Ocit Abdurrosyid Siddiq
Pengamat Media dan Kebijakan Publik
Membaca tulisan saudara @Rohman al Bantani, sungguh sangat menarik. Penulis yang merupakan Sekretaris ICMI Orwil Banten, membuat sebuah tulisan tentang pentingnya pembelajaran artificial intelligence atau AI bagi siswa atau murid di sekolah. Bisa dibaca pada tautan ini :_ https://icmibanten.or.id/2025/10/31/problem-pembelajaran-coding-dan-ai-di-sekolah-dasar-dan-menengah/
Menurutnya, sayangnya -sebagaimana kebijakan pendidikan lainnya- ide baik tidak selalu berjalan mulus di lapangan. Penerapan pembelajaran AI -juga coding- menghadapi sejumlah tantangan mendasar yang perlu diantisipasi secara serius agar tidak sekadar menjadi jargon modernisasi pendidikan.
Misalnya persoalan sarana dan prasarana, kesiapan sumber daya, perdebatan tentang model pembelajarannya, kesiapan kurikulum dan konten pembelajaran yang mesti disusun secara hati-hati, serta kebijakan tersebut yang mesti memperhatikan aspek kesetaraan digital.
Secara umum, Penulis memandang penting pembelajaran AI di era digital ini. Disertai catatan bahwa kebijakan tersebut sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, kompetensi guru, serta desain kurikulum yang realistis dan inklusif.
Pada bagian akhir tulisan, Penulis menyarankan agar pemerintah tidak boleh terjebak pada euforia teknologi, tetapi harus memastikan bahwa setiap anak Indonesia -baik di kota maupun di desa- mendapat kesempatan yang sama untuk memahami dunia digital secara kritis dan kreatif.
*
Saya mencoba menelaah dari perspektif lain. Bila saudara Rohman memandang pentingnya pembelajaran AI bagi siswa atau murid, saya justru tertarik untuk menyampaikan gagasan pentingnya pembelajaran AI bagi generasi lanjut usia.
Hal ini penting karena di era digital saat ini, banyak orang yang gagap dengan teknologi. Sehingga tidak aneh ada sebagian orang yang memandang dan meyakini bahwa “sesuatu itu dianggap ada dan diyakini benar karena ada buktinya”.
Padahal bukti dimaksud merupakan rekayasa produk AI; teknologi yang tidak dikenal dan tidak diajarkan ketika mereka dulu duduk di bangku sekolah. Akibatnya, hoax atau berita bohong masif beredar. Asal pas dan cocok dengannya, tanpa konfirmasi dan tabayun langsung disebar dan dibagikan.
- Dari waktu ke waktu, peradaban manusia semakin maju. Dulu masih manual, kini sudah digital. Semua berkat akal, berkah Tuhan bagi manusia, yang tidak diberikan kepada makhluk lain.
Dengan akal, manusia berpikir. Karena berpikir, digunakan untuk melakukan penelitian. Penelitian menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan mewujud menjadi ilmu. Ilmu melahirkan teknologi. Teknologi mempermudah hidup manusia.
Perkembangan teknologi berkembang sangat pesat. Saking pesatnya, bahkan meninggalkan penemunya sendiri, yaitu kita, yang adalah manusia. Sebagian dari kita banyak yang belum melek teknologi.
Untuk saat ini, artificial intelligence atau kecerdasan buatan, menjadi salah satu teknologi paling maju. AI bisa membuat sesuatu yang tiada menjadi ada. AI bisa merekayasa bukti dan fakta.
Beberapa waktu lalu, beredar viral video Jokowi berpidato dengan menggunakan bahasa Mandarin. Sejatinya, dia tidak bisa berbahasa Mandarin, apalagi bahasa Arab. Dengan AI, bisa membuat dia seolah-olah menguasai kedua bahasa itu.
Gara-gara Jokowi digambarkan seolah-olah berpidato dalam bahasa Mandarin, lalu menuai tudingan bahwa dia antek asing dan aseng yang nyata. Lucunya, ketika muncul tayangan yang sama dan berpidato dengan menggunakan bahasa Arab, tiada pujian atasnya. Karena mungkin baru sadar bahwa itu produk rekayasa.
Sri Mulyani tidak pernah mengucapkan bahwa “guru itu beban negara”, yang menuai kemarahan publik, khususnya para guru. Gara-gara AI, dia kena fitnah. Rumahnya dijarah masa.
Soeharto yang telah wafat beberapa dekade lalu, dengan bantuan AI seolah bisa hidup kembali dan menyampaikan nasehat pada para presiden penerusnya; Habibie, Gusdur, Megawati, SBY, Jokowi, dan Prabowo.
Trump dan Putih merupakan pemimpin negara adikuasa yang sedang berseteru. Dengan AI, mereka seolah bisa ngopi bareng, ditemani Jong Un dan Jinping. Sambil memakai sarung; sesuatu yang tidak mungkin mereka tampil ala nahdhiyyin.
Bagi sebagian besar generasi Babyboomer dan Generasi X -kini berusia di atas 50 tahun- yang masa mudanya baru mengenal mesin tik, wesel pos, kaset, dan telepon engkol, AI membuat mereka gagap.
Karena gagap, menganggap bahwa “setiap yang ada adalah benar terjadi”. Akibatnya, hoax diyakini sebagai kebenaran karena “buktinya ada”. Mereka awam bahwa “tidak setiap yang ada adalah nyata, apalagi benar”.
Bila sebagian dari generasi Babyboomer dan Generasi X gagap teknologi, masih bisa dimaklumi. Adalah ironi bila generasi berikutnya yang notabene sudah akrab dengan gadget tidak jauh beda dengan generasi pendahulunya.
Namun faktanya demikian. Generasi yang lebih muda ini, yang sudah akrab dengan teknologi, dan tahu AI, masih belum mampu memilih dan memilah mana yang valid dan mana yang palid.
Fenomena ini terjadi, entah karena awam, entah kurang piknik, entah sebul maca, entah karena kurang literasi, atau entah karena tabiat. Kalau sudah tabiat, susah. Karena tabiat itu adat. Dan “adat ka kurung ku iga”; sebuah gambaran sulitnya mengubah kebiasaan.
Sulitnya mengubah adat, sama dengan susahnya melarang orang menguyup kopi. Karena nguyup kopi bagi sebagian orang -termasuk saya- adalah sunah muakad di antara duhur dan asar.
Karena menuntut ilmu itu “dari buaian hingga liang lahat”, maka sebaiknya kita yang sudah berumur pun tetap mau belajar. Belajar Al-Quran bisa menuntun kita ke surga. Belajar AI bisa menghindarkan kita terjerumus masuk neraka.
Lho koq begitu? Ya, karena dengan belajar AI kita akan tahu dan paham, lalu terhindar dari potensi fitnah. Sementara fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Logikanya, membunuh saja bisa masuk neraka, apalagi memfitnah. Agar tidak berpotensi masuk neraka, pelajari AI!
Rosa amat, nyah!
*
Banjarsari, Jumat, 31 Oktober 2025
Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten, Wakil Ketua Umum Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Mathlaul Anwar




