Oleh:

Rohman, M.A.

(Sekretaris ICMI Banten dan Akademisi UIN SMH Banten)

Pemerintah tengah menggulirkan kebijakan baru yang menambah Coding dan Artificial Intelligence (AI) dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan ini tidak menghapus Kurikulum Merdeka, melainkan memperkaya isinya dengan keterampilan yang dianggap vital di era digital. Dalam rancangan tersebut, pembelajaran coding dimulai di kelas 5 SD/MI, kemudian berlanjut di kelas 7, 8, dan 9 SMP, serta di kelas 10 SMA. Namun, sebagaimana kebijakan pendidikan lainnya, ide baik tidak selalu berjalan mulus di lapangan. Penerapan pembelajaran coding dan AI menghadapi sejumlah tantangan mendasar yang perlu diantisipasi secara serius agar tidak sekadar menjadi jargon modernisasi pendidikan.

Pertama, persoalan sarana dan prasarana menjadi hambatan paling krusial.
Fakta menunjukkan bahwa masih banyak sekolah dasar dan menengah di Indonesia yang belum memiliki perangkat komputer memadai. Di sejumlah daerah, satu unit komputer digunakan secara bergantian oleh beberapa siswa, bahkan ada sekolah yang tidak memiliki perangkat sama sekali. Akses internet yang tidak stabil serta keterbatasan kuota juga menjadi kendala yang signifikan, terutama di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Dalam konteks seperti ini, gagasan mengajarkan coding dan AI menjadi sulit diwujudkan tanpa investasi besar-besaran pada infrastruktur digital. Jika sarana dasar seperti komputer dan jaringan belum merata, maka kebijakan ini hanya akan memperlebar kesenjangan antara sekolah di kota besar dan sekolah di pelosok.

Kedua, kesiapan sumber daya manusia—khususnya guru—masih jauh dari ideal.
Guru-guru di SD, SMP, dan SMA sebagian besar belum memiliki latar belakang teknologi informasi atau pengalaman mengajar coding dan AI. Di tingkat sekolah dasar, sebagian guru masih berkutat dengan pembelajaran literasi dan numerasi dasar. Menambahkan materi coding tanpa pelatihan dan dukungan profesional yang memadai berpotensi menimbulkan kebingungan dan beban kerja baru. Pemerintah perlu memastikan adanya pelatihan intensif bagi guru, baik melalui program in-service training maupun kolaborasi dengan perguruan tinggi dan lembaga teknologi. Guru harus dipersiapkan tidak hanya secara teknis, tetapi juga secara pedagogis—bagaimana mengajarkan logika komputasi dan pemikiran algoritmik secara menyenangkan dan kontekstual kepada anak usia sekolah dasar.

Ketiga, perdebatan tentang model pembelajarannya masih terbuka.
Ada tiga pendekatan yang mungkin diterapkan: (1) menjadikan Coding sebagai mata pelajaran tersendiri (Mata Kuliah Koding atau MK Koding), (2) mengintegrasikan Coding dan AI ke dalam mata pelajaran yang relevan seperti Matematika, Informatika, atau Prakarya, dan (3) menjadikannya sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Masing-masing model memiliki kelebihan dan kelemahan.

Jika coding dijadikan mata pelajaran tersendiri, kelebihannya adalah fokus dan kedalaman materi dapat dijaga. Namun, kelemahannya adalah beban jam pelajaran bertambah, sementara kurikulum sudah cukup padat. Jika coding diintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain, efisiensi waktu bisa tercapai, tetapi ada risiko materi tidak tersampaikan secara utuh karena hanya menjadi sisipan. Sementara itu, menjadikannya ekstrakurikuler dapat menumbuhkan minat dan kreativitas siswa, tetapi aksesnya terbatas hanya bagi mereka yang memiliki perangkat dan dukungan lingkungan belajar di luar jam sekolah.

Keempat, kesiapan kurikulum dan konten pembelajaran masih harus disusun dengan hati-hati.
Mengajarkan coding dan AI tidak bisa sekadar mengajarkan penggunaan aplikasi atau perintah komputer. Lebih penting dari itu, siswa perlu diajak memahami cara berpikir komputasional—yakni kemampuan memecahkan masalah secara sistematis dan logis. Untuk siswa SD, misalnya, pembelajaran dapat dimulai dari permainan algoritmik sederhana menggunakan media tanpa komputer (unplugged coding). Di tingkat SMP dan SMA, barulah siswa diperkenalkan pada bahasa pemrograman dasar seperti Scratch, Python, atau Blockly. Tanpa desain kurikulum yang bertahap dan kontekstual, pembelajaran ini akan terasa abstrak dan menakutkan bagi siswa.

Kelima, kebijakan ini perlu memperhatikan aspek kesetaraan digital.
Kesenjangan digital di Indonesia masih tinggi. Siswa di perkotaan dengan akses internet cepat dan perangkat pribadi akan jauh lebih mudah menguasai coding dibandingkan siswa di pedesaan yang bahkan kesulitan mengakses listrik stabil. Tanpa intervensi kebijakan yang berpihak, pembelajaran coding dan AI justru dapat memperlebar ketimpangan pendidikan antarwilayah.

Pada akhirnya, pembelajaran coding dan AI memang penting dan tak terhindarkan di era digital. Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, kompetensi guru, serta desain kurikulum yang realistis dan inklusif. Pemerintah tidak boleh terjebak pada euforia teknologi, tetapi harus memastikan bahwa setiap anak Indonesia—baik di kota maupun desa—mendapat kesempatan yang sama untuk memahami dunia digital secara kritis dan kreatif. Coding dan AI seharusnya tidak hanya menjadi simbol kemajuan, melainkan sarana pemberdayaan yang memperkuat literasi digital bangsa.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *