
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Menulis adalah suatu aktivitas atau kegiatan untuk menuangkan sebuah ide, gagasan, pikiran, pengalaman, dan pengetahuan ke dalam sebuah catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara (sistem penulisan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang dan membuat surat) dengan tulisan. Sementara menurut seorang ulama besar dan seorang ulama madzhab arba’ah, Imam Syafi’i, beliau mengatakan, menulis adalah alat untuk mengikat ilmu atau bacaan, sedangkan ilmu ibarat binatang buruan dan cara mengikatnya dengan menulis. Penegasan dari Imam Syafi’i itu mengisyaratkan, bahwa kegiatan menulis sangatlah penting bagi kita. Sementara menurut Pramoedya Ananta Toer dalam nasihatnya ia mengatakan; “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”, nasihat itu mengarah pada semangat dan keinginan pribadi untuk tetap abadi dalam ingatan sejarah. Karena, kegiatan menulis merupakan salah satu budaya intelektual yang saat ini terkesan kurang diminati oleh banyak orang. Bisa terlihat jika dibandingkan dengan budaya yang lain, kegiatan menulis peminatnya betul-betul sangat terbstas. Padahal apabila dirasakan kemanfaatannya, kegiatan menulis sangatlah penting, karena dengan tulisan kita dapat memberikan informasi kepada orang lain. Sesederhana, apa pun kata atau kalimat yang kita tuliskan, hal itu tetap akan bermanfaat bagi yang sedang membutuhkannya. Menulis pada esensinya adalah sarana komunikasi tepercaya yang mewakili pikiran penulis.
Dengan kata lain, menulis adalah proses untuk mengungkapkan pikiran. Namun faktanya, banyak orang yang menganggap bahwa menulis itu sulit? Sementara faktor yang mendasari anggapan seperti itu, mengingat kegiatan menulis membutuhkan keterampilan. Dalam hal ini keterampilan untuk mengolah kata, memilih kata, serta keterampilan dalam menggabungkan atau mengaitkan kalimat yang satu dengan yang lainnya. Jadi wajar apabila saat ini banyak orang termasuk konon katanya di kalangan tenaga pendidik sendiri (guru) mereka banya mengalami kesulitan dalam membuat sebuah karya tulis. Misalnya jurnal, opini atau artikel. Sementara sebagai ujung tombak pencerdasan dan pencetak generasi bangsa, suka tidak suka, mau tidak mau, seyogyanya seorang (guru) ia idealnya membiasakan diri untuk menulis. Karena dengan tulisan, maka guru dapat mengawetkan setiap pengetahuan sebagai warisan untuk generasi berikutnya. Sementara ada juga yanganggap, bahwa keterampilan menulis memang berada pada kasta tertinggi dalam tingkat kemampuan berbahasa, dan wajar saja jika tak semua orang mempunyai bakat untuk menulis. Namun, sebagai keterampilan, semestinya kemampuan menulis itu juga dapat dipelajari oleh siapapun (termasuk oleh para guru).
Lebih dari itu, menulis juga bisa menjadi sebuah “personal branding” dan membangun citra tanpa terasa. Sedangkan istilah “personal branding” sendiri seringkali terdengar megah, seperti jargon motivator atau materi pelatihan karier. Tapi sebenarnya, tanpa sadar, kita semua sedang melakukannya. Karena, setiap tulisan yang kita bagikan, dan setiap opini yang kita suarakan, hal itu merupskan bentuk kecil dari cara kita memperkenalkan siapa diri kita ke publik dan termasuk di dunia digital. Dengan kata lain, menulis adalah cara halus dan alami untuk membangun citra diri. Bukan citra palsu, dan juga bukan kemasan kosong. Tapi citra yang muncul dari konsistensi gagasan, gaya bahasa, dan nilai-nilai yang kita pilih untuk kita suarakan di tulisan yang kita unggah atau kita terbitkan. Sementara bagian terbaiknya dari “personal branding” ini, maka kita tidak perlu lagi menjadi selebgram atau influencer untuk bisa muncul ke publik.
Di sisi lain, tulisan merupakan bagian dari cermin diri. Bayangkan seseorang yang terus rutin menulis tentang pendidikan kritis, literasi anak, dan pengalaman mengajar misalnya, dsn lalu bandingkan dengan orang yang rajin menulis tentang produktivitas, teknologi, dan self-improvement misalnya. Keduanya belum tentu menyebut dirinya “pakar”, tapi lewat tulisan-tulisan mereka itu, maka orang mulai mengenali mereka, yakni mulai dari topik yang mereka kuasai, sudut pandang yang mereka pegang, dan sikap yang mereka bawa. Ituah inti dari “personal branding” berbasis tulisan. Yakni, membiarkan orang untuk mengenal kita bukan dari gelar, jabatan, atau embel-embel lainnya, tapi dari isi pikiran yang kita sampaikan secara konsisten ke publik.
Sedangkan tips menulis untuk “personal branding” yang natural diantaranya : Pertama, tentukan tema kunci yang ingin kita wakili. Dan kita tidak harus membatasi diri pada satu topik saja. Tapi ada baiknya kita juga hsrus memilih 2 – 3 payung tema besar yang ingin kita bangun sebagai “identitas naratif”. Misalnya : Pendidikan Kritis dan Kreativitas Belajar. Kemudian seperti topik “Gaya Hidup Digital Sehat”. Kemudian “Pemikiran Budaya Dan Dosial”. Dengan begitu, pembaca akan mengenal kita sebagai “orang yang sering nulis soal itu”. Bahkan, konsistensi tema akan menciptakan asosiasi yang kuat. Kemudian trik kedua, dalam “personal branding”, hal itu untuk menunjukkan nilai, idealis, dan bukan hanya informasi semata. Menulis bukan hanya soal memberi tahu. Tapi juga soal bagaimana kita bisa menunjukkan nilai-nilai apa yang kita perjuangkan.
II. Untuk Produktif Menulis, Lakukanlah Riset Secara Cermat
Melakukan riset secara cermat, terutama apa yang ada di sekitar kita, hal itu menjadi sumber amunisi dalam menulis. Menulis apa pun temanya, pada hakikatnya merupakan bentuk respons dari fenomena yang ada di sekitar kita. Demikian juga rasa kegelisahan intelektual kita misalnya, yakni yang menjadi inspirasi kita untuk menulis. Ketika kita sering melihat tayangan di media sosial tentang isu pro kontra soal…misalnya, kita akan terpanggil ikut mengomentari fenomena itu, bahkan terbawa dalam kongko-kongko di warung kopi, alias terus memperbincangkan masalah tersebut, tentu dengan berbagai sudut pandangan dan pengelaman yang merespons isu tersebut. Bahkan, bila kita cukup data dan sumber berita informasi melimpah, maka lebih mudah kita untuk menulis isu yang sudah familier viral di masyarakat. Hanya saja agar tulisan itu bisa memberikan kontribusi positif, maka penulis harus mempunyai sudut pandangan yang beda dari para penulis lainnya. Itulah tulisan yang bisa mengisi ruang kosong dimana orang lain belum menulisnya.
Ketika kita menulus, suka punya keinginan, agar kalimat pertama adalah mudah, gaya bahasa adalah kebiasaan, aku ingin nulis novel rindu, tulis saja apa yang ada di dalam pikiran kita itu. Bahkan, ketika kita sedang asyik menulis, maka kita akan lebih produktif dan bisa menulis di mana saja. Sebaliknya, jika kita merasa sulit untuk mengeluarkan kata, maka kita bisa menulis apa saja yang terlintas di benak kita dan terus kita keluarkan, hingga menemukan kata yang lebih sesuai dengan apa yang sedang kita pikirkan untuk ditulis. Bila ide sudah terpancing, makin produktif menulis, dan bahkan sudah menemukan keasyikan menulis, karena sudah tidak ada hambatan lagi dalam menulis, kerapkali kita suka merasakan kepuasan batin tersendiri.
Seorang teman, datang dan mengajak diskusi tentang kesulitannya dalam menulis. Konon katanya, saat kuliah dulu ia tidak maksimal dalam mengikuti pelajaran menulis. Bahkan ketika masuk mata kuliah metodologi penelitian, ia juga belum menemukan pentingnya mata kuliah tersebut. Sehingga ketika harus menulis skripsi ia merasa gamang dan seakan kehilangan ide untuk menulis. Menulis pada faktanya membutuhkan soal keberanian untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran, terutama ketika kita sedang membangun narasi.
Sementara dengan kebiasaan membaca artikel ilmiah dan tulisan yang bersifat abstrak misalnya, maka abstraksi dan artikel itu akan membangun dan merangsang ide kreatif kita dalam menulis. Bila sudah dapat masuk pada tema yang ingin kita selesaikan. Biarlah otak dan pikiran-pikiran kita menari-nari untuk mengeluarkan ide-ide kreatif dalam menulis. “Banyak jalan menuju Roma”. Artinya, dengan berbagai cara ide akan terbangun secara bertahap, baca naskah terus menerus dan bila sudah capek, maka istirahat yang cukup setelah fresh dilanjutkan lagi apa yang sudah ditulis.
Ketika kita merasakan bahwa menulis tersiksa lahir batin dan merasa tidak bakat. Maka tulis saja kalau kita tersiksa, lalu bagaimana kalau ketika menulis tidak tersiksa. Maka akan memberikan jawaban kepada pikiran kita untuk melakukan proses kreatif itu terus berjalan. Buat tulisan dan selesaikan, hingga titik habis ide ditulis. Kalimat pertama lebih mudah, gaya bahasa adalah kebiasaan, hal itu bisa menyelesaikan jauh lebih mudah tulisan kita secara lengkap, yakni mulai ide awal hingga akhir.
Alasan bisa karena terbiasa. Latihan, latihan, latihan. Isi kepala kita dengan amunisi tekun membaca. Bahkan, sesuatu yang sederhana menjadi akan menjadi tulisan yang menarik, karena kata kuncinya, bahwa menulis butuh latihan, latihan, dan latihan serta terus bomitmen akan menulis 1000 kata perhari. Laksanakan 160 hari non stop menulis apa saja yang menarik bagi kita. Bila perlu, sambil berkeliling ke berbagai kota seluruh Indonesia, atau dengan membaca berita dan berbagai laporan perjalanan seakan-akan kita sedang melakukan perjalanan dan menulis apa yang dilakukan dari perjalanan. 180 hari menulis dengan mudah bila kita menulis setiap hari buku harian.
Karena buku harian menjadi arena curhat, berdialog imajinatif mengembara seakan kita menelusuri lorong-lorong kehidupan dan didukung dengan referensi yang berkualitas, maka akan terbangun tulisan kita yang menarik dan memikat dan menjadi kerinduan pembaca untuk mengeja tulisan kita. Topik tulisan bisa apa saja, dan bisa dilihar dari berbagai sudut padang, dan ditambahkan amunisi menulis (rajin membaca). Dan akhirnya kita akan merasakan bahwa menulis pertama mudah, gaya bahasa dan biasa karena kebiasaan, dan akhirnya akan lebih mudah menyelesaikan. Oleh ksrena itu, latihan, latihan, dan latihan. Pernahkan kita merasakan menulis tidak istiqomah? Tidak bisa menghidupkan tulisan? Sementara buku berjudul “Pesan Moral Islami” karya Tere Liye, bahwa buku tersebut juga lahir/terbit, namun awalnya sang penulis buku tersebut pernah mengalami ketifak istikomahan dalam menulis buku tersebut. Sementara tulisan yang menghibur dan bermanfaat, sudah pasti para pembaca akan mendapat pengetahuan baru. Sedangkan tulisan yang menginspirasi kalau dibaca, hal itu akan membawa pengetahuan baru. Oleh karena itu, menulislah dengan niat yang tulus, karena tulisan yang kita buat menjadi berharga dan menginspirasi bagi yang lain.
Oleh karena itu, mari tekadkan di dalam diri kita masing masing, mari kita untuk banyak membaca, terus menajamkan sudut pandang kita, memproduk ide kita dengan deras, dan coba berhenti untuk tidak mengatajan “saya sibuk”. Untuk itu, menulis harus diperioritaskan dan sekalugus disiplin. Namun itu semua, kembali kepada diri kita sendiri, agar terus melakukan konsistensi diri dalam latihan, latihan, dan latihan. Coba terus berkarya dan terus menulis. Bagaimana kita bisa mendapatkan inspirasi dan lalu bagaimana pula untuk mengelola inspirasi itu?. Bahksn, setiap tulisan butuh riset, karena menulis buku novel dengan latar belakang tahun 1980-an saja misalnya, hal itu butuh riset. Sementara riset yang sederhana untuk menulis buku novel di era tahun 1980-an itu, mungkin kita bisa lihat-lihat foto apa yang terjadi di era tahun 1980 itu. Baru dengan foto-foto itu kita bisa menulis dengan imajinasi, yskni dengan memejamkan mata dan kemudian terus mengembangkan imajinasi itu, agar kita punya kesiapan untuk menulis buku novel di era tshun 1980-an itu.
III. Membangun Kesadaran Diri Dan Terus Mengusik Kegelisahan Intelektual
“Ketika Aku Berpikir, Maka Aku Ada”, hal itu menggabarkan, bagaimana kesadaran diri menjadi obat bagi jiwa yang pernah gelisah dan bahkan terluka. Karena, kesadaran berpikir bukan hanya bukti eksistensi diri kita sendiri, tapi merupakan jalan menuju pemulihan batin yang pernah retak. (freepik). Kalimat “Cogito, ergo sum” atau “aku berpikir maka aku ada” yang dicetuskan oleh Rene Descartes itu, sering dianggap sebagai fondasi dari filsafat modern. Tapi tahukah kita, bahwa kalimat itu bukan sekadar pernyataan logika dingin? Namun dibaliknya, memang tersimpan kekuatan besar yang sangat relevan bagi jiwa-jiwa yang sedang mencari pulih dari luka batin.
A. Ketika Luka Membuat Kita Merasa Tak Ada
Ada masa dalam hidup ketika seseorang merasa seperti hilang. Entah karena kehilangan, trauma, pengkhianatan, atau luka-luka masa kecil yang tidak sempat dipahami. Di titik itu, kita tidak merasa benar-benar “ada”. Seolah tubuh ini bergerak, tapi jiwa kita tertinggal entah di mana. Dalam kekosongan itu, kita mulai mempertanyakan segalanya. Siapa aku sebenarnya? Apakah aku berharga? Apakah aku hanya beban? Dan di situlah pemikiran Descartes bisa menjadi awal cahaya kecil.
B. Berpikir = Ada = Berarti
Descartes memulai pencarian kebenaran dari nol. Ia meragukan segalanya, bahkan eksistensinya sendiri. Namun di tengah semua keraguan itu, satu hal tak bisa disangkal: ia sedang berpikir. Dan karena ia berpikir, maka ia ada. Bagi orang yang sedang terluka, konsep tersebu seperti pelukan hangat, yakni selama aku bisa menyadari pikiranku, aku masih ada. Selama aku berpikir, aku punya makna. Pikiran bukan sekadar aliran logika, tapu ia adalah bukti bahwa kita hidup, sadar, dan masih punya kesempatan untuk tumbuh, belajar, dan sembuh.
C. Kesadaran Adalah Awal Penyembuhan
Dalam psikologi modern, terutama pendekatan seperti terapi kognitif dan mindfulness, bahwa kesadaran diri adalah langkah pertama menuju pemulihan. Luka batin sering membungkus kita dalam autopilot emosional. Kita marah tanpa tahu kenapa. Kita menangis tanpa mengerti sebabnya. Kesadaran berpikir bukan hanya bukti eksistensi, tapi juga jalan menuju pemulihan batin yang pernah retak (freepik). Dengan kesadaran berpikir, maka kita mulai berani melihat isi kepala dan hati kita, dan mulai menapaki jalan pemulihan. “Aku berpikir maka aku ada” bisa dibaca ulang: “Aku sadar akan pikiranku, maka aku masih punya kendali.” Kesadaran itu yang membedakan kita dari luka. Kita bukan luka kita, tpi kita adalah makhluk sadar yang bisa memilih untuk menyembuhkan luka itu.
D. Ketika Luka Tak Menentukan Nilai Diri
Seringkali, luka membuat seseorang merasa dirinya tidak berharga. Mereka menganggap dirinya gagal karena pernah disakiti. Padahal, yang terluka bukan identitas, tapi pengalaman. Dengan menyadari bahwa kita “ada” karena berpikir, kita juga menyadari bahwa nilai kita tidak ditentukan oleh masa lalu, melainkan oleh apa yang kita sadari, dan bagaimana kita menanggapinya sekarang. Kesadaran bisa menjadi pemutus rantai luka. Ia memberi kita ruang untuk berkata: “Ya, aku pernah terluka. Tapi aku sadar. Dan karena aku sadar, aku bisa memilih jalan yang berbeda.”
E. Filsafat Dn Jiwa Yang Ingin Pulih
Filsafat sering dianggap berat dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun dalam kenyataannya, banyak pemikiran filosofis justru lahir dari kegelisahan dan luka. Descartes sendiri meragukan segalanya karena ia ingin mencari kebenaran yang tak goyah. Luka bisa jadi pintu menuju kebijaksanaan jika kita memilih untuk memikirkannya dengan jernih. Bukan untuk menyesali, tapi untuk memahami.
F. Menjadi Manusia Penuh Kesadaran
Pulih dari luka bukan soal “melupakan”. Bukan juga soal “positif thinking” semu. Tapi soal menjadi manusia yang sadar itu sangat pentinf. Yakni, sadar atas pikiran, emosi, dan reaksi. Dan dari kesadaran itu, maka tumbuhlah kebebasan untuk memilih respon yang bijak. Saat kita berpikir, kita tak sekadar eksis. Kita juga hadir, bermakna, dan bertumbuh, dan itu adalah kemenangan kecil setiap hari.
G. Pikiran Adalah Cahaya Jiwa
“Aku berpikir maka aku ada” bukan hanya fondasi filsafat, tapi juga mantra penyembuhan. Saat hidup terasa hampa, saat luka terasa menelan identitas, ingatlah bahwa selama kita masih bisa berpikir dan menyadari pikiran kita, maka kita masih ada dan keberadaan itu sangat berarti. Kita bukan sekadar makhluk yang terluka. Tapi kita adalah jiwa yang sadar, yakni yang bisa memilih untuk menyembuhkan, perlahan, dengan pikiran yang jernih dan hati yang lapang.
H. Kegelisahan Intelektual
Apa yang telah dideskripsikan diatas, yakni soal kesadaran itu, merupskan diskursus kajian psikologis yang berakumulatif (bercampur) denhan kajian filsafat modrn Descates. Sementara di sub judul bagian ini, penulis mencoba ingin menggelitik kita semua dari perspektif yang bersifat idealistik. Yakni, setelah kita terbangun kesadaran diri (sebagaimana telah diungkapkan diatas), maka kerapkali juga ketika kita suka tergelitik dan terusik seringkali jugaa diikuti oleh “kegelisahan intelektual kita” terkadang sampai pada titik kulminstif yang bersifat oper dosis intelektual, dan akhirnya menjadi “egoisme intelektual”. Sementara orang yang sudah pada titik kulminatif dan sekaligus merasakan betul tentang “kegelisahan intelektual”, pada akhirnya ia akan lebih produktif untuk menulis dan rajin melakukan proses riset dan lain sebagainya. Bahkan, bagi orang yang sudah merasakan kegelisahan intelektual, biasanya selalu berpatokan pada rutinitas kesehariannya untuk terus menulis, melakukan tela’ah kritis, melakukan penelitian, rajin membaca jurnal ilmiah, terutama jurnal-jurnal ilmiah yang sudah pasti tersimpan di perpustakaan (Kampus) misalnya. Dan orang sudah muncul “kegelisahan intelektualnya” itu, tentunya nalar sehatnya akan terus bertanya, bagaimana mungkin pembaca yang tidak sempat masuk ke Perguran Tinggi (swasta/negeri) karena biaya kuliah yang tidak terjangkau dan lain sebagainya, padahal mereka juga punya kemauan untuk menjadi cerdas? Bahkan, jika seorang Dosen meluangkan waktunya untuk menulis dibeberpa harian nasinal dan lokal. Meski (honorariumnya tidak seberapa), tapi semua kalangan, dapat menikmati hasil tulisan sang Dosen itu. Dan itulah celetukan-celetukan alam pikiran (di dalam hati) bagi orang-orang yang sudah tergelisahkan nalar intelektualnya.
Intinya menulislah dan gelisahlah, demi untuk pencerahan bangsa ini. Karena, kita semua harus terus gelisah, yakni gelisah akibat kondisi bangsa kita, kondisi negeri kita, kondisi lingkungan dimana kita dibesarkan, kondisi dimana kita sedang menemukan ketimpangan sosial dan lain sebagainya. Kita tidak pernah sadar, mungkin kita kerapkali menghabiskan waktu untuk nongkrong-nongkrong dengan rekan-rekan kita, untuk sekedar minum kopi sambil menyulut rokok, lalu tidak ada makna apa-apa setelah kita melakukan aktivitas itu. Andaikan saja waktu itu digunakan untuk terus membaca, menulis, serta mendiskusikan kondisi bangsa kita yang sedang berproses untuk menuju ke arah kemajuan dan sekaligus sedang berusaha untuk menyejahterakan rakyatnya. Lalu, kegelisahan intelektual itu dituangkan dalam bentuk ide dan berakhir melalui pemaknaan empirik (nulis buku). Maka kita tidak perlu lagi untuk turun ke jalan, dan sambil menghabiskan energi kita untuk terus melempar wacana diacara demonstradi, kemudian melakukan diskursus, melakukan kritik, agar rakyat mendapat hak-haknya, untuk mendapatkan kesejahteraan dan lain sebagainya.
Lebih dari itu, apalah artinya, jika kita menjadi seorang intelektual, seorang sarjana, magister, doktor, profesor, yang pada kenyataannya membuat nama kita menjadi demikian puanjaaaaaang titel akademisnya, kalau hanya mengejar “egoisme intelektual”, tapi tidak pernah memikirkan kondisi bangsa walau sedetik saja? Pada akhirnya, nama kita tidak akan pernah abadi dan tidak akan dikenang sepanjang masa oleh orang-orang, karena kita dianggap tidak pernah melakukan apapun (tidak pernah menghasilkan sebuah karya tulus). Sementara hidup dalam dunia intelektual tapi tidak jauh berbeda dengan (“katak dalam tempurung saja”). Atau mungkin kita hanya bisa dikatakan “jago kandang”, tapi ide-ide kreatif kita tidak pernah terdengar, tidak pernah terbaca, kemudian diulang-ulang lagi oleh banyak orang ketika kita sudah menghasilkan sebuah karya ilmiah (menulis buku).
Oleh karena itu, hanya dengan menulis, membudayakan minat baca, dan itu tidak merugi bagi kita, terutama ketika hidup kita sudah menjelang senja. Bahkan, kalaupun sejak awal Tuhan membuat umur kita panjang. Dan tidak hanya nama kita dituliskan oleh orang lain pada saat kita di makamkan. “Di sebuah pemakaman di atas batu nisan “telah meninggal si anu pada hari, tanggal, bulan dan tahun sekian”. Namun lebih dari itu, manakala kita sudah menghasilkan sebuah karya tulis dan menjadi penulis, maka kita percaya, bahwa nama kita akan terus berkali-kali disebut-sebut orang dan ditulis oleh orang-orang. Yakni, oleh para editor harian koran misalnya, yakni dimana kita mengirim tulisan di koran tersebut. Demikian juga, nama kita sudah pasti akan disebut-sebut oleh orang-orang, terutama oleh para pengutif buku, yakni ketika buku hasil karya kita dijadikan rujukan oleh orang lain. Selanjutnya bagaimana? Apakah hari ini anda akan memulai untuk menulis juga?
IV. Buku Adalah Jendela Dunia
Setelah rajin membaca, produktif menulis dan kemudian kita dikategorisasikan (diposisikan) berada di barisan kaum intelektual misalnya. Namun ada perkara berikutnya yang terus menghadang kita, yakni bagaimana agar hasil karya intelektual kita itu bisa terterbitkan menjadi sebuah buku. Sedangkan pepatah klasik mengatakan, “Buku adalah jendela dunia”. Pepatah klasik itu bukanlah sekadar slogan belaka, tetapi refleksi dari peradaban yang menjadikan pengetahuan sebagai fondasi kemajuan. Namun ironisnya, di negeri ini, jendela itu mulai berdebu, kusam, dan nyaris tertutup. Hal itu membuka mata publik tentang getirnya kehidupan para sastrawan dan para penulis buku ilmiah di negeri ini. Mereka yang sejatinya adalah penjaga imajinasi bangsa, kini justru berjuang sekadar untuk hidup layak. Bahkan, keprihatinan itu menjadi semakin nyata jika kita menengok fakta bahwa (tidak sefikit juga) dosen di negeri ini, konon katanya, akhirnya mereka terpaksa harus menyisihkan sebagian gajinya untuk membiayai publikasi ilmiahnya. Padahal, “menulis adalah bentuk pengabdian intelektual” dan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan. Bila para penulis buku ilmiah, akademik, hingga sastra tidak memperoleh penghargaan yang layak dari sistem yang ada, bagaimana mungkin ekosistem perbukuan di negeri ini bisa bertahan?
Kondisi penerbitan buku di Indonesia saat ini berada di titik nadir. Karena, dari 2.721 anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), kini hanya 982 yang aktif. Artinya, lebih dari 1.700 penerbit telah tutup. Ini bukan sekadar statistik, tapi pertanda akan hancurnya sebuah ekosistem yang menopang pendidikan, literasi, dan pembangunan karakter bangsa. Industri perbukuan bukan hanya tentang mencetak dan menjual buku. Ia adalah simpul dari banyak komponen, dari penulis, editor, desainer, penerbit, distributor, toko buku, dan pembaca. Jika satu saja komponen itu melemah, maka seluruh rantai nilainya akan goyah. Dan yang kini paling terdampak adalah penulis, baik sastrawan maupun akademisi, yang tidak lagi bisa menggantungkan harapan dari royalti.
Ketika buku tak lagi mampu memberi kehidupan layak bagi penulisnya, maka kita sedang membiarkan peradaban perlahan mati. Menghargai penulis adalah menghargai masa depan ilmu, imajinasi, dan karakter bangsa. Tingginya harga kertas, mahalnya biaya produksi, hingga beban pajak yang belum memberi keberpihakan pada industri kreatif turut menekan napas para pelaku penerbitan. Penjualan buku merosot drastis. Ditambah dengan rendahnya budaya membaca masyarakat dan maraknya pembajakan buku secara digital, maka lengkaplah sudah penderitaan dunia perbukuan kita. Buku adalah jendela dunia. Buku juga merupakan jembatan ilmu. Itulah sedikit gambaran betapa berharganya sebuah buku. Di sisi lain, bagi sebagian orang yang tak suka membaca, buku bukanlah hal penting. Namun, menurut pandangan penulis, bahwa membaca buku sangat penting agar di bensk kita tidak terus dipenuhi kebodohan dan ketidaktahuan.
V. Revitalisasi Tradisi Intelektual Dalam Konteks Menyongsong Generasi Emas Tahun 2045
Sementara untuk menyongsong generasi emas di tahun 2045 mendatang, sudah barang tentu harus dipersispan saat ini, yaitu generasi muda yang terus bersentuhan dengan dunia intelektual, dan terus menghidupkan nurani generasi muda kita saat ini agar berhimpitan dengan dunia intelek. Oleh karena itu, menurut pandangan penulis, saat ini harus ada sebuah gerakan Intelektual, yaitu sebuah elemen fundamental yang harus hadir baik di institusi pendidikan, di tempat pengkaderan, maupun di tengah-tengah masyarakat, termasuk di internal generasi muda milenial saat ini, yaitu sustu “kawah candradimuka intelektualitas”. Sementara para insan akademis mereka harus memiliki tanggung jawab sebagai pencetak kader intelektual, terutama yang lahir dari rahim insan akademis.
Karena belakangan ini, tradisi intelektual di kalangan generasi muda (generasi milenial) terindikasi kian hari kian menurun. Hal itu ditandai dengan minimnya minat baca generasi muda kita saat ini, sehingga menyebabkan minimnya ruang-ruang diskursus yang substantif, dan mengakibatkan terkikisnya tradisi intelektual di kalangan generasi muda saat ini. Diskursus yang seharusnya menjadi rutinitas kaum muda (generasi milenial), tapi perlahan berubah menjadi formalitas belaka tanpa memiliki makna.
Jika menganalogikan generasi muda kita saat ini adalah sebagai sebuah kapal, maka gerakan intelektual adalah kompas yang menuntun arah kapal tersebut. Namun kompas yang seharusnya dapat menuntun arah kini mulai kabur, tertutup oleh beragam kabut pragmatisme, hedonisme, serta rutinitas agenda seremonial yang hanya sekedar mengugurkan kewajiban saja, serta silang sengkarut problematika di internal generasi saat ini yang tak kunjung usai.
Generasi muda saat ini, sebagaimana kita ketahui bahwa mereka akan menjadi generasi “emas” di tahun 2045 nanti. Namun hari ini patut dipertanyakan kembali identitas dan persiapan mereka untuk menyongsong generasi “emas” di tahun 2045 itu, karena aktivitas membacanya hanya sebatas kutipan singkat di media sosial dan menulis hanya sekedar mengugurkan kewajiban atau kepentingan tertentu. Melalui tulisan yang sederhana ini penulis ingin mengajak para pembaca untuk melihat seraya ber-refleksi mengenai kondisi tradisi intelektual di kalangan generasi muda kita saat ini.
Mengingat, tradisi intelektual di kalangan generasi muda saat ini, kalau memang betul untuk dipersiapkan sebagai generasi “emas” di tahun 2045, hal itu harus merujuk pada serangkaian praktik, nilai, dan budaya yang memang selalu mengedepankan pengembangan keilmuan, penalaran kritis, serta penguatan kapasitas intelektual sebagai bagian integral dari calon generasi muda emas nati. Dalam makna lain, tradisi intelektual generasi muda merupakan sebuah upaya sistematis dalam membentuk generasi yang memiliki kemampuan analitis yang kuat, daya kritis yang tinggi, serta berjiwa solutif terhadap berbagai persoalan masyarakat. Sehingga hal itu tercermin dalam beberapa agenda yang dilaksanakan seperti membaca, menulis, dan berdiskusi serta riset yang menjadi rutinitas calon generasi emas.
A. Memotret Tradisi Intelektual Calon “Generasi Emas” Tahun 2045
Perlu dilihat bersama secara objektif bahwa tradisi intelektual generasi muda saat ini, nampaknya kian hari kian merosot. Membaca, menulis, berdiskusi hari ini seakan-akan sebuah hal yang menakutkan dijumpai bagi generasi muda saat ini dengan beberapa dalih bahwasanya tidak bisa berfikir keras, pembahasan yang terlalu dalam, bahasa yang terlalu tinggi dan lain sebagainnya.
Kalau memimjam pepatah dari Almarhum Buya Syafii Ma’arif, beliau pernah mengatakan bahwa “Peradaban dimulai dari titik dan koma” artinya seorang generasi muda (kaum terpelajar) yang disebut sebagai calon generasi emas di tahun 2045 nanti, seyogyanya harus ulet dan tekun dalam hal membaca dan menulis sebagai basis intelektual yang mumpuni serta di seimbangkan dengan kegiatan berdiskusi untuk menunjang atas apa yang didapatkan dari membaca dan bertukar fikiran dengan yang lain.
Sementara menurunnya ghirah untuk membaca buku di kalangan generasi muda, dan itu kerapkali tertangkap oleh publik (terlihat) bahwa tradisi membaca kader generasi muda saat ini memang meredup. Namun, ketika pada generasi di era tahun 1990-an misalnya, dimasa itu tradisi membaca sangatlah tinggi, hal itu dibuktikan dengan lahirnya beragam buku yang menjadi rujukan hingga saat ini. Namun melihat kondisi hari ini tentu saja berbeda, generasi muda saat ini, seakan-akan terjebak dalam arus informasi instan yang bersifat fragmentaris. Alias lebih banyak membaca headline daripada isi teks secara utuh, lebih tertarik pada kutipan daripada argumentasi-argumentasi, serta lebih nyaman dengan konten audio-visual daripada teks akademik ataupun buku yang dianggap kompleks. Hal itu menyebabkan melemahnya daya analitik karena membaca tidak lagi berfungsi sebagai medium kontemplasi, tetapi sebagai konsumsi cepat tanpa pemahaman mendalam.
Menurunnya budaya menulis bagi generasi muda saat ini, kita malah semakin ragu, benarkah di tahun 2045 nanti akan muncul segolongan generasi emas? Sementara tradisi menulis yang baik, setidaknya tidak hanya sebatas keterampilan semata, tetapi menjadi bagian dari tradisi intelektual yang menghidupi gerakan itu sendiri. Merosotnya budaya menulis pada generasi muda saat ini bukan karena tidak adanyaa gagasan, tetapi kurangnya kesadaran akan pentingnya mengabadikan pemikiran. Generasi muda kita saat ini agaknya kurang memiliki kegelisahan intelektual yang kuat, dan bahkan sedikit pula yang berusaha untuk menuangkan ide-idenya dalam tulisan. Akhirnya ide-ide besar hanya berputar dalam forum-forum lisan, lalu hilang tanpa jejak. Padahal menulis tak hanya sekedar mencatat, melainkan merawat ingatan kolektif dan membangun argumentasi yang konstruktif.
Bahkan arena diskusi kerapkali dianggap membosankan oleh (oknum) generasi muda kita saat ini. Bahkan kita dapat melihat secara langsung, keberadaan forum-forum diskusi di kalangan generasi muda saat ini sangat sepi akan peminat, kecuali mendatangkan sosok ternama ataupun berbalut dengan kepentingan-kepentingan lainnya. Padahal diskusi merupakan salah satu upaya perkaderan intelektual yang diharapkan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran yang segar dan solutif. Ruang-ruang diskusi yang dulu hidup dengan perdebatan intelektual, namun hari ini hanya di isi oleh keheningan atau sekadar obrolan ringan yang kurang substansial. Pada akhirnya jika jarang berdiskusi, maka pemahaman yang dimiliki tidak multi prespektif dan monoton dalam melihat segala sesuatu, yakni bagaikan “katak dalam tempurung”.
B. Merawat Dan Menghidupkan Kembali Tradisi Intelektual di Kalangan Generasi Muda
Sebagaimana hampir sebagian besar anak muda yang kerapkali mereka berbicara “masa muda itu indah, maka rawatlah masa muda itu”. Menurut penulis generasi muda saat ini harus merawat segala aspek yang dimiliki di internal kaula muda itu sendiri, salah satunya yaitu mentradisikan intelektual. Sedangkan dalam merawat tradisi Intelektual, maka generasi muda saat ini diperlukan sebuah langkah konkrit dan berkelanjutan. Pertama, penguatan budaya literasi. Generasi muda saat ini harus terbiasa untuk membaca buku, jurnal atau literatur lain yang sesuai dengan konsentrasi individu masing-masing, entah konsentrasi perihal akademik, peminatan studi, atau yang lainnya. Seorang anak muda mau tidak mau harus membaca, kegiatan membaca adalah sebuah kebutuhan terutama bagi sosok calon generasi muda emas di tahun 2045. Setelah membaca alangkah baiknya di tuangkan dalam sebuah narasi ataupun tulisan. Tidak perlu memikirkan kualitas tulisan terlebih dahulu ketika masih dalam proses pembelajaran, akan tetapi biar muncul saja dulu keberanian dalam menuangkan ide. Kemampuan membingkai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paraghraph akan terbiasa jikalau agenda membaca dan menulis sering dilaksanakan. Melalui kegiatan menulis kita aksn mampu mengetahui seberapa kemampuan diri secara intelektual karena itu perlu adanya kontemplasi, pembacaan yang komprehensif, dan daya analitik yang lebih tajam.
Kedua, Revitalisasi budaya diskusi. Forum-forum diskusi harus senantias dihidupkan kembali tentu dengan tema yang relevan maupun isu yang aktual. Sehingga diskusi di kalangan generasi muda tidak masuk kedalam ruang yang hampa tanpa ujung, namun bisa menjawab beragam persoalan yang ada. Sebagai seorang calon generasi emas di tahun 2045, maka generasi sekarang, malah agaknya menjadi hal yang aneh ketika kita melihat, seolah-olah begitu alergi dengan diskusi yang nota bene, seharusnya hal itu merupakan makanan generasi muda sehari-hari.
Ketiga, Peningkatan produksi karya Intelektual. Sebagai manifestasi atas anggun dalam moral, unggul dalam intelektual seorang calon generasi muda emas di tahun 2045, seyogyanya rajin untuk menulis entah artikel, makalah, jurnal, bahkan hingga buku. Perlu diakui bahwa literatur generasi muda hari ini hanya terpublisir demikian minimnya, hanya beberapa yang bisa menunjang para generasi muda, terutama perihal ideologisasi, intelektual, dan gerakan sosial. Hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk bisa merajut untaian-untaian sejarah yang belum terkumpul, menambah literatur bacaan, serta memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan pemikiran umat dan bangsa.
Revitalisasi tradisi intelektual generasi muda saat ini tidak hanya tentang menjaga warisan masa lalu, tetapi juga memastikan bahwa generasi muda saat ini terus tetap hidup secara intelektual dan mampu berkontribusi dalam menjawab tantangan zaman. Tradisi intelektual adalah nyawa dari generasi muda dan merawatnya adalah tanggungjawab bersama setiap individu msupun secara kolektif. Hanya dengan mentradisikan dan bersemangat intelekyualisme, maka calon generasi emas di tahun 2045, akan terwujud serta bisa melahirkan kaum yang idealis dan kritis, progresif dan siap menjadi anak panah generasi muda emas di tahun 2045 yang akan dilesatkan pada saatnya nanti, demi kemajuan bangsa dan negara tercinta.