Ocit Abdurrosyid Siddiq

Suatu waktu, Penulis pernah mendapat undangan dari panitia pelantikan pengurus organisasi kepemudaan. Di ujung telepon, suara itu ramah menyapa penuh harap, “Saya mengundang Kanda untuk berkenan hadir dalam acara pelantikan pengurus KNPI”. Dengan nada seloroh saya balik bertanya, “KNPI versi mana?”. Spontan kami terbahak bersama.

Ketika Penulis bertanya versi mana lalu menuai tawa, adakah yang lucu? Sebetulnya tidak ada yang lucu. Bahkan pertanyaan itu terasa satire. Bagaimana tidak! Sudah menjadi rahasia umum, bahwa organisasi yang menghimpun para pemuda Indonesia di tiap tingkatan ini terpecah menjadi beberapa kepengurusan. Lebih dari satu kepengurusan. Apakah dua? Tidak. Bahkan hingga 6 versi kepengurusan. Dualisme? Bukan. Enamisme!

Dalam konteks filsafat, dualisme sering digunakan untuk menjelaskan konflik antara dua pihak yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan, seperti antara kebaikan dan kejahatan, terang dan gelap, atau hidup dan mati. Dualisme merupakan konsep yang menyatakan adanya dua prinsip atau konsep yang saling bertentangan dan tidak dapat dipisahkan.

Padahal, bila kita mengingat kembali bagaimana asbabul wurud terbentuknya KNPI ini, tidak terlepas dari semangat yang melatarinya, yaitu momentum Sumpah Pemuda pada tahun 1928, ketika Indonesia masih berupa Hindia Belanda di masa penjajahan bangsa kolonial. Mereka bersatu, menyatu, membaur, melebur dalam satu identitas, yaitu Indonesia.

Waktu itu para pemuda dari berbagai daerah berkumpul di Jakarta. Mereka terdorong oleh kesadaran bahwa perjuangan untuk merebut kemerdekaan tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Mesti ada wadah yang mempersatukan yang bisa mengikat kesamaan di antara mereka. Nama pengikat itu adalah Indonesia.

Pada 28 Oktober 1928 seluruh pemuda perwakilan dari berbagai daerah dan berbagai suku itu, menyatakan diri bahwa hanya ada satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air, yaitu Indonesia. Momentum itulah yang kemudian dikenang sebagai Sumpah Pemuda. Sumpah para pemuda, yang 17 tahun kemudian menjadi pelaku utama dalam Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945.

Dikutip dari Merdeka.com, disebutkan bahwa pada tanggal 23 Juli 1973 sekelompok pemuda mendirikan KNPI. Komite Nasional Pemuda Indonesia atau KNPI adalah organisasi kepemudaan yang awalnya merupakan gabungan dari Kelompok Cipayung; sebutan bagi lima organisasi mahasiswa yang notabene adalah para pemuda.

Adapun lima organisasi yang dimaksud, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Organisasi ini lahir melalui Deklarasi Pemuda Indonesia dengan tujuan untuk menumbuhkan, meningkatkan, dan mengembangkan kesadaran sebagai sebuah bangsa. Dengan adanya organisasi ini, diharapkan para pemuda mampu menjadi pembaharu yang didasari pada militansi dan idealisme.

Militansi merupakan ketangguhan dalam berjuang atau menghadapi kesulitan. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan semangat dan keberanian seseorang dalam menghadapi tantangan, baik dalam konteks perjuangan kemerdekaan, sosial, maupun politik.

Kalau idealisme sebetulnya adalah sebuah aliran filsafat yang menempatkan pikiran, kesadaran, atau ide sebagai dasar utama dalam memahami realitas. Dunia yang kita kenal tidak hanya terbentuk dari materi atau objek fisik, tetapi terutama berasal dari persepsi, gagasan, atau kesadaran kita. Idealisme menekankan bahwa realitas sejati berada dalam pikiran, bukan pada materi fisik.

Dalam konteks peran KNPI dalam berbangsa, bernegara, dan kebermanfaatan keberadaannya terhadap masyarakat banyak adalah bahwa idealisme itu dimaksudkan sebagai kemauan, kemampuan, dan keberanian untuk menyampaikan sebuah kebenaran walau mengandung risiko. Dalam bahasa Penulis, idealisme itu adalah qulil haq walau kaana murran.

KNPI sebagai organisasi para pemuda pastinya memiliki idealisme; menjunjung tinggi kebenaran walau akan menuai konsekuensi logis. Dia bukan hanya menjadi organisasi tempat berkiprahnya para pemuda dalam mengembangkan bakat dan potensi dirinya, tetapi dia juga bisa menjadi penyeimbang terhadap kebijakan pemerintah.

Karenanya, keberadaan KNPI mestinya memberi sebesar-besar kemanfaatan bagi khalayak banyak. Bukan malah menjadi masalah, apalagi menjadi beban negara. Menjadi beban negara itu bila keberadaannya alih-alih berkontribusi positif terhadap negara, malah menjadi tanggungan negara, lewat pembiayaan negara berupa APBN, APBD, hibah, dan bantuan biaya lainnya.

Ada sebagian dari pemuda menjadikan organisasi ini sebagai media untuk meneguhkan eksistensinya, menjadikannya sebagai kendaraan politik dan kepentingan kelompok, dan tak sedikit juga yang memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi; jauh berbeda dengan niat, maksud, dan tujuan ketika para pemuda bersumpah di tahun 1928.

Ironisnya, gejala itu belakangan ini muncul dan semakin kentara. Sebagian dari para pemuda berkompetisi untuk dapat menjadi pengurus di tingkat kabupaten atau kota, provinsi, juga di tingkat pusat. Kompetisi yang kerap diwarnai dengan kericuhan yang mengakibatkan ketidakpuasan pada sebagian kelompok yang lain.

Akibatnya, muncul organisasi serupa dalam bentuk versi lain. Ya, semacam tandingan atau “perjuangan”. Saat ini saja, tidak kurang dari 6 versi kepengurusan KNPI di tingkat pusat. Setali tiga uang, pun demikian juga di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Termasuk di Provinsi Banten beserta 8 kabupaten dan kota yang ada di wilayah Provinsi Banten.

Masing-masing kepengurusan saling klaim sebagai pihak yang absah atau legal; memiliki SK Kemenhukham RI serta diakui oleh pemerintah, pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Sembari menegasikan kepengurusan di luar versinya yang dianggap ilegal atau tidak sah. Bahkan ada kepengurusan versi tertentu yang menjadikan “penerima bantuan hibah” sebagai indikator keabsahan.

Dualisme kepengurusan KNPI di berbagai tingkatan ini telah berlangsung cukup lama. Masyarakat pun sulit untuk menepis anggapan bahwa polemik yang mengarah pada konflik ini tidak lepas dari perebutan “hancengan” kue pembangunan lewat beragam jenis bantuan dana dari pemerintah. Andai anggapan masyarakat ini benar, pastinya telah jauh melenceng dari peran awal organisasi ini didirikan; sebagai pembaharu yang dilandasi nilai militansi dan idealisme.

Dulu, para pemuda Indonesia bersatu dan menyatu untuk merebut kemerdekaan. Jangan sampai pemuda saat ini saling rebut keabsahan hanya demi merasa legal sebagai penerima bantuan. Dulu, para pemuda berpikir dan berjuang bagaimana caranya bisa berkontribusi bagi terwujudnya kemerdekaan. Kini, jangan sampai pemuda berpikir bagaimana caranya menyiasati untuk bisa turut menggerogoti kue pembangunan.

Atas kondisi seperti ini, sebaiknya para pemuda -khususnya yang tergabung dalam KNPI- menggunakan media peringatan Hari Sumpah Pemuda 2025 yang lusa akan diperingati, sebagai momentum untuk muhasabah, introspeksi, dan evaluasi. Mesti disadari bahwa “perseteruan di antara kalian itu selain telah menjadi gunjingan masyarakat, juga tidak selaras dengan ruh perjuangan para pemuda ketika bersatu dan menyatu sebagai Indonesia”.

Semua kubu duduk bersama, sembari mengingat kembali bagaimana generasi sebelumnya yang memikirkan dan mendahulukan kepentingan bangsa, di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Semoga hal itu menjadi ibrah bagi generasi muda saat ini, disertai kemauan untuk bersatu dan kemudian menyatu. Kalau sudah menyatu, insyaallah semuanya kenyang!
*

Tangerang, Minggu, 26 Oktober 2025
Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten, Ketua Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Mathlaul Anwar

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *