Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Pada abad ke 16 – 17 M, keberadaan Kesultanan Banten saat itu betul-betul sedang mengalami masa superioritasnya, atau sedang mengalami masa kegemilangannya, baik dari segi sosial-ekonomi, politik, budaya, pertahanan (kekuatan armada perang Kesultanan Banten sangat kuat). Bahkan, saat itu Kesultanan Banten sangat menonjol dibidang “eunterprenenship” dan ekonomi maritimnya yang demikian memuncak saat itu. Sementara dibidang pendidikan, geliat literasi, dan proses penguasaan literatur dibidang ilmu sosial keagamaan saat itu demikian literatnya. Namun, ada satu hal yang sangat menonjol saat itu adalah titik fokus pada kajian dibidang sufistik (ilmu tasawuf) terutama ketika kitab “insak kamil” disalin dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Serang, terutama ketika dimasa kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir (1596-1651 M). Bahkan, keberadaan Kampung Kesunyatan saat itu betul-betul sudah menjadi pusat pendidikan dan sekaligus sebagai tempat “meng-intelektualisasi” bagi para ulama Banten pada khususnya dan bagi umat Islam di Kesultanan Banten pada umumnya.

Namun, sekalipun Kesultanan Banten saat itu sudah mengalami masa superioritas dibidang sosial-ekonimi dan bahkan sudah menjadi pusat interaksi perdagangan masyarakat dunia, dan itu bisa dibuktikan dengan semakin pesat dan meningkatnya neraca perdagangan di Kesultanan Banten. Dengan lata lain, keberadaan kesultanan Banten saat itu betul-betul sudah inklusif dan permisifnya terhadap kehadiran para pedagang dari berbagai manca negara (masyarakat dunia), terutama yang datang dari Eropa, Asia, Arab Saudi, Turki, India, dan lain sebagainta. Namun, Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir, beserta raja berikutnya, mereka tetap berusaha untuk memajukan pendidikan dibidang ilmu sosial keagamaan serta berbaga hal yang bersifat sufistik-sublimatik. Yaitu, dengan cara menterjemahkan dan sekaligus mengkaji isi kandungan dari kitab “insan kamil”, yang nota bene kitab tersebut bercorak sufistik-sublimatik (diskursus soal tasawuf). Lebih dari itu, Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir, saat itu terus melakukan proses keseimbangan, yakni antara progres report yang bersifat eksoteris (dinamika kemajuan dan proses pencapaian dibidang sosial ekonomi) dengan progres report dibidang eksoteris, terutama berbagai hal yang bersifat sufistik-spiritualistik. Hal itu terbukti dengan dikaji dan diterjemahkannya kitab “insan kanil” ke dalam bahasa Jawa Serang.

Proses pentermahan dan penkajian kitab “insan kamil” itu terus dilakukan oleh Sultan Abul Mafakhur Abdul Kadir, yang intinya agar terjadinya “pararelisme” kalimat do’a “Robbana atina fiddunia khasanah, wafil akhirati hasanah, wakina adzabannar”. Lebih dari itu, agar terjadi pula sebuah “pararelusme” dari substansi dari hadist “I’mal liduniaka ka’annaka ta’isyu abadan, wa’mal lil-akhirotika, ka’annaka tamutu ghodan”. Lebih dari itu, secara tipologi gaya kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir, ia mencoba untuk menghindari agar di internal kesultanan Banten maupun bagi warga masyarakat Kesultanan Banten, bisa imun dan sekaligus terhindar dari dinamika kehidupan yang bersifat materialistik hedonistik (kehidupan yang profan dan kesementaraan). Mengingat realitas yang terjadi saat itu di kesultanan Banten memang betul-betul sudah mengalami kemajuan dibidang sosial ekonomi dan bahkan masyarakat Banten saat itu, sudah bisa berinteraksi setiap saat dengan komuniras masyarakat dunia (masyarakat global), terutama mereka yang datang dari dunia Eropa (berkebangsasn Portugis, Inggeris, Peancis, Belanda, Denmark dll), kemudian komunitas juga dengan masyarakat Asia, Timur Tengah dan lain sebagainya. Dengan kata lain, Kesultanan Banten saat itu sudah sangat “meng-global” dan metrolis, sekaligus dalam posisi sedang mengalamikemajuan dibidang sosial ekonomi. Namun, sekalipun keberhasilan dibidang sosial ekomomi itu sudah semakin madif, tapi sisi spiritualistik pada saat itu terus menjadi titik prioritas bagi orientasi pembangunan yang dilakukan oleh Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir, harapannya agar masyarakat Banten tidak terkontaminasi dan atau tergelincir pada berbagai hal yang bersifat duniawi-hedonistik.

Demikian juga saat ini, terutama kalau kita coba merefleksi diri, nampaknya kita (tanpa terkecuali bagi masyarakat Banten) memang sedang berselancar kembali dibidang “gelimang panorama” hidup yang tumbuh berkembang dalam deras laju teknologi dan globalisasi yang kerapkali menyisihkan nurani diri kita sendirinya. Sementara kemajuan peradaban adalah karya manusia. Karena, manusia terus berpikir dan bekerjasama untuk membangun berbagai peradaban dengan segala ciri kebudayaannya. Dunia kini menjadi ruang dimana materi adalah “episentrum” dari segala bentuk aktivitasnya. Meski manusia adalah subyek peradaban dunia, tapi disaat yang bersamaan, malah manusia itu sendiri telah ‘terobyektivikasi’ oleh dunia yang profan ini. Sebutlah kini manusia makin kreatif, tapi ia semakin tergilas oleh kreativitasnya sendiri. Mungkin karena ia amat gemar ‘menciptakan’ dunia (teknologi canggih) dan memandangnya bahwa dunia ini adalah dunia yang riil baginya.

Maka berkarya menghasilkan dan sekaligus menikmati fitur-fitur materialistik dunia adalah cara manusia saat ini untuk mengawal eksistensinya. Namun, keterasingan manusia dari dirinya sendiri terutama disebabkan oleh upayanya sendiri, yang terus memproduk karya-karya teknis-teknologis canggih, ha itu semata-mata ditujukan untuk melayani kebutuhan tubuh dan seragam keinginan-keinginan jasadiyah manusia. Namun, kecanggihan teknologi saat ini, nampaknya tidak membawa pada keluasan jiwa, pada kecerdasan empati, dan pada sensitivitas sosial, melainkan hanya tumbuh dalam proyek-proyek teknik, yakni untuk memperkaya tubuh. Akhirnya, yang terjadi : oleh materi, dari materi dan untuk materi, dan terus berkubang di semak-semak materi.

Lalu, apa yang jadi masalah dengan materi? Bukankah nyata betul bahwa kita hidup di alam materi? Jelas mustahil kita saat ini untuk bisa mengingkari materi. Tapi bukan itu soalnya, karena tuntutan maknawi jiwa fitrah manusia setiap saat hadir dalam ruang-ruang kesadaran manusia. Secara kasat mata, materi yang terbentang beraneka ragam beserta keunikannya, memang memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh yang lain, tapi materi tidak pernah sempurna. Karena, sehebat-hebat air dapat menumbuhkan tanaman, tapi air juga tidak bisa menjadi satu-satunya sumber kehidupan dan pertumbuhan bagi sebuah pehon, dan pohon juga masih butuh sinar matahari. Dengan kata lain, tuntutan hakiki dari jiwa manusia adalah butuhnya nilai-nilai spiritual, dan manusia tak mungkin menautkan diri pada matahari semata-mata, dan kita sudah barang tentu membutuhkan spritualitas dan hal-hal yang bersifat sufistik-sublimatik. Demikian juga tanaman, ia juga butuh air, dan ia juga butuh sinar mata hari. Bagi hidup sekedar hidup, materi adalah sudah cukup. Tapi bila kita berupaya untuk mencari ‘makna’ hidup, hal itu tentu saja materi tidak cukup. Karena, dalam konstruksi ‘makna hidup’, bukan apa yang terbentang dalam keanekaan tapi yang melingkupi segala keragamannya, yakni apa yang hakiki, yang meliputi segalanya, dimana yang segalanya itu hanya mungkin sebagai yang aneka macam berkat sang hakikat tersebut, dan keragaman tak mungkin absolut, dan tentunya saling berbatasan satu sama lainnya.

Oleh karena itu, spiritualitas sebagai “makna hidup”, dan itu sebagai realitas absolut yang secara esensial bisa mengatasi berbagai keberbatasan manusia. Dan dialah subyek hakiki yang sesungguhnya yang dituju oleh jiwa manusia berdasarkan obsesi immortalitasnya. Realitas absolut itu adalah Tuhan (Allah Swt), dan sumber makna hidup mesti berasas pada-Nya. Jalinan pertautan jiwa yang mencari makna dengan Tuhan sebagai realitas absolut itu merupakan suatu hubungan spiritual, dan melalui hubungan spiritual itulah, maka pengetahuan hakiki akan mengalir menetes langsung ke jiwa. Pengetahuan spiritual semacam itu hadir bukan dalam konstruksi teoritis-konseptual yang dilimitasi oleh ragam kategori transendental-rasional. Tapi suatu cahaya makna yang hanya bisa dirasakan sebelum dipahami oleh pikiran. Spiritualitas menandaskan tujuan akhir manusia yang tidak sekedar berdimensi waktu-kronologis, tapi ontologis. Sehingga dalam perspektif spiritualitas, tiap gerak dengan sendirinya adalah bersifat ilahiyah.

Meski kehidupan material tampak hanya bersifat kronologis karena sifat limitasnya tapi dalam “The grand scheme of thing” ia adalah gerak ilahiyah (spiritual) dimana segala sesuatu berkerja atas titah-Nya. Maka spiritualitas (sufistik-esoteris) sebagai makna hidup tidak pada soal menghindari dunia, tapi alan terus memberi makna baru yang bersifat ilahiyah-perennial pada dunia. Sehingga dunia tak lagi seonggok materi yang terus menggilas jiwa manusia, tapi ia adalah cermin dari realitas absolut. Agama menyatakan bahwa alam (baik materi mapun non-materi) adalah ayat, yakni tanda. Dan tanda mengarahkan manusia pada yang ditandai. Sehingga kehidupan material dijalani oleh seorang hamba tidak dalam rangka mengejar keinginan jasadiahnya semata yang tak akan pernah puas, karena di dunia ini tak ada apapun yang dapat memuaskan manusia secara absolut melainkan untuk menemukan dirinya yang sejati.

Apapun aktivitas manusia di dunia ini, baik bersekala ritual-ubudiyah, ilmiah-teknologi maupun mu’amalah-sosial yang sekiranya menumbuhkan cahaya spiritual dalam jiwanya atau lebih menjadikannya dekat dengan Sang Kholik-Nya, hal itu jelas merupakam aktivitas yang tak memiliki makna insaniah sama sekali, dan itu tak akan membawanya pada kepuasan yang lebih hakiki dan absolut. Namun saat ini kadang-kadang soal spiritualitas ‘hanyalah’ dijadikan sebagai pelarian semata, yakni ketika terjadi kebuntuan hidup seseorang. Maka kerapkali jalan spiritualitas itu dihadirkan, yakni ketika kita sedang sedih, perasaan kosong, gelisah dan gundah gulana melanda hati. Artinya ia tak benar-benar diyakini sebagai jalan hakiki kehidupan, tapi hanyalah sebagai pelengkap saja. Hal itu berangkat dari cara pandang dunia yang masih materialistik, dan akhirnya jalan spiritual hanyalah untuk merendam jiwa sesaat. Dan praktis-pragmatis, jalam spiritualitas ibarat obat penenang belaka.

Berbeda dengan cara pandang dunia eksistensial yang meletakkan spiritualitas sebagai basis utama kehidupan. Spiritualitas adalah keharusan eksistensial bagi manusia dan alam. Artinya satu-satunya alasan mengapa dunia ini eksis adalah karena semata keterkaitannya pada Sang Realitas Absolut itu, dan oleh karena itu eksistensi dunia harus bersifat spiritual. Sementara materialitas dunia hanyalah manifestasi lahir dari spiritualitasnya. Oleh karena itu, cara pandang seperti itu adalah jalan untuk kembali menemukan kehakikian eksistensi yakni spiritualitas. Namun, manakala ada orang yang terus bernafsu untuk mengejar dunia yang nota bene pata morgana dan hedonistik, justru bukanlah suatu gerak yang sejati, dan ia ibarat ‘berjalan di tempat’, yakni seakan-akan ia bergerak, tapi ia tidak bisa mencapai apa-apa kecuali ada dalam kekosongan dan ketakberartian diri.

II. Masa Superioritas (Zaman Keemasan) Dan Raja Sufi Dari Kesultanan Banten

Banten ketika zaman dulu, merupakan salah satu Kesultanan (kerajaan) Islam yang pernah mengalami masa keemasan. Bahkan, Kesultanan Banten memiliki peranan penting dalam sejarah Indonesia, terutama dibidang perdagangan, penyebaran agama Islam, serta pengaruh politiknya di Nusantara. Kesultanan Banten berkembang pesat, yakni mulai abad ke-16 M hingga awal abad ke-18 M, hal itu meninggalkan berbagai artefak (bukti-bukti peninggalan) berharga yang masih dapat ditemukan hingga saat ini. Kesultanan Banten berdiri pada awal abad ke-16 M, tepatnya pada tahun 1526 M. Sultan pertama adalah Sultan Maulana Hasanuddin. Secara geografis, letak kesultan Banten berada di wilayah yang strategis, tepatnya di Selat Sunda. Banten menjadi salah satu pelabuhan penting yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Sumatra serta berbagai negara di Asia dan Eropa. Posisi geografis yang strategis itu memberikan keuntungan besar dalam pengembangan perdagangan maritim yang berkembang pesat di Banten pada masa kejayaannya, terutama sudah dirintis sejak sultan pertama (Sultan Maulana Hasanuddin) dan terus berkembang terutama dibidang keilmuan dan proses intelektualitas, ketika fimasa kepemimpinan Sultan Abul Mafakhur Abdul Kadir. Sementara puncak masa kejayaan Kesultanan Banten, yaitu ketika dimasa kepemimpjnan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M).

Dimasa keemasanya, Banten berhasil menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di Asia Tenggara. Karena, Banten menguasai jalur perdagangan antara Jawa dan dunia luar, menjalin hubungan dagang dengan negara-negara seperti Tiongkok, India, Arab, hingga negara-negara Eropa. Pelabuhan Banten menjadi salah satu pelabuhan yang sangat sibuk, dengan berbagai komoditas perdagangan seperti rempah-rempah, tekstil, dan hasil bumi lainnya yang kemudian diekspor ke seluruh dunia. Kejayaan perdagangan itu membuat Kesultanan Banten memiliki kekayaan yang melimpah dan berpengaruh besar di kawasan Asia Tenggara. Selain kemajuan dibidang sosial-ekonomi, Kesultanan Banten juga dikenal sebagai pusat penyebaran agama Islam di Nusantara. Bahkan, Banten menjadi daerah yang sangat berkembang dalam penyebaran agama Islam, yang diperkenalkan melalui jalur perdagangan dan peran aktif para ulama (Wali Songo), dan akhirnya agama Islam menyebar begitu cepat di Banten serta di wilayah sekitarnya, yang akhirnya memperkuat pengaruh Kesultanan Banten dalam bidang spiritual, terutama ketika di zaman Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir, yang saat konsentratif juga untuk menterjemahkan dan sekalihus mengkaji dari isi kitab “insal kamil”.

Tapi akhirnya, kemunduran kesultanan Banten itu terus terjadi, yakni dimulai sejak akhir abad ke-17 M, setelah Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Belanda pada tahun 1683 M. Sedangkan Sultan Haji, yang nota bene ia putra dari Sultan Ageng Tirtayasa, ia malah bekerja sama dengan pihak VOC (Belanda) untuk merebut kekuasaan kerajaan dan meruntuhkan pemerintahan ayahnya sendiri. Kerja sama antara VOC (Belanda) dengan Sultan Haji, menyebabkan terus melemahnya Kesultanan Banten, yang kemudian jatuh ke tangan Belanda. Dan endingnya, pada tahun 1809, Gubernur Jenderal Daendels, ia kemudian menghapuskan Kesultanan Banten dan menjadikannya sebagai bagian dari kekuasaan kolonial Belanda. Namun, sekalipun Kesultanan Banten sudah hancur kebur (akibat Istana Kesultanan Banten/Istana Surosowan, akhirnya dibumi hanguskan serta dibombardir oleh pasukan Belanda di tahun 1808 M) namun fakta arkeologis yang bersifat fisiknya hingga saat ini masih ada. Dan kesultanan Banten telah meninggalkan berbagai peninggalan (artefak sejarah) yang sangat berharga. Di antaranya adalah Masjid Agung Banten, yang dibangun pada masa Sultan Maulana Hasanuddin dan menjadi simbol penting penyebaran agama Islam di wilayah Banten. Masjid itu memang memiliki arsitektur yang khas dan menjadi salah satu situs keagamaan terbesar di Banten. Selain itu, terdapat Keraton Surosowan, yang dulunya merupakan sebuah Istana yang megah, sekaligus menjadi pusat pemerintahan pada masa kejayaan Kesultanan. Keraton itu memiliki nilai historis yang tinggi, meski kini hanyalah tinggal menyisakan puing-puing bangunan yang menjadi saksi bisu tentang sejarah perjalanan kesultanan Banten.

Istana Surosowan juga merupakan peninggalan penting yang menggambarkan tentang kemewahan dan kebesaran Kesultanan Banten. Tidak hanya bangunan, Benteng Speelwijk misalnya, yang dibangun oleh Belanda dan meriam Ki Amuk yang diperkirakan merupakan simbol kekuatan Banten pada masa perang juga menjadi bukti sejarah yang tak ternilai harganya. Selain peninggalan fisik, Kesultanan Banten juga meninggalkan pengaruh besar dalam sejarah budaya dan agama di Nusantara. Penyebaran Islam di Banten membuka jalan bagi perkembangan budaya Islam di seluruh wilayah Jawa dan sekitarnya. Hingga kini, banyak tradisi dan budaya yang terinspirasi oleh pengaruh Kesultanan Banten, baik dalam bidang seni, sastra, maupun upacara keagamaan. Sebagai salah satu Kesultanan (kerajaan) Islam yang pernah berjaya, Kesultanan Banten, memang memiliki sejarah panjang yang memperkaya khazanah budaya dan politik Indonesia. Meskipun Kesultanan Banten telah lama runtuh, namun pengaruh dan peninggalannya hingga saat ini masih tetap hidup dalam ingatan masyarakat serta menjadi bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia.

A. Raja Sufi Dari Kesultanan Banten : Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M)

Sebagaimana telah dikemukakan di atas (terutama di bagian prolog) dimana titik “evisentrum” atau titik tekan pada tulisan kali ini adalah pada soal diskursus spritualitas dan kajian sufistik (kitab insan kamil). Maka pada sub judul bagian ini, penulis mencoba untuk menafsir ulang kembali mengenai titik idealisme dari Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, terutama ketia ia melakukan proses kememimpinan di internal Kesultanan Banten (1596-1651 M). Bahkan, Sultan Abul Mafakhir, ia telah berhasil dan kemudian dijuluki sebagai ‘Raja Sufi’ karena secara teritorisl dan kewilayahan ia telah mampu mengembalikan keamanan dan kestabilan di wilayah Kesultanan Banten. Tapi lebih dari itu, memang ada tiga pertanyaan dan sekaligus juga akan dijawab pada sub judul bagian ini. Pertama, apa yang dimaksud dengan Raja Sufi? Kedua, siapakah Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir itu? Ketiga, bagaimana ia berhasil mencapai tahapan Raja Sufi itu? Untuk menjawab ketiga pertanyaan itu, maka orientasi pada tulisan kali ini, sedikit banyak akan mengarah pada “analytical history” yang dilakukan dengan “library research”. Lebih dari itu, dalam konteks untuk menjawab pertanyaan diatas, kebetulan sekitar satu bulan yang lalu penulis telah melakukan observasi kecil-kecilan di lokasi (terutama dititik fokuskan di Kampung Kasunyatan) hal itu demi untuk memperkuat serta untuk melengkapi materi penyampaian pada tulisan kali ini. Lebih dari itu, pada tulisan kali ini, penulis juga mencoba menggunakan pendekatan yang bersifat sejarah dengan mencoba memanfaatkan teori kepemimpinan kharismatik dari (Max Weber), terutama yang ada konekditas dan relevansinya dengan upaya untuk membaca pemikiran dari raja-raja di Nusantara. Lebih dari itu, pada sub judul bagian ini, penulis mencoba memfokuskan pada analisis soal “Raja Sufi”. Sedangkan yang dimaksud dengan “Raja Sufi” itu sendiri adalah penguasa sempurna yang mampu menjaga kestabilan dan keamanan wilayah kerajaannya. Sementara konsep “Raja Sufi” itu sendiri secara geneologis bersumber dari doktrin kitab “insan kamil” karya dari Abd al-Karim al-Jili.

Namun, kitab dimendi “insan kamil” dalam konteks pemikiran Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir, ia kemudian ingin terus mengelaborasi dari sidi sufistik dari isi kutab “indan kamil” tersebut, dan lalu dicoba secara lanskap politik di internalisasikan di Kesultanan Banten, terutama ketika ia sedang melakukan proses kepemimpiman di Kesultanan Banten (1596-1651 M). Kedua, Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir adalah raja Banten keempat, yakni yang berkuasa di Kesultanan Banten, yang nota bene beliau amat sangat menghargai (mencinta) ilmu pengetahuan. Ia pada faktanya telah berhasil mengembalikan kedudukan Banten sebagai salah satu kerajaan (Kesultanan) besar di Nusantara. Bahkan, ia juga memperoleh gelar ‘Sultan’ dari Mekkah di tahun 1638 M, sekaligus telah mampu menciptakan stabilitas ekonomi dan politik di Kesultanan Banten. Ketiga, ia memiliki ketertarikan khusus terhadap doktrin ‘insan kamil’ itu. Maka atas dasar itulah, ia memberi perintah kepada bawahannya untuk menyalin kitab al-Insan al-Kamil karya al-Jili itu, dan ia juga terus membaca kitab “Nasihat al-Muluk” karya Imam al-Ghazali. Selain itu, ia juga mengirim utusan khusus ke Mekkah untuk meminta fatwa yang tergambar dalam kitab al-Mawahib ar-Rabbaniyyah karya Muhammad ‘ibn Allan. Sementara ketiga kitab tersebut, kemudian secara sepirit dan insfiratif akhirnya telah membentuk pribadi Sultan Abul Mafakhir menjadi atau dijuluki sebagai “Raja Sufi”.

B. Naskah Kuno “Insan Kamil”, Bukti Perhatian Besar Kesultanan Banten Pada Soal Sufistik Dan Literasi

Naskah kuno Al-Insan Al-Kamil karya ‘Abd al-Karim al-Jili, merupakan bukti perhatian besar dari pihak Kesultanan Banten, terutama ketika dimasa kepemimpinan Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud ‘Abd al-Qadir pada dunia literasi. Karena saat itu, sultan Banten yang keempat itu, ia telah menyalin ulang kitab tersebut dan kemudian menterjemahkannya kedalam bahasa Jawa Banten. Sementara disalin dan kemudian diterjemahkannya naskah kuno tersebut oleh Kesultanan Banten, mengingat saat itu para sultan Banten memiliki ketertarikan untuk mendalami ilmu tasawuf. Selain itu, kitab tersebut pada masa kesultanan Banten dinilai sebagai panduan orang untuk menjadi seorang manusia sempurna (insan kamil). Sementara manusia sempurna itu sendiri digambarkannya seperti sosok Nabi Muhammad Saw.

Oleh karena itu, untuk meneladani seperti sosok Nabi Muhammad Saw, hal itu tentunya perlu metode, dan salah satunya adalah menurut perspektif tasawuf, dan di naskah kitab “insan kamil” memang secara substantif dibahas secara detail di kitab tersebut. Sementara gagasan untuk menulis ulang naskah tersebut (Insan Kamil) dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa Sera-Banten oleh Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud ‘Abd al-Kadir, hal itu menunjukan keinginan besar agar para Sultan Banten untuk tetap menjadi Sultan dan sekaligus menjadi anggota masyarakat Banten yang baik, bertanggung jawab, memahami ke-ilmuan, dan bijaksana.

Selain ditulis ulang dan diterjemahkan, naskah “insan kamil” juga pernah diajarkan atau diinternalisasikan di kesultanan Banten, terutama bagi para punggawa kesultanan Banten, dan menjadikan naskah insan kamil itu sebagai rujukan, dan keinginan kuat untuk memahami tujuan dari penciptaan Tuhan (Allah Swt), sekaligus untuk memahami tujuan kenapa manusia itu hidup. Dengan kata lain, bahwa sedemikian pentingnya naskah insan kamil itu bagi kesultanan Banten. Bahkan, naskah kurang lebih setebal 1703 halaman itu, pada akhirnya terus disalin dan terus dipelajari oleh sultan dan para ulama di kesultanan Banten, sampai memasuki masa kehancuran Kesultanan Banten. Tapi hingga saat ini, konon katanya keberadaan naskah asli dari hasil karya Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud itu, memang masih berada di Leiden (Belanda), namun yang ada hingga saat ini di Banten, hanyalah berupa “copy-annya” saja. Lebih dari itu, naskah kuno Insan Kamil hasil terjemahan dari Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud ‘Abd al-Qadir, merupakan bukti bahwa betapa tingginya peradaban di Kesultana Banten saat itu. Oleh karea itu, menurut pandangan penulis, seyogyanya agar setiap tahun diadakan kegiatan “bedah naskah kitab Insan Kamil”. Dan kita semua berharap agar pihak pemerintah (Pemda Banten) bisa melakukan inisiasi dan mempasilitasi untuk kegiatan rutin bedah naskah kitab “insa kamil” itu. Lebih dari itu, agar jajaran Pemda Banten juga bisa mengambil i’tibar serta bisa mengelaborasi nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam naskah kitab isan kamil itu, maupun kontekstualitas sejarah naskah tersebut.

Lebih dari itu, penulis berharap, agar kita bisa mengambil afinitas serta mampu mereaktualisasi kembali nilai-nilai budaya Banten ketika zaman dulu dan termasuk produk peradabannya, untuk kemudian dijadikan sebagai landasan (dasar berpijak) pada proses pembangunan di wilayah Banten, baik kini maupun dimasa yang akan datang. Karena, nilai-nilai Banten zaman dulu (zaman kesultanan) memang sangat luar biasa, yakni sangat inklusif, literalistik dan bahkan mencerahkan. Lebih dari itu, seyogyanya agar pihak pemangku kepentingan (Pemprov Banten) saat ini dan dimasa yang akan datang, seyogyanya bisa mencontoh apa yang telah dilakukan oleh para sultan Banten ketika di zaman kesultanan dulu. Karena, dari naskah itu (kitab insan kamil) telah menunjukan bahwa sultan Banten pada saat itu sangat konsen serta memperhatikan betul tentang dunia pendidikan dan literasi. Hal itu sudah pasti tujuan intinya adalah untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Spirit itu tentunya harus terus dimiliki oleh pihak pemerintahan daerah saat ini dan dimasa yang akan datang. Karena konsekwensi logisnya sudah pasti juga akan menciptakan pemerintahan yang sangat ingat kepada rakyatnya dan juga “taqorrub” kepada Sang Kholik-Nya.

III. Banten Kota Ilmu

Dalam perjalanan sejarahnya, sebagaimana telah dikemukakan di sub judul bagian atas, terutama mulai dari sultan pertama Banten (Sultan Maulana Hasanuddin), bahwa realitas faktual di kesultanan Banten menurut perspektif “demografi-literalistik” merupakan bagian dari kota ilmu (kota cahaya). Pernyataan itu merujuk pada fakta sejarah dimana Banten memiliki kekayaan intelektual yang sangat signifikan. Hanya saja, semua itu masih sedikit diketahui oleh publik karena banyaknya manuskrip yang dibawa ke Leiden (Belanda), sehingga terjadilah peng-kerdilan sejarah yang sangat merugikan bagi masyarakat Banten itu sendiri, yang hingga saat ini yang nota bene masih ada saja pihak masyarakat tertentu yang “menkonotasikan” dengan istilah “jawaranisme” atau “jawaranisasi” pada orang-orang Banten. Sementara dalam konteks sejarah Islam di Nusantara, Banten malah dikenal sebagai pusat ilmu dan keagamaan, selain sebagai kekuatan sosial-politik dan sosial-ekonomi. Bahkan pada masa kejayaan atau masa keemasan kesultanan Banten, komunitas masyarakat Banten sudah dijuluki sebagai komunitas masyarakat yang maju dibidang “eunterprenenshipnya” dan sangat tangguh dibidang ekonomi “maritimnya”, karena keberadaan pelabuhan internasional, yakni pelabuhan Karangantu-Banten, saat itu demikian maju dan kharismatiknya, dan itu menjadi salah satu bagian dari pusat dan dinamika ekonomi dan sekaligus juga sebagai bagian dari pengembangan intelektual Islam. Banten pada saat itu menampung berbagai pengaruh ilmu keislaman dari luar wilayahnya, terutama melalui Kasunyatan sebagai pusat pendidikan Islam pada saat itu. Kemudian, peran tokoh-tokoh seperti sosok Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (w.1651 M), serta keberadaan para ulama besar lainnya, sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam di Banten. Sementara sejarah Kampung Kasunyatan itu sendiri terutama ketika zaman kesultanan Banten, merupakan pusat pendidikan Islam di Kesultanan Banten.

A. Kealiman Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir

Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, cicit dari Sultan Maulana Hasanuddin, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang juga aktif menulis dalam berbagai bidang, seperti fikih, tasawuf, kemiliteran, hingga kuliner. Meskipun peranannya seringkali kurang dikenal dibandingkan dengan Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Maulana Yusuf, dan Sultan Ageng Tirtayasa misalnya, namun Sultan Abul Mafakhir memiliki kontribusi yang sangat besar dalam konteks mereformasi sistem pemerintahan Kesultanan Banten. Ia juga berjasa untuk membuka jalan masa keemasan Kesultanan Banten, baik dibidang sosial keagamaan, ekonomi, pendidikan, maupun dibidang ketangguhan militer di kesultanan Banten. Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Jemmy Ibnu Suardi, di dalam bukunya berjudul “Sultan Abu’l Mafakhir Mahmud Abdul Qadir: Sultan Agung Banten I Penguasa Ujung Barat Pulau Jawa (1596-1651)”.

Bahkan, eksistensi Kesultanan Banten pada saat itu merupakan salah satu kekuatan politik Islam terbesar di tanah Jawa, yang berhasil bertahan dari serangan Mataram dan Batavia. Di bawah kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir, dinamika perekonomian Banten mengalami kemajuan. Salah satu proses pencapaian pentingnya adalah soal upaya pengiriman utusan khusus ke Mekkah, yaitu pada tahun 1630, dan pengiriman utusan khusus ke negara India pada tahun 1640, serta pengesahan Kesultanan Banten oleh Khalifah Utsmaniyah melalui wakilnya di Makkah. Selain itu, Sultan Abul Mafakhir telah memperkuat angkatan laut Banten, menjadikannya sebagai pusat kemiliteran maritim yang strategis. Hal itu sebagaimana telah dicatat oleh Prof. AB Lapian di dalam “Pelayaran Dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17 M”. Menurut Prof. SZB lapian, Banten saat itu telah menjadi pelabuhan yang tidak hanya aman, tetapi juga menjadi jalur penyebaran pengetahuan Islam. Dan Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir, ia sangat menghargai para ulama dan bahkan mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk menyalin kitab-kitab karya para ulama. Salah satu contohnya adalah ketika Raden Aria Wangsakara membawa kitab “al-Insan al-Kamil” karya Al-Jili dari Mekkah, untuk kemudian dibaca oleh Sultan Abul Mafakhir, dan akhirnya kitab tersebut terus diterjemahkan kedalam bahasa Jawa Serang.

B. Kasunyatan Sebagai Pusat Pendidikan Islam

Kasunyatan mulai berkembang sebagai pusat pendidikan Islam sejak masa Sultan Maulana Hasanuddin. Hubungan erat dengan Hijaz (Arab Saudi) sejak abad ke-16 M, memungkinkan ulama-ulama Madinah untuk datang dan menyebarkan pengaruh Mazhab Syafi’i. Seiring berjalannya waktu, Kasunyatan menjadi salah satu pusat ilmu agama tertua di Nusantara, yang menggabungkan pengetahuan Islam dengan kearifan lokal. Bshkan, pada masa Suanltan Abul Mafakhir, wilayah Kasunyatan menjadi pusat pendidikan Islam terbesar di Kesultanan Banten. Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir, saat itu ia kerapkali mengundang para ulama dari berbagai wilayah dan termasuk dari Madinah, Makkah, Turki, dan Persia, untuk tinggal di Kasunyatan dan mendidik dalam berbagai disiplin ilmu agama. Sedangkan pusat aktivitas keagamaan di Kasunyatan, yaitu terletak di Masjid Kasunyatan yang dibangun sejak Kasunyatan menjadi pusat pendidikan, terutama bagi anak-anak keluarga Sultan. Kasunyatan yang dulu luasnya sekitar 6 hektar itu, memang memiliki beberapa kelompok kajian, termasuk kajian dibidang filsafat, tasawuf, dan fiqih. Di situ pula berkembang berbagai aliran tarekat, seperti tarekat Dajiliysh, tsrekat Qodiriyah Naqsyabandiyah, tarekat Syattariyah, tarekst Rifa’iyah dan lain sebagainya.

Di sisi lain, ada lembaga kajian lain yang lebih fokus pada fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir, serta sejarah Islam. Dari dua lembaga itu, mska lahirlah istilah “Kiai Dukuh” dan “Faqih Najmudin” bukan merujuk pada nama orang, tetapi pada lembaga pengajaran yang mirip dengan fakultas di perguruan tinggi modern saat ini. Kasunyatan pada abad ke-17 M, dapat dipandang sebagai “Kampus” dengan santri yang datang dari berbagai daerah Nusantara dan luar negeri, termasuk kehadiran dari Syekh Yusuf Al-Makasari, yaitu dalah seorang ulama besar dan mursyid tarekat Syattariyah yang juga menantu dari Sultan Abul Fath Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa). Bahkan, Pangeran Wangsadireja ditugaskan untuk belajar di berbagai pesantren besar di Jazirah Arab sebelum mengundang ulama-ulama tersebut untuk datang mengajar di Banten. Dengan kata lain, bshwa Kasunyatan pada saat itu menjadi saksi sejarah yang cemerlang sebagai pusat intelektual dan spiritual, yang masyhur hingga ke mancanegara.

Kasunyatan adalah contoh jelas bagaimana Banten menjadi pusat intelektual dunia Islam pada abad ke-17 M hingga di awal abad ke-19 M. Bahkan dalam catatan Belanda, Kasunyatan seringkali disebut-sebut sebagai negeri yang paling terkenal sebagai pusat intelektual dan spiritualitas Kesultanan Banten. Selama periode tersebut, ilmu agama terus berkembang pesat, kesadaran intelektual masyarakat Banten terus meningkat, dan tarekat-tarekat Islam mendapat tempat yang penting. Banten, dengan Kasunyatan sebagai jantungnya, ia dikenal luas di Asia Tenggara, yakni sebagai pusat pendidikan dan spiritualitas Islam yang terkemuka.

C. Banten Sebagai Pusat Ulama

Banten bukan hanya terkenal sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya ulama-ulama besar yang memainkan peran penting dalam penyebaran dan pengajaran Islam di Nusantara. Salah satu ulama yang sangat terkenal yang pernah berlabuh di Banten adalah Syekh Yusuf al-Makassari. Beliau merupakan salah seorang ulama dan mursyid tarekat Syattariyah yang berasal dari Makassar, datang ke Banten pada masa Sultan Abul Fath Abdul Fatah (Sultan Ageng Tirtayasa). Di Banten, Syekh Yusuf berperan penting dalam mengajarkan tarekat dan memperkenalkan ajaran tasawuf yang mempengaruhi banyak kalangan dan termasuk para penguasa dan masyarakat.

Selain Syekh Yusuf, Banten juga menjadi tempat tinggal bagi ulama-ulama besar lainnya, seperti Syekh Abdul Karim dan Syekh Nawawi al-Bantani. Sedangksn Syekh Abdul Karim Tanara-Banten, ia yang dikenal sebagai seorang ulama ahli dibidang tarekat dan sekaligus murid dari Syaikh Syambasi Kalimantan. Sedangkan Sysikh Syambasi Kalimantan, ia adalah sebagai Ketua tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di seluruh dunia. Dan kelak setelah Syaikh Syambasi Kalimantan itu wafat, akhirnya posisi sebagai Ketua tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di seluruh dunia, akhirnya digantikan oleh Syaikh Abdul Karim Tanara-Banten. Sementara Syaikh Abdul Karim Tanara-Banten, ia pada faktanya yang banyak menggerakan kalangan ulsma Banten, yakni untul melakukan “jihad fisabililah” atau “perang sabil” untuk melawan pihak kolonial Belanda, yakni melalui organisasi gerakan tarekatnya. Lebih dati itu, beliau juga yang mendidik, menginisiasi dan menginsfirasi para ulama yang kemudian melakukan “gerakan geger cikegon” di tahun 1888 M. Lebih dari itu, Syaikh Abdul Karim juga banyak memiliki banyak murid yang tersebar di berbagai daerah, dan sangat besar pengaruhnya terutama di internal kalangan para ulama ahli tarekat, baik di wilayah Pulau Jawa maupun Sumatra dan bahkan sampai ke Malasia, Tailan, Pilipina, Singapura dan lain sebagainya. Sementara itu, Syekh Nawawi al-Bantani, beliau seorang ulama yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam ilmu fikih dan tafsir, menjadikan dirinya sosok yang dihormati di kalangan masyarakat Banten dan sekitarnya. Karya-karya tulisannya yang berharga juga turut mewarnai perkembangan intelektual Islam di Nusantara.

Peran Banten sebagai tempat berkumpulnya para ulama sangat strategis, mengingat posisinya berada di persimpangan jalur perdagangan antara Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Hal itu menjadikan Banten sebagai tempat meleburnya (terjadi proses akulturasi dan proses asimilatif) budaya dan ilmu pengetahuan, yang menghubungkan berbagai tradisi intelektual Islam dari dunia Arab, Persia, dan India dengan budaya lokal Nusantara. Banyak diantara para ulama yang datang ke Banten kemudian menyebarkan ajaran mereka ke wilayah lain, menciptakan jaringan pendidikan yang menghubungkan pesantren-pesantren di Jawa, Sumatra, bahkan ke Malaysia dan Singapura.

Dengan kata lain, Banten bukan hanya sebagai pusat kekuatan politik dan ekonomi semsta, tetapi juga sebagai pusat intelektual yang sangat penting dalam proses perkembangan peradaban Islam di Asia Tenggara. Kehadiran ulama-ulama besar dan tersebarnya ajaran mereka ke berbagai daerah menjadikan Banten sebagai pusat pertukaran ilmu dan perluasan jaringan intelektual Islam yang berkembang pesat pada abad ke-17 M. Dari ketiga aspek, yakni sebagaimana telah diungkapkan diatas, maka Kasunyatan sebagai pusat pendidikan, produktivitas intelektual dari Sultan Sbul Mafakhir Abdul Qadir. Lebih dari itu, bahwa peran para ulama sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka Banten memang layak disebut sebagai kota ilmu dan sebagai “episentrum” intelektualisasi. Karena, tradisi intelektual yang terus berkembang di sana (di Kasunyatan) telah mencakup berbagai aspek, yakni mulai dari ilmu agama hingga kebudayaan dan kehidupan sehari-hari. Dengan warisan yang melimpah, Banten telah memberikan kontribusi besar bagi peradaban Islam di Nusantara, hal itu telah mengajarkan kita, yakni bagaimana ilmu pengetahuan itu akan terus tumbuh melalui keterbukaan terhadap pengaruh dan inovasi baru. Itulah tugas yang harus dilanjutkan oleh kita dan oleh generasi penerus setelah kita, baik kini maupun dimasa yang akan datang.

V. Turbulensi Dan Empat Penyebab Runtuhnya Keilmuan Dan Kesultanan Banten

Dalam konteks perjalanan sejarahnya, bahwa Kesultan Banten pernah mengalami masa kejayaan dan sekaligus masa kehancuran. Sementara Kesultanan Banten berdiri pada tahun 1526 M, dan sangat sukses dalam proses menyebarkan ajaran Islam. Namun, Kesultanan Banten yang awalnya demikian kharismatik di mata funia itu, tapi pada akhirnya terus meredup, mengalami keterpurukan, dan bahkan mengalami kehancuran secara tragis dan mengenaskan, yakni setelah diawali dari peperangan hebat atau perang besar yang terjadi di Banten, pada tahun 1681 M, dan kemudian dibombardir dan diluluh-lantahkan Istana Kesultanan Banten (Istana Surosowan) pada tahun 1808 M, oleh pasulan kompeni Belanda.

A. Sekilas Sejarah Kesultanan Banten

Keberadaan kesultanan Banten merupakan salah satu catatan sejarah yang selalu melekat bagi masyarakat Indonesia, mengingat Kesultan Banten berdiri pada tahun 1526 M, yaiti jenjang waktu ratusan tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. Kesultanan Banten didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Sementara berkembangnya Kesultanan Banten terutama dari sisi sosial ekonomi misalnya, memang terdorong oleh banyaknya kapal dagang yang singgah di perairan Banten. Layaknya sebuah kerajaan di Nusantara, pemimpin di Kesultanan Banten terus silih berganti. Pergantian itu terjadi dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah proses pergantian dari Sultan Maulana Hasanuddin kepada putranya, Maulana Yusuf di tahun 1570 M. Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf, Kesultanan Banten terus melakukan penyebaran agama Islam ke daerah kekuasaan Pajajaran.

Setelah sukses menguasai wilayah Jawa Barat, Maulana Yusuf, akhirnya wafat pada tahun 1580 M, maka kepemimpinan pun diteruskan oleh anaknya yang bernama Maulana Muhammad. Alur kepemimpinan Kesultanan Banten terus berganti hingga tiba pada masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan tokoh yang sangat anti Belanda. Namun, sikapnya itu malah bersebrangan dengan anaknya yang bernama Abdul Kahar (Sultan Haji). Selisih faham antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji menjadi cikal bakal runtuhnya Kesultanan Banten. Karena, Sultan Haji dimanfaatkan betul oleh Belanda untuk menghancurkan Kesultanan Banten. Sultan Haji pun meminta bantuan kepada Belanda untuk melawan (ayahnya sendiri) hingga terjadi perang dahsyat di tahun 1681. Sultan Haji menang karena mendapat bantuan Belanda, sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Belanda pada tahun 1683 M. Setelah Sultan Ageng Tirtayasa berada di penjara Batavia dan hingga wafat di dalam penjara tersebut pada tahun 1692 M, akhirnya pemerintahan berada di tangan Sultan Haji. Namun, pemerintahan Sultan Haji tidak berkembang karena selalu diatur oleh Belanda. Bahkan, Kesultanan Banten akhirnya dihapuskan oleh Gubernur Jenderal Daendels.

B. Empat Penyebab Runtuhnya Kesultanan Banten

Sedangkan kempat penyebab runtuhnya Kesultanan Banten, awalnya akibat konflik secara internal (konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa yang anti terhadap Belanda dengan Sultan Haji yang nota bene saat itu sudah pro terhadap Belanda). Akhirnya terjadilah konflik bersenjata (peperangan hebat), yaitu terjadi pada tahun 1681 M. Campur tangan Belanda yang terus berlarut-larut, yakni mulai dari dimasa Sultan Haji, malah terus berujung pada proses penghapusan Kesultanan Banten itu sendiri oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan penghapusan Kesultanan Banten sangat tragis dan mengenaskan, karena pada tahun 1808, akhirnya Istana Surosowan dibumi hanguskan serta diluluh-lantahkan oleh pasukan Belanda.

C. Turbulensi Kehidupan

Seperti halnya yang terjadi di Kesultanan Banten, yakni yang pernah mengalami masa keemasan (di abad ke 16-17 M), namun akhirnya mengalami kehancuran (Istana Surosowan) dibombardiri oleh Belanda) pada tahun 1808 M. Dengan kata lain, bahwa dunia ini bagaikan roda pedati dan terus berputar, dan ia tidak stagnan dan terus bergerak dan berputar. Oleh karenaitu, silih bergantinya peradaban, silih bergantinya kehancuran kesutanan, dan bergejolaknya berbagai peristiwa di alam jagat raya ini, hal itu menandai bahwa ada kehidupan dan ada juga kematian, ada kemajuan dan ada juga kehancuran dan seterusnya.

Bahkan, setiap tahapan peradaban di dunia ini memang memiliki karakteristiknya masing-masing. Sefangkan prosrs perubahan yang terjadi, baik bersumber dari internal maupun pengaruh eksternal, memaksa siapapun untuk mensiasati perubahan itu. Kita dituntut untuk adaptif. Bukan hanya mengikuti ataupun ikut-ikutan, apalagi lagi larut dalam perubahan. Tetapi bagaimana, kita bisa berselancar diatas perubahan itu. Jika tidak, maka kita akan tergilas dan digulung oleh arus perubahan itu sendiri. Demikian dengan dorongan revolusi teknologi yang begitu cepat dan masif terjadi sast ini. Misalnya, soal digitalisasi menjadi sebuah keniscayaan saat ini. Dan hampir disetiap aspek kehidupan, saat ini terhubung dengan teknologi. Bahkan, pelan-pelan atau pasti teknologi juga telah mengubah tatanan kehidupan (termasuk mengubah dinamika kehidupan masyarakat Banten saat ini), akhirnya soal etika, adab, sopan santun menjadi barang mahal, jika tidak dikatakan langka. Digitalisasi dengan beberapa turunannya diantaranya telah melahirkan media sosial. Keberadaannya seolah-olah memfasilitasi sekaligus memberi wadah yang besar bagi berkumpulnya energi positif dan negatif, yang saling berhadpan secara diametral, bahkan asimetris. Terjadi perang narasi dengan narasi, bahkan tidak jarang dibumbui juga dengan hoax , fitnah, ujaran kebencian dan sebagainya. Kini menjadi hidangan yang tampil di linimasa hampir setiap orang.

Realitas diatas merupakan apa yang disebut “turbulensi kehidupan”. Sedangkan turbulensi (turbulensi) secara bahasa atau secara etimologis berarti “gerak bergolak yang tidak teratur” dan itu merupakan ciri gerak zat alir. Secara umum Turbulensi didefinisikan sebagai gerakan tidak beraturan atau berputar tidak beraturan akibat perbedaan tekanan udara atau perbedaan suhu udara. Hal itu sering kita alami saat naik pesawat, pada ketinggian 33.000 kaki, tiba-tiba terjadi goncangan, pesawat bergetar, seperti berjalan di atas batu. Kemudian terdengar pengumuman dari pramugari dan kadang-kadang pilot, kira-kira begini “Kita sedang memasuki cuaca yang tidak baik. Silakan Anda kembali ke tempat duduk masing-masing maning dengan segera dan mengenakan kembali sabuk pengaman Anda.”. Ketika hal itu terjadi, maka semua penumpang akan taat. Mereka merapikan tempat duduknya, memasang kembali sabuk pengaman, dan ketenangan dan kebanyakan berdo’a. Meskipun tetap saja ada yang panik, tetapi tetap terkendali. Mengapa demikian, karena pramugari dan juga pilot juga terus memberikan arahan dan bimbingan.

Coba bayangkan ketika terjadi goncangan sebagaimana tersebut, kemudian para penumpang tidak taat dengan petunjuk yang diberikan oleh pramugari/pilot. Lalu mereka mengambil inisiatif sendiri-sendiri, sesuai dengan pikiran dan keinginannya. Atau ada yang tidak taat dan menyelisihi aturan yang ada, bahkan mungkin yang berada di pintu darurat, sampai ada yang membuka pintu darurat misalnya. Padahal aturan membuka pintu darurat sudah dijelaskan sebelum pesawat lepas landas, dan buku petunjuknya bisa dibaca. Maka pasti akan berakibat fatal. Bisa jadi satu pesawat itu tidak ada yang selamat, artinya semuanya akan berkeping-keping. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari baik secara individu, dalam keluarga, di organisasi, di perusahaana, bernegara dan seterusnya, turbulensi ini sering terjadi. Dengan dan atau tanpa kita sadari. Menyikapi secara proporsional sebagaimana yang digambarkan di atas, hal itu merupakan cara untuk selamat dari turbulensi itu sendiri.

Menurut bapak manajemen modern Peter F Drucker, dia memberikan rumusan, yang berkenaan dengan hal yang paling berbahaya dalam menghadapi turbulensi. Ternyata yang berbahaya itu, bukan soal turbulensinya itu sendiri. Akan tetapi bagaimana kita melakukan respon terhadap sebuah turbulensi itu dengan cara-cara yang lama, pola pikir yang lama, dan tindakan tindakan yang lama, yang sangat jauh dari efektif dalam menangani tatanan baru. Tanpa kemampuan dan kemauan untuk beradaptasi mengikuti irama perubahan tentu akan membuat kita terjatuh tersungkur di jurang yang curam dengan tubuh yang penuh luka sehingga merasakan betul pedih dan perihnya kesulitan. Dengan demikian, turbulensi itu sesungguhnya justru akan membawa ke-kenormalan baru. Atau dengan kata lain, ada keseimbangan baru yang akan terjadi. Dengan catatan sebagaimana apa yang dipesankan oleh Peter F Drucker diatas.

Oleh karena itu, analogi pada soal “turbulensi” suatu pesawat terbang sebagaimana telah digambarkan diatas, pada intinya penulis mencoba memberikan ilustrasi secara spesifik, dan soal “turbulensi” sebagaimana telah dikemukakan diatas itu, hal itu juga sesungguhnya telah megisyaratkan kepada kita semua (khususnya masyarakat Banten) agar lebih serius dan lebih cerdas lagi untuk memaknai soal “turbulensi” dan kehancuran sejarah Kesultanan Banten, yang sejak awal berdiri kesultanan Banten saat itu demikian kharismatik, hingga terus mengalami masa kejayaan di abad 16-17 M. Bahkan Banten pada saat itu sudah disebut-sebut sebagai negara Banten oleh masyarakat dunia, dan Banten ketika itu memang demikian kharismatik dan superioritasnya, baik di mata dunia maupun di kalangan masyarakat Nusantara senfiri. Namun akhirnya kesultanan Banten malah terus terdegradatif dan bahkan seolah-olah jatuh tersungkun ke lembah “streotif kehinaan” dan keterbelakangan, hal itu akibat ulah (onum) salah seorang putra makota, yakni sang Sultan Haji, yang nota bene ia tidak punya kesabaran untuk terus merebut tahta kekuasaan kesultanan Banten dari tangan sang ayahnya sendiri, yakni dari Sultan Ageng Tirtayasa.

Namun kalau kita telisik lebih jauh lagi, yakni rasa ketidak-sabaran dari sosok seorang Sultan Haji, memang berawal dari ia sendiri memang tidak faham, alias ia gagal fokus ketika sang ayahnya, yakni Sultan Ageng Tirtayasa, yang saat itu berencana untuk melakuksn reposisi dan proses pembagian tugas kewenangan di internal kesultanan Banten. Yakni, Sultan Haji sebagai putra mahkota yang paling tua, ia berencana akan diposisikan untuk terkosentratif mengurusi atau menangani dibidang urusan dalam negeri. Sementara sang adiknya sendiri, yakni pangeran Purbaya, ia oleh Sultan Ageng Tirtaya, berencana untuk fokuskan pada urusan di luar negeri. Namun, inisiatif positif dari Sultan Ageng Tirtayasa itu, malah disalah fahami alias disalah-artikan oleh Sultan Haji, dan ia malah menganggap bahwa pembagian tugas itu, ditafsirkan seolah-olah ia (Sultan Haji) akan disingkirksn dari lingkungan Istana Kesultnan Banten, dan kelak dikemudian hari yang akan menggantikan ayahnya, yakni sebagai raja Banten berikutnya akan jatuh kepada sang adiknya sendiri, yakni kepada pangeran Purbaya. Nah…akibat ketidak fahaman dan sekaligus gagal fokus itulah, akhirnya Sultsn Haji saat itu malah menjadi murka, dan kemudian banyak mengadu kepada pihak kompeni Belanda.

Namun sesungguhnya, sumber utama biang kerok dan proses adu domba di internal kesultanan Banten saat itu adalah pihak VOC (Belanda) itu sendiri, yang bernapsu untuk menjatuhkan Sultan Ageng Tirtayasa, dan akhirnya terus menghasut Sultan Haji, dan Sultan Haji terus diberikan informasi yang besifat sepuhak dan sekaligus informasi “hoak”. Lebih dari itu, Sultan Haji saat itu semakin terpropokasi untuk terus munculnya rasa intersinisme di dalam dirinya serta terus terjadi miskomunikasi dengan sang ayahnya sendiri, yakni dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Lebih dari itu, besarkemungkinan juga, bahwa propokasi yang terus berlebihan yang disuntilan oleh para propokator dari pihak Belanda itu, dan terus diterima mentah-mentah oleh Sultan Haji itu, hal itu sudah barang tentu untuk meluluh lantahkan rasa kesabaran serta untuk memutuskan urat nadi ketawakalan di diri Sultan Haji. Bahkan, pihak Belanda terus menyuntikan nafsu/syahwat untuk merebut tahta kekuasaan dari tangan ayaknya sendiri. Dengan kata lain, syahwat kekuasaan atau syahwat ingin berkuasa yang begitu instan dan sangat berlebihan itu, pada akhirnya seringkali membawa mala-petaka dan angkara murka, dan faktanya dienfing ceritanya, akhirnya kesultanan Banten malah menjadi hsncur terkeping-keping.

Oleh karena itu, kita (masyarakat Banten saat ini) untuk terus memahami soal “turbulensi” ketika di zaman kehancuran (dibombardinya) Istana Kesultanan Banten di tahun 1808 M, yaki oleh pasukan Belanda itu. Lalu, bagaimana pula kita (masyarakat Banten) ketika melihat, memaknai dan sekaligus bisa mengambil i’tibar atau pelajaran tentang masa keemasan atau masa kejayaan Kesultananan Banten ketika di abad 16-17 M itu, yang memang demikian kharismatiknya? Lalu, bagaimana setelah sejarah kesultanan Banten yang hancur berkeping-keping ketikan dihancurkan di tahun 1808 itu, saatini agar kita (masyarakat Banten) bisa bangkit kembali?

Bahkan kita semua (umumnya masyarakat Banten) sebagai seorang muslim, tentunya telah memiliki panduan, yakni sebagaimana tertuang di dalam surat Al-Insyirah ayat 5-6. Artinya ; “Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 5-6). Dengan demikian, setiap kesulitan (turbulensi), pasti ada kemudahan setelahnya, bahkan bisa jadi bersamaan. Itulah jaminan Allah ta’ala untuk Rasul-Nya Muhammad Saw dan untuk ummatnya, agar setiap hamba tidak boleh putus asa dengan pertolongan Allah, meskipun coabaan yang ia hadapi begitu berat kesabaran dan ketabahan harus tetap ia hadirkan dalam diri.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *