Ocit Abdurrosyid Siddiq
Dalam suasana yang tenang dan tanpa diduga, secara tiba-tiba Hamas menjebol tembok pembatas kota Gaza, pemisah wilayah Palestina dan Israel. Sebagian lagi menggunakan para layang terbang diudara. Rentetan suara dan peluru menghambur dari senjata yang mereka kokang.
Orang-orang Israel yang sedang merayakan ibadah di hari Sabat dan liburan akhir pekan tersentak. Mereka kaget atas serangan yang datang secara tiba-tiba dan tanpa diduga. Begitu pula para tentara. Mereka tidak punya waktu untuk melakukan perlawanan.
Akibatnya, banyak korban jiwa berjatuhan. Baik warga sipil Israel, maupun tentara. Sebagian diantaranya terdapat perempuan dan anak-anak. Markas tentara pun berhasil dikuasai. Beberapa kendaraan lapis baja juga menjadi sasaran tembak.
Yang berhasil menyelamatkan diri, menghindari medan pertempuran. Beberapa diantaranya menuju bandara untuk meninggalkan kota. Yang apes dan tertangkap oleh Hamas, ada yang langsung dieksekusi, ada juga yang dijadikan tawanan.
Dari dalam negeri ini, waktu itu sebagian dari kita turut merayakan selebrasi atas serangan spontan itu. Tindakan Hamas dianggap sebagai langkah yang benar. Karena penyerangan itu diyakini sebagai akumulasi kemarahan warga Palestina yang dijajah oleh Israel selama ini.
Selama masa penjajahan ini, kerap terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap penduduk Palestina. Seperti halnya yang terjadi di sekitar Mesjid Al-Aqsha. Solat yang merupakan ibadah yang adalah hak paling azasi bagi umat Islam, dihalangi dan dipersulit.
Namun selebrasi dari dalam negeri yang berupa dukungan doa dan motivasi ini, disertai kekhawatiran atas akan adanya serangan balasan dari Israel. Kita sudah tahu dan bisa memprediksi, dengan tabiat Israel serta persenjataan yang lebih canggih dan lengkap, serangan balik yang jauh lebih dahsyat pasti terjadi.
Dan benar saja. Selebrasi dan sorak sorai hanya terjadi dua hari. Setelahnya, pemandangan tragis terjadi. Israel membombardir Gaza yang menjadi kantung-kantung Hamas. Gedung-gedung hancur, mesjid runtuh, rumah rata dengan tanah. Dan pastinya, korban jiwa tak terhindarkan.
Rumah sakit dirudal, sekolah dibom. Banyak lansia yang meninggal dunia. Baik karena serangan langsung, maupun efek lanjutan dari serangan itu. Perempuan cedera, anak-anak terluka, balita meronta nyaris tanpa suara. Darah dan tangisan dimana-mana.
Dari dalam negeri ini, selebrasi pun berubah dengan pertanyaan, mempertanyakan, mengapa Israel bertindak biadab. Sebuah pertanyaan yang tidak pernah dimunculkan ketika Hamas “memantik” peperangan itu, yang juga menuai korban dari warga sipil, lansia, perempuan, anak-anak, dan bayi.
Bila “tidak setiap yang sama itu baik”, inilah yang menjadi salah satu contohnya. Ketika Hamas menyerang Israel dan jatuh korban, dirayakan dengan selebrasi. Namun sebaliknya, ketika Israel membalas dengan cara yang sama, dianggap biadab.
Bahwa Hamas mah nyerangnya “gitu doang”, sementara balasan Israel begitu membabi-buta dan lebih besar daya rusaknya, sehingga menimbulkan korban jiwa yang jauh lebih besar, itu bagian dari konsekuensi bahwa peralatan senjata Israel jauh lebih canggih. Karena andai pun Hamas memiliki senjata yang setara, pastinya digunakan juga.
Standar ganda humanisme ini sejatinya karena kita menakarnya dari sudut pandang subjektivitas. Hamas dan Palestina, yang muslim dan sama dengan kita, maka perlu kita bela. Israel dan Yahudi, karena beda iman dengan kita, maka mesti kita kutuk.
Selebrasi dan cap biadab kita lakukan pada perkara yang sama, yaitu kekerasan yang menimbulkan korban jiwa. Padahal sejatinya, dukungan dan tidak mendukung itu bukan hanya karena ada kesamaan dan atau perbedaan iman. Dukungan itu mestinya karena demi kebenaran.
Salah satu indikator kebenaran itu adalah humanisme. Rasa kemanusiaan. Karena ia ada pada setiap hati manusia. Ia ada pada nurani. Ia lintas agama. Ia lintas iman. Mendukung karena rasa kemanusiaan. Entah untuk Muslim di Palestina, atau Yahudi di Israel.
Israel, sudah mah Yahudi dan beda iman dengan kita, lalu bertindak biadab. Mesti kita kutuk dan lawan. Kutuk dan lawan karena biadabnya. Sebaliknya, walau Hamas itu Islam dan seagama dengan kita, namun ketika melakukan hal yang sama, patut kita sayangkan juga.
Jadi, dukungan itu diberikan bukan karena faktor seagama dan atau seiman. Dukungan itu diberikan karena faktor humanisme atau kemanusiaan. Agama dan iman ada sekatnya. Ada kami dan kalian. Sementara humanisme atau kemanusiaan, tiada mengenal sekat.
Non muslim dan biadab, kita lawan. Non muslim dan humanis, kita dukung. Muslim dan humanis, uwatu eta mah kudu kita dukung. Muslim namun biadab, maka bila atasnya kita keukeuh tetap membelanya hanya karena seiman, bisa jadi khotamallahu ala qulubihim wa ala samihim wa ala abshorihim itu ditujukan pada kita. Bukan pada mereka.
Israel adalah penjajah, dan penjajahan atas Palestina adalah sebuah kebiadaban, maka kita turut melawannya dan mendukung Palestina. Bila Hamas menyerang Israel dan karenanya menimbulkan korban warga sipil, lansia, dan anak-anak, sebaiknya tidak larut dalam selebrasi. Karena itu bertentangan dengan humanisme.
Perilaku standar ganda seperti ini juga kita temukan ketika menyaksikan sebuah tragedi. Tragedi yang menimpa kelompok minhum kerap kita stigma sebagai azab Tuhan. Namun ketika tragedi serupa menimpa kita, menghiburnya dengan keyakinan bahwa itu adalah ujian dari Tuhan.
Banjir bandang yang melanda kota Mekkah beberapa waktu lalu dimaknai sebagai ujian. Sementara kebakaran besar yang melanda Los Angeles pekan lalu distigma sebagai azab dari Tuhan. Hamas menyerang Israel dan banyak jatuh korban jiwa, syukurin! Israel membalas dan banyak jatuh korban jiwa juga, biadab!
Ini bukan tentang pembelaan dan atau keberpihakan. Apalagi membela dan berpihak pada kelompok tertentu. Tapi ini tentang kita. Tentang kemauan kita untuk mau ngaragap diri, melakukan otokritik atau muhasabah. Mengapa kita suka menerapkan standar ganda? Kabatur kitu ka sorangan kieu.
*Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten, Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)





