Ocit Abdurrosyid Siddiq

Pengetahuan Manusia

Ada 4 macam pengetahuan manusia. Pengetahuan ini sebagai alat ukur kebenaran. Yaitu, pengetahuan indera, pengetahuan ilmu, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan agama.

Pengetahuan indera dimiliki oleh manusia lewat panca indera; melihat, mendengar, mencium, merasa, dan meraba. Sesuatu dianggap benar cukup menggunakan indera saja.

Sementara pengetahuan ilmu merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia lewat panca indera dan rasio. Benar menurut ilmu tidak cukup dibuktikan hanya oleh indera atau empirik saja. Ia juga harus dikuatkan oleh rasio.

Pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dengan menggunakan rasio dan tanpa perlu pembuktian secara empirik. Kadar benarnya diukur secara rasio. Tidak perlu pembuktian secara kasat mata.

Yang terakhir, pengetahuan agama. Kadar benar pengetahuan agama, bukan secara empirik, bukan juga secara rasio. Alat ukur kebenaran menurut agama adalah iman. Itulah mengapa ada banyak hal dalam agama yang tidak empirik dan atau tidak rasional.

Keempatnya memiliki ranah yang berbeda. Bila kita menggunakan dengan tepat dan benar, maka tidak akan kita temukan kontradiksi di antaranya. Bisa jadi ketika seseorang merasa bingung atas sebuah hal, karena tidak tepat menggunakan alat jawabnya.

Misal, gula itu manis. Untuk mengetahuinya, cukup dengan menggunakan indera. Dalam hal ini adalah indera perasa, yaitu lidah. Untuk mengetahui bahwa gula manis, tak perlu repot melakukan penelitian (empirik), tak perlu berpikir (rasio), tak perlu berfilsafat, bahkan tak perlu mencari dalil agama dalam kitab suci.

Contoh pengetahuan ilmu, misalnya gerhana matahari. Dulu, manusia meyakini kalau terjadi gerhana matahari, akibat ulah dewa yang menelan matahari. Tentu kesimpulan ini salah. Setelah dilakukan penelitian, disimpulkan bahwa gerhana matahari terjadi akibat posisi sejajar antara matahari, bulan, dan bumi.

Jadi, untuk mengetahui fenomena gerhana dengan benar, tak cukup bahkan tak bisa dengan alat indera, tak bisa hanya dengan rasio (filsafat). Bahkan tak tepat hanya berdasar pada dalil agama (kitab suci, ucapan nabi, atau fatwa ulama). Gerhana ranahnya ilmu.

Contoh pengetahuan filsafat, diantaranya adalah pengetahuan kita tentang alam kubur. Kita yakin dan percaya bahwa alam kubur itu ada, bukan semata karena doktrin agama. Karena sesuatu yang kita anggap benar hanya dari perspektif agama, bisa jadi subjektif. Maka mesti mendapatkan penguatan secara rasio atau logika.

Keberadaan alam kubur itu, juga benar secara rasio atau logika. Karena ia sebagai pembuktian keadilan Tuhan. Tuhan akan terkesan tidak adil manaka orang baik banyak ibadah di dunia lalu tidak dapat apa-apa. Tuhan menjadi dzalim manakala orang jahat sarat maksiat di dunia lalu selesai begitu saja.

Alam kubur -juga alam akherat yang didalamnya ada surga dan neraka- keberadaannya benar secara rasio. Benar secara rasio belaka, adalah pengetahuan filsafat. Kebenaran secara filsafat tidak perlu dibuktikan secara indera, kasat mata, atau empiris. Karenanya, itulah mengapa tidak pernah ada orang yang mempresentasikan hasil penelitiannya tentang alam kubur, serta surga dan neraka di forum ilmiah.

Pengetahuan manusia yang terakhir adalah pengetahuan agama. Pengetahuan ini dimiliki oleh manusia dengan doktrin, baik lewat kitab suci, lisan, tindakan, serta ketetapan nabi, serta fatwa ulama. Menguji kesahihan kadar benar versi agama, tidak bisa dengan menggunakan indera, empirik, dan rasio. Alat takar benar kebenaran menurut agama adalah iman.
*

Di antara empat pengetahuan diatas, pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang belum familiar bagi khalayak. Ia hanya dikenal di kalangan tertentu saja; mahasiswa, dosen, ilmuwan, dan cendekiawan. Bahkan saking tidak familiarnya, ada kalangan tertentu yang beranggapan bahwa filsafat itu sesat dan menyesatkan.

Anggapan itu muncul bisa jadi karena metodologi filsafat yang hanya menggunakan rasio saja untuk mendapatkan kebenaran. Sementara dalam agama, iman merupakan faktor utama. Belum lagi fakta bahwa filsafat muncul dari peradaban Yunani. Bukan dari tradisi Islam. Sama seperti ketika sebagian dari kita menyoal demokrasi, hanya karena bermula dari Yunani.

Kalau lah tidak sampai pada bahwa filsafat itu dianggap sesat dan menyesatkan, pada kadar tertentu ada banyak orang yang mengaku sulit, rumit, lalu merasa bingung dengan filsafat. Nah bagi yang ada pada level ini, saran saya, kalau tidak mau bingung, jangan dulu bertanya tentang definisi, aliran, dan semua istilah yang erat dengan dunia filsafat. Cukup dengan cara baca saja tulisan tentang filsafat. Dengan sendirinya anda akan paham apa itu filsafat.
*

Iman di Antara Cinta dan Logika

Sebagian dari kita kadang menakar sebuah kebenaran suatu peristiwa dari sisi logika. Menurutnya, bila tidak logis, tidak masuk akal, teu kaharti, maka itu tidak benar, salah, dan tidak bisa diterima.
Ada banyak contoh peristiwa yang diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh suatu kaum, tetapi karena dianggap tidak logis, maka kebenarannya ditolak oleh sebagian yang lain. Bila pun tidak sampai menolak, setidaknya diragukan.

Adam sebagai manusia pertama, banjir zaman Nuh, Ibrohim yang selamat dari kobaran api, domba pengganti Ismael, bulan terbelah zaman Muhammad, dan sederet “mujizat” lainnya, adalah beberapa contoh yang menuai keraguan.

Bisa jadi inilah yang menyebabkan sebagian orang belakangan ini menggandrungi anasir dan pandangan kaum atheist. Dengan artikulasi yang runtut, alur yang sistematis, narasi mereka membuai dan berhasil menuai pembenaran dari para pemujanya.

Bagi saya, bila alat takar sebuah kebenaran hanya logika, maka perspective itu tdak salah. Tapi saya meyakini, bahwa untuk menemukan sebuah kebenaran, bukan hanya menggunakan pendekatan logika; kaharti bener, teu kaharti salah.

Sama halnya seperti keberadaan atau eksistensi cinta, rindu, cemburu, murka, iri, kesumat, yang semuanya ada, terasa, dan fakta. Semua rasa itu kadang dan kerap tidak logis. Tapi nyata adanya.

Sependek pengetahuan saya, alat ukur untuk menakar kebenaran itu, selain logika ada indera, ilmu, filsafat, dan agama. Sebuah alat takar bisa mendapatkan kesimpulan yang benar bila objeknya relevant dengan alat takar itu.

Untuk mengetahui kebenaran bahwa gula itu manis, tak perlu repot bertanya kepada Tuhan, dalam hal ini agama. Cukup gunakan alat sederhana; lidah sebagai indera pencecap rasa.

Bila anda tidak bisa menerima secara logis perihal bergantinya Ismael dengan domba kala disembelih Ibrahim, karena alat takarnya tidak tepat. Bukan logika. Tapi iman! Dan iman adalah bagian dari agama.

Memaksakan fenomena itu dengan logika, “sampe botak sariawan géh moal kaharti”. Maka, karena ada alat takar lain untuk kebenaran, logika tidak bisa digunakan untuk semua dan seluruh fenomena kehidupan.

Iman sama dengan cinta. Ia adalah fakta, walau kadang tidak nyata. Bila saya kutip dalil akan menuai tanggapan bahwa itu adalah subjektivitas orang beragama, maka cukup dijawab oleh Agnes Monica.

“Cinta ini, kadang-kadang tak ada logika”. Tanpa logika, cinta benar adanya. Pun iman!
*

Munculnya Agama-Agama

Dulu, ketika pola pikir manusia masih sederhana, bila dihadapkan pada sebuah peristiwa di luar kendali manusia, maka disimpulkan ada kekuatan lain yang tidak kasat mata. Yang tidak kasat mata inilah yang sekarang kita kenal dengan istilah ghaib.

Yang ghaib itulah yang dikenal dengan istilah tuhan dalam bentuk dewa-dewa. Muncullah kepercayaan animisme dan dinamisme. Manusia memercayai bahwa ada roh dan kekuatan mistik yang terdapat dalam benda atau objek. Seperti langit, gunung, hutan, sungai, dan lain sebagainya.

Setelah masa itu, peradaban manusia masuk pada era kenabian. Beberapa di antara mereka ada yang menjadi pelopor hadirnya agama-agama samawi atau agama langit yang merujuk pada agama yang berasal dari Tuhan yang didelegasikan kepada para utusannya.

Tuhan mengutus Musa, dan membekalinya dengan Taurat. Jadilah Yahudi. Tuhan mengutus Isa, dan membekalinya dengan Injil. Jadilah Nasrani. Tuhan mengutus Muhammad, dan membekalinya dengan Al-Qur’an. Jadilah Islam.

Tuhan yang mengutus ketiganya, dan membekali mereka dengan ajaran lewat firmanNya yang tertuang dalam kitab suci, adalah Tuhan yang sama, yaitu Tuhan yang itu-itu juga.

Dari satu Tuhan yang sama, bisa dipastikan ajarannya satu tarikan nafas, saling melengkapi dan menyempurnakan. Ada konsepsi continuity. Tiada reduksi, apalagi kontradiksi atas ajaran inti sebelumnya.

Bila narasi sisi, irisan, dan aspek kesamaan ini yang lebih sering kita gaungkan (dengan tetap menjaga aqidah atau konsepsi iman agama masing-masing sebagai ciri khas masing-masing agama), disitulah letak maksud agama sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam.

Rahmatan lil alamin, hidup damai ditengah keragaman iman, dengan tetap menjaga aqidah dan ibadah sebagai ciri khas, disertai toleransi lintas penganut iman, dalam kehidupan sosial pada aspek muamalah, muasyarah, dan akhlak.

Sebaliknya, bila setiap penganut agama disibukkan dengan klaim bahwa agamanya yang paling benar, dengan cara mencurigai penganut dan mengorek kesalahan agama lain (padahal itu akibat keterbatasan pengetahuan sendiri), jangan heran bila peradaban manusia tidak lepas dari konflik.

Pada setiap agama membawa ajaran kebaikan dan kedamaian. Demikianlah yang dikehendaki Tuhan. Tapi bila faktanya yang terjadi adalah polemik dan konflik, bisa dipastikan, bukan Tuhan salah berfirman. Itu menunjukkan kita yang gagal paham.

Hanukkah pada Yahudi sarat kedamaian. Natal pada Nasrani penuh kasih sayang. Idul Fitri pada Islam saling memaafkan. Hanukkah indah dengan lilin. Natal ceria dengan cemara. Idul Fitri kenyang dengan ketupat dan opor ayam. Fabiayyiaalaa robbikumaa tukadzibaan.
*

Perkembangan Pemikiran Manusia

Ilmu pengetahuan atau sains itu muncul setelah manusia melakukan penelitian. Penelitian itu dilakukan secara empirik dan rasional. Karena manusia melakukan penelitian yang menciptakan adanya ilmu tertentu, maka posisi ilmu secara perlahan dan bertahap menggantikan posisi filsafat.

Dulu sebelum munculnya sains, pengetahuan manusia itu masuk dalam kategori filsafat. Itulah mengapa disebutkan bahwa filsafat merupakan induk dari seluruh ilmu pengetahuan. Karena sains itu semula berasal dari pengetahuan filsafat.

Semakin banyak manusia yang melakukan penelitian dalam berbagai bidang, semakin banyak ilmu tercipta, menyebabkan peran filsafat semakin berkurang. Sederhananya, apa yang dulu menjadi ranah filsafat kemudian berubah menjadi ranahnya ilmu pengetahuan.

Penelitian yang dilakukan oleh manusia yang berbasis rasio dan empirik tersebut, beberapa di antaranya selaras dan cocok dengan doktrin agama. Itulah mengapa ada banyak narasi saat sebuah penelitian ilmiah dilakukan dan ditemukan kecocokan dengan ayat-ayat dalam ktab suci.

Namun masih banyak perkara lain yang merupakan hasil penelitian manusia, belum ditemukan titik-temunya dengan doktrin agama. Sebagai umat beragama yang memiliki iman, kita mesti cerdas dalam menyikapi situasi tersebut.

Artinya, ketika kita dihadapkan dengan adanya kontradiksi antara kebenaran menurut agama yang berbeda dengan kebenaran menurut ilmu pengetahuan, maka sebagai orang beragama yang beriman, kita berprinsip bahwa bukan agama yang salah namun logika manusia yang belum mampu memecahkannya.

Dalam doktrin agama disebutkan bahwa “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit”. Hanya sedikit inilah yang menunjukkan keterbatasan akal manusia.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin canggih semakin menyingkap perkara yang sebelumnya hanya sebuah misteri kemudian menjadi lebih benderang. Yang paling fenomenal sekaligus menuai kontroversial adalah perkembangan ilmu astronomi dan kosmologi.

Astronomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari benda-benda langit, fenomena alam semesta, dan proses-proses yang terjadi di luar angkasa. Ilmu ini mencakup pengamatan, pemodelan, analisis, dan penjelajahan benda-benda langit, seperti bintang, planet, galaksi, nebula, dan objek langit lainnya.

Kosmologi adalah cabang astronomi yang membahas tentang asal-usul, perkembangan, struktur, sejarah, dan masa depan seluruh alam semesta. Kosmologi digambarkan sebagai ilmu sifat skala besar alam semesta secara keseluruhan. Berkebalikan dengan astronomi yang melihat posisi dan pergerakan objek di ruang angkasa secara spesifik.

Kosmologi mempelajari hubungan antara ruang dan waktu terhadap alam semesta. Jenis hubungan yang dipelajari meliputi asal-usul dan struktur dari ruang dan waktu yang berkaitan dengan alam semesta.

Kosmologi membahas mengenai sejarah alam semesta dalam skala besar. Secara khusus, ilmu ini berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek. Kosmologi dipelajari dalam astronomi, filsafat, dan agama.

Mempelajari astronomi dan atau kosmologi dengan prinsip-prinsip ilmu yang objektif berdasarkan fakta yang empiric yang disimpulkan secara ilmiah dan rasional, akan membawa kita pada keraguan adanya eksistensi di luar yang kasat mata. Apalagi mempelajari kosmologi.
*

Kesimpulan

Sebagai orang beragama yang memiliki iman dan memercayai ada kekuatan lain di luar yang kasat mata, seyogyanya tidak membuat kita ragu dan meragukan eksistensi di luar yang kasat mata tersebut. Karena takaran kebenaran itu bukan hanya indera, bukan hanya ilmu, juga bukan hanya filsafat.

Meyakini kebenaran dalil-dalil dalam kitab suci, tidak semata ditakar dengan indera, ilmu, dan filsafat. Sebagian di antaranya bisa kita benarkan dengan iman. Misalnya tentang asal mula semesta, manusia pertama, surga dan neraka, terjadinya kiamat, isra dan miraj, dan banyak lagi yang lainnya. Wallahualam.
*

Tulisan ini merupakan materi yang disampaikan dalam acara Diskusi dan Ngaji Filsafat yang diselenggarakan oleh Gantarawang Institut, Sabtu, 26 Juli 2025, di aula Kecamatan Petir Kabupaten Serang.

Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (FORDISKA LIBAS), Pengurus ICMI Orwil Banten, Wakil Ketua Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Mathlaul Anwar, dan Sarjana Alumnus Prodi Aqidah dan Filsafat IAIN SGD Bandung.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *