsip-prinsip objektivitas melalui metode ilmiah model positivisme misalnya, agar semakin disempurnakan ketika ia berada pada tingkat pendidikan tinggi. Prinsip-prinsip tersebut tetap akan dimiliki seorang intelektual sejati hingga akhir hayatnya. Langkah berfikir objektif itulah yang membuat intelektual sejati senantiasa dibutuhkan masyarakat. Karena, dengan langkah itu, ia dapat menganalisis hingga merumuskan solusi atas setiap problematika yang dihadapi masyarakat.
Dalam menanggapi informasi yang tentang suatu pihak misalnya, seorang intelektual sejati akan menjauhi perasaan emosional, sehingga pikiran, ucapan, dan sikapnya didasarkan pada objektivitas. Dengan demikian, ia tidak akan mendukung informasi yang tidak jelas sumbernya dan diduga kuat sebagai berita palsu (hoax), maupun informasi yang menyelisihi logika maupun kaidah ilmiah. Ia tidak langsung percaya terhadap berbagai informasi yang demikian, namun menelitinya terlebih dahulu, sebagaimana panduan tabayyun dalam menerima informasi yang diajarkan Al-Qur’an. Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasik yang membawa berita, maka periksalah dahulu dengan teliti, agar kalian tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan, lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang kalian lakukan.” (QS. al-Hujurah : 6).
Langkah ketiga, bertindak kreatif. Intelektual sejati dikenal sebagai pribadi yang ‘banyak akal’ karena mampu memadukan kecerdasan dan kepintarannya. Sehingga ia akan bertindak kreatif dalam mencapai cita-cita maupun menghadapi masalah yang menurut banyak orang sulit dipecahkan. Baginya, kelemahan yang ada dapat dijadikan sebagai sumber kekuatan. Ide-ide cerdasnya tidak berhenti meskipun diperhadapkan pada masalah besar. Langkah keempat, bersemangat dalam belajar dan mengajarkan al-Qur’an. Artinya, al-Qur’an dijadikan sebagai referensi utama oleh seorang intelektual sejati dalam memperdalam ilmu serta memperluas wawasan. Ia menyadari bahwa jika dibaca dan dipelajari kandungannya, maka kitab suci tersebut dapat melahirkan para intelektual sejati. Sehingga ia tidak hanya bersemangat dalam mempelajari al-Qur’an saja, tetapi kitab suci itu juga diajarkan kepada masyarakat di sekitarnya. Allah Swt. berfirman, “Jadilah kamu seorang robbani, karena kamu mengajarkan kitab (al-Qur’an) dan karena kamu mempelajarinya.” (QS. Ali Imran : 79). Pada ayat lainnya, Allah Swt. berfirman, “Ini adalah sebuah kitab (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka mempelajari ayat-ayatnya, dan supaya mendapatkan pelajaran (bagi) orang-orang yang berfikir.” (QS. Shad : 29).
Langkah kelima, bersifat peduli dan pejuang. Seorang intelektual sejati, ia senantiasa memiliki “himmah aliyah” (cita-cita tinggi) untuk memperbaiki masyarakatnya ke arah yang jauh lebih baik dan yang diridhai Allah Swt. Cita-cita tersebut dilandasi sifat pedulinya yang sangat besar, agar cahaya kebenaran yang diyakininya itu bisa menyebar ke tengah masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian, seorang intelektual sejati, ia tidak hanya ingin menjadi shaleh secara individual (shoheh sendirian saja), tetapi juga ingin menjadi mushlih, yakni ingin menjadikan masyarakat di sekitarnya menjadi shaleh yang dinaungi cahaya kebenaran. Lebih dari itu, sebagai pribadi yang bersifat peduli, seorang intelektual sejati, ia juga harus memiliki sifat pejuang. Ia harus menyadari, bahwa ada pihak-pihak tertentu yang tidak menyukai penyebaran cahaya kebenaran kepada masyarakatnya. Sehingga ia akan terus berjuang keras, cerdas, dan ikhlas, agar cahaya kebenaran itu terus menyinari masyarakat, meskipun ia kerapkali juga ditentang oleh pihak-pihak tertentu yang tidak menyukai usahanya.
V. Menjadi Intelektual Dan lmuwan di Era Matinya Kepakaran
Untuk menjadi intelektual dan ilmuan sejati saat ini memang tidak mudah, terutama di era disrupsi saat ini, karena akses terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi semakin mudah dan cepat diakses oleh masyarakat luas (publik). Hal itu mengakibatkan kecenderungan masyarakat lebih suka memilih untuk mengakses sumber pengetahuan secara instan. Akibatnya semakin sulit pula untuk membedakan antara seorang yang pakar dan tidak, karena semua orang saat ini dapat berkomentar dan berpendapat isu apapun di media sosial.
Sementara tantangan yang serius untuk menjadi seorang intelektual sejati di era distrupsi saat ini realitanya semakin dilematis. Karena, fenomena disrupsi saat ini, dan situasi pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Bahkan, proses perubahannya sangat cepat dan fundamental, pada akhirnya kerapkali (mengacak-acak) pola tatanan lama demi untuk terciptakan tatanan baru. Baik itu soal bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, dan pendidikan/keilmuan. Misalnya MOOC, singkatan dari Massive Open Online Course serta AI (Artificial Intelligence). MOOC adalah inovasi pembelajaran daring yang dirancang terbuka, dapat saling berbagi dan saling terhubung atau berjejaring satu sama lain. Prinsip itu menandai dimulainya demokratisasi pengetahuan yang menciptakan kesempatan bagi kita semua untuk memanfaatkan dunia teknologi dengan produktif. Sedangkan AI adalah mesin kecerdasan buatan yang dirancang untuk melakukan pekerjaan yang spesifik dalam membantu keseharian manusia. Di bidang pendidikan, AI akan membantu pembelajaran yang bersifat individual.
Lalu bagaimana peran guru atau dosen, apakah akan tergantikan oleh teknologi? Dalam banyak hal mungkin iya, karena peran pendidik akan berubah dari sumber belajar atau pemberi pengetahuan menjadi mentor, fasilitator, motivator, bahkan inspirator untuk mengembangkan imajinasi, kreativitas, perspektif, karakter, serta “team work” siswa yang dibutuhkan pada masa depan. Tapi ada satu hal yang tidak bisa digantikan oleh digital, yaitu karakter, kearifan dan spiritualitas. Budaya seperti : Empati (altruism), dan sikap tolong-menolong, hal itu tidak bisa digantikan mesin/digital. Jadi, fungsi pendidik bergeser lebih mengajarkan pada nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman hingga empati sosial karena nilai-nilai itulah yang tidak dapat diajarkan oleh mesin. Jika tidak, wajah masa depan pendidikan kita akan suram, karena realitanya, banyak orang yang berpengetahuan, tetapi tuna etika.
Lalu, apa dampak dari era distrupsi bagi ilmuwan di tengah masyarakat? Hal yang sangat nampak akhir-akhir ini adalah adanya kecenderungan “ignorance” (kedunguan) serta kegandrungan pada literasi instan yang menggejala secara massif sehingga kepakaran terancam mati. Dengan kata lain, “expertise” (kepakaran) yang dimaksud adalah keahlian dalam bidang keilmuwan seolah-olah tidak lagi dibutuhkan masyarakat. Masyarakat merasa tidak penting kehadiran akademisi atau intelektual di dunia pendidikan dan kampus, karena internet telah menjawab semuanya. Ironinya hal itu jika sampai berimplikasi pada buku menjadi tidak penting. Karena mereka cukup menjadi jama’ah Youtube, Facebook, InstaGram dan WhatsApp. Bahkan, dengan adanya medsos, semua orang bisa berkomentar berbagai topik dan menyebarkan pengetahuan sesukanya, dan sudah tidak selektif lagi, yakni mana yang pakar dan mana yang tidak, karena semua seakan-akan merasa menjadi pakar dengan semua tema-tema di media sosial.
Lalu bagaimana dengan nasib buku, kalau semuanya serba digital? Kalau dalam tradisi Islam, menulis buku, hal itu merupaya untuk mempertahankan tradisi intelektual, dan idealisme ilmu adalah perjuangan yang melelahkan. Salah satu cara memahami keindahan Islam adalah dengan melihat tradisi intelektual yang begitu kuat. Mungkin kita jarang tahu kalau Ibnu Taimiyah mempunyai tradisi, kalau setiap malam tidak pernah tidak menulis. Ini perlu kita teladani. Jangan sampai kepakaran mati karena “gatget”. Sebab, ketiadaan tradisi menulis buku dan mewariskan ilmu adalah tanda kematian kepakaran. Karena itulah seorang ilmuwan atau akademisi harus memiliki semangat “jihad intelektual”.
A. Apa Itu Jihad Intelektual?
Jihad intelektual, yang jelas ia bukan jihad dengan pedang, tetapi jihad dengan “hujjah” dan agumentasi. Para akademisi harus memiliki jihad intelektual. Meskipun sukar jalannya dan sepi pengikutnya, tapi kita harus tetap fokus untuk mengerahkan segela kemampuan intelektual kita untuk terus berkarya. Karena itu jihad intelektual bisa disebut dengan “jihad akbar”. Lalu bagaimana dengan otoritas ilmuwan studi Islam di tengah maraknya literasi keagamaan di internet?Menurut hemat penulis, hari ini internet berperan penting dalam konteks membentuk, mengonseptualisasi, dan memperluas keterlibatan agama para penggunanya dan mendotong interaksi bermotif spiritual, baik secara “online” maupun “offline”. Kini bahkan para pengguna internet telah mendefinisikan internet sebagai “ruang suci” (sacred space) dalam rangka mengimpor ritual-ritual tradisional secara “online”. Bahkan, berbagai aktivitas keagamaan, dan menghubungkan pemeluk agama dengan situs-situs keagamaan, festival, dan sesamanya, dan bahkan terkesan menciptakan bentuk-bentuk keagamaan baru.
Lalu, bisakah internet menjadi sumber kepakaran atau otoritas keagamaan baru? Internet memang memberikan ruang yang bebas bagi agama untuk bergerak karena hampir tanpa ikatan dan batasan. Kini internet juga menyerupai kaleidoskop agama, pemikiran keagamaan, ritual dan praktek keagamaan. Bahkan, Webmaster, admin, desainer web menciptakan suatu kelas baru: pemimpin dan penafsir keagamaan online, yang dapat berseberangan dengan figur dan pemimpin keagamaan tradisional. Agama di internet saat ini, seolah-olah menjadi corong bagi orang-orang yang dulu diam untuk bicara tentang agama, dan menawarkan interaksi antara pembaca dan penulis, serta menciptakan cara berpikir baru tentang agama.
Lalu apa implikasinya bagi kehidupan beragama? Karena, internet telah menyediakan “platform” tanpa batas bagi ekspresi dan sirkulasi kepercayaan-kepercayaan, maka internet mampu mendefinisikan dan mengkerangkai apa itu agama dan apa unsur-unsurnya yang dipandang penting dalam masyarakat. Selain itu, internet juga menyediakan “guide” spiritual (panduan beragama), orientasi moral, ritus-ritus dan komunitas. Bahkan, seolah-olah menciptakan agama tanpa tempat dan komunitas peribadatan: Muslim tanpa masjid, Kristen tanpa gereja, Budhis tanpa vihara, Hindu tanpa pura, dan seterusnya.


