Oleh : Adung Abdul Haris

I. Prolog

Kalau kita berbicara soal antropologi, rasanya tidak lengkap kalau tidak menyebut Suku Baduy. Suku ini jadi salah satu contoh hidup bagaimana teori-teori antropologi beneran masih hidup di tengah masyarakat sampai saat ini, yakni di era milenial ini. Karena pada faktanya, di tengah arus modernisasi dan globalisadi, realitas orang-orang Suku Baduy itu masih tetap teguh sama aturan leluhur mereka. Nah,… hal inilah yang bikin para antropologi sosial tentunya masih menjadi relevan dan sangat konteks untuk meneliti lewat kehidupan mereka (suku Baduy). Sementara secara teoritis, bahwa antropologi sosial itu pada intinya mempelajari pola perilaku, struktur masyarakat, hingga adat istiadat masyarakat. Nah, Suku Baduy di Banten punya semua elemen itu. Mereka punya sistem kekerabatan, aturan adat, pola konsumsi, sampai hukum adat yang tidak tertulis tapi hingga saat ini masih tetap ditaati ketat oleh komunitasnya. Menurut seorang antropolog, Evans-Pritchard, bahwa antropologi sosial memang fokusnya ke masyarakat primitif, dan tentunya Suku Baduy sangat konteks untuk dijadikan contoh riset maupun study kasus, karena sampai saat ini Suku Baduy (khususnya Baduy Dalam) masih membatasi pengaruh dari luar demi menjaga kemurnian budaya. Bahkan, hingga saat ini mereka tidak mau pakai listrik, tidak mau menggunakan transportasi modern dan lain sebagainya. Hal itu menunjukan bagaimana fungsi adat masih tetap bisa menjaga stabilitas dan identitas komunitas mereka.

Suku Baduy terbagi jadi dua yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam benar-benar tertutup, aturan super ketat. Sedangkan Baduy Luar sudah mulai membuka diri untuk interaksi dengan masyarakat luar, walaupun tetap menjaga nilai-nilai budaya mereka. Nah, dari sini bisa dilihat relevansi teori fungsionalisme. Sedangkan teori fungsionalisme menjelaskan soal elemen budaya, yang memang punya peran penting agat masyarakat tetap stabil. Sementsra larangan bawa motor atau pakai HP di Baduy (khususnya Baduy Dalam) merupakan bagian untuk menjaga nilai kesederhanaan dan harmoni dengan alam. Sedangkan Baduy Luar jadi bukti adaptasi budaya, meskipun berubah pelan-pelan, namun akar adatnya masih tetap terjaga. Oleh karena itu, meriset Suku Baduy ini sangat konteks, terutama bagi para mahasiswa, para peneliti maupun para antropologi, yakni untuk menguji sejauhmana ketepatan teori dengan realitas yang terjadi di lapangan, dan seyogyanya antara teori dengan praktek di lapangan itu untuk saling melengkapi.

Sedangkan konsep relativisme budaya, hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Franz Boas, bahwa kebudayaan harus dipahami dari sudut pandang internal masyarakat itu sendiri, bukan dinilai dari kacamata orang luar. Dan itu sudah pasti akan terasa betul, ketika sang antropolog maupun para peneliti mereka turun langsung ke lingkungan Suku Baduy. Dan sudah pasti juga banyak orang luar yang melihat hidup mereka (suku Baduy itu) tradisional, ‘kuno’ atau ‘tertinggal’ dan lain sebagainya. Padahal bagi orang Baduy, justru itu cara mereka untuk tetap bisa menjaga harmoni hidup, antara dirinya dengan alam.

II. Latar Belakang Sejarah Ilmu Antropologi

Sejarah antropologi diawali dari kegiatan pencatatan dan laporan perjalanan orang Eropa, dan termasuk bangsa Belanda tentang suku bangsa di luar Eropa sejak abad ke-15 M, yang berkembang menjadi studi etnografi pada abad ke-18 M, sebagai bagian dari studi alam dan kolonialisme. Pada abad ke-19 M, antropologi menjadi ilmu akademis dengan munculnya konsep evolusi, kemudian berkembang menjadi studi multidisiplin yang pluralistik pada abad ke-20 M, termasuk di Indonesia melalui studi tokoh ilmuan antropolog (alm) Dr. Koentjaraningrat.

Sedangkan fase awal (sebelum 1800), yaitu fase penemuan dan pencatatan. Saat itu dimulai dengan eksplorasi dan penjelajahan bangsa Eropa, seperti para musafir, pedagang, dan misionaris yang mencatat tentang adat istiadat, fisik, dan budaya masyarakat di luar bangsa Eropa. Lebih dari itu, secara embriotik, keberadaan ilmu antropologi juga memang ada pengaruhnya dari proses kolonialisme, terutama pada abad ke-17 M hingga ke-19 M, yang saat itu proses pengetahuan tentang masyarakat non-Eropa dikumpulkan oleh pemerintah kolonial, dan studi etnografi saat itu terus berkembang, yakni seiring dengan upaya mereka (para kolonial) untuk memahami dan menguasai wilayah jajahannya masing masing.

Sedangkan fase perkembangan (abad ke-19 M), maka antropologi menjadi ilmu akademis, dalam arti ilmu antropologi mulai terbentuk sebagai disiplin akademis, hal itu dipicu oleh peristiwa revolusi intelektual yang membuka diskusi tentang asal-usul manusia. Sedangkan konsep evolusi yang muncul pada sekitar tahun 1840-an, menjadi titik awal penting bagi antropologi, dengan pemikiran bahwa masyarakat melewati tahapan evolusi dari “primitif” menuju “maju”. Sedangkan studi perbandingannya, akhirnya para antropolog di abad ke-19 M mengklasifikasikan ras-ras manusia, mempelajari anatomi perbandingan, serta meneliti bahasa, budaya, dan ekonomi masyarakat kuno dan primitif sebagai “jendela” ke masa lalu manusia.

Sedangkan fase modern (abad ke-20 hingga saat ini). Tapi, di era modern ini antropolog terus terjadi pergeseran ke suatu pandangan pluralistik. Yakni, antropolog mulai beralih dari pandangan evolusi tunggal menuju pandangan yang lebih pluralistik, yaitu mengakui keragaman dan keunikan setiap budaya bangsa di dinia ini. Bahkan munculnya faham relativisme budaya di abad modern ini, yang menyatakan bahwa setiap budaya merupakan perkembangan asli yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan geografisnya. Sementara antropologi di Indonesia, proses perkembangannya, yaitu dimulai dari masa kolonial melalui studi etnologi. Namun, setelah kemerdekaan, (alm) Dr. Koentjaraningrat, akhirnya ia menjadi pelopor pendirian jurusan antropologi di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1957 dan kemudian dikenal sebagai Bapak Antropologi Indonesia.

A. Antropolog Dari Belanda Melakukan Penelitian di Masyarakat Suku Baduy

Orang Belanda pertama yang melakukan penelitian mengenai Suku Baduy bernama J.P.B. de Josselin de Jong, yaitu seorang antropolog Belanda yang melakukan riset di wilayah Baduy pada tahun 1910, kemudian menerbitkan hasil risetnya menjadi sebuah buku berjudul “The Adat Law of The Badut”. Sedangkan fokus riset yang dilakukan oleh De Josselin de Jong, yaitu pada kajian dan penelitian tentang hukum bagi adat masyarakat Baduy, yaitu sistem aturan dan kebiasaan yang mengatur kehidupan masyarakat Baduy.

Bahkan, hasil penelitian dari sang antropolog Belanda itu sangat signifikan, karena telah memberikan wawasan penting tentang tatanan sosial dan hukum masyarakat adat Baduy pada saat itu, yang masih sangat relevan hingga saat ini. Lebih dari itu, hasil penelitian dari J.P.B. de Josselin de Jong itu sangat penting, sekalipun ada juga para peneliti lainnya dari Eropa seperti Nina Epton yang juga telah menunjukkan ketertarikannya terhadap masyarakat Suku Baduy. Namun, J.P.B. de Josselin de Jong adalah sosok akademis pertama yang melakukan riset mendalam secara langsung di lapangan. Bahkan, hasil penelitiannya merupakan salah satu studi antropologi tertua yang tercatat mengenai Suku Baduy, dan telah memberikan dasar bagi studi-studi selanjutnya, yakni yang dilakukan oleh para peneliti berikutnya, baik dari Indonesia sendiri maupun para peneliti yang datang dari luar atau orang-orang asing.

B. Ahli Hukum Dari Belanda Meneliti Sistim Hukum Adat Yang Ada di Internal Suku Baduy

Belum ada catatan pasti mengenai orang Belanda pertama, terutama dibidang kajian hukum adat yang meriset Suku Baduy secara spesifik, namun seorang tokoh Belanda bernama Prof. Dr. Cornelis van Vollenhoven, ia tercatat sebagai salah satu ahli hukum adat dari Belanda yang mempelajari masyarakat Baduy dan menerbitkan beberapa tulisannya mengenai sistem adat Suku Baduy. Prof. Dr. Cornelis van Vollenhoven, ia adalah ahli hukum adat Belanda yang melakukan penelitian terhadap Suku Baduy dan menghasilkan karya-karyanya terkait sistem adat Baduy. Sementara karya-karya Van Vollenhoven menjadi salah satu referensi penting dalam studi mengenai masyarakat adat Baduy, meskipun ada kemungkinan penelitian lain dari orang Belanda yang belum terekam dengan jelas. Sedangkan fokus penelitian dari van Vollenhoven, yaitu lebih menekankan pada aspek hukum dan tatanan masyarakat adat yang mengatur kehidupan Suku Baduy, yang dikenal dengan penerapan adat istiadat dan pelestarian lingkungan yang kuat.

IV. Buku Badujs en Moslims, Karya Cornelis Geise, Potret Hidup Berdampingan Masyarakat Baduy Dan Muslim

Buku berjudul “Badujs en Moslims”, ditulis oleh Johannes Cornelis Geise, yaitu hasil penelitiannta (riset) dan sekaligus ia pernah tinggal selama 2,5 tahun di Kampung adat Baduy, Banten, yaitu pada tahun 1940-an. Nicolaas Johannes Cornelis Geise, seorang misionaris sekaligus antropolog Belanda yang pernah tinggal di Kampung adat Baduy, ia meneliti masyarakat Baduy dan jatuh cinta pada alam dan budaya Baduy. Dari situ Cornelis Geise melihat bahwa sudah sejak lama masyarakat Baduy dan agama Islam hidup berdampingan secara damai. Bahkan, hasil penelitian Cornelis Geise, bisa menjadi pelajaran penting bagi perjalanan bangsa kita yang beragam suku dan agama ini. Cornelis Geise memang seorang misionaris, namun di saat mendekati (meneliti) masyarakat asli Sunda (Suku Baduy) ia melepaskan baju keagamaannya dan segera mendekati masyarakat asli Suku Baduy dengan baju keilmuan antropologinya. Pendekatan itu membantunya memahami suatu sistem kepercayaan orang atau masyarakat lain yang berbeda.

Dari hasil penelitiannya, akhirnya ia membuat disertasi (di tahun 1951), namun baru 71 tahun kemudian hasil buah tangannya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbikan menjadi sebuah buku berjudul : “Badujs en Moslims: Kajian Etnografis Masyarakat Adat di Lebak Parahiang Banten Selatan”. Bahkan, buku yang bertemakan Suku Baduy dan Muslim itu, hingga saat ini telah dilakukan acara bedah buku, dan sekaligus dalam rangka rangkaian acara Dies Natalis yang ke-67 Universitas Katolik Parahyangan (Unpar-Bandung), yaitu pada hari Selasa (15/02/2022). “Kehadiran karya dari Mgr. Cornelis Geise ini, yang lebih substantif untuk kita katakan adalah sebuah keniscayaan. Salah satu karya itu adalah hasil penelitian dari seorang yang asli orang Belanda. Sekalipun panjang sejarah banyak tahun yang sudah dilalui oleh sang peneliti dari Belanda itu, tetapi toh kita juga bisa mengatakan, inilah sebuah keniscayaan,” tutur Rektor Unpar Mangadar Situmorang, dalam sambutannya diacara bedah buku tersebut. Sementara penerbit buku hasil karya dari Cornelis Geise adalah pihak penerbit Kompas, yang saat acara bedah buku dari pihak Kompas hadir, yakni diwakili oleh Haryo Damardono. Kompas merasa terhormat, karena diberi kepercayaan untuk menerbitkan karya dari Cornelis Geise. “Ini karya yang luar biasa dari Mgr. Cornelis Geise, hasil penelitiannya selama dua setengah tahun (1939-1941), di Lebak Parahiang, Banten Selatan. Sebagaimana karya jurnalistik, karya ini juga merupakan hasil kerja lapangan yang luar biasa,” ucap Haryo Damardono di acara bedah buku itu. (Kompas, 15 Februari 2022).

A. Baduy Dan Nicolaas Johannes Cornelis Geise

Nicolaas Johannes Cornelis Geise, selama 2,5 tahun berada di sekitar wilayah Baduy, akhirnya ia fasih juga berbahasa Sunda. Ia lair di Belanda tahun 1907 dan meninggal tahun 1995 di Heerlen, Belanda. Sedangkan pada tahun 1939-1941, ia melakukan penelitian masyarakat Suku Baduy dan komunitas muslim di wilayah Banten bagian Selatan. Dengan berbekal penguasaan bahasa Sunda, Cornelis Geise dapat melakukan penelitian itu tanpa halangan komunikasi. Hal itu dinilai oleh Ira Indrawardana, yaitu salah seorang narasumber diacara bedah buku, bahwa penguasaan bahasa merupakan kunci Cornelis Geise dalam meneliti komunitas masyarakat Suku Baduy. Dan itu dapat dilihat dari hasil penelitiannya yang dapat menggambarkan permasalahan dengan amat teliti. Dengan kata lain, proses penguasaan bahasa menjadi poin penting bagi para peneliti dan para antropolog dalam melakukan penelitian. Cornelus Geise pada akhirnya menjadi sesosok yang patut untuk dicontoh. ”Ini pelajaran penting bagi para antropolog. Karena, saat tidak bisa bahasa lokal, maka seringkali para peneliti mengalami kendala riset.,” ungkap Ira, Dosen Departemen Antropologi Universitas Padjadjaran. (Kompas, 15 Februari 2022).

Hasil penelitian tentang keberadaan Suku Baduy, akhirnya menjadi disertasi Cornelis Geise, yakni untuk mendapatkan gelar doktor dibidang Antropolog pada tahun 1951 di Belanda. Sementara nara sumber lainnya yang hadir diacara bedah buku karya Cornelis Geise, yaitu Semiarto Aji Purwanto (Guru Besar Antropologi dan Dekan FISIP Universitas Indonesia), ia mengatakan tantangan yang paling besar dalam kegiata riset atau melakukan penelitian adalah soal mengenai suatu agama atau kepercayaan di suatu masyarakat tradisional khususnya di Suku Baduy adalah upaya untuk menggambarkan sistem keyakinan atau sistem kepercayaan yang masih dilindungi oleh tabu-tabu (larangan). Namun, sang peneliti dari Belanda, yakni Mgr. Cornelis Geise, ia bisa masuk kedalamnya. “Saya tidak tahu bagaimana caranya Mgr. Cornelis Geise itu bisa masuk ke Suku Baduy dalam, tapi saya menduga, mungkin beliau menjalin rapport. Nah ini satu konsep yang penting dalam metode grafologi. Sedangkan rapport, adalah hubungan baik dengan informan adalah salah satu kuncinya,” tutur Aji Purwanto diacara bedah buku itu (Kompas, 15 Februari 2022).

B. Badujs en Moslims

Buku karya Cornelus Geis, hasil penelitiannya terhadap Suku Baduy, merupakan terjemahan dari sebuah Disertasi Nicolaas Johannes Cornelis Geise, yang aslinya ditulis dalam bahasa Belanda. Dalam buku tersebut, Cornelis Geise menelaah dengan rinci soal kebudayaan di sekitar hubungan antara komunitas Suku Baduy dan komunitas Muslim di wilayah Banten bagian Selatan. Ia menelaah, dan sekaligus melakukan pemilahan antara wilayah Kajeroan (dalam) dan Panamping (luar) beserta rincian pranatanya, perbedaan keyakinan keagamaan di antara penerus tradisi pra-Islam dan komunitas Muslim, bentuk-bentuk upacaranya, kisah-kisah menyangkut asal-usul dan keadaan lingkungan adat, terutama dalam kaitannya dengan budidaya padi di huma.

Lebih dari itu, riset lapangannya berlangsung selama dua tahun, yakni dari tahun 1939 hingga tahun 1941. Selama meneliti, Cornelis Geise, ia tinggal di Cipeureu, salah satu wilayah Panamping di lokasi penelitian, dan sepenuhnya mengandalkan bahasa Sunda, tanpa penerjemah. Dengan sangat teliti, Cornelis Geise memaparkan seluk-beluk persamaan dan perbedaan masyarakat Baduy dan Islam yang hidup di wilayah Banten bagian Selatan. Dengan hasil penelitian dari Cornelis Geise, kita diundang untuk melepaskan berbagai asumsi terhadap kedua kelompok tersebut hingga kita memiliki hati untuk menghargai mereka (menghargai keberadan Suku Baduy dan umat Islam yang ada di wilayah Banten bagian Selatan), yaitu apa adanya dan belajar dari kebijaksanaan hidup Suku Baduy yang hingga saat ini masih unik dan otentik.

C. Keberagaman Dan Nama Parahyangan

Universitas Parahiyang Bandung (Unpar) merupakan kampus yang menyandang nama yang berasal dari istilah Sunda, yakni parahyangan, lengkapnya, Universitas Katolik Parahyangan. Mengapa nama tersebut disandang Unpar, menurut Bambang Q-Anees, buku karya Cornelis Geise, pada faktanya telah memberikan jawaban. Menuruf Bambang yang juga Dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung itu, ia menuturkan. Bahwa ia pernah menamatkan SMA di Serang, Banten. Semasa sekolah di wilayah Serang-Banten itu, ia kerapkali melewati Sekolah Mardi Juana yang rupanya didirikan oleh Cornelis Geise. Belakangan ini ia barubmenyimpulkan bahwa pendirian dari Sekolah Mardi Juana di Serang itu adalah Cornelis Geise, dan sekaligus sebagai salah satu bentuk kecintaan Cornelus Geise pada masyarakat Sunda, khususnya Baduy. Karena, melalui buku yang ditulisnya, Cornelis Geise mengungkapkan tentang rasa kedalaman cintanya itu terhadap Suku Baduy. Kecintaan itu akhirnya mengilhami Cornelis Geise dalam upaya pemberian nama bagi Universitas yang kelak ia dirikan di Bandung, yaitu Universitas Parahyang Bandung. “Setelah membaca buku karya dari Cornelis Geise, saya jadi tahu persis, mengapa Universitas Katolik memilih nama Parahyangan,” kata Bambang. (Kompas, 15/2/2022). Lebih dari itu, Bambang kemudian mencoba merekonstruksi masa-masa sang peneliti Suku Baduy itu, yakni Cornelis Geise, ketika ia tinggal dengan masyarakat Baduy, ternyata ia tertarik dengan kebudayaannya, nyaman dengan lingkungan dan alamnya, sehingga mengilhaminya untuk membangun Universitas dengan nama Universitas Parahyangan.

Sedangkan Parahyangan sendiri merupakan istilah paling sakral bagi masyarakat Suku Baduy. “Cornelis Geise, ia telah menunjukkan rasa hormat, cinta, kagum yang dalam kepada masyarakat Baduy, maka didirikanlah Universitas Parahyangan,” kata Bambang dan sekaligus Dosen Fakultas Ushuludin UIN SGD Bandung. (Kompas, 15/2/2022). Lebih dari itu, menurut Bambang, dan kemudian ia membacakan sepenggal halaman terakhir dari buku hasil karya dari Cornelis Geise yang mengungkapkan kecintaan dan rasa hormatnya pada masyarakat Baduy: “Penulis bertemu dengan orang-orang yang hidup dengan kesederhanaan, serba kekurangan, namun dengan budaya internal yang kaya luar biasa, yang mengejawantah dalam kebaikan, ringan tangan, dan persahabatan,” (halaman 263 di buku karya Cornelis Geise). Menurut pendapat Bambang, pemberian nama Universitas Katolik Parahyangan maupun melalui isi buku karya Cornelus Geuse secara umum, ternyata Cornelis Geise juga mengajak kepada generasi saat ini untuk mengikuti langkahnya dalam menghormati istilah Parahyangan maupun masyarkaat adat Suku Baduy, bagaimana mereka menghormati dan memperlakukan alam, menghormati kebersamaan dengan yang lain, dan seterusnya. Sedangkan istilah Parahyangan diharapkan menjadi spirit dalam pengembangan Unpar ke depan. Tutur Bambang diacara bedah buku itu.

“Saya kira pada acara ulang tahun Unpar yang ke-67 ini bisa menjadi bahan renungan,” kata Bambang. Sedangkan bahan renungan lainnya, menurut Bambang dan sekaligus sebagai tokoh dibidang sosial keagamaan, ia mengajak umat Islam untuk menjunjung tinggi keberagaman Indonesia, termasuk menghormati keberadaan berbagai masyarakat adat. “Yang menarik pada buku karya Cornelis Geisa, yang sekaligus mengungkap soal Suku Baduy dan Muslim ini, hal itu sebagai kesaksian bahwa Baduy dan Muslim di Banten bagian selatan, bisa hidup bersama, tidak bertengkar dan lain sebagainya,” tutur Bambang. “Catatan Cornelis Geise dari tahun 1940-an, ia menjadi cermin bagi masyarakat Islam Jawa Barat dan Banten pada khususnya, untuk belajar berdampingan dengan masyarakat adat,” kata Bambang. (Kompas, 15 Februari 2022).

D. Menilik Relasi Masyarakat Baduy Dan Agama Dalam Sudut Pandang Cornelis Geise

Saat acara bedah buku karya Cornelis Geise di Universitas Parahiayang Bandung, yakni sebagaimana telah dikemukakan diatas. Bahwa buku karya asli orang Belanda itu, yang nota bene terfokus pada “Kajian Etnografis Masyarakat Adat di Lebak Parahiangan Banten Selatan”, memang banyak mendapatkan apresiatif. Sementara acara bedah buku tersebut diselenggarakan oleh Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) pada (15/2/2022) di Fakultas Filsafat. Acara bedah buku karya Mgr. Cornelus Geise yang merupakan salah satu pendiri UNPAR itu, menghadirkan Prof. Drs. Jakob Soemardjo selaku Guru Besar Emiritus Institut Seni dan Budaya Indonesia, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto selaku Guru Besar Antropologi dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Bambang Q. Anees, Dosen Fakultas Ushuludin UIN Bandung, Dr. Hawe Setiawan sebagai Budayawan Sundanologi, dan Dosen Universitas Pasundan, yaitu Dr. Tristam Pascal Moeljono selaku Dosen Fakultas Hukum UNPAR, Ira Indrawardana, S.Sos., M.Si selaku Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad). Sementara Ira Indrawardana mengatakan, bahwa Mgr. Cornelis Geise melihat relasi keagamaan masyarakat Baduy dengan Muslim Banten bagian selatan, ternyata sudah terbentuk rasa saling pengertian dan bela rasa sejak lama dengan tetap masing-masing mempertahankan perbedaan mendasar. “Dalam tulisannya pun Cornelis Geise menegaskan bahwa ada perbedaan, tetapi lama-lama perbedaan itu menjadi sumir, dan lama-kelamaan malah tertutup.

Disini Cornelis Geise menemukan beberapa perbedaan mendasar yang di dalam buku karya Cornelis Geis itu dikatakan lebih ke artificial (sarung, arsitektur, dan aturan memakai ikat kepala),” kata Ira Indrawarda. Lebih dari itu, menurutnya, terdapat perbedaan yang mendasar dalam konteks kewilayahan dan juga hukum-hukum atau norma-norma yang membangun di kawasan Baduy. Dimana dalam buku tersebut, Mgr. Cornelis Geise mengatakan Baduy sebagai kawasan larangan atau buyut yang disakralkan sehingga berada di kawasan yang dikenal dengan kemandalaan. “Mereka itu adalah orang-orang yang terbuka, ramah, ceria, tenang, lugas, jujur, tegas dan patuh terhadap larangan adat bagi masyarakat Kanekes atau Baduy,” kata Ira Indrawardana. Lebih dari itu, Ira Indrawardana mengatakan, kehidupan keislaman warga muslim sekitar Baduy adalah gambaran keislaman kultur sunda yang berakulturasi dengan budaya setempat namun tetap menjaga relasi-relasi harmoni antar sesama.

Sementara itu, Prof. Semiarto mengatakan, tantangan yang paling besar dalam riset mengenai suatu agama atau kepercayaan di suatu masyarakat tradisional khususnya bagi Suku Baduy adalah menggambarkan sistem keyakinan atau sistem kepercayaan yang masih dilindungi oleh tabu-tabu (larangan adat). Namun, Mgr. Cornelis Geise, ia bisa masuk kedalam Suku Baduy dalam.
“Saya tidak tahu bagaimana caranya Mgr. Cornelis Geise, ia kemudian bisa masuk ke sana, tapi saya menduga, bagaimana beliau menjalin rapport. Nah ini satu konsep yang penting dalam metode grafologi. Rapport, hubungan baik dengan informan adalah salah satu kuncinya,” tutur Prof. Semiarto. (Kompas, 15 Februati 2022).

V. Antropolog Dari Inggeris Meneliti Suku Baduy

Pada sub judul diatas telah dikemukakan soal para antropolig yang pernah melakukan riset atau penelitian di internal Suku Baduy. Namun, pada sub judul bagian ini, penulis mencoba untuk mengungkapkan soal petualangan dari seorang pelancong dari negara Inggris, yakni untuk mencari dan meneliti Suku Baduy. Sang pelancong dan peneliti dari Inggeris itu bernama Nina Epton. Ia tertarik tentang keberadaan Suku Baduy, yaitu setelah membaca kisah “orang-orang tak terlihat” itu di dalam buku berjudul “The History of Java”. Buku tersebut merupakan hasil karya dari Thomas Stamford Raffles”. Sedangkan Thomas Stamford Raffkes, merupakan mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sedangkan perjalanan pertama Nina Epton mengunjungi sejumlah wilayah di Indonesia pada tahun 1950-an, saat itu menjadi pengalaman yang berkesan bagi Nina Consuelo Epton. Ia lahir pada tahun 1913 dan meninggal dunia pada tahun 2010. Tak heran bila tiga tahun setelah perjalanan pertamanya (di tahun 1950), wanita yang pernah bekerja sebagai wartawan BBC London itu, ia kembali ke Indonesia untuk melakukan ekspedisi. Saat itu (tahun 1953) misi utamanya adalah untuk menemui Suku Baduy kembali yang ia sebut sebagai “the invisible people” atau “orang-orang tak terlihat”.

Bahkan di dalam buku hasil karya Nina Epton yang berjudul, “Magic and Mystic of Java”. Di dalam buku itu, Nina Epton berkisah tentang awal mula perkenalannya dengan Suku Baduy. Wanita kelahiran Hampstead, London tahun 1913 itu mulai tertarik dengan suku yang mendiami wilayah Banten bagian selatan itu, yakni sejak ia membaca tentang Suku Baduy di dalam buku berjudul “The History of Java”, karya dari Thomas Stamford Raffles itu. Dengan kata lain, bahwa buku karya dari Sir Thomas Stamford Raffles itu, yang nota bene ia merupakan mantan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, atau mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang terkenal dengan adanya program kerja paksa, yakni saat pembangunan jalan dari Jalan raya Anyer sampai ke Penarukan Jawa-Timur. Bahkan, Thomad Stamford Raffles, ia sempat menulis buku sebagaimana judul diatas, yakni yang berkaitan dengan keberadaan Suku Baduy. Dan buku tersebut, terntata dibaca secara detail oleh Nina Epton, dan akhirnya ia semakin tertarik untuk meneliti tentang keberadaan Suku Baduy. Menurut pemahaman awal dari Nina Epton, bahwa Suku Baduy yang tinggal di pedalaman Banten merupakan keturunan dari orang-orang yang lari ke dalam hutan setelah runtuhnya bagian Barat kota Pajajaran pada abad ke 15 M.

Namun sejarah dari keberadaan Gubernur Jenderan Hindia Belanda, yakni Thomas Stamford Raffles, ia tidak sempat bertemu orang-orang Baduy selama masa tugasnya di Hindia Belanda, namun Raffles sempat menulis buku, dan sekaligus memiliki ketertarikan dan rasa ingin tahu yang besar terhadap keberadaan Suku Baduy tersebut. Oleh karena itu, ia mengumpulkan informasi mengenai Suku Baduy dan menuliskannya ke dalam salah satu bagian bukunya. Dan akhirnya, setelah membaca buku hasil karya Raffles, Nina Epton, ia semakin penasaran akan keberadaan Suku Baduy. Ia khawatir setelah ratusan tahun sejak buku berjudul “The History of Java” itu dipublikasikan, malah suku Baduy tak lagi dapat ditemukan. “Saya takut bahwa Baduy telah punah atau terserap ke dalam kehidupan perkotaan, tetapi seorang etnografer Belanda yang saya kirimi surat dari Inggris meyakinkan saya bahwa mereka masih hidup di dalam hutan mereka,” tulis Nina Epton di dalam buku hasil karyanya.

Berangkat dari rasa keingintahuan, akhirnya Nina Epton terus menyusun rencana untuk kembali ke Indonesia, untuk mencari dan meneliti Suku Baduy. Sadar tak mungkin langsung pergi ke Banten, ia pun menjalin kontak dengan keluarga Djajadiningrat di Jakarta, yaitu Hoesein Djajadiningrat dan Hilman Djajadiningrat.Tak hanya dikenal sebagai keluarga terpandang dari Banten, tapi keluarga Djajadiningrat memiliki kaitan erat dengan Suku Baduy. Sedangkan kisah perjalanan keluarga besar Djajadiningrat, hal itu sebagaimana diceritakan secara detail oleh Nina Epton di dalam buku hasil karyanya. Menurut Nina Epton, pada pertengahan abad ketujuh belas, seorang anak laki-laki Baduy, putra seorang pemimpin yang sangat dihormati, yang bosan dengan kehidupan hutan dan aturan ketat yang diberlakukan pada semua anggota suku, memiliki keberanian untuk melarikan diri ke kota. Rincian pelariannya tidak tercatat, namun akhirnya ia sampai di Istana Sultan Banten, yang berkenalan dengan anak itu dan memberinya pekerjaan sebagai penjaga kuda di Istana.

“Tak lama kemudian, ia dipromosikan menjadi pengawal pribadi Sultan, dan menjadi penasihat penguasa yang dipercaya, karena ia diberkahi dengan kebijaksanaan alami yang luar biasa. Akhirnya, ia masuk ke dalam lingkaran Istana Kesultanan Banten dan diizinkan untuk menikahi salah satu putri Sultan. Sedangkan bangsawan Djajadiningrat dari Jakarta adalah keturunan dari orang Baduy yang sangat sukses,” tutur Nina Epton di dalam bukunya.

Cerita berbeda dikisahkan Raden Adipati Aria Achmad Djajadiningrat, Bupati Batavia (1924–1929) dan anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Ia menceritakan, sekitar masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, seorang “Pu’un” Cibeo memiliki seorang putra bernama Raden Wirasoeta, yang tak suka hidup dalam masyarakat Baduy karena merasa terlalu sempit baginya. Wirasoeta memohon izin kepada sang ayahnya untuk mengabdi kepada Sultan Banten. Setelah ayahnya mengizinkan, Wirasoeta pergi menuju ke Keraton Sultan Banten. Ia diterima menjadi hamba di Keraton, mula-mula sebagai abdi, namu dalam waktu singkat akhirnya menjadi prajurit. Wirasoeta yang ahli dalam peperangan lalu diangkat menjadi pangeran, bahkan Sultan menikahkannya dengan salah seorang putrinya.

“Pangeran Wirasoeta kemudian diangkat menjadi patih dari Kesultanan. Pada tahun 1663, ketika mehentikan suatu pemberontakan di Lampung, ia terluka pada tangannya. Luka inilah yang menjadi penyebab mautnya. Karena itu, setelah wafatnya, ia terkenal dengan nama Pangeran Astapati (asta=tangan, pati=mati). Sementara dari garis keturunan Pangeran Wirasoeta inilah saya berasal,” kata Achmad Djajadiningrat, hal itu sebagaimana diceritakan juga di dalam buku “Memoar Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat”.

Ketika bertemu dengan Hoesein Djajadiningrat, Nina Epton mengungkapkan keinginannya yang kuat untuk menemui orang-orang Baduy. Namun, Hoesein Djajadiningrat meragukan ekspedisi Nina Epton akan berhasil karena tidak ada perempuan yang pernah melakukannya sebelumnya, dan beberapa laki-laki seorang antropolog dari Belanda dan seorang dokter dari Belanda juga yang telah melakukan perjalanan menuju Baduy Dalam beberapa tahun yang lalu, tapi tidak pernah berhasil menemukan “orang-orang tak terlihat” itu atau orang-orang Baduy Dalam itu, karena mereka selalu berada di pedalaman.“Mereka bertemu dan bercakap-cakap dengan orang-orang Baduy di wilayah luar saja, tetapi tidak pernah dengan orang-orang Baduy Dalam yang sangat tertutup dan tidak mau berkomunikasi dengan dunia luar,” tulis Nina Epton di dalam bukunya. Meski begitu, dari Hoesein Djajadiningrat, Nina Epton mendapat informasi bahwa Suku Baduy dibedakan menjadi dua kelompok, yakni Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Suku Baduy Dalam mengenakan pakaian putih dan mengikuti aturan perilaku yang ketat dan tidak pernah meninggalkan hutan mereka. Sementara Suku Baduy Luar, yang tinggal di pinggiran wilayah Baduy, mereka mengenakan pakaian berwarna gelap biru maupun hitam dan hidup dalam peraturan yang tidak terlalu ketat. Mereka tak jarang melakukan barter atas nama “orang-orang tak terlihat” atau orang Baduy Dalam di wilayah pedalaman, dan sering pula bertindak sebagai petugas hubungan eksternal mereka.

Namun, tak patah arang, Nina Epton terus bertanya ke Hoesein Djajadiningrat, bagaimana caranya untuk bisa menuju wilayah hutan “orang-orang tak terlihat” itu di Banten Selatan. Hoesein Djajadiningrat, yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang meraih gelar Doktor dan Profesor pertama di Indonesia, mengatakan kepada Nina Epton bahwa ia bisa menggunakan kendaraan bermotor namun hingga di wilayah tertentu, setelah itu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati hutan.“Setibanya di batas wilayah Baduy, perjalanan anda hampir pasti akan dihentikan dan tidak diizinkan untuk melangkah lebih jauh,” kata Hoesein. “Apa yang akan terjadi jika saya memaksa? Apakah mereka akan menembak saya, atau melempar anak panah beracun ke arah saya?” tanya Nina Epton. Hoesein Djajadiningrat tersenyum lebar. “Ya ampun, tidak. Orang Baduy tidak akan pernah melakukan hal seperti itu. Mereka cinta damai. Mereka juga tidak memiliki senjata apapun,” katanya. Tak berselang lama Hoesein Djajadiningrat menunduk dan senyumnya lenyap dari wajahnya. Ia mengatakan, kecelakaan-kecelakaan misterius telah terjadi pada lebih dari satu orang Belanda yang melakukan upaya serupa (mencari orang-orang Baduy Dalam). “Tapi bolehkah saya bertanya kepada anda, apa gunanya menerobos masuk? Anda tidak akan menemukan siapa-siapa. Orang Baduy Dalam akan melebur ke dalam hutan mereka. Jangan lupa bahwa mereka disebut sebagai ‘orang-orang tak terlihat’. Mereka tidak akan bisa dibedakan dengan dedaunan dan tanaman merambat di wilayah mereka. Mereka mengenal hutan mereka, sementara anda tidak. Anda akan berada dalam posisi yang tidak berdaya,” kata Hoesein. Nina Epton mengangguk. Ia menyadari betul kebenaran perkataan Hoesein. “Meski begitu saya masih ingin mencoba melihat mereka,” kata Nina Epton. “Kamu adalah perempuan yang gigih,” kata Hoesein. Ia kemudian bertanya kepada Epton dari mana ia mengetahui tentang Suku Baduy Dalam. Setelah mengamati jawaban Nina Epton, Hoesein berdiri lalu berjalan perlahan ke arah jendela yang terbuka dan melihat ke arah pohon-pohon magnolia di kebunnya.

“Betapa mengherankan,” seru Hoesein Djajadiningrat setelah terdiam sejenak, “bahwa sudah hampir seratus lima puluh tahun sejak Raffles menulis buku berjudul “The History of Java”, untuk imajinasi seorang Inggris dan kini seorang wanita Inggris datang kepada saya karena tertarik pada suku leluhur saya yang terasing, yakni Suku Baduy”, tutur Hoesein Djajadiningrat. Sementara menurut Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat, antara tahun 1910 dan 1940. Nationaal Museum van Wereldculturen juga telah mengabarkan tentang keberadaan Suku Baduy Dalam itu.

Hoesein Djajadiningrat kemudian melanjutkan kata-katanya. “Saya kira kamu pasti sudah diberitahu bahwa kami (keluarga Djajadiningrat) tidak kehilangan kontak dengan orang-orang itu (orang Baduy). Mereka masih datang kepada kami untuk memberi penghormatan dan untuk melindungi kami di saat-saat bahaya. Ada banyak hal di hutan kami yang belum pernah ditulis dalam buku,” kata Hoesein sambil mengamati rak-rak buku di ruangan rumahnya. “Kalau begitu, katakan kepadaku bagaimana aku bisa bertemu dan berkomunikasi dengan mereka,” desak Nina Epton. “Saya khawatir mereka tak mau melakukannya. Orang Baduy Dalam sangat tertutup, bahkan terhadap orang Jawa. Dan apalagi kamu sebagai orang Barat, sudah pasti dicurigai dua kali lipat. Mereka takut terkontaminasi oleh sesuatu yang baru. Kehidupan mereka tetap mengacu ke masa lalu. Saya pernah di Eropa, dan telah melihat tempat-tempat di Eropa, rumah-rumah di Eropa, istana-istana di Eropa, dimana seseorang yang terkenal meninggal dan dimana setiap benda disimpan persis seperti saat kematiannya. Sementara orang Baduy memandang seluruh kehidupan dengan cara seperti itu. Aturan hidup mereka ditetapkan sekali dan untuk selamanya oleh leluhur yang mereka percaya suatu hari nanti akan kembali kepada mereka. Sementara itu, tidak ada yang boleh diganggu. Tidak ada unsur baru yang boleh ditambahkan ke dalam apa yang telah ditetapkan untuk mereka,” jawab Hoesein Djajadiningrat di hadapan Nina Epton.

Hoesein Djajadiningrat berhenti sejenak, tak lama kemudian ia mengucapkan sesuatu kepada Nina Epton. “Jika anda benar-benar telah memutuskan untuk melakukan ekspedisi ke pedalaman Banten,” katanya, “maka temuilah saudaraku bernama Hilman Djajadiningrat. Dia bisa memberikan semua jenis informasi praktis yang tidak saya miliki.” Hoesein kemudian mengangkat telepon dan melakukan percakapan singkat dalam bahasa Belanda dengan saudaranya. Setelah itu, Hoesein memberikan sebuah alamat kepada Nina Epton dan memanggil becak di luar gerbang rumahnya untuk mengantar Nina Epton ke alamat yang dituju. “Apakah saya benar-benar akan dibantu dalam ekspedisi ini? Atau saya hanya dipindah-pindah dari satu orang ke orang lain karena tidak ada yang berani mengatakan ‘tidak’ secara langsung kepada saya?” pikir Nina Consuelo Epton. Tapi akhirnya, Nina Epton, yakni dengan dianter oleh adik kadung dari Hosein Djajadiningrat, yaitu Hilman Djajadiningrat, pada akhirnya bisa ke berkunjung ke wilayah pedalaman Baduy dan bertemu dengan orang-orang Baduy Dalam, sambil terus melakukan riset (penelitian), dan akhirnya juga bisa menghasilkan sebuah karya (menulis buku) berjudul, “Magic and Mystic of Java”.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *