Oleh : Adung Abdul Haris
I. Prolog
Sejarah kontemporer adalah studi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam waktu yang relatif dekat dengan masa kini, biasanya sejak akhir abad ke-19 atau pasca-Perang Dunia II hingga sekarang. Peristiwa ini masih memiliki dampak langsung dan dapat dirasakan oleh masyarakat saat ini. Beberapa peristiwa kontemporer penting termasuk Perang Dunia, Perang Dingin, dan runtuhnya Uni Soviet, sementara di tingkat yang lebih kecil, mencakup perjuangan kemerdekaan negara-negara baru, modernisasi, dan revolusi teknologi.
Sedangkan sejarah kontemporer, yaitu periode sejarah yang dimulai setelah Perang Dunia II hingga masa kini. Sementara ciri-ciri dari sejarah kontemporer, yaitu jarak waktu yang relatif dekat dengan masa kini. Bahkan, dampak peristiwa masih dapat dirasakan oleh masyarakat saat ini. Sementara sumber data dan fakta sejarah bisa lebih kompleks karena banyak informasi yang belum terungkap. Lebih dari itu, sejarah kontempo memang fokus untuk memahami perubahan besar dalam masyarakat, politik, ekonomi, dan teknologi yang membentuk dunia modern.
Contoh peristiwa kontemporer seperti Perang Dunia I dan II. Yaitu, perang global yang membawa perubahan politik dan sosial yang signifikan di seluruh dunia. Kemudian perang dingin, yaitu persaingan ideologi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang membentuk lanskap geopolitik dunia selama beberapa dekade. Kemudian runtuhnya Uni Soviet. Yakni, berakhirnya kekuasaan komunis dan munculnya beberapa negara baru pasca-Perang Dingin. Kemudian politik Apartheid di Aprika Selatan. Yakni, sistem pemisahan ras yang berlangsung dari tahun 1948 hingga 1993. Kemudian konflik Yugoslavia. Yakni, perang saudara yang menyebabkan pecahnya negara Yugoslavia menjadi beberapa negara yang lebih kecil. Perang Vietnam, yaitu konflik yang melibatkan Amerika Serikat dan Vietnam yang bertujuan untuk menghentikan penyebaran komunisme.
Bahkan, modernisasi dan globalisasi termasuk bagian dari sejarah kontemporer, yaitu suatu perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang mempercepat keterkaitan antar negara di seluruh dunia. Dengan kata lain, sejarah kontemporer adalah peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam periode waktu yang relatif dekat.
II. Prancis Fukuyama Menggelitik Dunia
Francis Fukuyama, seorang akademisi, komentator politik, dan penasihat pemerintah Amerika Serikat, benar-benar telah menggemparkan dunia politik internasional ketika awal tahun 1990-an. Karena, ketika itu ia mendeklarasikan dan sekaligus “menggelitik masyarakat dunia”, dan kemudian menyatakan bahwa telah berakhirnya sejarah. Saat itu, ia dengan tegas menyatakan bahwa runtuhnya Soviet dan ambruknya tembok Berlin adalah dua diantara sekian banyak pertanda signifikan telah terjadinya perubahan dramatis pasca Perang Dingin yang mempresentasikan secara akurat kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal di seluruh dunia. Dengan mendasarkan argumennya pada tulisan-tulisan Kant, Hegel, dan pembacaan kritis terhadap Marx, dia meramalkan bahwa di penghujung sejarah dan masa depan tidak akan pernah lagi tersedia ruang bagi pertarungan antar ideologi besar.
Sejak publikasi pertamanya, buku karyanya berjudul “The End Of History And The Last Man”, Fukuyama mengundang begitu banyak perdebatan pro-kontra. Faktanya lebih banyak lontaran gugatan dan kritikan dari hampir setiap sudut pandang. Buku karya Fukuyama disebut-sebut sebagai sebuah karya yang sangat optimistic sekaligus deterministic; fenomenal sekaligus controversial, ilmiah sekaligus profokatif. Walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit, telah muncul sikap simpatik yang berusaha memahami sisi positif dari tesisnya itu. Lebih jauh, muncul pelbagai upaya untuk mengevaluasinya sebagai sebuah instrumen analisis dan perangkat resolusi untuk mengatasi beragam problem kontemporer di dalam dunia politik dan teori ideologi-politik.
III. Akhir Sejarah Dan Manusia Terakhir (Liberalisme Dan Ketidakpuasannya)
Buku karya Francis Fukuyama, sebagaimana telah disinggung di sub judul bagian atas, ternyata buku berjudul “The End of History and the Last Man” itu, hingga saat ini kurang lebih sudah berusia 30 tahun. Buku tersebut memang sangat mengesankan dan telah banyak dibaca dan didiskusikan oleh masyarakat dunia. Terutama setelah diterbitkan oleh sang penulisnya (Prancis Fukuyama), sekaligus seorang filsuf politik Universitas Stanford. Bahkan, hingga saat ini Fukuyama, telah menulis dua karya besar lainnya (pada tahun 2011 dan 2014) yang menurutnya “menulis ulang” The End of History. Kini, ia telah menerbitkan “Liberalism and Its Discontents”, yang meskipun relatif singkat, tapi telah memberikan wawasan kunci tentang evolusi pemikirannya. Sementara untuk mengevaluasi buku terbaru dari karya Fukuyama, maka kita harus memahami buku berjudul “The End of History” terlebih dahulu.
A. Akhir Sejarah
Buku karya Fukuyama yang terbit di tahun 1992 itu, memang berawal dari sebuah esai tahun 1989, yang berjudul “Akhir Sejarah”, yang diterbitkan Fukuyama di “The National Interest”. Esai tersebut terbit di saat yang penuh harapan, karena saat itu Tembok Berlin runtuh, yakni pada tahun 1989, kemudian Uni Soviet juga bubar pada tahun 1991, dan Tiongkok mulai membuka diri terhadap kapitalisme serta mengalami tuntutan internal untuk liberalisasi yang lebih besar hingga peristiwa Lapangan Tiananmen pada tahun 1989. Semua itu mendorong Fukuyama untuk mengamati dalam “The End of History” bahwa baik “negara otoriter sayap kanan” maupun “pemerintahan totaliter sayap kiri” telah gagal. Dengan demokratisasi di banyak negara pada akhir abad ke-20 M, ia hanya melihat kapitalisme dan demokrasi sebagai bentuk organisasi ekonomi dan politik yang berjaya. Tampaknya seluruh sejarah manusia mengarah pada demokrasi liberal sebagai satu-satunya rezim yang konsisten dengan “kodrat manusia sebagai manusia.” (Bahkan, dalam buku tahun 1992, Fukuyama sering menggunakan “manusia” untuk berarti “manusia dari jenis kelamin apa pun”). Sementara dalam buku terbarunya, ia menggunakan terminologi yang lebih politis. Hal itu menimbulkan pertanyaan apakah sejarah manusia memang memiliki arah, yaitu suatu akhir yang menjadi tujuan perkembangannya? Bangsa Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles percaya pada siklus, bukan kemajuan.
Lebih dari itu, konsepsi pertama Barat tentang sejarah yang terarah adalah konsep Kekristenan yang menunjuk pada akhir zaman dan penghakiman terakhir. Immanuel Kant, seorang filsuf Pencerahan yang percaya pada kemajuan manusia, dan ia berpendapat bahwa sejarah universal yang mengarah pada kebebasan dapat ditulis. Kemudian Georg Wilhelm Friedrich Hegel, filsuf Jerman yang hidup di antara abad ke-18 dan ke-19 M, yang digambarkan oleh Fukuyama sebagai filsuf historisis pertama, mencoba menyusun sejarah universal semacam itu.
Sedangkan “manusia terakhir” dalam judul buku Fukuyama adalah tipe orang yang akan hidup ketika sejarah telah mencapai akhirnya, yaitu ketika semua orang merasa puas dengan masyarakat dan tidak ada cita-cita sosial baru yang akan mengganggunya.Peristiwa-peristiwa akan tetap ada, tetapi tidak ada perang dan sejarah itu sendiri: tidak ada hal mendasar yang akan berubah. Historisisme adalah teori yang menyatakan bahwa hukum-hukum yang tak tergoyahkan mengendalikan perkembangan sejarah. Karl Popper, filsuf sains ternama, secara meyakinkan berargumen dalam serangkaian artikel di “Economica” pada tahun 1944 dan 1945, bahwa “hukum” semacam itu tidak ada dalam pengertian ilmiah; yang ada hanyalah tren historis, tetapi keberlangsungannya tidak terjamin. Fukuyama tidak mengklaim lebih dari itu, dan hal itu sebagaimana ia tuangkan di dalam kata penutup edisi baru “The End of History” pada tahun 2006, ia menjelaskan bahwa ia tidak percaya pada bentuk determinisme historis yang kaku, melainkan pada “tren historis yang luas menuju demokrasi liberal.”
B. Dua Proses
Menurut Fukuyama, sejarah manusia berkembang di sekitar dua proses. Proses pertama, yang ia sebut “Mekanisme”, ia terletak pada kemajuan ilmu pengetahuan alam, yang didorong oleh hasrat akan barang-barang material, persaingan militer, dan akal budi manusia. Bahkan, pertumbuhan ekonomi membutuhkan kapitalisme, sebuah istilah yang digunakan Fukuyama secara bergantian dengan “pasar” dan “ekonomi liberal”. Hasil dari proses pertama adalah perkembangan liberalisme dalam arti kapitalisme. Sementara perencanaan terpusat, ia tidak bisa mendukung inovasi teknologi, yang membutuhkan suasana kebebasan serta imbalan finansial yang memadai, juga tidak dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan yang tercakup dalam harga yang ditentukan pasar. Fukuyama dapat melacak gagasan yang terakhir ini hingga Friedrich Hayek, ekonom liberal klasik yang memenangkan Nobel ekonomi pada tahun 1974. Membandingkan sistem Soviet atau ekonomi Tiongkok sebelum wafatnya Mao dengan ekonomi yang sebagian kapitalis di negara-negara Asia yang berkembang pesat (terutama Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong) menunjukkan hal tersebut. Dengan demikian, sebuah “budaya ekonomi kapitalis universal” dan “budaya konsumen universal yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi liberal” telah berkembang di seluruh planet ini.
Lebih dari itu, Fukuyama juga mendefinisikan liberalisme dalam konteks supremasi hukum dan “hak atau kebebasan individu tertentu.” Hal itu mencakup liberalisme ekonomi (atau kapitalisme), yaitu “pengakuan atas hak aktivitas ekonomi bebas dan pertukaran ekonomi berdasarkan kepemilikan pribadi dan pasar.” Hal itu tampak seperti liberalisme klasik, dan Fukuyama mengatakan demikian; seperti yang akan kita lihat, gambarannya sedikit lebih rumit. Misalnya, mekanisme ilmu pengetahuan alam modern “menciptakan kecenderungan kuat yang mendukung kapitalisme” tetapi tidak serta merta menghasilkan demokrasi liberal, meskipun terdapat korelasi kuat antara kedua sistem tersebut. Fukuyama menekankan bahwa kapitalisme otoriter juga dapat dihasilkan dari hal itu.
IV. Akhir Sejarah : Penjelasan Gagasan Kontroversial Francis Fukuyama
Sebagaimana telah dikemukakan di sub judul bagian atas, pada tahun 1989, seorang pakar kebijakan di Departemen Luar Negeri AS, ia telah menulis sebuah makalah untuk majalah hubungan Internasional berhaluan kanan, “The National Interest”, berjudul “Akhir Sejarah?”. Namanya Francis Fukuyama, dan makalah tersebut begitu menarik perhatian, dan akhirnya menimbulkan kontroversi, sehingga ia (Fukuyama) segera dikontrak untuk mengembangkan artikel 18 halamannya itu untuk menjadi sebuah buku. Dan buku karya Fukuyama yang menghebohkan itu terbit atau diterbitkan pada tahun 1992 : “Akhir Sejarah Dan Manusia Terakhir”. Sisanya, kata mereka, adalah (akhir) sejarah. Fukuyama menjadi salah satu akademisi yang karyanya disingkat menjadi sebuah singkatan : “Akhir Sejarah”. Frasa tersebut, tak diragukan lagi, karena sangat dramatis, tetapi tidak jelas sekaligus terkesan sangat mencolok dan menohok dunia saat itu.
Secara sederhana, Fukuyama tidak bermaksud ketika ia berbicara tentang “akhir sejarah”, kita semua telah mencapai tahap dimana tidak akan terjadi hal lain yang memiliki signifikansi historis, bahwa semua masalah telah terpecahkan dan politik kini akan berjalan lancar. Argumennya adalah bahwa perkembangan sejarah telah mengungkap, meskipun tersendat-sendat bentuk ideal organisasi politik: negara demokrasi liberal yang terikat pada ekonomi pasar. (Atau, dalam istilah Churchillian, bentuk yang paling tidak buruk).
Sementara penggunaan kata “sejarah” oleh Fukuyama di sini paling baik didekati dengan sinonim dalam sosiologi seperti “modernisasi” atau “pembangunan”. Fukuyama tidak mengatakan bahwa negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi liberal itu telah mencapai cita-cita yang paling sempurna, atau bahwa organisasi politik seperti itu telah menyelesaikan semua masalah yang mungkin terjadi. Ia hanya mengatakan bahwa demokrasi liberal, dengan segala kekurangannya, adalah cita-cita yang tak tertandingi. Baginya, negara demokrasi liberal mensyaratkan tiga hal. Pertama, negara demokratis, bukan hanya dalam arti mengijinkan pemilihan umum, tetapi juga dalam hasil pemilihan umum tersebut yang mewujudkan kehendak warga negara. Kedua, negara memiliki kekuatan dan wewenang yang memadai untuk menegakkan hukum dan menyelenggarakan layanan publik. Ketiga, negara dan para wakil tertingginya sendiri dibatasi oleh hukum. Karena, para pemimpinnya tidak berada di atas hukum.
Sementara dalam sebuah artikel terbarunya berjudul “The Atlantic”, Fukuyama, yang kini menjadi peneliti senior dan profesor di Universitas Stanford, tampak teguh pada gagasan utamanya. Ia berargumen bahwa negara-negara yang telah menjauhi demokrasi liberal dan menyatakannya bahwa mereka (negara non liberal) telah kolef, khususnya bagi Rusia dan Tiongkok, tetap rentan dalam dua hal spesifik. Pertama, ia berpendapat, ketergantungan mereka pada satu pemimpin atau sekelompok kecil pemimpin di pucuk pimpinan praktis menjamin pengambilan keputusan yang buruk dalam jangka panjang. Kedua, ketiadaan partisipasi publik dalam proses politik apa pun, berarti dukungan bagi para pemimpin tersebut pada dasarnya bersifat fluktuatif, dan rentan menguap kapan saja.
A. Hutang Kepada Hegel Dan Lainnya
Sementara frasa “akhir sejarah” sebenarnya bukan diciptakan oleh Fukuyama itu sendiri. Frasa itu memiliki sejarah dan nilai filosofis yang dapat ditelusuri kembali ke filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), yang menciptakan istilah tersebut, dan penafsir modernnya, yaitu Karl Marx (1818-1883) serta seorang filsuf dan negarawan Prancis kelahiran Rusia, yaitu Alexandre Kojeve (1902-1968). Sementara ketika kita untuk memahami frasa tersebut membutuhkan pemahaman tentang para pemikir zaman kuno (George Wilhelm dan Alexandre Kejove). Bahkan, Hegel berpendapat bahwa sejarah memiliki “telos” atau tujuan sebuah titik akhir, yang setara dengan munculnya negara yang sepenuhnya rasional dan adil. Negara tersebut akan menjamin kebebasan yang diperlukan untuk pengembangan penuh seluruh kapasitas manusia. Pada saat yang sama, negara tersebut akan berada dalam kondisi damai abadi dengan negara-negara lain yang berkonfigurasi serupa.
Jakob Schlesinger, Filsuf Georg Friedrich Wilhelm Hegel, dan Alexandre Kojeve, di tahun 1831 M, mereka telah menyaksikan akhir sejarah itu (atau setidaknya awal dari akhir tersebut) dengan Revolusi Prancis dan universalisasi gagasan kesetaraan dan kebebasan. Sementara Fukuyama menilai Alexandre Kojeve benar : Republik Prancis belum menjadi lebih baik, meskipun banyak upaya fasis dan komunis untuk mewujudkannya. Bukan berarti cita-cita revolusi telah terwujud dengan sempurna (seolah-olah Pemerintahan Teror berfungsi sebagai pembenaran liberalisme), tetapi sebagai cita-cita, maka cita-cita itu telah terwujud secara meyakinkan, menunjukkan kekuatannya, dan sejak itu terbukti tak tertandingi.
Bagi Fukuyama, kemalangan Hegel dianggap oleh banyak intelektual abad ke-20 sebagai pendahulu Marx, yang menganggap nasib masyarakat dan “akhir sejarah” tidak ditentukan oleh ide-idenya, melainkan oleh organisasi materialnya. Bagi Marx, penyelesaian perkembangan historis akan berbentuk komunisme global. Hal itu berarti berakhirnya eksploitasi manusia oleh manusia, pembubaran kepemilikan pribadi, penyelesaian semua pertentangan antara kerja mental dan fisik, munculnya sistem di mana setiap individu akan berkontribusi “sesuai kemampuannya,” dan mengonsumsi “sesuai kebutuhannya.” Namun, menjelang akhir 1980-an, Fukuyama bersama sejumlah tokoh lainnya mulai curiga bahwa kita tidak akan menyaksikan “akhir sejarah” Marxis. Partai Komunis Rusia, di bawah Mikhail Gorbachev, sedang bergerak menuju serangkaian reformasi: sebuah “rekonstruksi” (Perestroika), yang mendorong keterbukaan dan transparansi yang lebih besar (Glasnost), dan bahkan perluasan pencarian keuntungan dan komersialisasi dalam batasan ekonomi terencana. Reformasi demokratisasi dan liberalisasi ini sebuah respons terhadap impuls totaliter dan stagnasi ekonomi jangka panjang Blok Timur menunda dan mempercepat keruntuhan Uni Soviet pada akhir tahun 1991.
B. Keterbatasan
Banyak pihak menuduh Fukuyama memiliki kecenderungan “Whig” ke arah pembenaran dan pengagungan model pemerintahan tertentu khususnya Amerika Serikat, hal itu sebagai perwujudan bentuk negara modern yang sempurna. Namun, kritik ini, yang umum diyakini, sebagian besar keliru. Fukuyama telah berulang kali menunjukkan kegagalan AS, keruntuhan liberalisme yang keliru dengan neoliberalisme, dan baru-baru ini nasionalisme populis Partai Republik, yang ia anggap sebagai bencana dan sejalan dengan perkembangan paralel, misalnya di Turki di bawah Tayyip Erdogan dan di Hongaria. Oleh karena itu, tesisnya tentang “akhir sejarah” bukanlah bahwa bentuk organisasi politik ini telah terwujud, melainkan bahwa, sebagai sebuah gagasan, ia merupakan sesuatu yang tidak dapat kita perbaiki. Dan mungkin ia benar tentang hal itu. Namun, seperti biasa, masalahnya ada pada detailnya dan Fukuyama tampaknya terkadang mengabaikannya dalam diam. Dia mengakui, misalnya, tetapi hanya memberikan sedikit rekomendasi tentang cara menyelesaikan, ketegangan yang melekat antara kekuatan negara demokrasi liberal dan kebebasan warga negaranya.
Negara yang kuat adalah negara yang mampu melaksanakan mandatnya tetapi bagaimana pelaksanaannya dapat diselaraskan dengan kebebasan individu yang menjadi warga negaranya? Di sini Fukuyama menganjurkan “keseimbangan”. Kita mungkin bertanya-tanya bukan hanya apa yang harus ditimbang, tetapi juga metrik apa yang mungkin digunakan. Lebih lanjut, isu-isu tentang “detail” mungkin lebih mendalam daripada sekadar pertanyaan tentang resolusi kebijakan untuk mengatasi ketegangan mendasar tersebut. Banyak karya Fukuyama yang paling terkenal lebih mengutamakan hal-hal umum daripada hal-hal spesifik.
Bahkan, Francis Fukuyama ketika ia berbicara di forum pemimpin dunia di Seoul pada tahun 2008, dan itu mungkin bukan kebetulan, mengingat kerangka idealis Jerman yang menjadi landasan tesisnya. Baik Hegel maupun Marx telah dituduh memiliki visi “totalisasi” di mana detail sejarah yang kotor tentang orang-orang tanpa kewarganegaraan, pengadilan dan pogrom, korban manusia dari “pembangunan negara” liberal maupun non-liberal disingkirkan demi kisah-kisah kemajuan yang universal. Penting untuk dicatat bahwa negara demokrasi liberal yang dipuji Fukuyama sangat jarang dibangun secara liberal atau demokratis. Bahkan, berbagai upaya baru, saat-saat ini juga terutama untuk “mengekspor drmokrasi liberal secara paksa ke berbagai negara”, seringkali menghasilkan destabilisasi dan tirani yang jauh lebih buruk daripada yang ingin mereka gantikan. Lalu bagaimana dengan fenomena terkini mengenai kebangkitan global sejumlah rezim otoriter, dari Nikaragua dan Sudan hingga Burma dan lain sebagainya, yang keberhasilannya (jika tidak stabilitas) tidak serta merta memunculkan optimisme tentang demokratisasi yang marak pada tahun 1980-an.
C. Sikap Yang Lebih Tenang
Meskipun komitmennya terhadap posisinya belum goyah, Fukuyama sedikit lebih tenang di tahun-tahun setelah artikel aslinya. Meskipun tetap yakin bahwa negara demokrasi liberal adalah bentuk tertinggi organisasi politik, ia tentu lebih optimis tentang kemenangan mereka yang akan segera terjadi di dunia tempat kita hidup saat ini. Dalam sebuah wawancara pada tahun 2021, sejarawan politik Norwegia Mathilde C. Fasting mendesak Fukuyama mengenai kebangkitan global dan dampak buruk populisme, dan mengenai apa yang disebut oleh Larry Diamond dari Universitas Stanford sebagai “resesi demokrasi” yaitu penurunan jumlah negara demokrasi di seluruh dunia, serta degradasi struktur demokrasi di dalam negara-negara demokrasi yang sudah mapan, termasuk AS dan Inggris: Tentu saja tidak ada yang bisa. Sebagai sebuah ilmu, futurologi politik telah terbukti jauh lebih suram daripada ilmu ekonomi.
V. Upaya Mengakhiri Perang : “Hasil KTT Perdamaian Gaza di Mesir Dan 5 Poin Penting Pasca Deklarasi”
Di era tahun 1990-an, kita digegerkan oleh sebuah buku karya dari Fukuyama, yakni judul buku yang menohoh “Sejarah Berakhir”. Kini di tahun 2025 saat ini, kita dan masyarakat dunia dicengangkan oleh negara Iran yang bisa mengobrak-abrik serta meluluh-lantahkan Israel. Kemudian, akhir-akhir ini kita juga semakin tercengang, yakni dengan melihat kehadiran Presiden Trump pada hari Senin menyelesaikan kunjungan singkat ke Timur Tengah (10 Oktober 2025), yaitu untuk mempromosikan apa yang ia sebut sebagai “fajar bersejarah bagi Timur Tengah yang baru”. Momen itu sekaligus untuk menandatangani secara resmi perjanjian damai pada KTT perdamaian, yakni untuk mengakhiri pertempuran di Gaza antara Israel dan Hamas. Kunjungan itu menjadi semacam “victory lap” bagi Trump.
Perjalanan itu juga menjadi momen bahagia bagi banyak keluarga setelah sandera Israel yang ditahan Hamas selama dua tahun akhirnya dibebaskan. Pada Gaza Peace Summit, atau juga dikenal sebagai Sharm El-Sheikh Peace Summit, merupakan pertemuan internasional yang digagas sebagai kelanjutan dari kesepakatan fase pertama rencana perdamaian Gaza. Pertemuan itu dipimpin bersama oleh Presiden Trump dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, dengan dihadiri lebih dari 20 negara serta sejumlah organisasi internasional, termasuk Presiden RI, Prabowo Subianto..Lalu, seperti apa hasil dari Perdamaian Gaza 2025 tersebut?
A. Hasil Perdamaian Gaza di Mesir
Dalam perjanjian tersebut lahir deklarasi dari beberapa pemimpin di negara Timur Tengah. Ada Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Semuanya menandatangani deklarasi yang dikenal sebagai “Deklarasi Trump untuk Perdamaian dan Kemakmuran Abadi” atau “Trump Declaration for Enduring Peace and Prosperity”. Namun, perwakilan dari Israel dan Hamas, yang merupakan pihak utama dalam perang Gaza, nampaknya tidak menghadiri penandatanganan tersebut. Meskipun perjanjian bersama itu menyinggung beberapa isu penting, dokumen tersebut dikritik karena dinilai terlalu sederhana. Sehingga, sedikit informasi rincian mengenai cara mewujudkan kesepakatan perdamaian regional, termasuk di wilayah Gaza. Sementara itu, ada beberapa poin penting yang menjadi sorotan pasca Gaza Peace Summit diselenggarakan diantaranya :
Poin Penting Pasca Deklarasi.
- Keyakinan Trump “perang telah berakhir”. Meskipun rencana damai 20 poin Trump untuk Gaza masih berada pada tahap awal, Trump sejak awal sudah yakin bahwa kesepakatan itu akan bertahan. Bahkan, dalam penerbangan menuju Israel menggunakan Air Force One, Trump mengatakan kepada “The Hill” bahwa “perang telah berakhir.” Ia mengulang pernyataan itu setibanya di Israel dan kembali menegaskannya saat berpidato di Mesir dengan mengatakan, “Perang di Gaza sudah berakhir.” Namun, para pakar dan bahkan sebagian sekutu Trump masih ragu, menyoroti berbagai tantangan yang harus dihadapi demi terciptanya perdamaian abadi di kawasan tersebut. Rencana damai itu menuntut Hamas untuk menyerahkan senjatanya.
- Israel Berupaya Memulangkan Jenazah Sandera.
Ada 20 sandera yang masih hidup telah dikembalikan ke Israel, pasukan Israel kini tengah melakukan pencarian besar-besaran terhadap jenazah 28 sandera lainnya yang ditahan Hamas selama dua tahun perang. Militer Israel melaporkan bahwa 4 peti jenazah telah dikembalikan, menyisakan 24 jenazah yang masih belum ditemukan. Komite Palang Merah Internasional membantu proses pemulangan jenazah tersebut. Media Israel melaporkan bahwa Hamas meminta waktu tambahan untuk menemukan dan menyerahkan jenazah, karena beberapa di antaranya mungkin berada di wilayah yang kini dikuasai militer Israel. Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang, yang mewakili keluarga korban, menyerukan agar gencatan senjata ditangguhkan karena Hamas belum menyerahkan semua jenazah seperti yang dijanjikan. Forum tersebut menegaskan bahwa kesepakatan harus dihormati kedua pihak. - Netanyahu Absen, Abbas Hadir di KTT Perdamaian.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak menghadiri KTT Perdamaian di Mesir dengan alasan hari raya Yahudi Simchat Torah. Namun, ketidakhadirannya dianggap mencerminkan tantangan besar menuju perdamaian abadi antara Israel dan Palestina. Sebaliknya, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, yang kini berusia 89 tahun, ia hadir dan mendapat sambutan hangat dari Trump. Keduanya berjabat tangan dan berbincang singkat di hadapan media. Trump mengusulkan agar Otoritas Palestina yang telah direformasi menjadi bagian dari pemerintahan baru Gaza. Namun, Netanyahu menolak pembentukan negara Palestina, yang justru menjadi salah satu poin dalam rencana damai Trump. Trump juga menyebut peran penting negara-negara Timur Tengah seperti Qatar, UEA, Turki, dan Arab Saudi, yang kehadirannya dianggap krusial dalam menjaga perdamaian regional. - Trump Ajak Negara Lain Gabung Abraham Accords.
Dalam pidatonya di KTT Perdamaian, Trump berkali-kali menyinggung Abraham Accords, pencapaian diplomatik besar pada masa jabatan pertamanya, sebagai upaya melanjutkan warisan damai di kawasan.
“Kita akan melihat banyak negara bergabung dalam Abraham Accords,” kata Trump. “Empat negara besar sudah melakukannya sejak awal, dan sekarang banyak negara lain yang ingin ikut.” Abraham Accords yang ditandatangani tahun 2020 menormalkan hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab seperti Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Maroko. Sebelum itu, hanya Yordania dan Mesir yang mengakui Israel. Meski begitu, negara seperti Arab Saudi masih menegaskan syarat utama, yakni terbentuknya negara Palestina sebelum mereka bisa menormalisasi hubungan dengan Israel. - Masa Depan Gaza Masih Belum Pasti.
Meskipun suasana di Mesir penuh optimisme, masa depan Gaza masih diliputi ketidakpastian. Puluhan ribu warga Palestina tewas dalam dua tahun terakhir, dan infrastruktur di Gaza hancur total. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer mengatakan bahwa tantangan berikutnya adalah “pelaksanaan kesepakatan,” dan Inggris bersedia membantu proses demiliterisasi Gaza. Trump menunjuk Dewan Perdamaian (Board of Peace) untuk mengawasi Gaza pasca perang, dengan dirinya sebagai ketua dan mantan PM Inggris Tony Blair sebagai anggota utama. Namun Hamas menolak keras keterlibatan Blair karena perannya dalam invasi Irak tahun 2003. Kini, Warga Palestina juga turut bersukacita setelah Israel membebaskan 250 tahanan Palestina dari penjara Israel dan 1.700 warga Gaza yang ditangkap pasca serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Itulah informasi mengenai hasil deklarasi KTT Perdamaian Gaza dan 5 poin penting yang terjadi.

