
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Peradaban adalah hasil dari kompleksitas interaksi antara manusia, lingkungan, nilai-nilai budaya, dan zaman yang terus membentuk pola kehidupan sebuah masyarakat dan termasuk pola kehidupan masyarakat di era milenial saat ini. Sedangkan konsep peradaban itu sendiri memang tidaklah statis, namun sebaliknya, yakni ia adalah refleksi dari dinamika yang senantiasa berubah dan terus bergerak menuju kemajuan dan kemuta’khiran, namun ia juga rentan terhadap kemunduran dan bahkan kehancuran, yakni seiring dengan perubahan zaman itu sendiri.
Soal keruntuhan (kehancuran) keadaban dan peradaban itu memang sangat dikhawatirkah oleh Gubernur Yogyakarata, dimana pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2011, Gubernur Yogyakarta (Sri Sultan Hamengku Buwono X), yaitu sesusai menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang kemanusiaan dari Universitas Gajah Mada (UGM) dalam peringatan Dies Natalis ke-62 di Grha Sabha Pramana, Senin (19/12/2011). Ia berpendapat bahwa sekarang ini masalah peradaban kurang menjadi perhatian kita semua, padahal keruntuhan peradaban dan keadabab itu dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Sedangkan disintegrasi peradaban pada dasarnya adalah awal perjalanan menuju disintegrasi bangsa. Sementara itu, sekelompok manusia baru dikatakan sebagai sebuah kesatuan bangsa apabila terikat oleh peradaban yang dilandasi oleh berbagai nilai spiritual, moral, dan ideologis. “Jika krisis peradaban tidak digarap, maka peradaban bangsa kita akan kian terpuruk,” kata Sultan Hamengku Buwono.
Di dalam pidato pengukuhan doktor (HC), Sultan menegaskan pemimpin bangsa diminta untuk kembali membangun peradaban berbasis nilai kemanusiaan yang adil beradab sesuai amanat sila kedua Pancasila. Untuk mengatasi krisis peradaban yang terjadi, maka pilihan ‘memanusiakan manusia’ dengan meningkatkan spiritualitas dan kesadaran terhadap lingkungan sangat penting dilaksanakan agar menjadi kesadaran publik, agar melahirkan manusia Indonesia yang utama. “Kerja pembangunan yang memperkokoh peradaban bangsa, hendaknya dijalankan menyeluruh tanpa meninggalkan aspek spiritual bangsa,” tambahnya. Sultan menuturkan peradaban baru yang tumbuh dalam proses pembangunan harus menjadi lahan bagi tumbuh berseminya peradaban berbasis nilai kemanusiaan, penuh harmoni dalam kebhinnekaan. ”Bukan peradaban yang bias global atau bias lokal. Semua harus satu pemahaman, yaitu menghargai, menghormati dan peduli, saling mengubah dan menyesuaikan diri,“ kata Sultan.
Sementara sang Raja Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut, ia mendapatkan gelar doktor honoris causa dengan promotor Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., Ko-promotor Prof. Dr. dr Sutaryo dan Prof. Dr. Djoko Suryo, Sp.A(K). Selain menganugerahkan doktor honoris causa, UGM memberikan pula Anugerah HB IX kepada budayawan dan kolumnis, Goenawan Mohamad. Atas penghargaan yang diterima, Sultan HB X menyampaikan rasa terima kasih. “Jadi, ini pengakuan keilmuan, tapi juga pengakuan aplikasi. Konsistensi yang dilakukan keilmuan dan penerapan untuk masyarakat. Bagi saya, terima kasih atas semuanya, apa yang saya lakukan juga atas nama masyarakat,” tegasnya.
II. Apa Pentingnya Membangun Peradaban Manusia?
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang demikian cepat saat ini, maka penting bagi masyarakat untuk memahami signifikansi dari membangun peradaban manusia. Dengan pemahaman yang mendalam tentang esensi dari peradaban itu, maka kita dapat memahami, yaitu bagaimana pembangunan sosial, budaya, dan intelektual menjadi landasan penting dalam konteks untuk mengembangkan masyarakat yang beradab. Maka peran pendidikan dalam proses terwujudnya peradaban dan keadaban itu menjadi faktor kunci yang dapat mempengaruhi serta berdampak positif terhadap masyarakat serta lingkungan.
A. Peradaban Manusia : Pemahaman Dasar
Sebelum kita membahas lebih jauh, penting untuk menggali pemahaman dasar tentang peradaban manusia. Peradaban manusia mengacu pada proses pencapaian kolektif dalam bidang seni, sains, teknologi, sistem politik, dan nilai-nilai sosial yang membentuk kerangka kerja masyarakat. Ini mewakili ekspresi kemanusiaan yang beragam dan kompleks melalui berbagai aspek kehidupan.
B. Peran Pendidikan Dalam Pembangunan Peradaban
Pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk peradaban yang berkelanjutan. Melalui sistem pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada pembentukan karakter, maka masyarakat akan dapat mewariskan nilai-nilai penting kepada generasi mendatang, mengembangkan pemikiran kritis, dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan global yang lebih konflikitit.
C. Faktor-Faktor Kunci dalam Membangun Peradaban
Beberapa faktor kunci penting dalam membangun peradaban yang berkelanjutan. Di antaranya termasuk keadilan sosial, inovasi teknologi, kesadaran lingkungan, keberagaman budaya, dan kebebasan berekspresi. Integrasi yang tepat dari faktor-faktor tersebut memungkinkan masyarakat untuk mengarahkan pembangunan mereka menuju pencapaian yang berkelanjutan dan inklusif.
D. Pentingnya Kerjasama dalam Pembangunan Peradaban
Kerja sama antara berbagai entitas sosial, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta, merupakan kunci utama dalam pembangunan peradaban yang sukses. Dengan memupuk kolaborasi yang berkelanjutan, maka masyarakat dapat mengatasi permasalahan kompleks, merespons perubahan dengan cepat, dan dapat mengembangkan solusi yang berkelanjutan untuk tantangan global.
E. Peradaban Manusia di Era Digital
Dengan kemajuan teknologi digital, peradaban manusia menghadapi tantangan baru dan peluang yang menjanjikan. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara bijaksana, hal itu dapat meningkatkan keterhubungan global, memperluas akses terhadap pengetahuan, dan mempercepat proses inovasi. Namun demikian, perlu diingat bahwa etika digital dan perlindungan data pribadi merupakan aspek penting dalam kontek menjaga keutuhan peradaban manusia di era digital ini.
F. Dampak Positif Peradaban Bagi Masyarakat
Pembangunan peradaban yang kokoh memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat. Hal itu termasuk betapa peningkatan standar hidup, akses yang lebih luas terhadap layanan publik, kesempatan kerja yang lebih baik, dan peningkatan kesejahteraan secara menyeluruh. Bahkan, peradaban yang berkembang juga dapat meningkatkan identitas budaya dan menguatkan rasa solidaritas di antara anggota masyarakat.
G. Dampak Negatif Peradaban Yang Perlu Diwaspadai
Namun demikian, sementara pembangunan peradaban membawa sejumlah dampak positif, ada juga dampak negatif yang perlu diwaspadai. Hal itu termasuk perubahan lingkungan yang merugikan, konflik sosial, ketimpangan ekonomi, dan hilangnya identitas budaya lokal. Oleh karena itu, upaya yang bersifat berkelanjutan diperlukan untuk mengurangi dampak negatif tersebut dan menjaga proses keseimbangan yang baik dalam konteks pembangunan peradaban.
H. Bagaimana Masyarakat Membangun Peradaban yang Berkelanjutan
Untuk membangun peradaban yang berkelanjutan, maka masyarakat perlu mengadopsi pendekatan inklusif yang menghargai keberagaman budaya, mengedepankan kesetaraan gender, dan mengikis kemiskinan masyarakat dan terus mengeliminir degradatif lingkungan. Karena, semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap kebutuhan generasi mendatang, hal itu juga akan menjadi kunci dalam memastikan keberlangsungan peradaban manusia, baik kini maupun dimasa yang akan datang.
III. Manusia Beradab Dan Keadaban
Tujuan kehidupan adalah menjaga keadaban. Mengapa? Sebab, lentera keadaban dapat memandu nurani, serta mengutamakan kebenaran dan keadilan lintas ruang waktu, menuju Tuhan. Kita tahu hidup di dunia ini pendek aluas cukup singkat. Sementara kehidupan yang panjang itu adalah kehidupan di akhirst nanti dan tentunya kita harus berbrkal amal baik (amal sholeh). Dengan penyadaran kependekan hidup di dunia ini, maka perilaku kita di dunia ini harus menembus samudra batas sekat panjang itu (kehidupan akhirat yang berbekal amal sholeh serta kebaikan yang abadi), yaitu melalui percikan isian perilaku kebaikan kita waktu di dunia. Jangan sampai hidup yang pendek di alam jagat raya ini, malah membunuh kehidupan kita yang panjang. Kehidupan yang pendek di dunia ini harus mewujudkan kebaikan. Prinsip itu wajib ditegakkan. Sebab, tak ada kemuliaan selain dapat menghidupi kebahagian yang panjang.
Untuk mencapainya, kita butuh apa yang namanya adab kemanusiaan. Tak ada kemajuan tanpa bangsa yang berkeadaban. Barang siapa yang tak menanam benih keadaban, maka ia tak akan bisa memanen kebahagiaan dan peradaban. Karena, keadaban yang kita rumuskan dan sekaligus kita butuhkan adalah meniscayakan persatuan-kedamaian di atas perbedaan pandangan, serta keramahan yang luhur. Ia yang menghayati realitas subyektifnya, yang melandasi perilaku kehidupan manusia. Hal itu,
sebagaimana seringkali ditegaskan oleh para orang bijak, bahwa adab diejawantahkan oleh warga yang koheren jiwanya. Menghargai orang lain dan memantapkan mitra kerja kemanusiaan, saling melengkapi untuk hidup yang lebih utuh, hidup yang lebih mendamaikan dan saling membangun kebersamaan.
A. Dua Faktor Kemanusiaan
Sekurang-kurangnya ada dua faktor untuk menuju kemantapan diri atau koheren jiwa. Faktor pertama adalah pengamalan menjadi hidup terus menerus dalam solidaritas kemanusiaan, yang oleh keempat pelopor psikoanalisis intersubyektif itu diperinci ke dalam “keterhubungan serasi perasaan antar insan” (affact attunement), dan “pengakuan empatik atas pengamalan subyektif liyan” (empathic validation). Sementara faktor kedua untuk bertumbuh kembangnya koherensi diri ialah pengalaman tentram yang panjang karena berdampingan dengan tokoh-tokoh yang disegani dan dihormati. Sikap gotong-royong misalnya, hal itu menjadi bukti berlansungnya tumbuh kembangnya yang pertama. Sekaligus fenomena itu membuktikan kehendak manusia Indonesia untuk menghidupi kemantapan diri di tengah solidaritas kemanusiaan. Hal itu, sebagaimana disebutkan posisi adab orang Indonesia, bisa menyatu-padukan banyak orang dalam keterhubungan setara.
Misalnya, bisa berlaku lemah-lembut kepada sesamanya dan menghindari kekerasan dan ekstremisme. Sebisa mungkin jika ada kesalahan saling berembuk mencari jalan keluar. Ketika menemukan jalan keluar (jawaban), semampu-mampunya untuk diserahkan kepada Sang Pemilik Keputusan. Hal itu mendapat pernyataan yang nyata dari firmannya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka mejauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudia ketika kamu telah membulatkan tekad maka bertaqwalah kepada Allah. sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya” (QS Ali ‘Imran: 159). Berdasarkan ayat tersebut di atas, msnakala ingin menyampaikan pendapat dan segala hal, seyogyanya dengan cara-cara beradab. Dengan cara-cara berkeadaban yang mengedepankan akhlakul karimah. Bahkan, untuk berdakwah-pun, Allah menyuruh berdakwah kita dengan cara-cara sholeh dan lemah lembut, hal itu sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
IV. Membangun Keadaban Digital
Meskipun zaman sudah maju, namun data-data di internet tidak selalu afdhol dan valid. Ungkapan itu mungkin bisa merepresentasikan keresahan-keresahan yang dialami oleh siapa saja, dan apalagi kita saat ini yang hidup di ambang dunia nyata dan maya. Hal itu juga membuka lebar mata, pikiran, dan hati kita, sebagai umat manusia dan terutama bagi kita seorang muslim. Yaitu, bagaimana seharusnya kita bersikap dan bertindak dalam menyelami era digital sehingga terbangun keadaban dan kesadaran yang berorientasi kepada kemaslahatan umat dan masyarakat?
A. Keadaban Dan Kemajuan Teknologi
Fredi (teman penulis yang kebetulab ia pernah menimba ilmu di luar negeri), ia menceritakan kepada punulis terutama seusai acara diskusi publik yang bertemakan “Literasi Figital”. Dan ia menceritakan soal kasus menarik yang terjadi di (Universitas Luar Negeri), yakni dimana ia pernah menimba ilmu di Universitas tersebut. Konon kata dia, bahwa salah seorang profesor akhirnya dipecat karena menampilkan manuskrip lukisan tahun 1436 M berjudul “Mi’raj Namek”, yaitu sebagai bahan ajar sejarah di perkuliahannya. Karena di lukisan tersebut terdapat penggambaran Malaikat Jibril, Nabi Idris dan Nabi Nuh, serta Nabi Muhammad saw. yang sedang menunggangi burok. Kemudian, salah seorang mahasiswa akhirnya memprotes hal tersebut dengan dalih bagwa lukisan dilarang dalam Islam, apalagi lukisan Nabi Muhammad saw. Bahkan, asosiasi para mahasiswa pun bergerak untuk mempermasalahkan sang dosen tersebut. “Nampaknya di dunia ini, keadaban memang tidak linear begitu saja dengan kemajuan teknologi. Agama dan beberapa hal lain juga ternyata masih kekeh (punya pepakeum) dengan sesuatu yang dianggap paten dan koti’, dan sakralistik,” tegas Fredi.
Dengan kata lain, bahwa keadaban juga merujuk pada akhlak, tingkat kecerdasan lahir batin, serta kebaikan budi pekerti. Lebih dari itu Fredi menilai, bahwa keadaban juga tak selamanya sejalan dengan teknologi yang terus mengalami kemajuan sangat pesat. Mengingat, bahwa keadaban harus berhenti di hal-hal yang kaku (rigid-sakralistik), sedangkan teknologi membuat kemajuan dunia sangat pesat, terutama dalam komunikasi dan penyebaran informasi. Bahkan, kalau kita mencoba mengingat-ingat, sekitar dua puluh lima tahun lalu, bahwa layanan pesan singkat atau SMS tradisional dikirim pertama kali. Namun, 30 tahun kemudian, 1 platform media sosial (WhatsApp) saja dapat mengirimkan lebih dari 100 miliar pesan per hari.
B. Migrasi Dan “Gado-Gado Sosial”
Satu hal yang berefek ketika melihat masyarakat dengan perkembangan keadaban yang tidak linear dengan teknologi adalah keambiguitasan ilmu sosial. Fredi menyatakan, masyarakat kita berangsur-angsur mengalami migrasi dari dunia nyata ke dunia maya. Namun, intensitas informasi yang diterima begitu besar dalam kurun waktu yang singkat. Beragam lapis masyarakat, yakni mulai dari yang tradisional hingga konsumtif berada di 1 garis yang sama membentuk “Gado-Gado Sosial”. Meskipun demikian, pola pikir tradisional masih melekat di berbagai lapis masyarakat kita. Hal itu menunjukkan bahwa kompleksitas yang tidak bisa diuraikan dengan pendekatan yang bersifat sederhana. Fredi juga khawatir akan persepsi masyarakat global tentang Islam. “Saya takut, jangan-jangan nanti Islam hanya direpresentasikan dengan gambar-gambar yang tampak sakral dan suci. Dan ternyata, bayang-bayang masa lalu masih sangat pekat. Kita masih sering belajar sejarah hanya untuk bernostalgia, fragmen-fragmen kecil sejarah, yakni yang sesuai dengan selera dengan mata dan telinga (membahagiakan), dan kemudian diamini sebagai bagian dari agama yang tidak boleh diubah, tidak bisa cair untuk masa sekarang. Maka, kalau hal itu terus terjadi, konsekuensinya agama akan dijastifikasi kurang inovatif dan lain sebagainya.
C. Inovasi Agama
Ada tiga hal yang harus kita perhatikan untuk mengembangkan keadaban digital dan komunikasi menurut pendapat penulis, yaitu : tauhid, akhlak, dan hikmah. Pertama, tauhid. Tauhid berkembang dari teologi “al maun”, tidak hanya sekadar teologi tentang iman, akhlak, akhirat, surga, dan neraka, tetapi juga implementasi secara sosial, yaitu yang melandasi literasi sosial kita dengan tauhid di ranah komunikasi media sosial. Kedua, akhlak, dari akhlak sebagai komunikator, komunikan, akhlak terhadap pesan, hingga media. Dewasa ini, sulit untuk menerapkan akhlak terhadap pesan. Kita tidak terbiasa memperlakukan pesan sebagai sesuatu yang sakral sehingga semua disampaikan tanpa berpikir matang. “Logika dan kebiasaan masyarakat media sekarang, yang penting cepat dan “up to date” (terkini),” tambah Fredi. Akhlak terhadap media pun kadang-kadang menjebak. Media bukan musuh, bukan juga teman. Media tidak hanya mempunyai kepentingan, tetapi juga merangkul kita sebagai konsumen. Jika terlalu percaya atau antipati dengan media, maka kita akan terjebak. Ketiga, hikmah. Syariat dibangun dan dilandasi oleh hikmah dan kemaslahatan umat di dunia dan akhirat. Maka syariat yang terkonstruksi seyogyanya berupa keadilan, rahmat, dan hikmah itu sendiri. “Jika dahulu suatu hal dianggap menegakkan keadilan, tetapi sekarang mengarah ke kesewenang-wenangan, itu bukan lagi syariat. Agama harus berinovasi”. Tegas Fredi.
D. Prinsip Pokok Membangun Keadaban Digital
Keadaban digital perlu dibangun dengan terus memperhatikan beberapa prinsip pokok diantaranya : “al amanah wa al nazahah” (tanggung jawab dan netralitas), “al diqqah fi al bahs wa al hukm” (cermat dan investigatif), dan “il tizam al adab” (tetap beretika). Sebagai seorang muslim, kita harus bertanggung jawab dalam membangun peradaban media, dan tidak hanya memposisikan diri hanya sekadar konsumen. Kemudian, kita juga harus cermat dan investigatif (teliti) dalam memutuskan sesuatu (berita dan informasi) dengan tetap beriktikad dalam kondisi apa pun serta menjunjung tinggi etika serta prinsip-prinsip pokok dalam bermedia. “Iman dan aman harus kita sandingkan. Ketika beriman, kita juga harus menjaga keamanan berkomunikasi. Fakta itu belum tentu juga persis dengan berita. Karena, banyak berita yang mengalami distorsi sehingga menimbulkan hoaks. Dan oleh karena itu, kita harus saring sebelum “sharing”, dan penting untuk cerdas bermedia. Kecerdasan perlu kita pupuk bersama anak dan cucu kita, karena kita semua adalah penduduk dunia nyata, tapi seringkali berselancar di dunia maya”. Tegas Fredi.
V. Menghancurkan Peradaban Melalui Pilar Keluarga, Pendidikan, Dan Wibawa Guru
Peradaban manusia yang kuat memang harus berdiri di atas fondasi yang kuat, yaitu keluarga, pendidikan, dan wibawa guru. Ketiga elemen itu berfungsi sebagai penopang utama bagi stabilitas dan kemajuan masyarakat. Namun, di era modern ini, ancaman terhadap ketiga pilar tersebut dapat mengakibatkan keruntuhan peradaban kita.
A. Keluarga : Fondasi Peradaban
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat dan merupakan dasar dari segala pembentukan karakter dan nilai-nilai individu. Sebagaimana dikatakan oleh Pope John Paul II, “As the family goes, so goes the nation and so goes the whole world in which we live.” Keluarga yang kuat dan stabil akan menghasilkan individu yang kuat dan stabil, yang dapat berkontribusi secara positif dalam masyarakat. Ibu sebagai pusat dari keluarga, perannya sangat penting dalam membentuk karakter anak-anaknya. Friedrich Nietzsche mengatakan, “Perempuan itu harus menjadi tenunan di mana benang masa depan ditenun.” Ketika peran ibu dilemahkan, keluarga menjadi rapuh. Ibu tidak hanya bertanggung jawab untuk merawat dan mengasuh anak-anak, tetapi juga untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan etika.
Di dalam masyarakat modern, tekanan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sering kali membuat ibu harus bekerja di luar rumah. Hal ini mengurangi waktu yang dapat mereka habiskan bersama anak-anak. Anak-anak yang tumbuh tanpa pengawasan dan bimbingan yang memadai dari ibu mereka cenderung mengalami masalah perilaku dan akademis. Selain tekanan ekonomi, peran ibu dalam keluarga juga mengalami devaluasi dalam budaya modern. Pekerjaan rumah tangga dan peran ibu sering kali dipandang kurang berharga dibandingkan pekerjaan profesional. Padahal, peran ini sangat krusial dalam membentuk karakter dan masa depan anak.
Media dan teknologi turut berperan dalam merusak peran ibu. Banyak konten media yang mempromosikan nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran moral dan etika tradisional. Anak-anak yang terpapar pada konten ini tanpa bimbingan yang memadai dari ibu mereka cenderung mengadopsi perilaku negatif. Ketika peran ibu hancur, struktur keluarga secara keseluruhan terancam. Keluarga yang tidak utuh dan tidak harmonis menghasilkan anak-anak yang tidak stabil secara emosional dan sosial. Ini adalah awal dari penghancuran peradaban karena individu-individu yang tidak stabil tidak dapat berkontribusi secara positif dalam masyarakat.
B. Pendidikan : Pilar Kemajuan
Pendidikan adalah alat utama untuk membentuk masyarakat yang berpengetahuan dan berbudaya. Plato pernah mengatakan, “Pendidikan adalah seni yang membuat manusia menjadi manusia.” Ketika sistem pendidikan hancur, masyarakat kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan rasional, yang sangat penting untuk kemajuan peradaban. Salah satu cara untuk menghancurkan pendidikan adalah dengan menyusun kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Ketika kurikulum tidak mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan modern, siswa tidak siap untuk berkontribusi dalam dunia nyata. Poin lainnya yaitu kesenjangan pendidikan antara berbagai kelompok sosial ekonomi juga menghancurkan peradaban. Karena, ketika hanya segelintir orang yang memiliki akses ke pendidikan berkualitas, maka ketidakadilan sosial akan semakin meningkat. Hal itu menyebabkan ketidakstabilan dalam masyarakat karena banyak individu merasa terpinggirkan. Pendidikan tidak hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter. Ketika sistem pendidikan gagal mengajarkan nilai-nilai moral dan etika, maka masyarakat akan dipenuhi oleh individu yang cerdas tetapi tidak bermoral. Hal itu adalah ancaman serius bagi keberlanjutan peradaban. Investasi yang minim dalam pendidikan oleh pemerintah juga berkontribusi pada penghancuran sistem pendidikan. Sekolah-sekolah yang kekurangan dana tidak dapat menyediakan fasilitas dan bahan ajar yang memadai, sehingga kualitas pendidikan akan terus menurun.
Sementara teknologi dapat menjadi alat yang kuat dalam pendidikan. Namun, proses penggunaan teknologi tanpa pengawasan yang tepat hal itu juga dapat merusak. Bahkan, ketergantungan berlebihan pada teknologi tanpa pemahaman kritis mengurangi kemampuan siswa untuk berpikir secara mendalam dan analitis. Globalisasi membawa perubahan besar dalam struktur sosial dan budaya. Dalam konteks ini, nilai-nilai tradisional sering kali terabaikan. Pendidikan yang tidak beradaptasi dengan perubahan ini akan kehilangan relevansi dan otoritasnya, yang berdampak negatif pada stabilitas peradaban.
C. Wibawa Guru : Penjaga Ilmu
Guru adalah figur otoritas yang memainkan peran penting dalam mendidik dan membimbing siswa. Menurut Henry Adams, “Seorang guru mempengaruhi keabadian; ia tidak pernah tahu dimana pengaruhnya berhenti.” Ketika wibawa guru dihancurkan, proses pendidikan terganggu dan kehilangan arah. Salah satu cara utama untuk menghancurkan wibawa guru adalah dengan tidak memberikan penghargaan yang layak kepada mereka. Gaji yang terbatas dan kondisi kerja yang buruk membuat banyak guru kehilangan motivasi untuk mengajar dengan baik, yang berdampak negatif pada kualitas pendidikan. Guru yang tidak mendapatkan dukungan profesional yang memadai cenderung mengalami kelelahan dan rasa pesimistis. Hal utu berdampak negatif pada kualitas pengajaran mereka dan pada akhirnya merugikan siswa. Dukungan yang kurang juga membuat guru merasa tidak dihargai dan tidak didukung dalam peran mereka. Media sering kali menggambarkan guru secara negatif, yang merusak citra dan wibawa mereka di mata siswa dan masyarakat. Ketika guru tidak dihormati, mereka kehilangan otoritas untuk mengajar dan membimbing siswa secara efektif. Hal itu mengurangi efektivitas pendidikan dan mempengaruhi kualitas pembelajaran. Orang tua yang tidak terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka juga berkontribusi juga pada penghancuran wibawa guru. Ketika orang tua tidak mendukung guru, siswa tidak belajar untuk menghormati dan menghargai otoritas guru. Hal itu membuat tugas guru dalam mendidik menjadi lebih sulit.
Sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada pengujian dan penilaian standar juga merusak wibawa guru. Guru dipaksa untuk mengajar demi ujian daripada mengajar untuk pemahaman mendalam dan pengembangan karakter. Hal itu mengurangi nilai pendidikan yang sebenarnya. Guru juga bertanggung jawab untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Ketika wibawa mereka dihancurkan, maka siswa tidak mendapatkan pendidikan moral yang memadai, yang berdampak pada meningkatnya perilaku anti-sosial dan kriminal. Hal itu akan mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat.
Sehingganya beberapa point yang dapat menyimpulkan kajian penting tersebut yaitu:
Menghargai peran ibu dalam keluarga adalah langkah penting untuk memperkuat peradaban. Ibu yang didukung dan dihargai dapat mendidik anak-anak dengan lebih baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan generasi yang lebih kuat dan stabil. Kebijakan dan program yang mendukung keluarga harus menjadi prioritas. Sistem pendidikan harus ditingkatkan untuk mengatasi tantangan zaman modern. Hal itu harus melibatkan pengembangan kurikulum yang relevan, peningkatan kesejahteraan guru, dan penggunaan teknologi yang bijaksana. Dengan demikian, pendidikan dapat berfungsi sebagai pilar yang kuat bagi peradaban. Sementara langkah-langkah harus diambil untuk meningkatkan wibawa guru, dab termasuk memberikan (gaji yang layak), dukungan profesional yang memadai, dan pengakuan atas kontribusi mereka dalam membentuk masa depan. Penghargaan dan dukungan tersebut akan meningkatkan motivasi dan kualitas pengajaran mereka.
Peradaban manusia berdiri di atas fondasi keluarga yang kuat, sistem pendidikan yang efektif, dan wibawa guru yang dihormati. Ketika ada proses penghancurkan ketiga pilar tersebut, maka hal itu dapat mengakibatkan keruntuhan peradaban. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mendukung dan memperkuat keluarga, pendidikan, dan wibawa guru demi keberlanjutan dan kemajuan peradaban kita.
VI. Keruntuhan Peradaban Dan Keadaban Itu Ada di Tangan Kita
Keruntuhan peradaban itu, tak harus mendokumentasikan keberadaannya secara sekilas. Bisa saja perlahan tapi pasti, hal itu akan terus merembes kepada sendi kehidupan yang awalnya kokoh, namun sedikit demi sedikit keropos dan akhirnya hancur. Kisah kehancuran yang demikian, ternyata bukan legi masa lalu, atau legenda di era kuno. Hal itu, apa yang membuat Jared Diamond, ia berani memprediksi kemungkinan tumbangnya sejumlah peradaban. Dan kita ingin tahu? Dan bahkan, konon katanya, bahwa Indonesia menurut Jured Diamond adalah salah satu negara yang ia sebut berada di tubir (turbulensi) kehancuran itu, seperti ia tulis di dalam bukunya yang berjudul “Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed.” Selain negara kita, sang guru besar Geografi di University of California, Los Angeles itu, ia menyebut juga nama negara Kolombia dan negara Nepal. Mungkin kita agak kurang beruntung, tapi kita harus tetap mawasdiri dan terus berbenah diri, karena negara-negara seperti Somalia, Rwanda, dan Zimbabwe, ia disebut sebagai peradaban yang tumbang di era modern sekarang.
Sementara faktor perusak peradaban itu sendiri memang sangat beragam, bahkan sangat kompleks. Satu sama lain saling berkaitan. Jured Diamond menyebut ada lima faktor. Kelima-limanya itu merujuk pengalaman Norse Greenland, yaitu Eropa yang pernah berjaya dari tahun 984 M hingga akhirnya tumbang pada tahun 1450 M. Perilaku yang bermuara pada akhlak, ikut bersumbangsih di keruntuhan Greendland. Seperti tampak dari penggundulan tanah yang dilakukan oleh Viking, yang menyebabkan erosi dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup mereka.
Menurut Jured Diamond, secara umum, sebuah peradaban runtuh setelah mencapai puncak kejayaannya. Begitulah siklus peradaban. Dalam beberapa kasus, ada pula peradaban yang runtuh dengan begitu cepat, setelah kejayaan berhasil diraih selama beberapa dekade, tetapi dalam tempo yang begitu cepat peradaban itu malah tumbang, seperti peradaban Maya Klasik di Yucatan. Secara teori, sebetulnya paparan Jured Diamond tidak begitu mengagetkan. Ia tidak berangkat dari kesimpulan nol. Teori yang sama tentang siklus peradaban yang melemah akibat merosotnya moralitas pernah disampaikan, antara lain oleh para cendekiawan Muslim.
Dalam “Muqaddimah”-nya, Ibnu Khaldun. Dimana Ibnu Khaldun menegaskan, bahwa jika Tuhan berkehendak memberangus peradaban, mereka akan diuji dengan sejauh mana konsistensi dan komitmen memegang teguh nilai-nilai serta moralitas tersebut di saat kemaksiatan merebak di mana-mana. “Inilah yang terjadi terhadap runtuhnya peradaban Islam di Andalusia, Spanyol,” tulis Ibnu Khaldun. Wajar bila kekhawatiran Jured Diamond muncul terkait nasib Indonesia, demikian pula dengan saya dan mungkin saja anda semua.
Menyaksikan dengan saksama betapa nihilitas nilai serasa sayup dan kini semakin terang-terangan, mulai tampak dalam tatanan masyarakat kita. Intrik politik para elite yang sarat ambisi dan oportunisme, eksplorasi alam yang tak bertanggung jawab, dan perilaku intersinisme di level akar rumput terus menjadi-jadi. Bahkan, kerapkali kita menyaksikan berita, “anak tega membunuh orang tuanya, dan begitu pula sebaliknya”. Oknum guru malah bertindak tabu, menghujat di ranah publik menjadi lumrah, pencari keadilan terdiasingkan. Namun, bila peradaban dianggap pula sebagai tatanan nilai, maka sejatinya bangunan tersebut terus mengalami kerentanan. Jika peradaban dinyatakan sebagai batas-batas kesopanan, nampanya hingga saat ini mulai memudar. Dan seandainya peradaban itu dipandang sebagai sistem akumulasi, maka peradaban bangsa kita saat ini terkesan tengah melepuh. Bagi Jured Diamond, permasalahan mendasar yang dihadapi masyarakat global saat ini sebenarnya ada dalam kendali diri. Bahkan, ancaman terbesar adalah ancaman yang dibuat oleh manusia itu sendiri. “Maka itu berarti penyelesaian masalah itu semua yang ada dalam kemampuan kita, khususnya apa yang dapat kita lakukan untuk peradaban dunia ini?,” katanya.
Bahkan, peradaban dan akhlak, tak bisa dipisahkan. Yakni, ibarat jasad dan roh, bila roh itu sirna, maka sirna pula jasad yang fana itu. Di sisi lain, keresahan dan serbaguna muncul dari para sastrawan yang disebut-sebut kerap melihat dunia dengan mata hati mereka, seandainya kita tak segera sadar dan memperbaiki akhlak kita, maka kekhawatiran tersebut bukan sekadar teori dan isapan jempol. “Selama moralitas masih bertahan pada suatu kaum, maka ia akan bertahan. Bila sirna, maka akan lenyap sudah eksistensi kaum itu. Solusinya adalah kembali ke moralitas. Perkuat jiwa dengan akhlak maka akan kokoh. Peradaban tumbang dan runtuh ketika akhlak itu nihil dan terdegradatif. Tipu daya, dusta, dan akan terus kerusakan merajalela,” demikian keresahan sang Ahmad Syauqi, yaitu seorang sastrawan dan budayawan terkemuka asal Mesir.
Berkaca pada tragedi Bagdad (Irak), kerapkali kita menyisakan kisah pilu bagi dunia Islam. Ujian yang teramat berat. Kesedihan dan duka mendalam yang dirasakan oleh umat Islam di berbagai wilayah saat itu. Luka dan lara di relung hati yang paling dalam tergoreskan lewat susunan kata dan frase. Tak sedikit sastrawan yang meluapkan kesedihan melalui cara mereka, berpuisi dan berprosa. Lewat gubahan syairnya yang terkumpul dalam kasidah yang bertajuk “Fi Ratsai Baghdad”, Syamsuddin al-Kufi (1226-1276 M), akhirnya meluapkan betapa ia sangat terpukul dengan peristiwa tragis tersebut (kehancuran Bagdad Irak oleh tentara Mongol). Dalam kepiluannya, al-Kufi menulis :
“Rumah..rumah..di mana mereka tinggal
Kemana keagungan dan kebesaran itu
Wahai rumah kemana kemuliaanmu
Dan panjimu yang terhormat dan agung itu
Wahai orang yang telah pergi dalam hati dan rusukku. Terdapat cahaya yang tak akan pernah padam karena kepergian kalian”.
Meski al-Kufi, ia teramat larut dalam kesedihan, namun ia harus berbuat sesuatu. Jasanya tercatat sejarah, ia membeli anak-anak yang ditawan oleh Tentara Mongol dan merawat mereka. Keruntuhan kejayaan Islam di Baghdad memang tinggal sejarah. Tetapi, sejarah adalah cermin bagi generasi mendatang. Pelajaran yang berharga tentunya adalah bagaimana umat Islam tetap waspada terhadap konspirasi musuh yang terkadang kasat mata, tetapi kadang pula senyap. Agama kita mengajarkan untuk menguasai dunia, bukan “mempertuhankan dunia”. Berbangga dengan kejayaan masa lalu dan melupakan masa depan, bukanlah sesuatu yang bijak dan bukan juga dari ajaran agama. Karena, Islam adalah agama masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang, yakni yaumil akhir nanti. “Faidza faraghta fanshab”, tak ada kata lengah dan jaga konsistensi selalu di dalam diri kita maupun di internal masyarakat dan bangsa kita.