
(Membaca Pemikiran Dua Santri Nasional, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari)
Oleh: Endang Yusro
Pada judul catatan Hari Santri Nasional (HSN) terdapat dua verba (kata kerja) yang menjadi katalisator harapan kemerdekaan, yaitu menjadi bangsa yang beradab. Dua kata tersebut yakni mengawal dan menuju.
Dalam Kamus Oxford Language menjelaskan makna mengawal adalah menjaga (keselamatan dsb); mengiring untuk menjaga (keselamatan dsb).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengawal berasal dari kata dasar “kawal” yang berarti menjaga, seperti menjaga perbatasan, menjaga istana, dsb.
Sementara verba kedua “menuju” menurut sumber yang sama, Oxford Language menuju (toward) berarti pergi ke arah; mengarah (ke); pergi (ke) jurusan. Bisa juga berarti mengarah; mengabah.
Dengan demikian tema HSN kali ini mengajak kepada para santri untuk lebih cinta kepada NKRI dengan cara menjaga, mengawal, dan merawat menuju Nusantara yang maju, beradab.
Jika mesti menggabungkan konsep NU dan Muhammadiyah akan menjadi Nusantara Berkemajuan. Inilah maksud menuju Peradaban Dunia.
Lalu mengapa dua kata verba tersebut menjadi pijakan pada HSN kali ini? Jawaban sementara (hipotesis) adalah untuk menjawab isu-isu aktual yang terkesan mendiskreditkan pesantren akhir-akhir ini.
Padahal jika menengok sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan santri memainkan peran krusial dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Melalui partisipasi dalam persiapan kemerdekaan, seperti keterlibatan dalam BPUPKI, lebih signifikan lagi dalam perjuangan fisik melalui laskar-laskar seperti Hizbullah dan Sabilillah santri memiliki peranan penting.
Puncak kontribusi mereka adalah lahirnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang memobilisasi santri untuk melawan penjajah, yang kini diperingati sebagai Hari Santri Nasional.
Peran santri dalam kemerdekaan Indonesia, ditunjukkan oleh dua santri yang menjadi tokoh pergerakan perjuangan pra-kemerdekaan, yakni KH. Ahmad Dahlan dan KH. Wahid Hasyim.
Keduanya berkontribusi besar bagi kemerdekaan Indonesia melalui organisasi yang mereka dirikan, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
KH. Ahmad Dahlan memperjuangkan kemerdekaan melalui pembaruan pendidikan Islam dengan Muhammadiyah untuk melawan kebodohan dan kemiskinan.
Sedangkan KH. Hasyim Asy’ari membangkitkan semangat perjuangan secara fisik dengan mengeluarkan Resolusi Jihad dan mendirikan laskar perjuangan seperti Hizbullah dan Sabilillah untuk melawan penjajah.
Pemikiran kedua santri ini sudah tertanam di masa perjuangan. Pemikiran Ahmad Dahlan muda mengawali dengan pendidikan sebagai “jihad”.
Melalui pendirian Muhammadiyah (1912), Ahmad Dahlan mengajarkan bahwa perjuangan melawan penjajahan juga bisa melalui pencerahan ilmu pengetahuan.
Baginya dengan pendidikan berarti mencerdaskan umat, yaitu membebaskan umat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan, serta menjadikan Islam sebagai kekuatan moral untuk kemerdekaan bangsa.
Melalui pemikirannya lahirlah tokoh tokoh pergerakan nasional dan anggota BPUPKI/PPKI seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kahar Muzakkir.
Sementara Hasyim Asy’ari muda telah melahirkan resolusi jihad, yaitu pada tahun 1945 dengan mengeluarkan fatwa resolusi jihad yang menegaskan bahwa melawan penjajah adalah kewajiban agama.
Fatwa ini membangkitkan semangat rakyat, terutama di Surabaya, untuk melawan NICA (Belanda). Lalu kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 untuk memperkuat jaringan pesantren dan ulama agar tidak tercerabut (baca, terasing) dari tradisi Islam yang diyakini.
Melalui pemikirannya, NU menjadi salah satu pilar perjuangan kebangsaan. Kemudian membentuk Hizbullah dan Sabilillah sebagai laskar perjuangan.
Melihat kiprah dua tokoh ini menjadi pelajaran bagi kita, bahwa pemikiran seseorang, sebuah lembaga atau Ormas tidak statis namun dinamis, kondisional bergantung pada keinginan dan harapan.
Jika dalam organisasi visi – misi mengikuti perkembangan zaman. Hal tersebut bisa dipahami, jika pada saat perjuangan KH. Dahlan lebih luwes, yaitu dengan pemikiran pendidikan sebagai konsep jihad.
Sementara KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa resolusi jihad dengan menegaskan bahwa melawan penjajah adalah kewajiban agama.
Pemikiran dua santri tentang konsep jihad di masa perjuangan yang berbeda, penulis memahaminya Muhammadiyah dengan KH. Dahlan lebih luwes, sementara NU dengan KH. Hasyim Asy’ari lebih revolusioner (untuk tidak mengatakan radikal)
Namun berbeda di era reformasi ini, keadaan sepertinya berbalik. Muhammadiyah lebih memegang konsep amar ma’ruf nahi mungkar.
Bahkan ada yang mengatakan pahala nahi mungkar itu lebih tinggi daripada amar ma’ruf, karena membutuhkan perjuangan yang lebih.
Hal ini berbeda dengan kaum Nahdliyin sekarang yang lebih lentur, yaitu dengan mengambil konsep rahmatan lil ‘alamin.
Demikian catatan menyambut Hari Santri Nasional 2025.