
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Istilah “Islamic Golden Age”, mungkin kita pernah mendengar istilah itu atau mungkin juga pernah membaca atau menela’ah tentang sejarah “Islamic Golden Age” itu? Jika kita bahasakan secara sederhana tentang Islamic Golden Age itu adalah zaman keemasan Islam. Zaman itu merupakan masa Khilafah Abasiyyah (750-1517 M/132-923 H), yaitu dengan rentang waktu yang lama sekitar 767 tahun membuat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa itu, yang akhirnya mampu menunjukkan pada dunia tentang kemajuan peradaban Islam. Masa itu juga ditandai dengan berdirinya “Bayt al Hikmah” yang merupakan pusat studi, perpustakaan sekaligus Universitas terbesar di dunia pada saat itu. Tidak ada peradaban lain di muka bumi yang dapat menandingi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, kegigihan kekhalifahan yang menjunjung ilmu pengetahuan itu memang melebihi peradaban manapun pada masa itu.
Pada era kejayaan Islam, masjid tidak hanya jadi tempat beribadah, tetapi juga menjadi tempat mengkaji ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Alquran. Banjirnya antusiasme tentang ilmu pengatahuan membuat ilmuwan-ilmuwan Islam dengan berbagai penemuannya yang mengguncang dunia lahir pada kekhalilafahan itu (zaman Abasiyah). Sementara beberapa ilmuwan muslim yang berpengaruh diantaranya, Ibn Sina atau Avicenna yang dikenal dengan bapak kedokteran modern. Ia mendalami hampir semua ilmu pengetahuan, dari mulai filsafat, kedokteran, astronomi, sekaligus ilmuwan. Avicenna mengeluarkan buku kedokteran yang berjudul “Al Qanun fi al Tibb” atau “The Csnon of Medicine” dan menjadi buku pegangan utama bagi para mahasiswa kedokteran dipenjuru Eropa sampe abad ke-18 M, atau kurang lebih 700 tahun. Selain buku “the Canon of Medicine”, Avicenna juga membuat Kitab “al Shifa” atau lebih dikenal dengan “The Book of Healing”. Avicenna meletakkan aturan dan dasar-dasar dalam menjalankan metode eksperimen dalam mencari kebenaran dalam ilmu pengetahuan pada buku tersebut. Hingga akhirnya metode saintifik itu kemudian disempurnakan oleh Galileo yang menjadi Bapak Sains Modern. Sementara di dalam bidang fisika optik, ia menyatakan bahwa cahaya memiliki kecepatan yang akhirnya disempurnakan oleh Einstein dan Maxwell.
Ilmuwan selanjutnya adalah Al Kindi, ia berkontribusi besar dalam ilmu pengetahuan pada bidang optik, ia menyebutkan bahwa agar mata dapat melihat benda diperlukan perantara (udara) yang dapat mengarahkan benda ke mata. Dalam bidang kimia, ia adalah orang yang pertama kali menyuling alkohol dan memproduksi alkohol pabrikan dalam jumlah banyak. Selain itu, ia juga menentang para ahli alkimia yang menyebutkan bahwa unsur dapat berubah-ubah. Dalam bidang matematika, Al Kindi merupakan salah satu orang pertama yang mengadaptasi angka India menjadi sistem bilangan Hindu Arab (0 – 9) yang kita gunakan hingga saat ini.
Sementara Al Khawarizmi, ia mengembangkan pendekatan khusus untuk memecahkan persamaan linear dan kuadrat, yang kita kenal dengan konsep Aljabar. Konsep aljabar ini dituliskan dalam Kitab “Al Mukhtasar fi Hisāb al Jabr wa’l-Muqābalah”. Selain menemukan konsep aljabar, ia juga berhasil memetakan pergerakan matahari, bulan, dan planet yang ia tuliskan di dalam kitab “Zij al-Sindhind”
(Perhitungan Astronomi Pakistan dan India). Al Khwarizmi juga membuat peta dunia, sekaligus mengukur keliling bumi melalui proyeksi terhadap gerakan matahari dan pendekatan matematis, dan hasilnya dituliskan di dalam kitab terbesarnya juga yaitu kitab “Surat al-Ardh” (Kitab Citra Permukaan Bumi), yang lebih dikenal dengan sebutan “Geography”. Abbas Bin Firnas atau yang juga dikenal dengan sebutan Abbas Abu al-Qasim adalah seorang ilmuwan muslim yang sangat cerdas dan mampu memparalelkan satu cabang ilmu yang ia kuasai dengan cabang ilmu lainnya. Selain menjadi ilmuwan, ia juga merupakan seorang fisikawan, kimiawan, teknisi, musisi Andalusia, dan penyiar berbahasa Arab. Abbas menjadi ilmuwan muslim pertama di dunia yang berhasil membuat konstruksi alat yang bisa terbang. Ia menciptakan sebuah alat terbang bersayap menyerupai burung, dan berhasil menerbangkannya di Cordoba, Spanyol.
Sementara hasil penemuan konsep teknologi pesawat terbang itu ternyata terinspirasi setelah Abbas membaca surat Al-Mulk ayat 19. Sementara Al Battani adalah seorang ahli astronomi dan matematikawan muslim dari Arab yang cukup berpengaruh pada abad pertengahan. Berkat salah satu pencapaiannya yang paling terkenal yaitu penentuan tahun matahari, akhirnya hingga saat ini kita mengetahui bahwa dalam satu tahun terdiri dari 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik. Hasil penemuan Al Battani itu dianggap sangat akurat sehingga membuat seorang matematikawan asal Jerman, yaitu bernama Christopher Clavius menggunakannya untuk memperbaiki kalender Julian.
Kemajuan peradaban Islam disebabkan karena ilmu pengetahuan, etika dan ajaran agama tidaklah kaku dan dijalankan dalam satu tarikan nafas, sehingga pengamalan terhadap syariat Islam memiliki prioritas yang sama dengan riset atau penemuan ilmiah. Umat muslim pada masa itu tidak serta merta hanya menerima khazanah ilmu pengetahuan Yunani, tetapi juga mengembangkan dan membuka pintu pengkajian terhadap misteri alam semesta yang melahirkan ilmu pengetahuan alam yang kita kenal dengan “science” atau sains. Buku atau kitab ilmuwan muslim telah berhasil memberikan pencerahan kepada dunia dan menjadi sumber pengajaran di Eropa hingga beberapa abad lamanya. Ilmuwan muslim telah menginspirasi ilmuwan Barat untuk belajar dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibangunnya.
Namun, apa yang terjadi saat ini menjadi kebalikan dari masa kejayaan Islam zaman dulu. Peradaban Islam yang menjadi dinamo (mesin penggerak) perkembangan sains dan teknologi di dunia Barat membuat bangsa Barat terus memacu untuk mengembangkan apa yang telah dipelajarinya dari ilmuwan muslim terdahulu. Perkembangan peradaban bangsa Barat memicu semakin berkembangnya sains dan teknologi saat ini. Karena, realita saat ini terlihat dari banyaknya produk-produk teknologi canggih yang dihasilkan oleh bangsa Barat. Indonesia dengan warga negara yang mayoritas muslim pun turut mengimpor barang-barang dari luar negeri seperti pesawat dan sepeda motor. Mengapa bukan kita yang mempertahankan dan mengembangkan warisan ilmuwan muslim terdahulu itu? Kemanakah kejayaan umat muslim zaman dulu itu?
Oleh karen itu, dunia modern saat ini memerlukan pribadi-pribadi muslim yang tangguh dan brillian yang seharusnya dapat mengembangkan sains dan teknologi agar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup umat manusia tanpa dipengaruhi oleh benturan budaya dan peradaban dengan berdasarkan pada Alquran yang mengandung mukjizat-mukjizat pencerahan ilmu pengetahuan dan dasar-dasar pengembangan teknologi. Namun, dengan menjamurnya sekolah-sekolah Islam saat ini diharapkan dapat menjadi alternatif kita dalam membangun kembali kejayaan Islam. Pesantren-pesantren yang menjadi sekolah yang berbasis Islam sejak dulu juga seyogyanya segera ditingkatkan keilmuannya dengan terus memperluas pembelajarannya pada integrasi Islam dan sains. Begitupun pada tingkat Universitas (terutama) di bawah naungan kementerian agama dapat menjadi wadah dalam memperdalam serta mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan dibangku sekolah sehingga menjadi pencetak ilmuwan-ilmuwan muslim yang akan datang dengan pencapaian yang luar biasa yang dapat mengembalikan lagi masa kejayaan Islam pada masa modern ini.
II. Perkembangan Pemikiran Dan Peradaban Islam Dalam Perspektif Sejarah
Lajunya perkembangan pemikiran Islam sepanjang sejarah, yakni sebagaimana telah dikemukakan di bagian atas, hal itu karena adanya sikap terbuka, toleran dan akomodatif kaum muslimin terhadap hegemoni pemikiran dan peradaban asing, cinta ilmu, budaya akademik, kiprah cendikiawan muslim saat itu (di zaman keemasan Islan) terutama yang ada di pemerintahan dan di lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan memang punya pengaruh besar. Lebih dari itu, ketika di zaman keemasan Islam, demikian berkembangnya aliran pemikiran yang mengedepankan rasio dan kebebasan berpikir, kemudian meningkatnya kemakmuran negeri-negeri Islam, dan permasalahan yang dihadapi umat Islam dari masa ke masa semakin kompleks dan memerlukan solusi. Pada saat itu, semua bidang keilmuan dijadikan objek kajian oleh para tokoh pemikir Islam, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Dari perkembangan pemikiran Islam, akhirnya berimplikasi pada perkembangan peradaban Islam di seluruh penjuru dunia Islam. Perkembangan pemikiran dan peradaban Islam pada saat itu ditandai dengan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan. Karena, pada masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah dan didukung oleh dinasti-dinasti lainnya seperti di Cordova Andalusia, Afrika Utara, Turki dan India Islam. Hal itu berdampak signifikan terhadap kehidupan umat Islam dan berpengaruh kuat terhadap kemajuan peradaban dunia Internasional pada umumnya, dari masa klasik hingga era modern. Oleh karena itu, pada tulisan ini penulis mencoba untuk mengungkapkan tentang faktor pendukung perkembangan pemikiran dan peradaban Islam, proses perkembangan pemikiran dan peradaban Islam sepanjang sejarah, bidang keilmuan yang dikembangkan dan para tokohnya, dan dampak perkembangan pemikiran dan peradaban Islam terhadap kehidupan umat Islam dan dunia Internasional.
Bahkan, munculnya pemikiran Islam sebagai cikal bakal kelahiran peradaban Islam pada dasarnya sudah ada pada awal pertumbuhan Islam, yakni sejak pertengahan abad ke-7 M, ketika masyarakat Islam dipimpin oleh Khulafa’ al-Rasyidin. Kemudian mulai berkembang pada masa Dinasti Umayyah, dan mencapai puncak kejayaannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketinggian peradaban Islam pada masa Dinasti Abbasiyah merupakan dampak positif dari aktifitas “kebebasan berpikir” umat Islam di zaman itu, yang memang tumbuh subur ibarat jamur di musim hujan.
Namun, setelah jatuhnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 1258 M, peradaban Islam mulai meredup dan kemudian hancur. Hal itu terjadi akibat dari merosotnya aktifitas pemikiran umat Islam yang cenderung kepada ke-jumud-an (stagnan). Setelah berabad-abad umat Islam terlena dalam “tidur panjangnya”, maka pada abad ke-18 M, mereka mulai tersadarkan dan kemudian mencoba bangkit dari stagnasi pemikiran untuk mengejar ketertinggalannya dari dunia luar (Barat/Eropa). Perkembangan pemikiran dan peradaban Islam, karena didukung oleh para Khalifah yang cinta ilmu pengetahuan dengan fasilitas dan dana secara maksimal, stabilitas politik dan ekonomi yang mapan. Hal itu seiring dengan tingginya semangat para ulama dan intelektual muslim dalam melaksanakan pengembangan ilmu pengetahuan agama, humaniora dan eksakta melalui gerakan penelitian, penerjemahan dan penulisan karya ilmiah di berbagai bidang keilmuan. Kemudian gerakan karya nyata mereka dibidang peradaban artefak. Sebagai contoh: pada masa Khulafa’ al-Rasyidin sudah lahir pemikiran Islam, seperti kitab “Nahj al-Balaghah” karya Imam Ali Bin Thalib.
III. Pengembangan Sains : Sayap Peradaban Islam Yang Patah?
Pada bulan Agustus tahun 2019, pihak “Pew Research Center” telah meliris hasil surveinya, yaitu tentang kepercayaan warga Amerika Serikat (AS) terhadap saintis. Survei tersebut dilakukan sejak tahun 2016, dan baru pada survei terakhir (2019), bahwa kepercayaan publilk Amerika kepada saintis melebihi kepercayaan kepada militer, yaitu sebanyak 86% responden percaya kepada saintis. Bandingkan dengan tingkat kepercayaan kepada militer (82%) dan bahkan kepada politisi terpilih (35%). Publik Amerika percaya bahwa sains sangat penting untuk masyarakat. Saat ini, warga dunia masih berharap agar sains terus dikembangkan. Karena, sains telah memberi bukti telah menghadirkan solusi masalah dan menjadi modal penting untuk menyelamatkan serta meluhurkan peradaban manusia di dunia ini.
A. Sains Dan Zaman Keemasan Islam
Perkembangan sains-lah yang hingga saat ini membawa Eropa akhirnya meninggalkan zaman kegelapan yang dimulai dengan keruntuhan Kekaisaran Romawi pada abad kelima sampai lahirnya zaman “Renaisans” pada abad ke-14 M, yang dimulai di Italia dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Ketika itu, dunia Islam justru berada pada zaman keemasan (atau zaman pertengahan), ketika itu sains di dunia Islam berkembang begitu pesat dan para saintis Muslim mendapatkan posisi terhormat. Sementara zaman Keemasan Islam itu dimulai ketika Dinasti Abbasiyyah menggantikan Umayyah. Abu Ja’far Al-Mansur, khalifah kedua Dinasti Abbasiyyah (754-775 M) pernah mengirim utusan ke Kaisar Byzantium untuk mendapatkan kara-karya tentang matematika. Kaisar mengirimkan buku karya Euclid dn karya-karya lain di bidang fisika. Gairah dalam pengembangan sains pada saat itu terus bertumbuh. Ketika Harun Al-Rasyid menjadi khalifah (kelima, 786-809 M), Rumah Kebijaksanaan (Baitul Hikmah) didirikan untuk menggairahkan pengembangan sains. Upaya tersebut diteruskan oleh anaknya, Abul Abbas Al-Ma’mun. Ketika Al-Ma’mun menjadi khalifah (ketujuh, 813-833 M), para duta dikirimkannya ke Byzantium untuk mencari buku-buku sains Yunani dan menerjemahkannya. Ibnu Khaldun merekam episode ini dalam bukunya, “Muqaddimah”. Cerita itu sekaligus menjadi bukti bahwa peradaban Islam bukan kilometer nol. Banyak saintis besar muslim yang dilahirkan ketika itu. Sebut misalnya, Ibnu Rusyd (filsuf), Ibnu Sina (filsuf, dokter), Al-Khwarizmi (matematikawan, astronom), Al-Kindi (filsuf), Sanad Ibnu Ali (astronom), Jabir Ibnu Hayyan (ahli metalurgi). Pada dasarnya banyak dari mereka yang merupakan “polymath”, menguasi lebih dari satu bidang. Para saintis muslim itulah yang menghadirkan zaman Keemasan Islam.
B. Sayap Peradaban Yang Patah
Pada saat itu, sains digemari dan saintis dihormati. Pengembangan sains merupakan salah satu sayap peradaban Islam. Kapan dan mengapa sayap itu mulai patah? Tidak ada penjelasan tunggal yang disepakati bersama. Namun, yang paling sering kita dengar adalah karena serangan bangsa Mongol yang meluluh-lantakkan Kota Baghdad pada pertengahan abad ke-13 M. Tapi, literatur menyimpan beragam teori, termasuk di dalamnya adalah krisis ekonomi di Iran pada abad ke-11 M, yang telah membuat para saintis bermigrasi, naiknya kuasa pemimpin agama yang menjadikan fokus berubah ke pengembangan ilmu agama dan memberi ruang terbatas untuk pengembangan sains. Lebih dari itu, ada juga penjelasan lain memasukkan konflik yang dimulai dengan Perang Salib, alokasi energi untuk layanan agama karena umat semakin bertambah, dan bahkan naiknya popularitas sufisme. Dengan kata lain, bahwa berbagai kejadian diatas, pada akhirnya meruntuhkan dua pilar utama pengembangan sains dan yang patak adalah diskomunikasi komunikasi di internal umat Islam serta semakin mengurangnya dukungan dana untuk pengembangan sains.
Beberapa teori di atas, akhirnya dibuktikan secara menarik oleh Eric Chaney, sejarawan alumnus Universitas Harvard yang saat ini ia mengajar di Universitas Oxford (AS). Bahkan, Eric Chaney menggumpulkan informasi 23.287 buku dari 4.056 penulis pada zaman keemasan Islam. Informasi itu didapatkan dari koleksi Perpustakaan Universitas Harvard yang mencapai 13.283.463 buku. Tentu, tidak semua buku yang ditulis saintis zaman keemasan Islam itu dapat diselamatkan dan disimpan di sana (Iniversitas Harvard). Tapi, ikhtiar mencari penjelasa berdasar data empiris melengkapi potret yang ada. Ketika produksi sains di dunia Islam menurun, akhirnya mulai abad ke-10 M sampai ke-13 M, di negara-negara Eropa, terutama di Spanyol, justru saat itu sedang giat-giatnya menterjemahkan karya-karya dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin dan bahasa Ibrani terus dilakukan secepat mungkin. Hasilnya adalah kelahiran kembali iklim saintifik yang ujungnya adalah transformasi peradaban Barat.
C. Mencari Skenario Bangkit
Bahkan, variasi perspektif umat Islam di beragam pojok dunia untuk mengejar ketertinggan oleh dunia Eropa, dan sekaligus berinovasi untuk pengembangsan sains, akhirnya direkam secara apik oleh Ziauddin Sardar dalam sebuah artikel di Nature edisi November 1979 yang berjudul “A revival for Islam, a boost for science?”. Meski perspektif yang muncul sangat positif, tapi sampai tahun 2010, kontribusi negara-negara Islam dalam pengembangan sains di dunia hanya sekitar 2%. Dan sampai hari ini, hanya dua saintis muslim yang memenangkan Hadiah Nobel, yaitu Abdus Salam (asal Pakistan) di bidang fisika pada 1979 dan Ahmed Zewail (asal Mesir) di bidang kimia 1999. Keduanya melakukan penelitian di luar negaranya.
Herwig Schopper, mantan Direktur Jenderal CERN, yaitu pusat riset nuklir Eropa memberikan beberapa resep dalam tulisan berjudul “Where are the new patrons of science?” yang terekam di Nature, edisi November tahun 2006. Pertama, riset yang ditujukan untuk kesejahteraan manusia perlu lebih dihargai. Dalam jangka pendek, hal itu memerlukan patronasi dari aktor politik papan atas. Kurangnya pendanaan disebut sebagai salah satu faktor yang bertanggung jawab atas rendahnya produksi sains di negara-negara Islam. Sumber daya juga harus disediakan secara memadai untuk riset dasar. Alokasi tersebut perlu dilihat sebagai investasi dan bukan pengeluaran. Resep tersebut mengingatkan kepada praktik di zaman keemasan Islam. Karena, ketika di zaman keemasan Islam, bahwa dana yang demikian besar saat itu dialokasikan oleh Khalifah Al-Ma’mun untuk mendukung pengembangan sains. Karen Armstrong mencatat bahwa penulis buku dan penerjemah, pada saat itu, baik muslim maupun non-muslim, mereka diberi penghargaan emas seberat buku tersebut.
Kedua, para saintis muslim perlu menguatkan jaringan internasional. Menurut Schopper, riset saintifik bermutu tinggi hanya dapat dicapai dengan berkompetisi di tingkat internasional. Lagi-lagi, hal itu juga terjadi di Zaman Keemasan Islam. Khalifah Al-Mansur dan Al-Ma’mun misalnya, mereka mengirimkam utusan ke Byzantium untuk mendapatkan akses ke karya-karya saintis Yunani. Para saintis di Rumah Kebijaksanaan (Bait Al-Hikmah) juga berasal dari beragam bangsa. Contohnya, Al-Khwarizmi dan Ibnu Sina adalah orang Persia, Ibnu Rusyd orang Andalusia, Sanad Ibnu Ali orang Irak, dan Al-Kindi orang Arab. Bahkan Rumah Kebijaksanaan (Bait Al-Hikmah) saat itu juga tidak hanya menjadi tempat berkumpul para ilmuwan muslim semata. Di sana, misalnya ada Hunayn bin Ishaq yang beragama Kristen, ilmuwan dan penerjemah yang handal. Ada juga Tsabit Ibnu Qurra (beragama Sabian) yang menerjemahkan karya dari bahasa Yunani, Ibnu Na’ima Al-Himsi (beragam Kristen) yang juga menerjemahkan karya dari bahasa Yunani ke Arab, dan Yusuf Al-khuri (pendeta Kristen) yang menerjemahkan buku dari bahasa Syiria ke Arab.
Bahkan menurut Abdelhamid Sabra, sejarawan sains Islam dari Universitas Harvard, “Peradaban tidak berbenturan. Mereka saling belajar. Islam adalah contoh yang baik.” Hal itu ia ungkapkan di dalam sebuah wawancara dengan The New York Times edisi 30 Oktober tahun 2001, hampir dua dekade yang lalu. Di edisi yang sama, Farouk El-Baz, saintis ruang angkasa dari Universitas Boston yang terlibat dalam Proyek Apollo, ia memberikan perspektif menarik. Menurutnya, “Sains bersifat internasional. Tidak ada sains Islami, karena sains ibarat mendirikan bangunan besar, sebuah piramid. Setiap orang bisa meletakkan batu bata. Batu bata itu tidak punya agama. Tidak relevan mendiskusikan warna kulit orang yang meletakkannya.”
D. Dua Sayap Mengepak
Dalam konteks sekarang, bahwa gairah untuk mendalami ilmu agama (tafaqquh fi ad-din) sudah seharusnya tidak mengabaikan ikhtiar dalam pengembangan sains. Bahkan seyogyanya para saintis itu dianggap sebagai para mujahidin di “medan perang” yang berada di jalan Allah? Karena, kemunculan sebuah kata di dalam Al-Qur’an telah menunjukkan tingkat kepentingannya, bahwa sains (‘ilm) dalam posisi yang sangat terhormat. Yaitu kata “Ilm” muncul sebanyak 105 kali, lebih banyak dibandingkan dengan penyebutan kata “ad-din”, yaitu sebanyak 103 kali. Jika itu disepakati, maka kedua sayap peradaban Islam akan kembali mengepak.
Sementara Franz Rosenthal, sang orientalis dari Universitas Yale, dalam pengantar bukunya “The Knowledge Triumphant : The Concept of Knowledge in Medieval Islam”, untuk menggambarkan posisi istimewa sains pada zaman keemasan Islam, ia menegaskan : “Nyataya tidak ada satu konsep pun yang secara operatif berperan untuk menentukan dalam pembentukan peradaban Islam di segala aspeknya yang sama dampaknya dengan konsep pengetahuan (‘ilm). Tidak ada satu cabang pun dalam kehidupan intelektual muslim, kehidupan religius dan politik muslim, dan kehidupan sehari-hari muslim kebanyakan yang tidak tersentuh oleh sikap yang begitu merasuk terhadap pengetahuan sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi untuk menjadi seorang muslim (yang paripurna). Sementara ketika memberikan kritik terkait kondisi mutakhir, Ziauddin Sardar menyatakan bahwa umat Islam saat ini dipaksa untuk bertindak reaktif atas satu tantangan ke tantangan lain, bergerak dari satu jalan buntu ke jalan buntu lain. Menurutnya, umat Islam saat ini tidak mampu mengapresiasi kekuatan dirinya sendiri, tidak memahami realitas kontemporer, dan tidak mau menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat.
Oleh karena itu, pengembangan sains akan bersamaan dengan kemajuan sebuah bangsa. Banyak masalah kemanusiaan yang akan dipecahkan oleh sains, seperti ilustrasi pembuka di atas. Sambil mendalami ilmu agama, kini saatnya kita (umat Islam) untuk menjadikan kembali pengembangan ilmu pengetahuan dan sains menjadi suatu keharusan bagi setiap muslim untuk mendesain kembali tentang masa depan peradaban Islam dan tidak lagi terus terjebak di bawah bayang-bayang nostalgia masa lalu. Oleh karena itu, umat Islam saat ini butuh kolaborasi dengan pihak manapun dan perlunya kerja kolektif peradaban. Tidak perlu membayangkan setiap muslim dapat memainkan instrumen yang sama karena akan menguras energi. Namun, cukuplah bagi setiap muslim sepakat untuk berada pada tangga nada yang sama, yaitu tangga nada peradaban baru.
Lalu muncul sebuah pertanyaan, bagaimana membangun pradaban baru itu? Dan bagaimana pendidikan agama yang memiliki gengsi besar di mata dunia? Oleh kaerena itu, saat ini kita (umat Islam) perlu mengingat kembali sejarah keilmuan Islam masa lalu. Bagaimana para “founding fathers” kita di zaman keemasan Islam itu, mereka membangun kekuatan Islam melalui budaya dan tradisi membaca dan menulis, yang pada saat itu belum ada teknologi modern atau teknologi informasi (IT) seperti saat ini, tetapi mereka cukup disegani dan menjadi bangsa yang prestisius di dunia.
E. Tradisi Intelektualisme Islam
Wahyu pertama yang turun (QS Al-‘Alaq :1-5) dan sejumlah hadis Nabi memiliki makna besar terhadap perkembangan keilmuan pada masa-masa berikutnya. Serupa yang dicatat oleh Ahmad Amin, bahwa pada masa awal datangnya Islam, baru tujuh belas orang suku Quraisy yang pandai membaca-tulis. Nabi memerintahkan para pengikutnya untuk belajar membaca dan menulis. Aisyah, isterinya pun belajar membaca. Anak angkatnya, Zaid bin Haritsah disuruh pula belajar bahasa Ibrani dan Suryani. Para tawanan perang dibebaskan setelah mereka dapat mengajar sepuluh orang muslim untuk membaca dan menulis (Meski Nabi sendiri ummi), tetapi “ke-ummi-an” beliau sangat beralasan untuk menolak anggapan, bahwa al-Qur’an itu ciptaan-Nya). Beberapa wahyu (nash) penting mengenai ilmu pengetahuan telah menjadi alasan bagi dukungan dan respon Islam terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Oleh karena itu, tak heran jika tradisi keilmuan dalam Islam juga begitu subur dan semarak pada masa-masa berikutnya.
Demikianlah, gerakan melek huruf untuk pertama kalinya dilakukan Islam dalam rangka pengamalan ilmu pengetahuan. Jika awalnya pada kajian keislaman hanya mengacu pada al-Qur’an, al-Hadits, Kalam, Fiqh serta ilmu gramatika bahasa (nahwu, sharaf, balaghah), maka pada periode berikutnya, yakni setelah kemenangan Islam ke berbagai wilayah, kajian itu berkembang dalam berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, astronomi, fisika dan ilmu-ilmu sosial. Kenyataan itu bisa dibuktikan pada masa kegemilangannya, antara abad 8-15 Masehi, dari dinasti Abbasiyah (750-1258) hingga jatuhnya Granada (1492).
Sementara perluasan wilayah Islam dimulai sejak khalifah Abu Bakar As-Shiddiq hingga dinasti ‘Abbasiyah. Berturut-turut jatuh ke tangan Islam adalah wilayah : Damsyik (629), seluruh Syam dan Irak (673), Mesir hingga Maroko (645), Persi (646), Samarkand (680) dan seluruh Andalusia (719). Satu abad kemudian (setelah hijrah), negara Islam telah membentang dari teluk Biskaya di sebelah barat hingga Turkestan (Tiongkok) dan India yang melebihi imperium Romawi pada puncak kejayaannya.
Bahwa jauh sebelum umat Islam menaklukkan wilayah Timur Dekat, Syria merupakan tempat bertemunya dua negara “super power” waktu itu, Roma dan Persia. Bangsa Syria memang memiliki peran penting dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan peradaban Yunani ke Timur dan Barat, terutama kaum Monofisit dan Nestorian. Hanya saja saat itu ilmu pengetahuan (seperti kedokteran) masih tetap merupakan pengetahuan sekuler dan dengan demikian kedudukannya lebih rendah daripada pengobatan spiritual yang merupakan hak istimewa para pendeta. Sebagaimana kata De Boer, bahwa berdasarkan peraturan mazhab Nisibi, mulai tahun 590, kitab-kitab suci dilarang dibaca dalam satu ruangan dengan buku-buku mengenai profesi keduniaan (sekuler). Bahkan, di pusat-pusat ilmu pengetahuan, seperti di Antokiah, Ephesus dan Iskandariah, penterjemahan buku-buku Yunani ke dalam berbagai bahasa, terutama bahasa Suryani (Syria) tetap dilakukan dan tetap memiliki pengaruh yang besar, bahkan setelah pusat-pusat kota itu ditaklukkan oleh umat Islam.
Ketika pemikiran-pemikiran Yunani itu merasuk pada umat Kristiani dan mewarnai pemikiran tokoh gereja Nestorius, maka serta-merta saat itu malah mendapatkan tantangan keras dari kaum konservatif dan ortodoks (nasrani), sehingga pada tahun 481, ajaran-ajaran filsafat dilarang oleh gereja. Tetapi meski begitu, Nestorius dan sebagian pengikutnya, ia tetap tidak mau tunduk dan malah melarikan diri ke Syria. Di sinilah ia mengembangkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, bahkan ia mendirikan sekolah-sekolah serta tetap aktif menterjemah. Karya-karya Yunani yang diterjemahkan antara lain mnengenai filsafat dan logika.
Perluasan wilayah Islam ke berbagai penjuru telah membawa konsekuensi bahwa Islam harus berhadapan dengan berbagai pluralitas bangsa dan “globalisasi“ dunia saat itu : ras, bahasa, budaya, agama dan bangsa itu sendiri. Islam mesti berhadapan dengan ragam agama: Yahudi, Kristen, Zoroaster, Manes, Hindu dan seterusnya, dengan aneka budayanya: Yunani, Romawi, Mesir (Qibti dan Nubia) dan Persi. Heteroginitas dan globalisasi itu menuntut umat Islam untuk senantiasa mampu menampilkan ajaran-ajarannya dalam bentuk yang kosmopolit dan egaliter. Di sinilah kemudian umat Islam juga mulai mempelajari karya-karya Yunani untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani, suatu bahasa yang masih serumpun dengan bahasa Arab. Upaya itu terus berlanjut hingga masa kegemilangannya pada masa dinasti Abbasiyah.
Sementara pada abad 7 M, terdapat dua pusat ilmu pengetahuan : yaitu di Haran dan Jundishapur. Tsabit bin Qurra’ dan anaknya, Sinan bin Tsabit, serta kedua cucunya, Tsabit dan Ibrahim adalah produk-produk pendidikan lembaga Aleksandria (Haran), yang ahli dalam bidang matematika dan astronomi. Sementara di Jundishapur, Khosru Anusirwan (521-579) mendirikan lembaga studi filsafat dan kedokteran. Karena letaknya yang dekat dengan Baghdad, maka dengan mudah lembaga tersebut berpengaruh terhadap umat Islam di sana (C.A Qadir, 1989: 36, Watt, 1987: 56).
Oleh karena Jundhisapur berdekatan dengan Baghdad, maka hubungan politis orang-orang Persia dengan khalifah Abbasiyah sangat erat, yang akhirnya memiliki dampak positif bagi umat Islam di sana. Sejak awal Jundishapur telah menyumbangkan tabib-tabib Istana, seperti halnya sejumlah keluarga Nestorian, Bakhtisyu yang mengabdi kepada khalifah dengan penuh hormat. Mereka juga banyak membantu pembangunan: rumah sakit dan observatorium di Baghdad dengan mengikuti pola Jundishapur selama pemerinyahan Harun Al-Rasyid (789-809) dan penerusnya Al-Makmun. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa ketika bangsa Arab menaklukkan negeri-negeri di Asia Barat dan Timur dekat, mereka tidak mengganggu urusan bahasa dan kebudayaan bangsa yang mereka taklukkan tersebut. Itulah sebabnya, di bagian awal sejarah Islam, sebelum dinasti Mu’awiyyah memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi, bahasa Persi dan Yunani tetap dipergunakan pada waktu itu, hingga secara resmi diganti dengan bahasa Arab. Oleh sebab itu karya Yunani yang masih ada sebagian berbahasa Persi dan sebagian lain tetap berbahasa Yunani. Sementara ilmu pengetahuan yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa dinasti Umayyah di bawah pemerintahan Marwan bin Hakam (684-685) adalah ilmu kedokteran. Ketika itu seorang dokter bernama Masarjaweh menerjemahkan buku yang ditulis oleh seorang pendeta bernama Ahran bin A’yun dari bahasa asli Suryani ke dalam bahasa Arab. Buku tersebut masih tersimpan baik di pertustakaan hingga pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (718-720). Kemudian buku tersebut dipindahkannya ke mushalla dengan maksud agar dapat dimanfaatkan oleh umum. Sebagian riwayat menyebutkan, bahwa orang yang pertama kali menterjemahkan itu adalah Khalid bin Yazid Al-Umawi (w. 678) dan buku yang diterjemahkannya adalah ilmu kimia (Shun’ah) yang tekenal saat itu.
Segera setelah penobatan khalifah Abbasiyah, dilakukanlah penerjemahan karya-karya ilmiah dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab secara serius. Pada masa kekuasaan Harun Al-Rasyid telah banyak diterjemahkan karya mengenai astronomi, satu diantaranya adalah “Siddhanta”, yaitu sebuah risalah India yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibrahim Al-Fazari (w. 806). Sebuah karya astronomi lainnya adalah “Quadripartitus” karya Ptolemy dan karya-karya lain mengenai astrologi. Selain bernilai ilmiah, karya-karya terjemahan itu mempunyai nilai praktis.
Yahya bin Bitriq misalnya telah menterjemahkan “Timaeus”, karya Plato dan De Anima, “Analytica Priori” dan “Secret of Secret-nya” Aristoteles. Saat itu tidak hanya khalifah dan wazir-wazir saja yang menaruh perhatian terhadap para filosof dan ilmuwan, melainkan juga masyarakat biasa. Misalnya keluarga Banu Musa, seorang hartawan terpandang telah menyumbangkan banyak uangnya untuk keperluan terjemahan tersebut. Ia mengutus orang-orangnya pergi ke Byzantium untuk membeli naskah-naskah Yunani dan mengupah para penterjemah dengan harga tinggi. Beberapa karya selain astrologi dan matematika yang diusahakan adalah karya mengenai atom (The Treatise on the Atom) dan karya mengenai kekekalan dunia (The Treatise on the Eternity of the World), dua risalah tersebut memang bernilai filosofis.
Nampaknya Baghdad tidak ingin ketinggalan dengan tradisi Aleksandria dan Jundishapur, maka dibangunlah Lembaga Ilmu Pengetahuan (Bait al-Hikmah) pada tahun 830 oleh Al-Ma’mun (813-833) sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan dan filsafat yang sarat dengan fasilitasnya: ada perpustakaan, laboratorium penterjemahan dan observatorium bintang. Penterjemah penting di “Bait al-Hikmah” ini adalah Hunayn bin Ishaq (w. 873) seorang Kristen Haran dan murid Hasawaih, seorang yang berjasa besar dalam menterjemah karya-karya medis klasik, ia sendiri juga sebagai dokter pribadi Harun Al-Rasyid.
Di samping Hunayn, terdapat penterjemah lain, seperti Qusta bin Laqa (seorang Kristen juga) dan Tsabit bin Qurra’ (w. 901) dari kalangan penyembah bintang-bintang (Sabi’ah) yang bersama murid-muridnya menterjemahkan karya astronomi. Karya-karya Plato dan Aristoteles yang diterjemahkan itu adalah: “Theatetus, Cratylus, Sophistes, dan Permanides”. Keempat karya tersebut diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn dan semuanya tercatat dalam buku “Al-Fihris” karya Ibnu Nadim dan “Tarikh al-Hukama” karya Al-Qafti. Sementara “Timaeus”, ysitu buku mengenai fisika yang diterjemahkan oleh Hunayn bin Ishaq dengan ulasan Plutarchus. (Yahya bin Bitrik juga menterjemahkan karya tersebut); “Phado”, karya tentang jiwa dan keabadian sesudah mati dan “Phaedrus” karya tentang cinta, keduanya merupakan disiplin psikologi; “Politicus”, karya tentang ilmu politik yang diterjemahkan oleh Hunayn bin Ishaq dan Law (undang-undang) yang diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi; Sedangkan karya-karya Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, seperti: “Categorie” (Al-Maqalat) berisi tentang sepuluh macam yang diterjemahkan oleh Ibn al-Muqaffa’, kemudian diterjemahkan lagi oleh Ishaq bin Hunayn dan selanjutnya diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi dengan ulasannya dari Iskandar Aphrodisis ; “Interpretation” yang di dunia Arab Islam dikenal dengan nama “Pori-Armenias”, berisi keterangan mengenai bahasa: proposisi dan bagian-bagiannya. Karya tersebut semula diterjemahkan oleh Ibn al-Muqaffa’ (ke dalam bahasa Persi kuno) kemudian disalin ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq bin Hunain; “Analytica Priaora” (uraian pertama) yang membahas tentang metode keilmuan. Diterjemahkan oleh Mattius bin Yunus ke dalam bahasa Suryani. Kemudian diterjemahkan lagi oleh Ishaq bin Hunayn; “Analytica Posteriora” (uraian kedua) diterjemahkan oleh Yahya bin ‘Adi dan Abu Utsman al-Damsyiqi; “Sophistic Elenchi”
(kesalahan-kesalahan Sofistik) disalin ke dalam bahasa Arab oleh Ishaq bin Hunayn dengan judul “Al-Hikmah al-Muwawwahah”
(filsafat yang menipu); “De Caelo” (langit) diterjemahkan oleh Petrick, kemudian diringkas oleh Naicholas Damascus; “Anima” (jiwa) diterjemahkan oleh Ishaq bin Hunayn (semula diterjemahkan oleh Yahya bin Bitrik, pen.); “Ethica Nicomachaes” yang berisi tentang pembagian ilmu etika menurut Aristoteles.
Kemudian pada abad ke-10 M muncul dua penterjemah terkemuka: Yahya bin ‘Adi dan gurunya, Abu Bisyr Matta yang memiliki kontribusi besar dalam menterjemahkan karya-karya Aristoteles, khususnya mengenai logika. Matta misalnya dianggap berjasa atas terjemahan karya logika Aristoteles : “Categories, Hermeunetica, Analytica Priora, Analytica Posteriora” dan sebuah komentar tentang “Isagoge Porphyry”, pengantar pengantar “Analytica” dan “a Treatise on Conditional Syllogism”.
Hampir semua sejarawan (baik Timur maupun Barat) sepakat, bahwa umat Islam memiliki peran besar dalam memberikan kontribusinya terhadap dunia Barat/Eropa pada abad ini, baik di bidang sosial-budaya maupun ilmu pengetahuan. Karena, berkembangnya ilmu pengetahuan Barat sekarang ini, yakni yang dapat melahirkan teknologi yang sangat canggih (sophisticated), tak lain adalah berkat ilmu pengetahuan yang telah berkembang selama kurang lebih tiga belas abad silam di tengah pakar-pakar Muslim kenamaan.
Jika orang Yunani adalah “bapak metode ilmiah”, simpul H.G Wells, maka, orang Muslim adalah “bapak angkat”-nya. Dalam perspektif sejarah, dunia modern sekarang ini mendapatkan sinarnya lewat orang Muslim, bukan lewat orang latin. Roger Bacon, yang dianggap sebagai pencetus metode eksperimen di Barat, tak lain adalah seorang yang telah mentransfer karya-karya kaum Muslimin, seperti Ibn Sina dan Ibn Haitsam. Sedangkan kebudayaan Muslim masuk ke wilayah Eropa, yaitu melalui dua cara: studi orang Barat ke Andalusia, dan melalui kontak perdagangan dan penterjemahan. Sebagaimana pengakuan Phillip K. Hitti (1970: 170), bahwa ilmu pengetahuan Islam dalam banyak hal akhirnya merembes ke alam pikiran orang-orang Barat.
Hal itu dapat dilihat dalam sejarah Spanyol Islam yang menunjukkan salah satu perkembangan yang terbaik di Eropa pada abad pertengahan. Antara pertengahan abad ke-8 M dan permulaan abad ke-13 M bangsa Arab merupakan pendukung utama suluh kebudayaan dan peradaban di seluruh dunia, serta pengantar munculnya renaissace di Eropa Barat. Hitti lantas menunjuk para penulis kenamaan Islam, misalnya: Ibn Hazm (994-1064) seorang penulis produktif (kurang lebih 400 buah karyanya) mengenai: sejarah, teologi, hadits, ilmu mantiq dan puisi, Ibn Zaidun (1003-1071) seorang penyair utama bangsa Arab, Ibn al-Khatib (w. 1371) dan Ibn Khaldun (1332-1406) seorang pakar sejarah (ilmu sosial), Ibn al-Awwan penulis risalah mengenai biologi yang sangat bagus, Ibn al-Baitar ahli media dan Ibn Thufail (w. 1185) dengan karya populernya “Hay bin Yaqqdhan”, yang oleh banyak penulis dianggap mengilhami Danile Defol dengan karyanya “Robinson Crusoe”.
Spanyol memang merupakan pusat ilmu pengetahuan dan peradaban saat itu, dimana banyak para mahasiswa Eropa yang belajar di Universitas-Universitas di sana, Cordova, Sevilla, Malaga dan Granada. Paus Sylvester II adalah orang nomor satu dari Gereja yang datang ke Cordova untuk belajar matematika dan astronomi. Dia pulalah yang mengintrodusir angka Arab (ghubar) yang digunakan di Spanyol ke dunia Barat. Pada saat itu umat Islam juga tampil sebagai pedagang-pedagang besar dalam lalu lintas perdagangan internasional, sehingga peradaban dan kebudayaannya mengelaborasi dari Asia hingga Eropa.
Transmisi ilmu pengetahuan Eropa melalui penterjemahan dilakukan dengan gencar sekali. Penterjemahan buku-buku bahasa Arab ke bahasa latin telah ditemui sejak abad ke-9 M. Di perpustakaan Tripoli diketemukan dua buah manuskrip yang tercatat dalam sejarah pada abad-10 M berbahasa Latin yang berasal dari bahasa Arab. Usaha besar-besaran untuk menterjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin terjadi pada abad 12-13 M, yang berpusat di Cordova.
Meski setelah kota tersebut jatuh ke tangan umat Kristiani (1085) dan tidak pernah lepas dari cengkeramannya, namun situasinya tetap tidak berubah, peradaban dan kebudayaan Muslim tetap bersinar. Hingga dua abad kemudian penduduk Toledo masih menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan juga bahasa resmi.
Gerakan penterjemahan tersebut disemangati oleh Alfonso yang mendapat julukan “Si Bijak”, yaitu raja Castilla (1252-1284). Ia juga seorang pakar berbagai disiplin ilmu, termasuk yang menulis karya “Cronica General” yang salah satu babnya berisi sejarah hidup Rasulullah, begitu juga dengan penterjemahan buku “Kalilah wa Dimnah”. Toledo memiliki para penterjemah terkemuka dan profesional. penterjemahan mula-mula dilakukan dari bahasa Arab ke bahasa Ibrani, atau ke bahasa Castilla, baru kemudian ke bahasa Latin. Hal itu berbeda dengan orang-orang yang menterjemahkan pertama-tama dari bahasa Yunani ke bahasa Syiria. Meski begitu ada juga orang-orang Latin yang mampu menterjemahkan langsung dari bahasa Arab ke bahasa Latin, sebagaimana juga ada orang Arab yang mampu menterjemahkan langsung dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Sementara diantara para pakar luar Spanyol yang pernah bekerja sebagai penterjemah di Toledo tercatat nama-nama seperti : Gerard dari Cremona (Itali) meninggal tahun 1187, Michael Scott, Inggris (m. 1236) dan Robert dari Chester (Inggris). Tidak diragukan lagi bahwa filsafat Kristen telah dipengaruhi oleh filsafat Islam sejak abad ke-12 M, yaitu ketika orang-orang Latin mengadakan kontak dengan orang-orang Arab melalui Sicilia dan Andalusia dan melalui terjemahan buku-buku.
Pengaruh tersebut begitu kuat pada abad ke-13 M, dan bergema selama dua abad sesudahnya hingga era “renaissance”. Kita hampir tidak menemukan tokoh terkemuka abad 13 M yang tidak mempunyai hubungan dengan Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Jika Siger dari Brabant (m. 1282) adalah seorang pendukung bersemangat Ibn Rusyd, maka Roger Bacon lebih mendukung Ibn Sina, sementara filsafat St. Thomas Aquinas, ia telah menggabungkan filsafat Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Demikianlah karya-karya Muslim telah banyak diterjemahkan, mulai dari Ibnu Thufail, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Khawarizmi dan seterusnya. Toledo memang jembatan bagi dunia Barat dalam mencerdaskan bangsa dan perasaan seni. Sementara menurut Abdus Salam, Toledo dan Salerno merupakan awal penciptaan sains di dunia Barat. Di sana sebuah pelita dinyalakan cemerlang. Di sinilah maka ketika George Sarton, yakni seorang pakar sejarah sains, ia membagi daur era penciptaan sains, Islam tampil progresif. George Sarton membagi prestasi sains ke dalam beberapa era, dimana setiap era berjangka waktu sekitar setengah abad, dengan separoh abad diasosiasikan seorang tokoh utama: Pertama, tahun 450 sampai 400 S.M adalah era Plato, yang kemudian diikuti oleh oleh Aristoteles, Euklides dan Archimedes. Kedua, dari tahun 600 sampai tahun 700 M adalah era China dengan tokoh utamanya Hsiian Tsang dan I Ching. Ketiga, dari tahun 750-1100 M, 350 tahun secara kesinambungan adalah Jabir, Khawarizmi, Razi, Mas’udi, Wafa’, Biruni, Ibn Sina, Ibn Haitsam dan Umar Khayam, mereka adalah bangsa Arab, Turki, Afghan dan Persia dari persemakmuran Islam. Baru sesudah tahun 1100 M, muncul nama-nama Barat untuk pertama kalinya seperti : Gerardo dari Cremona dan Roger Bacon, tetapi kehormatan ini masih harus dibagi selama 250 tahun berikutnya dengan nama-nama Ibn Rusyd, Nasiruddin, Thusi, Ibn Nafis, para ahli yang mendahului Harvey dalam pengembangan ‘teori perkembangan darah’. Ya, kalaulah tidak karena persinggungan dengan dunia Islam niscaya bangsa Barat tak akan semaju seperti sekarang ini.
Filsafat Islam, meskipun mengalami gerhana pada abad ke-5 H/11 M di Persia dan negeri-negeri Islam timur lainnya akibat serangan Syahrastani, Al-Ghazali, dan Fakhruddin Al-Razi, tidaklah sekadar hijrah ke Spanyol dan menikmati musim semi yang singkat di tangan Ibn Bajah, Ibn Thufail dan Ibn Rusyd dan akhirnya mati mengering di ujung Barat. Dunia Islam, terutama filsafat Ibn Sina dihidupkan kembali oleh Nashiruddin Thusi dan kelompoknya di abad ke-7 H/13 M, sementara dua generasi sebelumnya suatu perspektif intelektual yang baru mulai diperkenalkan oleh Syuhrawardi yang menamainya mazhab Pencerahan (isyraq).
Lebih lanjut, “sains mistisisme” atau “irfan” (gnosis) terumuskan kira-kira pada waktu yang bersamaan oleh Ibn ‘Arabi dan segera mulai berinteraksi dengan cara yang sangat kreatif dengan tradisi filsafat Islam maupun dengan teologi atau ilmu kalam yang saat itu telah menjadi semakin “filosofis”. Hasil dari semua perkawinan-silang itu adalah beberapa kegiatan filsafat yang ekstensif di Persia yang ditandai oleh tokoh-tokoh seperti Quthbuddin Syirasi, Dabiran Katibi, Atsiruddin Abhari, Ibn Turkah Isfahani, keluarga Dasytaki serta tokoh-tokoh lain yang sedikit sekali dikenal di dunia Barat. Masa pendekatan dan pencampuran itu, yaitu berlangsung selama kira-kira tiga abad, dan mencapai kulminasinya dengan Mazhab Isfahan yang di bangun oleh Mir Damad pada abad ke10 H/16 M dan mencapai titik puncaknya pada Mulla Sadra dan muridnya. Meskipun terjadi pasang surut pada masa akhir periode Safawi dan pengrusakan sebagian besar kota Isfahan akibat sebuan bangsa Afghan pada abad ke-12 H/18 M, namun obor filsafat Islam yang menyala kembali di tangan Mulla Sadra terus berlanjut hingga masa dinasti Qajar, yakni ketika Isfahan, di bawah Mullah ‘Ali Nuri menjadi pusat besar filsafat tersebut, sementara Teheran juga mulai muncul sebagai pusat kegiatan filsafat sejak abad ke-13 H/19 M hingga seterusnya. Selama masa itu sejumlah filosof penting seperti Hajji Mullah Hadi Sabziwari dan Mullah ‘Ali Zunuri muncul di atas gelanggang dan menulis makalah-makalah penting yang dibaca kalangan-kalangan tradisional Persia hingga sekarang. Mereka juga melatih banyak siswa yang mengemban tradisi yang hidup dari mazhab itu dengan menekankan pengajaran secara lisan dan tulisan hingg masa dinasti Pahlevi dan dunia semasanya.