Oleh: Zaenal Abidin Syuja’i
(Pengasuh Ponpes Mathla’ul Anwar Kota Serang, Provinsi Banten)

Setiap tanggal 22 Oktober, negeri ini kembali riuh dengan peringatan Hari Santri Nasional.

Spanduk dan baliho menghiasi jalanan, pidato-pidato disampaikan dengan nada heroik, dan simbol-simbol keislaman dimunculkan untuk menegaskan bahwa negara ini tidak lupa pada jasa kaum santri.

Namun, di balik gegap gempita itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah penghormatan terhadap santri benar-benar tulus, atau sekadar basa-basi politik negara terhadap umat pesantren?

Santri dalam Sejarah Kebangsaan
Sejarah Indonesia mencatat dengan tinta emas peran besar para santri dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa.

Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 menjadi momentum monumental yang menunjukkan bahwa santri tidak hanya ahli agama, tetapi juga patriot sejati. Mereka turun ke medan laga, mempertaruhkan nyawa demi tegaknya NKRI.

Namun, setelah kemerdekaan diraih, relasi antara pesantren dan negara sering berjalan timpang. Santri sering diminta dukungannya, tetapi jarang diberi ruang aktualisasi yang sejajar.

Pengakuan melalui Hari Santri patut diapresiasi, tetapi penghargaan simbolik tanpa keberpihakan struktural adalah pengakuan yang hampa.

Basa-Basi Politik terhadap Pesantren
Dalam politik praktis, santri dan pesantren kerap dijadikan komoditas elektoral. Suara santri dianggap strategis, dan karena itu sering menjadi sasaran rayuan politis.

Janji pembangunan pesantren modern, bantuan dana, dan perhatian terhadap kesejahteraan guru ngaji berulang kali muncul menjelang pemilu — dan sering kali menguap setelahnya.

Kondisi ini menciptakan paradoks: pesantren dihormati secara seremonial, tetapi diposisikan secara subordinatif dalam kebijakan.

Ketika negara menjadikan pesantren sebagai alat legitimasi politik, maka yang terjadi bukanlah pemberdayaan, melainkan penjinakan kultural.

Santri sejati semestinya sadar bahwa politik basa-basi tidak akan menumbuhkan kemandirian, hanya akan menumbuhkan ketergantungan.

Kemandirian Pesantren adalah Keniscayaan
Pesantren lahir dari rahim rakyat, tumbuh karena semangat ikhlas dan gotong royong.

Tidak ada intervensi negara di awal berdirinya, namun pesantren tetap mampu hidup, mendidik, dan memberdayakan umat.

Inilah identitas asli pesantren: mandiri, tahan banting, dan berakar pada masyarakat.

Kemandirian pesantren hari ini tidak cukup dimaknai sebagai kemampuan bertahan hidup tanpa bantuan, tetapi harus meluas pada kemandirian ekonomi, pendidikan, dan pemikiran.

Pesantren perlu bertransformasi menjadi pusat pemberdayaan umat dengan:

  1. Mengembangkan koperasi dan usaha produktif berbasis santri;
  2. Mendorong pertanian, peternakan, dan industri halal yang berkelanjutan;
  3. Membangun jaringan digital dan literasi ekonomi syariah; dan
  4. Menjadi pelopor etika publik dan moral kebangsaan.

Kemandirian bukan berarti menolak bantuan negara, tetapi menolak dikendalikan oleh negara.

Pesantren harus berdiri sejajar — bukan sebagai objek, melainkan mitra kritis yang menjaga moralitas kebangsaan.

REFLEKSI HARI SANTRI

Hari Santri tidak boleh berhenti pada seremoni dan lomba-lomba simbolik. Ia harus menjadi momentum refleksi kolektif umat Islam untuk meneguhkan kembali jati diri pesantren sebagai benteng keilmuan, kemandirian, dan keikhlasan.

Ketika pesantren bergantung pada kekuasaan, maka marwahnya akan pudar. Tetapi ketika pesantren berdiri di atas nilai-nilai luhur keilmuan dan kemandirian, maka bangsa ini akan memiliki sumber moral yang tidak mudah dibeli oleh kepentingan politik.

PENUTUP

Santri bukan sekadar bagian dari sejarah, tetapi penjaga masa depan bangsa.

Negara boleh memberi penghormatan, tetapi santri harus tetap menjaga jati dirinya.
Sebab kemerdekaan sejati bukanlah ketika pesantren dipuji oleh negara, melainkan ketika pesantren mampu berdiri tegak, menghidupi dirinya sendiri, dan menerangi umat dengan cahaya keikhlasan.

“Negara boleh mengakui santri, tetapi santri tidak boleh kehilangan dirinya karena pengakuan itu.”

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *