Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1898 M) merupakan salah seorang tokoh ulama Indonesia yang namanya demikian masyhur hingga ke Timur Tengah. Bahkan, namanya di kenal dunia karena produktivitas menulis dan keilmuannya yang demikian tinggi. Ia juga banyak melahirkan kitab-kitab yang ditulisnya, yang meliputi berbagai disiplin ilmu keagamaan seperti tasawuf, tafsir, fiqh, tauhid, dan lain sebagainya. Namun sebagian besar kitabnya dicetak di Timur Tengah, tentunya dengan berbahasa Arab. Di samping itu, karya-karya Syaikh Nawawi Al-Bantani menjadi sumber rujukan bagi mahasiswa-mahasiswa di luar negeri terutama yang sedang menyelesaikan tugas akademiknya. Syaikh Nawawi Al-bantani, ia telah melahirkan para akademisi (sarjana-sarjana) dari kitab-kitab yang ditulisnya dan kemudian terus dilakukan proses pengkajian oleh para akademisi itu. Namun demikian, hingga saat ini kitab karya dari Syaikh Nawawi Al-Bantani, masih tetap menjadi rujukan (dipelajari) di kalangan pesantren di dalam negeri.
Syekh Nawawi Al-Bantani memiliki nama lengkap bernama Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Ia dilahirkan di Tanara, serang, Banten, pada tahun 1230 H atau 1813 M. Syekh Nawawi Al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada abad ke-19 M dan di awal abad ke-20 M. Dua yang lain ialah muridnya, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Mahfudz Termas. Hal itu menunjukkan bahwa keilmuan dari Syaikh Nawawi sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. Syekh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar Sayyidu Ulama’ al-Hijaz yang berarti Sesepuh Ulama Hijaz atau Guru dari Ulama Hijaz. Yang menarik dari gelar diatas adalah beliau tidak hanya mendapatkan gelar “Sayyidu ‘Ulama al-Indonesia”, hal itu bermakna bahwa kealiman beliau memang diakui di semenanjung Arabia dan di seluruh dunia, apalagi di tanah airnya sendiri.
II. Produktivitas Ulama Dalam Menulis Karya
الخط يبقى زمناً بعد كاتبه * وكاتب الخط تحت الأرض مدفون
Artinya ; “Sebuah tulisan akan tetap ada meski penulisnya telah terkubur di dalam tanah”.
Bergerak dalam bidang tulis menulis adalah unsur yang amat urgen di setiap peradaban manusia. Dengan menulis, para ulama (terutama di zaman keemasan Islam), mereka telah turut berdedikasi dalam dunia keilmuan untuk generasi mereka dan berlanjut hingga generasi saat ini. Dengan karya-karya itu pula, mereka akan selalu “hidup” sepanjang masa meski raga (jasad mereka) sudah tak berpijak di atas tanah, dan terus menjadi guru yang menebarkan ilmu ke pelosok dunia. Senada dengan itu, Pramoedya Ananta Toer, ia berkata; “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Jika sekilas saja kita menengok sejarah, maka jelas bahwa kemajuan suatu peradaban ada pada kemajuannya dalam bidang literasi. Andalusia di zaman keemasan Islam misalnya. Negeri itu telah melahirkan banyak cendekiawan muslim dalam pelbagai bidang dan disiplin ilmu, yakni mulai dari bidang ilmu-ilmu syariat, filsafat, hingga ilmu sains dan teknologi.
Pada zaman keemasan itu, cukup banyak ditemui perpustakaan-perpustakaan pribadi milik masyarakatnya yang jumlah koleksi bukunya memasuki angka yang sangat menakjubkan. Sebagai contoh, Abu al-Fadhl bin al-Amid. Saking banyaknya koleksi buku di perpustakaan milik pribadinya sampai saat ia mau pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia membutuhkan 100 ekor unta untuk mengangkutnya. Menurut Will Durant, yakni di dalam bukunya juga menyinggung tentang besarnya perpustakan-perpustakaan pribadi di era itu, salah satunya milik Shahib bin Abbad. Bahwa koleksi perpustakaan milik pribadinya pada abad ke empat hijriah setara dengan seluruh buku yang ada di Eropa pada masa itu.
Jika itu hanyalah perpustakaan milik pribadi, bagaimana dengan perpustakaan umum yang ada di zaman keemasan Islam itu? Pertama, perpustakaan Baghdad. Jumlah buku yang ada di perpustakaan itu saking banyaknya hingga buku-bukunya bisa dijadikan jembatan menyeberangi sungai Tigris yang ukurannya hampir sama dengan sungau Nil (kedalamannya mencapai 10-11 meter). Yaitu kisah masyhur ketika tentara Tartar (Mongolia) menyerang kota Baghdad. Saat itu pimpinan tentara Tartar, Hulagu Khan, dengan bengisnya menjadikan buku-buku yang ada di perpustakaan itu tumpukan layaknya jembatan guna menyeberangi sungai Tigris. Bayangkan betapa banyaknya buku-buku yang ada di perpustakaan itu. Kedua, perpustakaan Darul Ilmi Kairo; ada lebih dari 700.000 buku di dalamnya. Ketiga, perpustakaan Tripoli. Menurut salah seorang sejarawan, total buku yang dibakar tentara Salib dari perpustakaan ini mencapai 3.000.000 buku. Termasuk di antaranya kitab-kitab karya Imam Al-Ghazali. Keempat, perpustakaan Cordoba Andalusia (saat ini: Spanyol Selatan); disana ada 44 buah katalog yang masing-masing berisi 50 halaman, disitu hanya tertulis judul-judul buku koleksi perpustakaan di dalamnya. Lubna sendiri, seorang wanita pustakawan pada zaman itu, berhasil mengumpulkan 500.000 buku untuk koleksi perpustakaan tersebut. Jadi, silahkan hitung sendiri berapa banyak buku di dalamnya.
Sebagai perbandingan sederhana, mari kita tengok perpustakaan-perpustakaan yang ada pada zaman saat ini khususnya di Indonesia. Pertama, koleksi Perpustakaan Nasional. Perpustakaan milik pemerintah ini memiliki koleksi sekitar 2,6 juta buku. Kedua, di era modern ini mesin-mesin canggih percetakaan telah ada dan mudah didapatkan. Sedangkan pada zaman keemasan Islam saat itu masih manual menggunakan tulisan tangan manusia, sebab mesin percetakan belum ada dan baru dibuat beberapa abad kemudian. Ketiga, pada masa keemasan itu, jumlah penduduk Cordoba di Andalusia hanya sekitar 500.000 jiwa. Maka bandingkan dengan penduduk Indonesia yang saat ini mencapai 270 juta jiwa. Bahkan, Imam Al-Ghazali berkata; “jika kau bukan anak seorang raja, juga bukan anak seorang ulama besar maka jadilah penulis”. Karena dengan tulisan, suaramu akan terdengar. Dan jika memegang gadget mewah membuatmu terlihat kaya, maka dengan memegang buku kau akan terlihat pintar. Jadilah penulis, jika tidak, jadilah pembaca.
III. Kedalaman Pemikiran untuk Menulis
“Deep Thinking, atau berpikir mendalam merupakan modal yang sangat penting untuk membangun pandangan konstruktif bagi pembaca”. Sepanjang sejarah, dan termasuk di zaman keemasan Islam, yakni sebagaimana telah dikemukakan begitu panjang lebar di sub judul bagian atas, bahwa aktivitas literasi adalah hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia (umat Islam). Aktivitas literasi dan menulis adalah merangkai kata menjadi kalimat sehingga tersusun menjadi data, yang akhirnya tersajikan menjadi informasi. Semakin baik kemampuan dalam mengungkapkan pemikiran, maka akan semakin menghasilkan informasi yang semakin baik pula. “Deep Thinking”, atau berpikir mendalam merupakan modal yang sangat penting untuk membangun pandangan konstruktif bagi pembaca. Seorang penulis yang menuangkan pemikirannya dengan kedalaman terhadap permasalahan, hal itu akan lebih mampu memberikan pembahasan yang bermakna. Begitu banyak penulis ataupun pemikir yang menuangkan hasil pemikirannya dengan mendalam, yang karya-karya mereka bisa kita jumpai hingga hari ini, terutama kitab-kitab klasik (kitab kuning). Sebut saja karya agung Imam Al-Ghazali dengan kitab Ihya Ulumuddin yang sangat fenomenal. Hal itu adalah salah satu contoh kebersihan dan kedalaman pemikiran orang zaman dahulu.
IV. Memulai Dari Diri Penulis
Pada dasarnya, kita tidak mungkin mampu menghidupkan pemikiran pembaca tanpa menghidupkan ruh dan pemikiran kita terlebih dahulu. Mengaktifkan rasa yang bersemayam jauh di dalam relung jiwa penulis adalah hal yang terpenting. Melalui perenungan, pembahasan, filterisasi dari hikmah kehidupan, serta diskusi mendalam dengan orang-orang yang berilmu, hal itu akan bisa menjadi sarana untuk membangun sistematika berpikir yang baik, sehingga pada akhirnya mencapai puncak kualitas karya yang kita hasilkan.
Lebih dari itu, pemikiran yang jernih juga akan mengalir menjadi ungkapan dan frasa yang indah. Karena kepenulisan itu ajaib, mengingat tulisan akan memasuki tempat di dalam benak pembaca yang tidak dapat dimasuki oleh apapun kecuali oleh kata. Mengapa? Sebab melalui tulisan akan melibatkan organ penglihatan dan syaraf yang terhubung dalam sistem. Informasi yang masuk ke dalam otak manusia akan disaring menjadi pemahaman, yang selanjutnya akan berinteraksi dengan kecenderungan jiwa pembaca. Maka orang yang rajin membaca, maka ia akan menjadi seorang yang literat, dan ia akan memberikan informasi positif pula terhadap gaya hidupnya. Melakukan aktivitas tulis menulis dengan konsep tadabbur (merenungi) terhadap diri maupun alam sekitar, hal itu akan menghasilkan karya-karya literasi (karya ilmiah) yang mencerahkan dan menyejarah. Para penulis dengan kesadaran akan tujuan tulisannya, ia tidak akan berhenti berjuang demi menghasilkan karya-karyanya yang berkualitas, dan pada akhirnya hasil karyanya itu akan terus mensejarah.
V. Berpikir Untuk Menulis Atau Menulis Untuk Berpikir?
Menulis merupakan komunikasi interpersonal (yang menuntut seseorang berpikir sebelum menulis) dan sekaligus komunikasi intrapersonal (yang membuat seseorang menulis untuk berpikir). Sementara konsep-konsep yang tersedia dalam literatur tentang hakikat menulis tampaknya terpolarisasi menjadi dua kutub yang berlawanan. Di satu sisi, menulis dipandang sebagai proses mengkomunikasikan pesan (pikiran, emosi, atau perasaan) melalui simbol-simbol bahasa tulis (huruf, tanda baca, dan spasi). Dalam proses ini, sang penulis pertama-tama ia harus berpikir dan kemudian menulis (menuangkan pikiran ke dalam tulisan). Di sisi lain, menulis juga dipandang sebagai proses berpikir atau proses untuk mengklarifikasi, bukan sekedar mengkomunikasikan, berpikir. Pandangan kedua yang berlawanan ini menimbulkan pertanyaan apakah kita berpikir dulu lalu baru menulis? Atau menulis dulu dan baru berpikir? (Mirip dengan pertanyaan klasik : Ayam dulu apa telur dulu?’). Lalu, pandangan mana yang paling tepat dan dekat dengan hakikat menulis dengan cara mengkaji apa yang sebenarnya terjadi dalam proses penulisan.
Pendukung pandangan yang menyatakan bahwa menulis itu merupakan proses menyampaikan pesan melalui teks, hal itu umumnya menekankan bahwa tiap penulis, baik yang menulis dengan pensil dan pena (tulisan tangan) atau keyboard (mengetik), memang harus mengawali penulisannya itu dengan memikirkan ide-ide. Lalu ided-ide itu dituangkan ke dalam teks. Pemikiran penulis yang terkandung di dalam teks itu kemudian dipublikasikan ke pembaca sasaran. Dengan kata lain, menulis juga seperti berbicara, karena menulis juga merupakan komunikasi antarpribadi. Sejalan dengan pandangan itu, seorang pakar metodologi (Rivers), ia menyatakan bahwa tulisan mengacu pada penyebaran ide secara sistematis dengan menggunakan simbol-simbil grafis yang disepakati dalam sebuah bahasa. Sementara menurut sang penulis kenamaan (Richard Wright), ia juga mendukung pandangan diatas, dan ia mengatakan bahwa ketika ia sedang menulis, ia mencoba membangun “jembatan kata-kata” antara dirinya dan dunia luar”. Metafora tersebut menunjukkan bahwa menulis merupakan proses menyampaikan pesan penulis kepada pembaca (dunia luar), yakni melalui kata-kata tertulis.
Di pihak lain, mereka yang memandang bahwa menulis sebagai proses berpikir, karena mereka menekankan bahwa ketika seseorang sedang menulis, maka ia pada dasarnya sedang berusaha untuk menemukan ide dengan melakukan komunikasi intrapersonal. Namun menurut hemat penulis, bahwa menulis bukanlah sekedar kegiatan mentranskripsi bahasa lisan ke dalam simbol tertulis, namun menulis adalah proses berpikir. Lebih dari itu menurut pandangan penulis, bahwa menulis bukan hanya proses mengungkapkan ide-ide yang sebelumnya ada dalam pikiran kita, tetapi juga suatu proses ajaib dan misterius yang memungkinkan setiap penulis bisa untuk membangun ide-ide baru. Jadi, prosesnya diawali dengan menulis dan dilanjutkan dengan berpikir dan sekaligus merefleksikan pengalaman sebagai penulis. Sementara menurut, William Stafford, ia menekankan, “Saya tidak melihat tulisan sebagai ungkapan dari sesuatu yang sudah tersedia, atau sebagai ‘kebenaran’ yang sudah diketahui. Sebaliknya, menulis adalah eksperimen. Sama seperti dalam aktivitas penelitian lainnya; kita tidak tahu apa yang akan muncul dalam proses menulis sampai kita mencobanya.”
Sepengalaman penulis, bahwa proses penulisan meliputi lima tahap diantaranya : Prapenulisan (prapenulisan), Penyusunan (drafting), revisi, Penyuntingan, dan penerbitan. Prapenulisan meliputi kegiatan menghasilkan, memilih, menyortir, dan mengatur ide untuk ditulis. Tahap ini juga melibatkan pertimbangan tentang tujuan dan target pembaca (audiens), dan faktor-faktor ini akan mempengaruhi pemilihan jenis dan organisasi tulisan. Sedangkan tahap penyusunan meliputi perekaman ide-ide yang dimaksudkan untuk membuat makna, pemanfaatan tata bahasa, ejaan, dan tanda baca.
Sedanhkan tahap revisi dilakukan untuk meninjau dan memodifikasi teks dengan cara menghapus, menambahkan, atau mengatur ulang konten dan melakukan penyesuaian nada, gaya, dan konten terhadap audiens target. Dalam tahap revisi ini, menerima umpan balik dari rekan dan/atau guru/dosen seringkali bermanfaat untuk membantu meningkatkan kualitas tulisan. Sementara tahap pengeditan dilakukan untuk mencatat dan memperbaiki kesalahan tata bahasa dan faktor mekanis. Tahap ini juga melibatkan upaya untuk meningkatkan gaya bahasa dan kejelasan. Tahap penerbitan mengacu pada persiapan untuk berbagi teks dengan audiens target.
Proses penulisan tidak berlangsung linier tetapi rekursif. Tahapan-tahapan dalam menulis bisa terjadi berulang-ulang dan melompat maju atau mundur. Saat kita sedang membuat draf misalnya, maka kita kerapkali juga sambil langsung memperbaiki kesalahan tata bahasa. Dengan demikian, sambil men-draf kita juga bisa langsung melompat ke tahap revisi, lalu kembali ke tahap drafting. Kemudian, kita melakukan curah-gagasan (brainstorming) untuk memperoleh ide, membuat kerangka tulisan, dan melakukan penelitian dengan cara membaca sumber-sumber yang relevan atau mewawancarai orang-orang yang akrab dengan subjek tersebut. Setelah itu, kita menulis konsep, merevisinya, mengeditnya, dan akhirnya menerbitkan teks final.
Bahkan, selama proses penulisan, maka berpikir dan menulis terjadi secara bersamaan. Ketika mempertimbangkan topik yang akan ditulis misalnya, maka kita juga terus berpikir. Sementara dalam curah gagasan, kita juga akan memperoleh ide dengan cara menuliskannya sehingga ide tersebut “terlihat” dan visibilitas itu membantu kita untuk mengamati dan memperbaikinya. Dalam tahap menyusun drafting, kita bisa mengungkapkan poin yang telah kta atur dalam kerangka tulisan menjadi kalimat dan paragraf. Meskipun kegiatan-kegiatan itu didominasi oleh kegiatan menuangkan ide-ide ke dalam simbol-simbol tertulis, namun pikiran kita terus terlibat untuk memastikan bahwa kerangka tulisan kita telah sistematis. Sementara dalam tahap revisi kita akan terus mengembangkan konsep kita dengan cara menambahkan, menghapus, mengatur ulang, dan mengganti informasi. Kegiatan-kegiatan itu tentunya melibatkan penulisan dan pemikiran. Bahkan, ketika kita sedang mengedit tulusan misalnya, secara tidak langsung kita juga sambil memeriksa dan mengoreksi kesalahan-kesalahan untuk membuat esai menjadi jelas dan menarik untuk dibaca. Dengan demikian, dalam tahapan ini kita juga menulis dan sekaligus berpikir. Hal itu juga dapat disimpulkan bahwa proses menulis melibatkan aktivitas berpikir dan menulis secara simultan. Tak seorang-pun dapat menulis tanpa menggunakan kedua aktivitas itu. Aktivitas berpikir diperlukan untuk membangun ide dan aktivitas menulis dibutuhkan untuk meletakkan dan mengatur ide dalam bentuk tertulis. Setelah ide-ide tersedia dalam bentuk tertulis, maka ide-ide itu menjadi terlihat dan mudah dikembangkan, bahkan disempurnakan (dengan berpikir).
Sedangkan ide-ide yang disempurnakan kemudian dikomunikasikan (dengan menulis) dalam bahasa tertulis yang dapat dibaca dan dipahami audiens target. Dengan kata lain, bahwa berpikir, menulis, berpikir, dan menulis adalah kegiatan simultan yang harus terus kita lakukan dalam menulis. Jadi, menulis merupakan komunikasi interpersonal (yang menuntut seseorang berpikir sebelum menulis) dan sekaligus komunikasi intrapersonal (yang membuat seseorang menulis untuk berpikir).
VI. Menulis Itu Proses Berpikir
Menulis itu proses berfikir, tak heran bila penulis yang handal biasanya cerdas. Karena, ia terus dibiasakan untuk berpikir tentang banyak hal. Dengan kata lain, bahwa menulis itu bukan sekadar hobi, sebagaimana pemain musik yang ketika muncul keinginan untuk bermain musik misalnya, maka ia tinggal mengambil alat musik dan mulai berdendang, tapi menulis tidak seperti itu. Ketika muncul keinginan untuk menulis, maka kita tidak cukup hanya mengambil pena, lalu menggoyang-goyangkannya di atas kertas, hal seperti itu tidak cukup. Kita harus berpikir terlebih dahulu tentang: “Saya mau menulis apa?” Jawaban sederhana dari pertanyaan tersebut tentu: “Tulislah apa yang saya ketahui, dan jangan menulis apa yang tidak kita ketahui.”
Dengan kata lain, seorang penulis dituntut untuk tahu tentang banyak hal. Hal itu syarat pertama agar kita bisa menulis dengan mudah. Jika kita sedikit tahu maka sedikit pula yang bisa kuta tulis. Cara paling mudah untuk mengetahui banyak hal ya dengan banyak membaca (Iqra’). Bahkan, tak sekadar membaca, kita juga harus bisa mengingat, menganalisa, serta menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Sementara cara lain untuk mengetahui banyak hal adalah dengan bertanya. Oleh karena itu, seyogyanya kita datangilah kepada orang-orang yang memiliki informasi atau mampu menjawab pertanyaan secara benar. Galilah data sebanyak mungkin agar kita menjadi banyak tahu. Sementara cara yang lebih menantang adalah dengan cara melibatkan diri kita sendiri ke dalam peristiwa yang akan kita tulis (cara ini yang sering dilakukan penulis ketika ingin menulis buku sejarah lokal). Setidaknya, kita berada di tempat peristiwa itu terjadi sehingga mata dan telinga kita menangkap semua data di sana. Nah, jika kita sudah tahu apa yang hendak kita tulis, apakah semua menjadi mudah? Belum tentu! karena kita juga tetap harus berpikir. Apalagi tentang alur cerita yang ingin kita tulis. Dengan kata lain, bahwa menulis laksana bertutur : Yakni, kita harus memulai dari mana? Lalu tulisan apa yang akan kita kembangkan? Menuju ke mana? Dan, berakhir di mana? Itulah alur.
Karena, satu peristiwa bisa mengandung banyak alur, hal itu tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Alur yang tak biasa tentu akan menarik. Sebab, sudah jamak diketahui bahwa sesuatu yang berbeda akan menarik banyak perhatian. Jika bahan-bahan tulisan sudah kita peroleh, alur sudah kita buat, apakah semua menjadi mudah? Belum tentu! Karena, kita juga masih harus berpikir, yakni tentang bagaimana menulis yang tepat! Tepat dalam hal apa? Setidaknya ada dua. Pertama, tepat dalam memilih kata (atau diksi). Kedua, tepat dalam menyusun kalimat.
Tentang diksi, sebagi contoh, kita menulis kalimat seperti ini: “Hidup tanpa cinta terasa hambar, bagaikan padang tandus yang tak ada tumbuhan di dalamnya”. Kalimat itu indah, tapi tidak tepat. Kata “hambar” tentu tidak cocok bila disandingkan dengan kata “tandus”. Kata “hambar” lebih pas atau lebih tepat jika digunakan untuk menjelaskan rasa, sedang kata “tandus” lebih pas digunakan untuk menggambarkan tentang keadaan. Ini baru satu contoh. Ada banyak kejanggalan yang tanpa disadari dibuat oleh para penulis.
Adapun tepat dalam menyusun kalimat, tentu banyak berhubungan langsung dengan tata bahasa. Hal itu juga sangat penting, jangan sampai kepercayaan pembaca hilang hanya gara-gara kita tidak tepat dan kurang bagus untuk menempatkan huruf besar dalam sebuah kalimat misalnya. Jadi, menulis itu proses berfikir. Tak heran bila penulis yang handal biasanya mereka cerdas. Sebab, mereka dibiasakan untuk berpikir tentang banyak hal.
Lalu, bagaimana dengan kita? Seberapa besar tekad kita untuk menaklukkan semua tantangan di atas? Jika kita benar-benar bercita-cita ingin menjadi penulis handal, jangan pernah gantungkan pena, dan teruslah berusaha, jangan berhenti untuk menulis dan menulis.