
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Sejak zaman kudrotinya sejarah selalu berkisah, bahwa sebagian kaum intelektual besar di dunia ini adalah para pejuang kemanusiaan yang hidup tidak seperti manusia yang diperjuangkannya. Mereka hidup bersama dengan rasa kegelisahan, ketakutan, kesedihan, dan keraguan (selalu galau terus). Namun penulis sangat yakin, hingga saat ini masih banyak diantara kita yang masih berpikir untuk terus belajar, berlayar dan sekaligus mempersonifikasi diri untuk menjadi sesosok intelektual seumpama seperti ; Aristoles, Karl Marx, Gramsci, Ir. Soekarno, Hatta, dan M. Natsir. Oleh karena itu, marilah kita untuk mencoba menelusuri, yakni bagaimana perjalanan dan situasi emosional para intelektual zaman dulu itu, yang telah berhasil menata dirinya dan bahkan memerdekakan bangsanya (Soekarno dan Hatta), yang awalnya ditempa oleh berbagai kepedihan dalam berjuang. Namun seyogyanya bagi kita saat ini juga, agar kadar intelektual kita tidak “teraborsi” oleh membanjirnya teknologi Kecerdasan Buatan atau yang disebut “Artificial Intellegence” alias (AI).
Karena, seorang Intelektual adalah manusia yang dianugerahi bakat yang luar biasa oleh Allah Swt. untuk mencintai seni berpikir. Hal itu membuatnya bisa melihat dan merasakan beragam persoalan dinamika kehidupan. Misalnya, mengapa struktur ekonomi dan politik demikian carut-marut? Bagaimana itu bekerja? Siapa penindas dan siapa pula yang tertindas? Gambaran dan getaran kepedihan para kaum tertindas atau kaum “mustad’afin” itu, membuat para intelektual akhirnya terus hidup dalam kegelisahan. Sebuah rasa yang mendorong mereka untuk menemukan kebenaran dan memulai perubahan. Ketika gerakan perubahan itu diikrarkan, maka saat itu pula seribu musuh akan terlahir dan terus akan menghadang mereka (kaum intelektual) dan itulah alasannya, mayoritas mereka (kaum intelektual) terus gelisah dan mencoba cari tempat untuk berpindah demi kenyamanan dan produktivitas intelektual mereka. Misalnya, sang intelektual Polanyi (pemikir kiri yang mengkritik kapitalisme dari sudut pandang pertukaran barang), ia pindah dari Hungaria, Austria, Inggris dan Amerika karena alasan pendidikan hingga keterdesakkan kebutuhan hidup. Demikian Tan Malaka misalnya, ia juga tak jauh beda. Ia mulai dari Belanda, Moscow, dan berkeliling ke negara-negara Asia Tenggara demi berkelit dari sergapan tantangan dan rintangan, hal itu demi untuk merangkai sekuntum pemikiran genial.
Ketika para intelektual meninggalkan tanah kelahirannya misalnya, dan sudah pasti perasaan mereka remuk. Bahkan saat itu, tak ada internet dan media sosial yang untuk bisa curhat di medsos, namun hanya bisa berkomunikasi lewat tatap muka, untuk membangun hubungan emosional dengan keluarga, ketimbang saat ini yang sudah serba canggih untuk berkomunikasi. Sementara berpisah dan berpindah adalah berarti tercerabut dari lingkungan yang membesarkannya tanpa punya harapan untuk bisa bertemu atau bahkan berkomunikasi.
Sedangkan kerelaan untuk berpisah dengan keluarga selamanya adalah lebih logis, mengingat tak satupun yang bisa memastikan mereka bisa kembali ke komunitasnya. Ketika pergi, maka itulah saat terakhir melihat wajah dan mendengar suara sanak keluarga. Berpindah dan berpisah, adalah jalan yang sangat rumit dan sekaligus meremukan rasa dan perasaan, namun hal itu tidak membuat mereka (para intelektual) takluk, menyerah pasrah. Rasa takut, gelisah, dan ragu memang sangat besar, tetapi rasa cinta terhadap kebenaran, keadilan, dan ilmu pengetahuan jauh lebih besar. Itulah yang membuat mereka tetap mampu bertahan dalam situasi demikian, terus berpikir, dan kemudian terus menuliskan gagasan-gagasan besarnya. Jangan dikira magnum opus para intelektual zaman dulu itu, keadaan dunianya terlahir dari fasilitas yang serba memanjakan, seperti perpustakaan digital tanpa batas, kafe yang nyaman, sebuah kursi taman di pinggir danau yang indah lengkap dengan secangkir kopi hangat, disertai pula oleh seratus persen dukungan penguasa dan teman. Bukan. Bukan demikian, namun situasi mereka (para intelektual zaman dulu) sesungguhnya adalah penuh kepahitan dan kegetiran.
Ir. Soekarno misalnya, ia menulis tentang “Indonesia Menggugat”, hal itu ketika Soekarno berada di penjara Banceuy. Dan di atas kaleng pesing bekas ‘hajatnya itu’ setiap pagi hari, yakni setelah dibersihkan kaleng tersebut dan lalu dilapisi kertas, dan Ir. Soekarno saat itu demikian produitif menulis di atas kaleng dan sekaligus di dalam penjara Banceuy itu. Demikian juga buku berjudul “Prison Notebooks” ditulis oleh sang intelektual Gramsci (yang sejak kecil sudah penyakitan) saat dipenjara dalam keadaan sakit juga. Namun, ia menulis dengan penuh ancaman pemerintah Prancis saat itu, karena alasannya dipenjara oleh rezim fasis adalah “for twenty years we must stop his brain function”
(Dworkin, 2015). Gramsci wafat tahun 1937, yakni dua tahun setelah dikeluarkan dari penjara atas alasan penyakit kronis. Demikian juga sang intelektual Polanyi, ia menerbitkan buku berjudul “The Great Transformation” tahun 1944, namun sama sekali tanpa dukungan moral banyak pihak. Maklum, saat itu dunia sedang terlena oleh diskursus Neoklasik vs Keynesian (1930-an-1970-an). Bahkan, pemikirannya baru diakui di tahun 1990-an, jauh setelah ia wafat di tahun 1964. Para intelektual lainnya kurang lebih mengalami nasib yang sama. Mereka menulis gagasan dalam situasi terbatas, tertekan, dan terancam. Jadi itulah sekeping kisah para intelektual zaman dulu ketika mereka semakin produktif menulis. Bahkan, terpaksa atau dipaksa berpindah, dibekap rasa gelisah, takut, sedih dan ragu. Tetapi rasa cinta terhadap kebenaran, keadilan dan ilmu pengetahuan, akhirnya terus menguatkan kaki-kaki mungil mereka untuk terus mengembara menemukan kebenaran dan menuliskannya. Dan apabila ada diantara kita sedang mengalami kondisi serupa (mengalami kegelisahan intelektual), maka mungkin ada secarik panggilan intelektual bagi kita. Permohonan saya, jawablah panggilan itu, yakni dengan terus untuk menulis dan menulis…..!!!!
II. Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan (AI) Saat Ini?
Pertanyaan seperti judul diatas, merupakan ungkapan yang terkesan menggelisahkan, namun sudah menjadi fenomena umum saat ini. Bahkan, keberadaan tentang kecerdasan buatan (AI) saat ini mungkin sudah sering kita dengar, terutama di kalangan akademisi atau para penulis. Bahkan, di era digital yang serba cepat dan dipenuhi dengan konten dalam bentuk visual, apakah ketekunan menulis itu masih relevan? Jika dulu publikasi atau menulis menjadi penanda penting untuk eksistensi diri, apakah saat ini kita sedang menyaksikan kematian perlahan dari tradisi menulis? Dan yang lebih menarik lagi, jika teknologi seperti AI kini dapat menghasilkan tulisan dalam hitungan detik, apakah masih ada ruang gerak bagi kemampuan menulis kita sebagai manusia?
A. Menulis Sebagai Alat Refleksi Manusia
Pada mulanya menulis bukan sekadar menghasilkan teks. Menulis adalah proses berpikir, proses yang memungkinkan kita untuk mengolah ide dan merefleksikan diri. Socrates pernah mengatakan, “Tulisan adalah bentuk peringatan agar kita tidak melupakan apa yang telah dipikirkan.” Ini menunjukkan bahwa menulis lebih dari sekadar ekspresi verbal, namun lebih dari itu, menulis adalah sebagai sarana untuk menjaga kesinambungan pemikiran kita. Jika AI memang bisa menulis, dan bagus pula, namun sejatinya mesin cerdas tetap tidak dapat mengalami kegelisahan intelektual dan pencarian makna yang membentuk tulisan sejati. Hal itu memang terdengar seperti mengenang romantisme kajayaan zaman tulis menulis. Tapi, bagaimana pun, penulis percaya, bahwa di tengah dominasi visual di era digital saat ini, bahwa kemampuan menulis masih memiliki tempat penting. Meski tak dapat dipungkiri lagi bahwa generasi muda saat ini, mereka lebih tertarik pada video singkat dan format visual. Tapi sesungguhnya, menulis akan mengajarkan kita untuk berpikir kritis dan menyusun argumen secara sistematis. Neil Postman, dalam bukunya “Amusing Ourselves to Death” (1985), mengingatkan kita tentang pentingnya media yang memungkinkan orang untuk berpikir dalam konteks yang lebih mendalam, bukan hanya mengkonsumsi informasi yang disajikan secara instan. Seperti kata Postman, kegiatan menulis sebagai bentuk komunikasi yang terstruktur, hingga saat ini masih tetap relevan karena memberikan waktu dan ruang untuk pemikiran mendalam, sesuatu yang mungkin tidak selalu bisa dicapai dalam konsumsi media visual yang serba cepat.
B. Peluang Atau Ancaman?
Jika kita mencoba untuk optimis, kemunculan AI dalam dunia menulis membawa tantangan dan sekaligus peluang. Menurut Marshall McLuhan, seorang filsuf komunikasi, ia pernah berkata, “The medium is the message.” Maksudnya adalah bahwa alat atau teknologi yang kita gunakan saat ini untuk berkomunikasi memiliki dampak besar pada cara kita berpikir. Meski teori itu dipandang kurang lengkap, namun masih inspiratif di era sekarang ini. Dalam hal ini, kecerdasan buatan (AI) memang bisa menjadi alat untuk mempercepat proses menulis dan mempermudah pembuatan teks, tetapi itu bukanlah pengganti bagi keterampilan berpikir yang mendalam. AI, seperti ChatGPT misalnya, memang dapat menghasilkan teks yang tampaknya “manusiawi”, namun ia tidak memiliki pengalaman atau kesadaran yang melekat pada setiap kata yang ditulis. AI bekerja berdasarkan pola dan data yang ada, sementara menulis sejati melibatkan emosi, pemikiran reflektif, dan pengalaman hidup yang unik. Hal itu adalah perbedaan mendalam yang membedakan karya manusia dengan karya mesin. Albert Einstein pernah menyatakan, “Imagination is more important than knowledge,” yang mengingatkan kita bahwa kreativitas, bukan hanya pengetahuan, namun elemen penting dalam menciptakan karya yang bermakna. AI bisa menulis, tetapi ia tidak bisa menciptakan dunia baru dari imajinasi, berdasarkan fakta, data, dan pengetahuan yang ada.
C. Generasi Muda Dan Keterampilan Menulis
Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, generasi muda kini rasa-rasanya berada di persimpangan antara dua dunia. Yakni, di satu sisi yang semakin digital, sementara di sisi lain, ada juga yang masih berada di dunia yang masih memegang teguh keterampilan menulis sebagai bagian dari identitas intelektual. Ketergantungan pada teknologi dan AI, hal itu dapat memudarkan kemampuan berpikir mendalam dan menulis reflektif, tentu saja. Seperti yang dikatakan oleh Nicholas Carr dalam bukunya berjudul “The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains” (2010). Carr berargumen bahwa, “What the Net seems to be doing is chipping away my capacity for concentration and contemplation.” Ia menjelaskan bahwa paparan terus-menerus terhadap media digital, terutama yang cepat dan dangkal, hal itu akan mengurangi kemampuan otak kita untuk fokus dan berpikir mendalam. Bagi generasi muda, seyogyanya untuk fifahami, bahwa menulis bukan hanya keterampilan praktis, tetapi juga sebuah sarana untuk mengasah pikiran dan menganalisis dunia sekitarnya. Jika kita membiarkan teknologi mengisi ruang ini tanpa adanya ketrampilan menulis yang mendalam, maka kita berisiko akan kehilangan kemampuan untuk berpikir secara merdeka. Di era AI dan banjir informasi saat ini, kemampuan berpikir merdeka menjadi sangat penting. Mengapa demikian, karena tidak semua informasi yang melimpah itu benar atau relevan untuk kita. Karena, algoritma dan kecerdasan buatan seringkali menyajikan konten berdasarkan preferensi kita, bukan kebenaran objektif, sehingga berisiko memperkuat bias. Tanpa analisis yang mandiri, maka kita akan mudah terjebak dalam arus opini, hoaks, dan ketergantungan pada sistem otomatis. Sementara keberadaan pemikiran independen, hal itu akan memungkinkan kita bisa menyaring informasi yang palsu, mengambil keputusan bijak, dan tetap bertanggung jawab atas pilihan kita. Sebuah sikap yang krusial di tengah kompleksitas zaman.
D. Tantangan Dan Keberanian Untuk Bertahan
AI bukanlah musuh. Dalam dunia penulisan AI adalah alat yang bisa memperkaya khasanah kita. Dengan memanfaatkan teknologi ini, kita bisa mengatasi hambatan teknis seperti “grammar” dan struktur yang kurang sempurna, namun manusia jugalah yang harus tetap mengendalikan proses kreatif. Meski ada konsekuensinya, seperti yang dikatakan oleh Marshall McLuhan, “We shape our tools, and thereafter our tools shape us.” Kita sebagai pengguna teknologi, tetaplah harus memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas tulisan dan bukan untuk menggantikannya.
Aktivitas menulis, terutama di era digital saat ini, harus dilihat sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap dunia yang semakin cepat dan penuh dengan kebisingan. Menulis memungkinkan kita untuk melambat dan merenung, untuk mengingatkan kita pada esensi kemanusiaan kita yang tidak terikat oleh algoritma atau pola mesin. Ini adalah cara kita untuk bertahan dalam dunia yang terus berubah. Setidaknya kita bisa tetap memegang kontrol seperti kata Viktor Frankl, dalam “Man’s Search for Meaning” (1946). Dia menulis, “When we are no longer able to change a situation, we are challenged to change ourselves.” Setidaknya dengan menulis, kita bisa mengubah cara kita mengalami dunia, dan pada gilirannya, mengubah dunia itu sendiri.
E. Menulis Dalam Perspektif Manusia Dan Komputer
Menulis di era AI adalah tantangan besar yang harus diterima. Kemampuan menulis tetap relevan dan penting, bahkan di dunia yang semakin didominasi oleh kecerdasan buatan. AI dapat mempercepat proses dan mengatasi masalah teknis, tetapi kreativitas, pemikiran mendalam, dan refleksi manusia masih tetap tidak dapat tergantikan. Menulis adalah, bagian dari identitas kita sebagai manusia, sebuah ruang untuk berpikir kritis, menggali ide, menggelitik imajinasi, dan membentuk dunia kita. Intinya, bahwa dalam menghadapi perkembangan saat ini, tak pelak lagi kita harus tetap menjaga keseimbangan antara teknologi dan kemanusiaan kita, antara analisa cepat komputer dan kedalaman cara berpikiran kita.
III. Membaca Dan Menulis Merupakan Pilar Pengembangan Intelektual
Dalam kehidupan intelektual, membaca dan menulis bukan hanya aktivitas yang diajarkan sejak dini, tetapi merupakan dua pilar utama yang menopang pengembangan pemikiran manusia. Kedua aktivitas itu (membaca dan menulis) berperan penting dalam konteks untuk membentuk cara kita memandang dunia, memahami informasi, dan berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Namun, seberapa sering kita menyadari betapa mendalamnya peran membaca dan menulis itu, terutama dalam konteks untuk membentuk kecerdasan intelektual kita? Oleh karena itu, seiring dengan perkembangan zaman, tantangan yang dihadapi masyarakat modern saat ini, yaitu menuntut kemampuan berpikir kritis kita, ketajaman analitis kita, dan kreatif kita. Semua kemampuan itu pada dasarnya tumbuh dan berkembang melalui kebiasaan membaca dan menulis. Karena, melalui aktivitas membaca, hal itu akan memperkaya wawasan kita, memberikan pemahaman yang lebih mendalam, dan memperkenalkan kita pada beragam perspektif dunia.
Sedangkan menulis membantu kita untuk merumuskan dan menyusun ide-ide tersebut, sehingga lebih mudah dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, dalam sub judul bagian ini, penulis mencoba akan menggali lebih dalam urgensi membaca dan menulis dalam konteks pengembangan intelektual. Kita akan melihat bagaimana aktivitas-aktivitas itu saling melengkapi dan mempengaruhi berbagai aspek kecerdasan manusia, dari proses peningkatan daya pikir kritis hingga pada proses pembentukan kreativitas dan pemikiran logis. Lebih dari itu, membaca dan menulis adalah jalan menuju pengembangan diri yang lebih luas, memberikan peluang bagi siapa saja untuk terus belajar, tumbuh, dan berkontribusi dalam peradaban yang terus berkembang. Mari kita jelajahi pentingnya membaca dan menulis itu, terutama dalam konteks untuk membangun kapasitas intelektual kita, serta bagaimana kedua kegiatan itu dapat menjadi alat transformasi dalam perjalanan menjadi seorang pembelajar seumur hidup. Membaca dan menulis memiliki peran krusial dalam pengembangan intelektual, karema melibatkan lebih dari sekadar kegiatan mekanis; ia merupakan proses yang membangun dasar-dasar pengetahuan, keterampilan berpikir, kreativitas, dan komunikasi. Berikut ini pembahasan lebih luas tentang urgensi membaca dan menulis dalam konteks pengembangan intelektual :
A. Membaca Sebagai Gerbang Utama Pengetahuan Dan Memperluas Wawasan
Membaca memberi akses ke dunia yang lebih luas, melampaui batas-batas geografis, budaya, dan zaman. Dengan membaca, seseorang bisa belajar dari pengalaman dan pemikiran orang-orang dari berbagai latar belakang. Dari teks ilmiah, sastra, hingga sejarah, setiap bacaan akan memperkaya pemahaman akan dunia dan memperluas cakrawala intelektual. Lebih dari itu, membaca juga mengasah serta meningkatkan daya analisis. Karena, membaca mengharuskan setiap individu untuk menganalisis dan menafsirkan informasi. Ketika seseorang membaca dengan cermat, mereka dipaksa untuk bertanya, meragukan, dan memahami argumen atau narasi yang disajikan, sehingga membangun keterampilan berpikir analitis dan kritis. Membaca juga dapat menghubungkan ide. Karena, saat membaca, maka otak kita bekerja dengan menghubungkan ide-ide baru dengan pengetahuan yang sudah ada. Proses tersebut akan memperkaya intelektual dengan cara mengaitkan konsep, teori, dan fakta yang mungkin sebelumnya terpisah-pisah.
B. Menulis Sebagai Bentuk Pemahaman Mendalam Dan Memperjelas Pikiran
Proses menulis mengharuskan seseorang untuk mengorganisasi dan menyusun pikirannya secara sistematis. Melalui menulis, gagasan yang awalnya abstrak atau kabur dapat dipertegas dan diklarifikasi, memberikan pemahaman yang lebih dalam dan jelas terhadap sebuah topik. Lebih dari itu, menulis juga sambil mencatat dan membangun pemikiran. Karena, menulis juga berfungsi sebagai alat untuk merekam dan mengembangkan ide. Banyak pemikir besar, terutama dari para filsuf hingga ilmuwan, telah menggunakan tulisan sebagai media untuk menguji hipotesis dan merumuskan teori yang mereka bangun dari refleksi dan pengetahuan yang mereka dapatkan melalui membaca. Menulis juga bisa mempertajam argumen, karena ketika menulis, seorang individu ia sedang belajar untuk merumuskan argumen yang koheren, membangun premis, dan mendukung kesimpulan mereka dengan bukti yang logis. Hal itu sangat penting dalam pengembangan intelektual, terutama bagi mereka yang ingin terlibat dalam diskusi akademik atau debat publik.
C. Membaca Untuk Mengembangkan Keterampilan Dan Berpikir Kritis Demi Evaluasi Informasi
Di era digital saat ini, kita kenyataannya terus dibombardir dengan informasi dari berbagai sumber. Maka membaca secara kritis adalah keterampilan penting yang memungkinkan seseorang untuk mengevaluasi keabsahan, bias, dan kualitas informasi yang mereka terima. Hal itu membantu untuk membangun kesadaran intelektual yang lebih matang dan mandiri. Membaca juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir reflektif. Karena, saat seseorang sedang membaca karya-karya mendalam seperti filsafat, sastra, atau karya ilmiah misalnya, mereka diajak untuk berefleksi, merenungkan makna, implikasi, dan relevansi ide-ide tersebut dalam kehidupan mereka. Hal itu membantu mereka dalam pengembangan dimensi intelektual yang lebih introspektif dan reflektif.
D. Menulis Untuk Meningkatkan Kreativitas Dan Ekspresi Diri
Menulis adalah sarana ekspresi diri yang sangat penting. Melalui menulis, seseorang bisa menuangkan ide-ide, emosi, dan gagasan mereka dengan cara yang lebih terstruktur. Proses itu bisa merangsang kreativitas karena menulis memungkinkan eksplorasi berbagai sudut pandang dan cara berpikir yang berbeda. Menulis juga bisa menciptakan karya orisinal, karena banyak karya besar, baik dalam bidang sastra, ilmu pengetahuan, atau seni, memang lahir dari proses menulis. Bahkan, kreativitas intelektual seseorang bisa berkembang ketika ide-ide yang mereka miliki dituangkan dalam bentuk tulisan, dan akhirnya membuka jalan bagi penciptaan karya yang inovatif.
E. Pengembangan Intelektual Melalui Kombinasi Membaca dan Menulis
Dalam konteks (dinamika proses pembelajaran), maka membaca dan menulis saling melengkapi dalam proses pembelajaran. Karena, dengan membaca memungkinkan seseorang untuk menyerap informasi, sedangkan menulis memungkinkan mereka untuk menyusun ulang dan merefleksikan informasi tersebut. Dengan kata lain, membaca memberikan input, sementara menulis adalah proses output, dimana individu menguji dan mengembangkan pemahaman mereka sendiri. Lebih dari itu, membaca juga bisa menyusun argumentasi dan pemikiran yang lebih logis. Karena dengan aktivitas membaca, literatur yang kaya dan menulis merupakan respons kritis terhadapnya, dan akhirnya mendorong individu untuk mengembangkan pemikiran logis dan argumentasi yang lebih terstruktur. Hal itu bisa membantu dalam kemampuan untuk berdiskusi dan berdebat secara rasional, yang merupakan elemen penting dalam pengembangan intelektual.
F. Memelihara Pengetahuan dan Daya Ingat
Membaca dan menulis, dapat menyimpan informasi yang utuh, karena pengetahuan yang diperoleh melalui membaca dapat dengan cepat dilupakan jika tidak disimpan atau digunakan. Sementara menulis adalah cara yang lebih efektif untuk menjaga pengetahuan kita itu tetap hidup dalam ingatan kita, karena melalui proses menulis kita memproses dan menyusun kembali informasi dalam cara yang dapat kita pahami dan kita ingat. Memnaca dan menulis dapat mempertahankan kepekaan intelektual. Karena, kebiasaan menulis membuat seseorang terus berada dalam kondisi belajar dan berpikir. Misalnya, menulis artikel, esai, atau jurnal pribadi secara rutin, hal itu dapat menjaga daya intelektual kita tetap tajam dan selalu berkembang.
G. Meningkatkan Kapasitas Komunikasi Yang Efektif
Membaca dan menulis adalah keterampilan komunikasi yang tak ternilai. Dengan membaca, seseorang bisa belajar gaya bahasa yang berbeda, memahami nuansa bahasa, dan mengapresiasi keindahan retorika. Sementara dengan menulis, seseorang dapat melatih kemampuan untuk menyampaikan ide secara jelas dan efektif kepada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan. Lebih dari itu, membaca dan menulis bisa berkolaborasi secara Intelektual. Dalam dunia akademis atau profesional misalnta, membaca dan menulis seringkali merupakan kegiatan kolaboratif. Bahkan, membaca karya-karya orang lain dan kemudian menulis tanggapan atau kritik terhadapnya memungkinkan terjadinya dialog intelektual yang bisa memperkaya kedua belah pihak.
H. Membaca Dan Menulis Dalam Konteks Kehidupan Modern
Menghadapi era informasi saat ini, dimana informasi yang serba cepat terjadi, maka kemampuan untuk membaca secara kritis dan menulis secara efektif menjadi semakin penting. Dalam banyak profesi, kemampuan menulis laporan, membuat presentasi, atau mengkomunikasikan ide melalui tulisan menjadi syarat utama. Lebih dari itu, membaca dan menulis juga dapat mengasah kemampuan adaptasi dan pembelajaran seumur hidup. Karena, membaca dan menulis mendorong keterbukaan terhadap ide-ide baru dan adaptasi terhadap perubahan pengetahuan. Hal itu penting untuk pengembangan intelektual berkelanjutan, di mana seseorang tetap belajar sepanjang hidupnya, mengasah pikiran, dan menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.
Alhasil, urgensi membaca dan menulis dalam proses pengembangan intelektual tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan alat utama dalam membangun pengetahuan, berpikir kritis, mengekspresikan ide, dan memperkaya kemampuan komunikasi. Karena, wasilah membaca akan memperkenalkan kita pada dunia ide, sementara melalui wasilah menulis, memungkinkan kita bisa memproses, menyusun, dan menyebarluaskan ide-ide tersebut secara efektif. Dengan aktivitas dan kreatifitas membaca dan menulis, maka akan mendorong manusia untuk terus tumbuh dan berkembang dalam ranah intelektual dan kreativitas. Setelah memahami urgensi membaca dan menulis dalam pengembangan intelektual, kita menyadari bahwa kedua aktivitas itu bukan sekadar rutinitas, melainkan fondasi utama bagi perkembangan pribadi dan sosial. Karena melalui aktivitas membaca akan memperkaya wawasan dan memperluas cakrawala berpikir, sementara melalui menulis membantu kita untuk menyusun dan mengekspresikan ide-ide dengan cara yang lebih jelas dan mendalam. Keduanya saling melengkapi dalam membangun kapasitas berpikir kritis, analitis, serta kemampuan berargumentasi yang lebih kuat. Dalam konteks kehidupan modern, dimana informasi berlimpah dan tantangan semakin kompleks, maka kemampuan membaca dengan kritis dan menulis dengan efektif menjadi aset berharga. Mereka yang terus mengasah kedua keterampilan itu, tentunya akan memiliki keunggulan dalam menghadapi perubahan zaman, serta berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, membaca dan menulis seharusnya tidak dipandang sebagai kewajiban semata, melainkan sebagai sarana untuk terus belajar dan tumbuh secara intelektual. Kedua aktivitas itu membuka pintu untuk menjadi pembelajar seumur hidup, yang terus mengembangkan diri dan memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar. Pada akhirnya, membaca dan menulis adalah jembatan menuju pemahaman yang lebih luas dan kontribusi yang lebih bermakna dalam konteks kehidupan. Dengan membangun kebiasaan itu, kita tidak hanya memperkaya diri sendiri, tetapi juga turut serta dalam membangun peradaban yang lebih maju, berpikiran terbuka, dan penuh inovasi.