Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Peringatan Hari Antropologi Se-Dunia atau “World Anthropology Day” di tahun yang lalu (2024), yaitu jatuh pada tanggal 15 Februari 2024. Sedangkan Peringatan Hari Antropologi sedunia itu bertujuan untuk memperingati peran ilmu antropologi di lingkungan masyarakat sebagai studi ilmiah tentang kemanusiaan. Sedangkan antropologi adalah ilmu yang mempelajari segala macam seluk beluk, kebudayaan yang dihasilkan dalam kehidupan manusia. Seperti ; ilmu ekonomi masyarakat, agama dan keyakinan, politik pemerintahan, fisik manusia, kesehatan, perkembangan teknologi, dan lain sebagainya. Semua diskursus ilmu tersebut menyintas di dalam diskursus antropoligis dan sangat tersistimatisir.

Sedangkan pertamakali diadakannya peringatan Hari Antropologi Sedunia, yaitu diinisiasi oleh “American Anthropological Association (AAA)” pada tahun 2015. Organisasi ini lebih dikenal dengan Asosiasi Antropologi Amerika. Awalnya, peringatan itu disebut Hari Antropologi Nasional, tetapi diubah pada tahun 2016, menjadi Hari Antropolog Se-Dunia. Sedangkan ilmu antropologi mempelajari asal-usul dan perkembangan budaya manusia, serta masyarakat. Lebih dari itu, ilmu antropologi mengkaji karakteristik masyarakat dimasa lalu dan sekarang, yaitu menggunakan metode ilmiah yang berbeda. Antropologi mempelajari budaya menunjukkan perilaku yang dipelajari dari diri seseorang. Tidak hanya itu, para antropolog juga mempelajari sistem kepercayaan masyarakat, institusi, bahasa, dan struktur sosial. Bidang tersebut juga terus menyelidiki bagaimana orang-orang di dunia, hidup dari waktu ke waktu.

Sedangkan sejarah ilmu antropologi diyakini bermula pada abad ke-19 M. Tepatnya dimulai, yaitu bersamaan dengan lahirnya teori Charles Darwin tentang “Evolusi Manusia”, yakni sebagaimana dijelaskan di dalam bukunnya berjudul “The Origin of Species (1859)”. Dalam teorinya, Charles Darwin menegaskan, semua bentuk kehidupan memiliki nenek moyang yang sama. Hal itu dimulainya kaitan fosil-fosil dengan strata geologi tertentu. Teori Charles Darwin juga diperkuat dengan fosil-fosil yang ditemukan, diantara yang paling terkenal adalah “Spesies Neanderthal” pada tahun 1856. Pada 1871, Charles Darwin menerbitkan buku berjudul “The Descent of Man”, di buku itu ia menyatakan bahwa manusia memiliki nenek moyang yang sama dengan kera besar Afrika. Bahkan, hasil dari penelitian Charles Darwin itu dinyatakan, bahwa evolusi spesies manusia bermuara pada kecerdasan yang menghasilkan bahasa dan teknologi. Sementara Edward Burnett Tylor, yaitu salah seorang antropolog perintis menyimpulkan, bahwa kecerdasan yang meningkat diimbangi dengan peradaban yang maju, pada akhirnya, proses perkembangan masyarakat (manusia) dapat disusun berurutan secara periodik. Yakni, mulai dari zaman batu, zaman besi, zaman perunggu, masa berburu, meramu, pertanian, hingga era industri, dan bahkan hingga zaman milenial saat ini.

II. Sekilas Tentang Pengantar Ilmu Antropologi

Sudah pernah-kah diantara kita mendengar tentang diskursus ilmu antropologi? Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia secara keseluruhan. Biasanya ilmu antropologi bisa kita dapatkan ketika kita duduk di bangku (kuliahan). Saat itu kita akan mendapatkan mata kuliahan pengantar ilmu antropologi, terutama ketika kita duduk di semester perama dan semester kedua, yakni dalam konteks mempelajari mata kuliah yang bersifat “Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Sedangkan antropologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari manusia dalam tata kehidupan masyarakat, baik masyarakat yang sudah punah maupun masih berkembang sampai saat ini. Dan kita masih bisa mengetahui perkembangan manusia, dan akhirnya membuat pelajaran ini (ilmu antropolog) hingga saat ini nampaknya banyak diminati oleh masyarakat (terutama oleh para mahasiswa).

A. Sejarah Dan Perkembangan Ilmu Antropologi

Antropologi memiliki objek studi untuk mengkaji manusia dalam kehidupan bermasyarakat dari berbagai macam aspek sosial budaya, baik secara personal maupun kesatuan. Perkembangan sejarah ilmu antropologi cukup panjang dan dibagi menjadi beberapa fase seperti berikut :

  1. Fase Pertama.
    Fase pertama terjadi pada abad ke ke-15 M, sampai abad ke 18 M. Namun ketika di akhir abad ke-15 M, ditandai dengan kedatangan banfsa-bangsa Eropa ke benua Asia, Amerika Latin, dan benua Afrika. Mereka (bangsa Eropa) selalu menulis catatan dan laporan perjalanan tentang adat-istiadat, ciri khas fisik masyarakat, ciri suku bangsa, struktur masyarakat, bahasa, dan lain sebagainya, yakni dari berbagai macam suku bangsa yang sudah ditemui oleh masyarakar Eropa itu. Deskripsi tersebut sebenarnya bersifat kurang teliti dan terkesan masih memuat hal yang aneh pada bangsa Eropa. Kemudian terus berjalan pada abad ke-18 M, akhirnya deskripsiya-pun semakin berkembang dan akhirnya menjadi etnografi.
  2. Fase Kedua.
    Fase kedua terjadi pada abad pertengahan abad ke 19 M, tepatnya pada tahun 1880-an. Pada abad tersebut evolusi etnografi sudah disusun berdasarkan cara berpikir evolusi dari masyarakat. Sedangkan beberapa ilmuwan beranggapan bahwa masyarakat dan kebudayaan selalu berevolusi sesuai dengan tahapan dan memakan waktu yang cukup lama. Sementara masyarakat Eropa dianggap sebagai bangsa yang memiliki budaya tinggi. Namun orang di luar Eropa dianggap primitif. Pada fase ini, antropologi dianggap memiliki sifat akademik.
  3. Fase Ketiga.
    Fase ketiga terjadi di akhir abad 19 M dan awal abad 20 M. Saat itu antropologi tidak hanya memiliki sifat akademik tetapi memiliki sifat praktis yang sudah digunakan pemerintah kolonial. Hal itu dilakukan ketika pemerintah meminta ahli untuk meneliti masyarakat dan budaya di luar Eropa maupun Amerika. Tujuannya adalah agar mereka mampu mempertahankan daerah jajahannya sesuai dengan negara kolonial.
  4. Fase Ke-empat.
    Pada fase ini antropologi terjadi sesudah tahun 1930-an. Antropologi sudah tidak mempelajari dan meneliti masyarakat primitif di luar Eropa dan Amerika, tetapi mereka mulai mengadakan penyelidikan terhadap masyarakat Eropa. Sedangkan perkembangan antropologi di masa ini memiliki dua tujuan yaitu tujuan akademik dan tujuan praktis.

B. Istilah-Istilah Lain Dalam Antropologi

Di dalam pelajaran ilmu antropologi, sudah pasti kita akan menemukan berbagai macam istilah-istilah yang harus dipahami maksudnya. Dengan begitu kita akan semakin mudah belajar atau mempelajari ilmu antropologi. Menurut (alm) Koentjaraningrat, bahwa di era tahun 1980-an, beberapa istilah dalam ilmu antropologi seperti berikut ini :

(1). Ethnography, yaitu penulisan yang bisa melukiskan bangsa, terutama tentang bagaimana kehidupan masyarakat dan kebudayaan dari suku bangsa tertentu. (2). Ethnologi, yaitu merupakan ilmu dari bangsa-bangsa yang mengkaji sejarah perkembangan budaya manusia. (3). Volkerkunde, yaitu merupakan ilmu bangsa-bangsa yang awalnya berkembang dari Eropa, tapi saat ini sudah menyebar ke seluruh dunia. (4). Kulturkunde, yaitu ilmu kebudayaan. (5). Antropologi, yaitu ilmu tentang manusia. (6). Cultural anthropology, yaitu antropologi budaya. (7). Social Anthropology, yaitu antropologi sosial.

Beberapa istilah tersebut, seringkali digunakan sebagai kata pengantar dalam antropologi. Mungkin kita akan sering mendengarkan istilah-istilah tersebut, terutama ketika sedang belajar ilmu antropologi, jika kita tidak memahami maksudnya, maka kita akan sulit untuk memahami ilmu antropologi itu. Sedangkan antropologi merupakan ilmu multidisipliner yang punya keterkaitan dengan disiplin ilmu lainnya. Sedangkan diskursus ilmu antropoligis secara akademis hingga saat ini sudah dapat dilakukan (dipelajari) di berbagai perguruan tinggi.

Sekilas pengantar tentang antropologi sebagaimana telah dideskripsikan diatas, yang nota bene berisikan pengertian dan sejarah antropologi. Namun ada juga pembahasan lain di mata kuliah pengantar ilmu antropologi yang lebih komflikitit, yaitu untuk memahami ilmu antropologi secara lebih mendalam, hal itu guna membuat kita lebih memahami proses perkembangan budaya masyarakat di sekitar kita dan di seluruh dunia, terutama tinjauannya dari perspektif pisau analisia antropologis.

III. Antropologi Dan Sejarah

Antropologi sejarah adalah suatu cabang ilmu antropologi yang mempelajari manusia dan kebudayaannya dari perspektif sejarah. Ini melibatkan studi tentang bagaimana masyarakat dan budaya terus berubah dari waktu ke waktu, serta bagaimana peristiwa sejarah itu membentuk pengalaman manusia dan perkembangan budaya. Lebih detailnya fokus antropologi sejarah, yaitu antropologi sejarah tidak hanya tertarik pada deskripsi budaya, tetapi juga pada bagaimana budaya itu berubah dan berkembang seiring dengan waktu yang terus bergulir. Ini termasuk mempelajari perubahan dalam sistem kepercayaan, organisasi sosial, teknologi, dan aspek budaya lainnya. Sedangkan pendekatan historis dari antropologi sejarah, yaitu menggunakan metode sejarah, seperti analisis dokumen, catatan arkeologi, dan sumber-sumber lisan, terutama untuk memahami masa lalu. Namun, berbeda dengan ilmu sejarah murni, karena antropologi sejarah memang menggabungkan perspektif antropologis, seperti pemahaman tentang budaya dan sistem sosial.

Sedangkan keterkaitannya dengan sejarah, bahwa antropologi memberikan dasar prahistori dan informasi penting tentang latar belakang masyarakat yang membantu dalam penulisan sejarah. Contoh penerapannya misalnya, seorang antropolog sejarah, mungkin ia mempelajari bagaimana proses industrialisasi mengubah struktur sosial dan ekonomi suatu masyarakat, atau bagaimana kontak budaya dengan bangsa lain, dan lain sebagainya, yang akhirnya bisa mempengaruhi perkembangan budaya suatu kelompok. Sedangkan perkembangan antropologi sejarah pada awalnya, bahwa antropologi banyak dipengaruhi oleh teori evolusi, yang mencoba mengklasifikasikan masyarakat dalam tingkatan perkembangan. Namun seiring perjalanan waktu, maka antropologi sejarah mulai mengakui kompleksitas dan keunikan setiap budaya, serta pentingnya konteks sejarah dalam memahami masyarakat.
Saat ini, antropologi sejarah telah menggunakan berbagai pendekatan, termasuk pendekatan relativisme budaya yang menekankan pentingnya memahami budaya dalam konteksnya sendiri, dan pendekatan pasca kolonial yang mengkritisi dampak kolonialisme terhadap masyarakat yang dijajah.

Sedangkan hubungan antropologi sejarah dengan Ilmu lain, seperti dengan ilmu sejarah murni misalnya, antropologi sejarah memberikan perspektif budaya dan sosial yang penting untuk memahami peristiwa sejarah. Kemudian hubungan dengan ilmu arkeologi misalnya, arkeologi menyediakan data material yang penting untuk memahami masa lalu, yang kemudian diinterpretasikan oleh antropologi sejarah dalam konteks budaya. Sedangkan hubungan dengan ilmu sosiologi, maka antropologi sejarah dan sosiologi memiliki minat yang sama dalam mempelajari masyarakat, namun antropologi sejarah lebih menekankan pada dimensi budaya dan sejarah. Dengan demikian, antropologi sejarah adalah bidang ilmu yang kaya dan kompleks, yang memberikan wawasan penting tentang manusia dan budaya dalam perspektif waktu.

Oleh karena itu, kenali sejarah serta peran ilmu antropologi di lingkungan masyarakat, hal itu sangat penting, dan bahkan tidak hanya itu, para antropolog juga mempelajari sistem kepercayaan masyarakat, institusi, bahasa, dan struktur sosial. Bidang itu juga menyelidiki antropolog, karena sejarah antropologi adalah rangkaian peristiwa satu dengan peristiwa lainnya mengenai perkembangan pengetahuan yang membahas tentang semua yang berhubungan dengan manusia dan sejarah. Hubungan antropologi dengan sejarah sangat erat, karena antropologi memberikan bahan prehistori sebagai dasar dan pangkal penulisan sejarah dari tiap-tiap bangsa di dunia. Sedangkan arkeologi dan antropologi mempelajari tentang peninggalan-peninggalan kuno (artefak sejarah secara fisik) seperti Istana, Candi dan berbagai ragam yang merupakan salah satu artefak dari kebudayaan masa lalu. Sedabgkan sjarah ilmu antropologi dalam pembahasan topik kali ini, agar kita bisa memngetahui dan memahami bagaimana awal munculnya ilmu antropologi dan perkembangnannya di seluruh dunia.

IV. Sejarah Lahirnya Antropologi Sebagai Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan yang tersusun secara sistimatis dan ilmiah diyakini bermula pada abad ke-19 M, termasuk pengetahuan tentang antropologi. Sedangkan antropologi, yaitu ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, serta kepercayaannya pada masa lampau. Tujuan antropologi adalah untuk mempelajari kehidupan manusia, dari asal-usul hingga budayanya, secara jelas dan tidak bias. Untuk mencapai tujuan tersebut, para antropolog salah satunya melakukan pengamatan subjek secara langsung di lingkungan lokal penduduk tertentu. Daniel Fernandez misalnya, di dalam bukunya berjudul “Handout Antropologi” (2018), ia menjelaskan dari sisi kacamata atau dari sudut pandangan yang digunakan antropologi dalam melihat asal-usul dan perkembangan masyarakat dan budaya manusia yang begitu luas. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya ruang lingkup atau batasan pembahasan yang membedakan antropologi dengan disiplin ilmu lainnya. Sedangkan ruang lingkup antropologi yang dipelajari dalam jenjang pendidikan di Indonesia meliputi :

(1). Budaya sebagai acuan. (2). Pedoman pada sikap ataupun perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. (3). Proses pewarisan sistem nilai. (4). Perubahan budaya. (5). Peranan kemajuan kebudayaan dalam pembangunan masyarakat. (6). Posisi budaya Indonesia di tengah situasi perubahan masyarakat di dunia. (7). Hubungan budaya dengan lingkungan, baik lingkungan alam, maupun lingkungan sosial. Hal itulah yang membentuk sistem sosial budaya (social cultural system).

A. Sejak Kapan Antropologi Dikenal Sebagai Ilmu Pengetahuan?

Sejarah berdirinya ilmu antropologi diyakini bermula pada abad ke-19 M. Sejarah ilmu antropologi dimulai bersamaan dengan lahirnya teori Charles Darwin tentang evolusi manusia, yaitu melalui bukunya berjudul “The Origin of Species (1859)”. Dalam teorinya, Darwin menegaskan bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nenek moyang yang sama. Hal itu dimulainya kaitan fosil-fosil dengan strata geologi tertentu, dan fósil-fosil nenek moyang ditemukan dengan yang paling terkenal spesies Neanderthal pada 1856. Pada 1871, Darwin menerbitkan “The Descent of Man”, yang menyatakan bahwa manusia memiliki nenek moyang yang sama dengan kera besar Afrika. Darwin menyimpulkan pada hasil penelitiannya, bahwa evolusi spesies manusia bermuara pada kecerdasan yang menghasilkan bahasa dan teknologi. Sementara Edward Burnett Tylor, salah satu Antropolog perintis, ia juga menyimpulkan bahwa kecerdasan yang meningkat diimbangi peradaban yang maju. Perkembangan masyarakat dapat disusun berurutan secara periodik, yaitu sejak zaman batu, zaman besi, zaman perunggu, masa berburu, meramu, pertanian, hingga era industri.
Bahkan di dalam “Education National Geographic”, bahwa proses penelitian terkait kehidupan manusia sejatinya telah dilakukan sejak zaman pencerahan, yaitu pada gerakan intelektual filosofis di Eropa pada abad ke-18 M. Sedangkan proses penelitian yang dilakukan pada zaman pencerahan, saat itu banyak dipengaruhi oleh karya sejarawan alam. Misalnya, sang sejarawan Georges Buffon, yang mempelajari manusia sebagai spesies zoologi komunitas homo sapuens, dan hanyalah salah satu bagian dari flora dan fauna suatu daerah.

B. Bagaimana Sejarah Timbulnya Ilmu Antropologi?

Koentjaraningrat, dalam bukukunya berjudul “Antropologi” (2021), dan kemudian karya Koentjaraningrat itu, akhirnya diulas secara tuntas di dalam karya Okta Hadi Nurcahyono. Dan lalu Okta Hadi Nurcahyono menjelaskan bahwa sejarah ilmu antropologi dimulai dari tulisan-tulisan filsuf, pesyarah Yunani, sejarah Arab dan Eropa kuno, serta abad pencerahan (renaisans), yang dianggap sebagai pendorong tradisi antropologi.

C. Sejarah Berdirinya Ilmu Antropolog (Menurut Pandangan Koentjaraningrat). Bahwa sejarah berdirinya ilmu antropolog menurut Kontjaraningrat, terdiri atas empat pase, yaitu meliputi :

  1. Fase Pertama (Sebelum Abad Ke-18 M)
    Fase pertama dalam fase penemuan dan pencatatan, kemudian muncul istilah etnografi adalah konsep pelukisan suku bangsa yang dilakukan orang Eropa terhadap negara-negara yang disinggahi.
  2. Fase Kedua (Pertengahan Abad ke-19 M).
    Fase kedua adalah penyusunan dan analisis bahan etnografi berupa menyusun karangan etnografi berdasarkan cara pikir evolusi masyarakat. Di sisi lain, antropologi di fase kedua ini mulai menjadi ilmu yang bersifat akademik.
  3. Fase Ketiga (Awal Abad Ke-20 M).
    Fase ketiga adalah kolonialisme dan imprialusme, ketika ilmu antropologi digunakan bangsa Eropa untuk mendukung pemerintahan kolonial.
  4. Fase Keempat (Sesudah Tahun 1930 M).
    Fase keempat ini adalah fase era pembaharuan dan penemuan ilmu antropologi. Sedangkan faktor pendorong perkembangan antropologi yang cukup pesat pada periode ini, meliputi : (1). Bertambahnya bahan pengetahuan. (2). Ketajaman metode ilmiah. (3). Hilangnya istilah primitif. (4). Spirit antikolonialisme yang menyuburkan kajian pasca kolonial.
  5. Fase Kelima (Setelah Tahun 1970 M).
    Koentjaraningrat tidak menuliskan fase kelima. Namun menurut sumber lain, bahwa perkembangan antropologi fase kelima ini salah satunya adalah hasil penelitian antropolog dari Uni Soviet, yaitu tentang dasar-dasar dalam pengambilan kebijakan terkait upaya membangun/pengertian di antara penduduk di alam jagat raya ini.

V. Sejarah Perkembangan Antropologi di Indonesia

Sejarah perkembangan antropolig di Indonesia, hal itu ditandai dengan berbagai penelitian. Terutama penelitian tentang adat istiadat, struktur sosial, hingga kebudayaan suku-suku yang tersebar di seluruh wilayah nusantara. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), antropologi adalah ilmu tentang manusia. Khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau.

A. Sejarah Perkembangan Antropologi

Secara etimologis (bahasa), antropologi berasal dari kata latin “anthropos” yang berarti manusia dan “logos” atau akal. Dengan kata lain, antropologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, kepribadian, masyarakat, serta kebudayaannya. Di dalam buku berjudul “Antropologi Budaya”, karya I Gede A. B. Wiranata (2002). I Gede Wiranata menjelaskan, antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari umat manusia sebagai makhluk masyarakat. Sedangkan fokus dan perhatian ilmu antropologi ditujukan pada sifat khusus badani dan cara produksi, tradisi, dan nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup yang satu berbeda dari pergaulan hidup lainnya. Sedangkan sejarah perkembangan antropologi menurut I Gede Wiranata adalah sebagai berikut :

  1. Fase Pertama (Sebelum 1800).
    Fase pertama ini disebut sebagai fase penemuan. Ada juga yang menyatakan fase ini adalah era pencatatan atau deskripsi tentang bangsa-bangsa dan laporan kisah-kisah perjalanan. Dan umumnya, laporan perjalanan ini merupakan kegiatan yang dilakukan oleh para musafir, misionaris penyebar agama, pedagang keliling, dan lain sebagainya. Dalam beberapa laporan tertulis yang sempat dibukukan, ternyata lukisan tentang masyarakat dan berbagai suku bangsa di luar Eropa, banyak juga yang dilakukan oleh pegawai dinas jajahan pemerintah kolonial Belanda dan Inggris.
  2. Fase Kedua (Pertengahan Abad ke-19 M).
    Perkembangan fase kedua ini dimulai dengan tahap penyusunan dan penganalisaan bahan etnografi pada fase pertama diatas. Bahan-bahan yang tertuang pada lukisan suku-suku bangsa terutama di luar Eropa telah menimbulkan kesadaran di kalangan pelajar.
    Khususnya Eropa Barat mengenai aneka ragam ciri-ciri ras, bahasa, dan fenomena budaya umat manusia.
  3. Fase Ketiga (Permulaan Abad ke-20 M).
    Perkembangan pada fase ini sangat erat kaitannya dengan eksistensi kolonialisme-imperialisme negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Oleh karena itu, apabila ingin mengenal suatu daerah, hanya ada satu cara, yakni memahami dan mengenali tabiat serta sikap watak yang khas dari suatu wilayah atau suku bangsa yang bersangkutan.
  4. Fase Keempat (Setelah 1930)
    Fase keempat ini sering disebut sebagai fase ilmiah antropologi. Namun, ada pula yang menyebutnya sebagai era pembaharuan dan penemuan ilmu antropologi yang sesungguhnya. Melalui Simposium Internasional Antropologi yang berlangsung di Amerika Serikat pada tahun 1951, sebanyak enam puluh ahli antropologi mengadakan kajian ulang tentang tujuan dan ruang lingkup ilmu antropologi. Salah satu rumusannya adalah bahwa secara akademik, ilmu antropolog ingin mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka bentuk fisik, masyarakat, dan kebudayaannya. Secara praktis, antropologi ingin mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu sendiri.

Sementara sejarah perkembangan antropologi di Indonesia sendiri dimulai pada fase ketiga, yakni ketika berkembang seiring dengan kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa ke Hindia-Belanda. Bahkan, watak khas Indonesia dilaporkan secara tertulis oleh para pejabat kolonial, baik kolonial Belanda, Inggeris, Portugis, Prancis, Sepanyol dan lain sebagainya.

VI. Tiga Hubungan Ilmu Antropologi Dan Ilmu Sejarah

Antropologi saat ini menjadi salah satu ilmu yang mulai dilirik dan sekaligus diperlukan bagi seorang sejarawan, tentu saja kaitannya dengan adanya hubungan antara ilmu antropologi dan ilmu sejarah. Oleh sebab basic, dasar atau sudut pengambilanya memakai tema utama sejarah, biasanya seorang sejarawan memposisikan antropologi sebagai ilmu bantu untuk mengupas atau menganalisis permasalahan, objek atau kajian yang sedang diteliti (diriset). Namun bukan tidak mungkin hal sebaliknya terjadi, yakni sejarah menjadi ilmu bantu bagi seorang antropolog yang sudah barang tentu menggunakan tema utama antropologi, sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu antropologi menyumbang banyak teori untuk ilmu sejarah, begitu pula sebaliknya, ilmu sejarah menyumbang banyak bagi teori ilmu antropologi.

Namun sebelumnya perlu kuta dipahami bersama, apa pengertian ilmu antropologi dan ilmu sejarah itu. Secara etimologis (bahasa), antropologi berasal dari dua akar kata Yunani, yakni “anthropos” dan “logos” yang berarti manusia dan ilmu atau nalar. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam Kamus Antropologi, pada halaman 28, yang mengartikan bahwa antropologi sebagai suatu ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, kepribadian, masyarakat serta kebudayaanya. Boleh dikatakan, bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dengan hasil karya dan segala aktivitasnya. Sedangkan sejarah berasal dari akar kata bahasa Arab “syajarah” yang berarti pohon, “syajarah an-nasab” berarti pohon silsilah. Namun lain halnya dengan bahasa Inggris “history” atau bahasa Latin dan bahasa Yunani “historia”, dimana kata dasar “histor” atau “istor” memiliki arti orang pandai. Singkatnya menurut (alm) Kuntowijoyo, yakni sebagaimana ia jelaskan di dalam bukunya berjudul “Pengantar Ilmu Sejarah”, terutama yang terdapat di halaman 14. Bahwa sejarah adalah rekontruksi masa lalu, yaitu terkait apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan dan dialami oleh manusia. Boleh dikatakan, sejarah adalah ilmu yang mempelajari peristiwa yang benar-benar terjadi dimasa lampau, yaitu meliputi objek manusia, ruang dan waktu. Sampai sini dapat diketahui, secara pengertian saja sudah ada kesamaan dan perbedaan antara ilmu antropologi dan ilmu sejarah. Pengertian atau definisinya memang agak jauh sedikit, namun sedikit banyak telah menjadi dasar yang menjembatani dan membatasi hubungan antara ilmu antropologi dengan ilmu sejarah. Tapi, bukan berarti ilmu antropologi dan ilmu sejarah itu terbatas pada tiga hubungan saja, tetapi tiga hubungan itu yang sekiranya mendasari antara keduanya.

Pertama, secara pengertian sama-sama menjadikan manusia sebagai objek kajian.
Dari pengertian yang sudah disebutkan sebelumnya, dapat kita mengerti bahwa ada objek kajian yang sama antara keduanya (antara ilmu sejarah dan antropologi), yakni manusia. Terlebih kedua ilmu itu sama-sama mengindahkan ruang, hasil karya dan aktivitasnya. Namun dari pengertian kedua ilmu itu, ada juga hal yang menjadi pembeda atau pembatas antara keduanya, yakni masa lampau, peristiwa yang benar-benar terjadi, bentuk fisik dan kepribadian. Itu sebatas dari pengertian kedua ilmu tersebut. Lebih lanjut terkait objek kajian manusia, sejarah memang benar hanya bercerita tentang manusia. Jadi sejarah bukan fabel yang menceritakan hewan, bukan mitologi, mitos, sastra dan legenda yang menceritakan jin, makhluk halus, dewa, kekuatan ghoib, atau mahkluk supranatural lainya. Namun, tidak dipungkiri dalam sejarah ada unsur-unsur atau hal-hal yang sifatnya demikian, namun hal tersebut bukan menjadi objek kajian utama dari ilmu sejarah. Sehingga menjadi semacam unsur “tanda petik” tersendiri dalam sejarah. Sebagaimana kata Kuntowijoyo dalam bukunya berjudul “Pengantar Ilmu Sejarah”, terutama di halaman 10. Tapi sekalipun sejarah bercerita tentang manusia, namun tidak juga menceritakan manusia secara keseluruhan. Manusia yang sudah berupa fosil, hal itu sudaj menjadi objek kajian penelitian dari bidang ilmu antropologi, yakni yang bersifat ragawi dan bukan sejarah yang punya otoritatif untuk membahas soal manusia yang sudah berbentuk porsil itu.

Untuk lebih mudah memahami perbedaan dan persamaan keduanya terkait objek kajian manusia, berikut contoh kasus Suku Samin yang ada di Blora misalnya, atau komunitas Suku Baduy yang ada di wilayah Banten misalnya, yang nota bene memiliki peristiwa atau hasil karya berupa budaya dan punya ciri khas tertentu, yakni mempertahankan ajaran leluhur mereka hingga saat ini. Manakala ahli sejarah melihat kebudayaan menekankan pada pertumbuhanya dan definisinya sebagai warisan sosial, maka lain soal dengan ahli antropologi yang melihat kebudayaan sebagai tata hidup, “way of life” atau kelakuannya. Hal itu, sebagaimana dijelaskan di dalam buku berjudul “Filsafat Kebudayaan”, pada halaman 27. Sehingga objek utama sejarawan adalah sosok Samin maupun tradisi leluhur orang Suku Baduy. Dalam konteks sosok Samin misalnya, yakni yang mewariskan warisan-warisan sosial. Sedang objek utama dari antropolog adalah manusianya dengan bentuk fisik, aktivitas-aktivitas dan hubungan lainya sebagai jalan hidup.

Kedua, Ilmu sejarah memerlukan metode dari ilmu antropologi, hal itu untuk memecahkan berbagai persoalan dalam sejarah. Terkadang fakta di lapangan sulit untuk mengungkap konteks suatu peristiwa sejarah. Maka proses pendekatan antropologi memungkinkan para sejarawan untuk bisa memahami konteks peristiwa sejarah dengan menggunakan konsep kehidupan masyarakat yang berlangsung pada saat peristiwa sejarah itu terjadi. Misalnya terkait sejarah lokal, sistem kepercayaan, agama dan cerita rakyat yang ada di masyarakat. Pun, terkait buah karya berupa benda-benda yang dihasilkan. Yang meskipun itu perbuatan manusia, tetapi lebih menjadi pekerjaan antropologi dan arkeologi. Demikian pula soal benda-benda bagi ilmu sejarah biasanya hanya menjadi sumber, sedangkan untuk mengupasnya memerlukan ilmu bantu antropologi.

Ketiga, antropologi memerlukan catatan sejarah. Mula-mula ilmu antropologi sendiri sebetulnya tidak menjadikan kronologi atau waktu sebagai hal yang perlu diperhatikan, hampir mirip dengan ilmu sosial atau ilmu sosiologi, padahal kronologi atau waktu sangat berguna untuk memahami latar belakang masyarakat dan berpengaruh pada objektifitas kajian. Perlu diketahui, menurut (alm) Kuntowijoyo juga pernah menandaskan, hal itu sebagaimana ia jelaskan di dalam bukunya berjudul “Pengantar Ilmu Sejarah”, terutama di hal. 84-85. Menurut Kuntowijoyo, bagaimana sejarah menjadi kritik terhadap generalisasi ilmu sosial, contohnya pada kasus Max Weber (1864-1920) dalam metodologi ilmu-ilmu sosial yang menggunakan “ideal type” untuk mempermudah penelitian. Ketika dihadapkan pada kenyataan historis yang faktual, ternyata tipe ideal itu banyak yang tidak mempunyai dasar faktual. Contoh kasus dalam buku “The Religion of China”, banyak dikecam karena mengandung kelemahan, tidak menggunakan periodesasi sejarah, dimana kesimpulan-kesimpulan umum mengenai China dibuat dengan menghubungkan fakta-fakta dari periode yang berlainan.

Demikian juga buku karya Karl Wittfogel, yang berjudul “Oriental Despotism” yang berisi tentang teori “hydraulic society”. Teori tersebut diambil dari studi tentang adanya despotisme dalam masyarakat pengguna air sungai di sekitar Sungai Nil, Indus dan Yang Tse Kiang. Dimana di sana timbul raja yang berkuasa untuk membagikan air. Kata Kuntowijoyo bila teori tersebut digunakan untuk menganalisis birokrasi di Jawa, pertanyaan “Apakah di tempat ini benar-benar ada hydraulic society?” harus dijawab.

Diakui di Jawa memang terdapat patrimonialisme, namun kekerasan dan kekejamanya bersifat individual, tidak massal, sebab di Jawa raja tidak bisa membiayai tentara yang jumlahnya besar. Sultan Agung misalnya, menggunakan Bupati Pantai Utara, Bahureksa sewaktu menyerbu Batavia pada 1628. Di Bali, teori tersebut juga dihadapkan pada fakta sejarah, sebab urusan air di Bali diatur oleh lembaga “subak”, tidak oleh negara. Sementara menurut Bapak Antropologi Indonesia, yaitu Koentjaraningrat di dalam bukunya berjudul “Pengantar Ilmu Antropologi”, terutama di hal.10, is menerangkan bahwa ilmu antropologi memperhatikan lima (5) masalah mengenai makhluk hidup, diantaranya :

(1). Masalah pada perkembangan manusia sebagai makhluk biologis. (2). Masalah pada sejarah terjadinya aneka bentuk makhluk manusia dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya. (3). Masalah pada sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa di seluruh dunia. (4). Masalah persebaran dan terjadinya keanekaragaman kebudayaan manusia di seluruh dunia. (5). Masalah pada dasar-dasar dan keanekaragaman kebudayaan manusia dalam kehidupan masyarakat dan suku bangsa yang tersebar di seluruh penjuru bumi pada zaman sekarang ini. Sehingga terang sekarang bagi para antropolog, sejarah sangat penting terutama dalam menganalisis karakteristik budaya suatu kelompok etnis. Antropolog terkadang menggunakan metode sejarah untuk merekonstruksi populasi yang telah dipengaruhi oleh budaya luar. Pun sebagai antropolog, penting untuk mengetahui sumber pengaruh tersebut dan bagaimana mulai masuknya budaya asing.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *