Ocit Abdurosyid Siddiq

Ibadah dalam Islam terbagi dalam dua kategori, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang tata caranya, waktunya, dan tempatnya sudah ditetapkan secara jelas dalam syariat Islam. Contohnya adalah solat, puasa, zakat, dan haji.

Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah segala bentuk perbuatan baik yang dilakukan dengan niat ibadah, namun tidak memiliki tata cara khusus seperti halnya ibadah mahdhah. Contohnya adalah bekerja, mencari nafkah, menuntut ilmu, menjaga lingkungan, membantu sesama, menjaga kebersihan, dan yang lainnya.

Ibadah mahdhah yang tata caranya, waktunya, dan tempatnya sudah ditentukan secara pasti oleh syariat Islam, seperti solat lima waktu, puasa ramadhan, zakat, dan haji itu, memiliki ciri di antaranya bersumber dari dalil syari. Tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meraih pahala di akhirat. Pelaksanaannya kadang tidak terjangkau oleh akal manusia.

Ibadah ghairu mahdhah yang tidak memiliki aturan baku dalam syariat, namun dapat bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah SWT itu, memiliki ciri di antaranya perbuatan yang pada dasarnya mubah atau boleh dilakukan, menjadi ibadah jika diniatkan untuk mencari ridha Allah SWT. Tujuannya bisa berkaitan dengan kebutuhan duniawi, namun tetap bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah SWT. Pelaksanaannya dapat dijangkau oleh akal manusia.

Perbedaan utama antara keduanya terletak pada ketetapan tata cara dan tujuannya. Ibadah mahdhah memiliki aturan yang jelas dan ditujukan untuk akhirat, sedangkan ibadah ghairu mahdhah lebih fleksibel dan bisa berkaitan dengan urusan duniawi asalkan diniatkan karena Allah SWT.

Setidaknya, demikian pengetahuan dan pemahaman kita terhadap ragam ibadah tersebut, yang kita dapatkan dari guru agama ketika belajar di madrasah. Membedakan keduanya tidak lantas bermakna ada dikotomi di antaranya. Karena semua perilaku manusia sekecil apapun akan dinilai sebagai catatan pahala atau sebaliknya.

Karena kesibukan kita yang bergelut dengan aktivitas ghairu mahdhah tersebut, baik karena pekerjaan maupun kesibukan dalam berorganisasi, sebagian dari kita jarang bahkan tidak sempat untuk mengikuti atau menghadiri kegiatan yang bisa menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman keagamaan. Misalnya acara pengajian.

Salah satu momentum yang bisa kita jadikan sebagai media untuk itu adalah ketika mendirikan solat Jumat. Solat Jumat yang dilakukan satu kali dalam satu pekan itu, dilengkapi dengan khutbah Jumat, yang adalah pesan-pesan yang disampaikan oleh khatib kepada jamaah.

Khutbah Jumat bisa dijadikan media oleh khatib untuk menyampaikan berbagai hal berkaitan dengan perkara keumatan dan kebangsaan. Bahkan khutbah Jumat juga bisa dipakai oleh khatib untuk mendorong, memotivasi, dan membakar semangat umat dalam menebar kebaikan, sekaligus ajakan untuk menjauhi kemunkaran.

Khutbah Jumat juga oleh khatib bisa dijadikan sebagai sarana penyampaian informasi mutakhir perihal perkembangan terkini. Pesan khatib yang disampaikan dalam khutbahnya dapat menjadi pengetahuan dan pemahaman baru bagi jamaah. Pengetahuan dan pemahaman jamaah akan semakin bertambah ketika mereka usai menjalankan solat Jumat.

Sayangnya, pada sebagian mesjid yang ada, momentum khutbah Jumat yang sangat strategis bagi penyampaian pesa-pesan keagamaan, keumatan, dan kebangsaan ini, kurang dimaksimalkan oleh para khatib, dalam bentuk penyampaian yang hanya dimengerti oleh sebagian kecil jamaah saja.

Bukan hanya ada, tapi masih banyak pengurus mesjid -yang diamini oleh tokoh agama di sekitarnya- yang menerapkan kebiasaan bahwa penyampaian khutbah Jumat cukup dengan menggunakan bahasa Arab yang panduannya sudah tertuang dalam buku kecil yang sudah tersedia di atas mimbar khutbah. Hal itu dilakukan karena “dari dulu juga cukup begitu”.

Penyampaian khutbah Jumat yang “dicampur” dengan bahasa di luar bahasa Arab, diyakini sebagai hal baru yang datang belakangan dan bisa mengurangi sakralitas penyelenggaraan solat Jumat. Pada mesjid tertentu bahkan dianggap sebagai kebiasaan yang tidak biasa dan karenanya dianggap sebagai bidah.

Akibatnya, karena tidak semua jemaah Jumat mengerti dan paham dengan bahasa Arab, maka ketika usai pelaksaan solat Jumat mereka tidak memiliki sesuatu yang baru yang bisa mereka petik dari khutbah Jumat tersebut. Solat Jumat hanya menjadi semacam ritual mingguan tanpa meninggalkan pesan yang lebih bermakna.

Oleh karena itu, agar pelaksanaan solat Jumat tidak hanya sekedar ritus rutin mingguan, dan agar jemaah memiliki dan atau mendapatkan pemahaman baru, sebaiknya khutbah Jumat disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka. Bisa dengan menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia, atau dengan menggunakan bahasa daerah sesuai dengan lokasi di mana mesjid itu berada.

Tapi, bila pun jemaah merasa lebih pas, cocok, dan nyaman dengan apa yang selama ini dilakukan -khutbah cukup dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh mereka sendiri- tidak salah juga untuk dipertahankan. Karena tanpa tambahan dengan bahasa yang dimengerti, pelaksanaan solat Jumat bisa berjalan lebih cepat dan singkat, tersebab setelahnya, jemaah “akan bertebaran di muka bumi” untuk melanjutkan ikhtiar mencari penghidupan.

Karena Penulis sendiri ketika berada dalam situasi tertentu yang memungkinkan untuk bersegera melanjutkan aktivitas usai menjalankan solat Jumat, kadang mencari mesjid yang model begitu. Baarokallahu lii walakum. Fastaghfiruuh innahuu hual ghofuururrohiim. Pas imam pilih ayat, baca “sabbihis” atau surat Al-A’la. Yaah, panjang lagi dweh..


Penulis adalah Pengurus ICMI Provinsi Banten

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *