
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Mahkamah Konstitusi atau MK telah memutuskan memisahkan penyelenggaraan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Pemilu Nasional akan digelar pada tahun 2029 untuk memilih calon Presiden dan Wakil, calon anggota DPR RI, dan calon anggota DPD RI.
Sementara Pemilu Daerah akan digelar paling cepat 2 tahun dan paling lambat 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan Presiden dan Wakil terpilih. Itu artinya Pemilu Daerah akan digelar pada sekitar tahun 2031 atau 7 tahun sejak Pilkada terakhir tahun 2024.
Pemilu Daerah untuk memilih Gubernur dan Wakil, Bupati dan Wakil, Walikota dan Wakil, calon anggota DPRD Provinsi, dan calon anggota DPRD Kabupaten atau Kota. Dengan begitu maka pada Pemilu Nasional terdapat 3 surat suara, sementara Pemilu Daerah 4 surat suara.
Seluruh jabatan yang dipilih lewat Pemilu masanya adalah selama 5 tahun dalam 1 periode. Dengan adanya pemunduran pelaksanaan Pemilu Daerah, maka kemungkinannya adalah adanya penunjukkan penjabat bagi kepala daerah.
Sementara untuk anggota DPRD, karena tidak ada aturan penjabat bagi wakil rakyat, maka kemungkinannya adalah masa jabatannya diperpanjang dari 5 tahun menjadi 7 tahun. Kalau ini yang berlaku, sangat beruntung mereka yang menjadi wakil rakyat di daerah saat ini.
Bila skema ini yang akan diterapkan pada Pemilu berikutnya, beberapa hal yang bakal terjadi adalah pertama, tidak ada lagi tandem-tandeman. Apa ya tandem-tandeman itu? Itu lho, yang pada Pemilu lalu gambar calegnya bercampur-baur itu.
Pada Pemilu 2024, ada 5 surat suara untuk memilih calon Presiden dan Wakil, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten atau Kota. Mafhum terjadi di kalangan para calon wakil rakyat itu, mereka menerapkan prinsip symbiosis mutualis.
Misalnya, seorang calon anggota DPR RI dari partai tertentu, dia akan bekerjasama dalam rangka pemenangan dirinya, dengan calon anggota DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota, yang satu partai dengannya pada daerah pemilihannya.
Kerjasama itu baik dalam bentuk program atau kegiatan, juga pembiayaan. Kolaborasi antara ketiganya yang saling mendukung tersebut, memudahkan dalam rangka penggalangan dukungan atau suara dari para pemilih.
Itulah mengapa pada Pemilu 2024 terdapat satu baliho yang memuat lebih dari 1 orang calon. Ada yang 2 bahkan ada yang 3 orang gambar calon anggota legislatif berada dalam 1 buah baliho. Sederhananya, demikian yang dimaksud dengan tandem tersebut.
Dengan dipisahkannya pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, tidak akan ada lagi baliho tandem tersebut. Karena calon yang diusung oleh partai politik hanya untuk calon anggota DPR RI.
Konsekuensi kedua, pembiayaan untuk menjadi peserta Pemilu 2029, khususnya calon anggota DPR RI tersebut, memerlukan biaya yang sangat besar dan ditanggung oleh sendiri. Artinya, dalam rangka pemenangannya, dia mesti lebih banyak mengeluarkan uang.
Menjadi demikian karena pada Pemilu Nasional tersebut tidak ada pemilihan untuk calon anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau Kota. Tidak ada partisipasi pendanaan yang pada Pemilu sebelumnya bersumber dari mereka yang dilakukan secara gotong-royong.
Calon anggota DPR RI mesti mendanai seluruh pembiayaan di daerah pemilihannya, yang mencakup wilayah yang sangat luas. Ada daerah pemilihan yang terdiri dari satu kabupaten atau kota, namun rerata merupakan gabungan kabupaten dan kota.
Pada Pemilu sebelumnya, perihal pembiayaan ditanggung renteng antara calon anggota DPR RI, beberapa calon anggota DPRD Provinsi, dan beberapa calon anggota DPRD Kabupaten atau Kota. Karena Pemilu Nasional hanya memilih calon anggota DPR RI -disamping memilih calon Presiden dan Wakil serta calon anggota DPD RI- maka biaya ditanggung sendiri.
Berikutnya yang ketiga adalah adanya kesempatan untuk maju sebagai calon wakil rakyat lebih dari 1 kali. Misalnya ada seseorang yang pada Pemilu Nasional dia maju sebagai calon anggota DPR RI. Namun tidak terpilih.
Yang bersangkutan bisa kembali maju dalam Pemilu Daerah, baik sebagai calon anggota DPRD Provinsi atau calon anggota DPRD Kabupaten atau Kota. Bahkan terbuka peluang bagi “caleg gagal” itu untuk maju pada Pemilu Daerah tersebut sebagai calon Kepala Daerah.
Keempat, memungkinkan seorang kader partai politik berpindah haluan. Misalnya, pada Pemilu Nasional dia maju sebagai calon anggota DPR RI dari partai politik tertentu. Namun tidak terpilih. Kemudian pada Pemilu Daerah dia maju kembali lewat partai politik yang berbeda.
Kelima, pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah ini membuka potensi konflik di antara anggota, kader, dan pengurus partai politik. Kecenderungannya, pengurus partai politik tingkat pusat akan lebih dominan dan berpeluang menjadi yang terpilih, walau tidak di level DPR RI.
Bayangkan, ketika yang bersangkutan gagal terpilih dalam Pemilu Nasional, dia akan menurunkan kelasnya ke level provinsi, bahkan kabupaten atau kota. Di level provinsi, apalagi kabupaten atau kota, dia akan menjadi yang terkuat di antara pesaingnya yang notabene orang daerah.
Bermodalkan “dekengane wong pusat” ini, bisa menutup peluang bagi kader-kader di daerah untuk bisa maju dan terpilih. Kondisi seperti ini akan menimbulkan konflik internal di antara kader partai politik, khususnya di daerah.
Karenanya, perlu dibuat sebuah aturan, entah di internal partai politik atau oleh penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum atau KPU, bahwa bagi yang telah tercatat sebagai calon anggota DPR RI, tidak boleh maju kembali dalam Pemilu Daerah.
Hal ini dimaksudkan sebagai cara untuk membuka peluang dan kesempatan yang sama, adil, merata, bagi para kader partai politik, baik yang ada di pusat maupun yang ada di daerah. Karena bila “orang pusat” masih main di daerah, potensi orang daerah menjadi terhambat.
Bagaimana bila maju sebagai calon kepala daerah? Karena mengikuti kontestasi calon DPR RI itu juga ada di antaranya yang menjadikannya sebagai media untuk test case atau “ngajajal awak”, dan selain itu eksekutif berbeda dengan legislatif, maka ini menjadi pengecualian.
Artinya, tidak perlu ada larangan bagi seseorang yang pada Pemilu Nasional tercatat sebagai calon anggota DPR RI -entah tidak terpilih atau terpilih- yang bersangkutan maju kembali dalam Pemilu Daerah sebagai calon kepala daerah.
Jangankan yang tidak terpilih. Bahkan yang terpilih sekalipun, bisa, boleh, dan berpeluang untuk maju dalam Pemilu Daerah sebagai calon kepala daerah. Elektabilitasnya yang begitu tinggi pada Pemilu Nasional bisa menjadi modal baginya pada Pemilu Daerah.
Dengan ketentuan sama seperti pada Pemilu sebelumnya, bahwa bagi anggota DPR RI yang maju menjadi calon kepala daerah, wajib baginya mengundurkan diri. Posisinya bisa diganti oleh nomor urut berikutnya. Dengan begitu regenerasi juga berjalan.
Bahwa setelah mengikuti kontestasi Pemilu Daerah lalu yang bersangkutan gagal karena tidak terpilih, itu adalah resiko pilihan. Bukan kah hidup ini adalah pilihan? Dalam hal ini sekaligus tersirat pesan bahwa sebaiknya memilih yang sudah pasti dibanding bertaruh dengan pilihan yang bisa jadi kalah.
Seperti halnya di Banten pada Pilkada 2024 lalu. Salah satu calon Gubernur yaitu Airin Rachmy Diani, sebelumnya merupakan anggota DPR RI terpilih dari Partai Golkar. Dia maju kembali dalam Pilkada Serentak 2024, walau pun akhirnya kalah oleh lawannya, Andra Soni.
Namun seluruh kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas tidak bakal terjadi bila DPR RI saat ini melakukan “perlawanan” terhadap putusan MK. Perlawanan itu bisa dalam bentuk mengubah atau mengganti UU Pemilu dan UU Pilkada dengan UU Pemilu dan UU Pilkada baru.
Hal itu sekaligus bisa “menganulir” putusan MK. Bisa saja DPR RI sebagai lembaga yang memiliki kewenangan membuat UU, dalam UU Pemilu yang baru nanti mencantumkan sistem Pemilu dan Pilkada yang sangat berbeda dengan putusan MK tersebut.
Misalnya saja dalam UU Pemilu tersebut, DPR RI lebih cenderung menyepakati model pemilihan kepala daerah secara demokratis lewat mekanisme perwakilan. Kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat. Tetapi dipilih oleh DPRD setempat, seperti halnya dulu pernah diterapkan.
Tanda-tanda yang mengarah ke model itu kini sudah mulai ditunjukkan oleh para wakil rakyat di Senayan. Lewat beberapa juru bicara masing-masing partai politik dalam merespon putusan MK, hampir semuanya memiliki kecenderungan yang sama; mengembalikan model pemilihan kepala daerah ke DPRD.
Apalagi wacana ini sempat mendapatkan penguatan dari Presiden RI Prabowo Subianto. Dalam sebuah kesempatan beliau pernah melontarkan kemungkinan kembalinya model lama tersebut. Dan bila ini terjadi, pastinya taruhannya teramat mahal. Khususnya bagi pegiat demokrasi dan Pemilu. Apalagi bagi aktifis Angkatan 1998 yang melahirkan reformasi.
*
Tangerang, 10 Juli 2025
Penulis adalah Pegiat Demokrasi dan Pemilu, Pengurus ICMI Banten, Ketua FORDISKA LIBAS