สล็อต blackhat>tele>@bhseo888

먹튀검증 blackhat seo_tele>@bhseo888

fun88 blackhat seo_tele>@bhseo888

fun88 blackhat seo_tele>@bhseo888

jiliko blackhat seo_tele>@bhseo888

w88 blackhat seo_tele>@bhseo888

w88 blackhat seo_tele>@bhseo888

Banten : Dilu, Kini Dan Dimasa Yang Akan Datang - ICMI BANTEN

Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Kejayaan masa alu, kemajuan dimasa kini, dan potensi dimasa depan, itu harus menjadi tekad kita seluruh komunitas masyarakat Banten. Sekalipun secara demogragi Banten memiliki luas wilayah yang tak signifikan dibandingkan dengan Provinsi induknya (Jawa Barat), namun tetap menarik perhatian dengan sejumlah potensi yang dimilikinya. Dengan luas wilayah hanya 8.651,20 Km2, meliputi empat Kota dan empat Kabupaten, Banten telah menunjukkan bahwa sempitnya wilayah bukanlah hambatan untuk mencapai kemajuan.
Banten memiliki berbagai potensi, antara lain letaknya yang strategis, kondisi alam yang menguntungkan, dan kekayaan alam yang potensial. Selain itu, latar belakang sejarah kejayaan di masa lalu Banten dan momentum yang ada menjadi faktor penting bagi kemajuan Banten. Berangkat dari kalkulasi atas potensi yang dimiliki, masyarakat Banten di tahun 2000, akhinya bertekad memisahkan diri dari Jawa Barat dan membentuk Provinsi tersendiri. Bahkan latar belakang sejarah Banten penuh dengan kejayaan, terutama pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692). Banten tidak hanya menjadi pusat penyebaran agama Islam, tetapi keberadaan pelabuhan Banten (Karangantu) juga dikenal sebagai pusat perdagangan internasional yang termashur. Sementara bukti-bukti kejayaan Kesultanan Banten masa lalu, hal itu bisa ditelusuri melalui beberapa literatur, fakta arkeologis serta bukti fisik lainnya yang masih bisa disaksikan hingga saat ini.

Pada masa kolonial, Banten juga memiliki peran penting. Di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels (1808-1811), di Anyer dan Ujung Kulon, saat itu dibangun pangkalan armada laut. Anyer juga dijadikan titik nol proyek monumental pembangunan jalan raya trans Jawa hingga ke Panarukan Jawa Timur. Kejayaan masa lalu Banten bukan hanya menjadi kenangan, karena peninggalan berupa fisik dapat berfungsi untuk bahan kajian ilmiah dan sarana wisata. Warisan berupa nilai-nilai agama maupun budaya menjadi pijakan bagi pembangunan Provinsi Banten. Dengan semua potensi dan warisan itu, seyogyanya Banten terus bergerak maju sebagai Provinsi yang mandiri dan berkembang. Bahkan seiring bergulirnya reformasi, perubahan sistem politik terjadi, salah satunya adalah desentralisasi kekuasaan. Momentum fenomenal itu ditandai dengan terbentuknya Provinsi Banten pada tanggal 4 Oktober 2000. Keberadaan Provinsi Banten bagaikan napak tilas kejayaan Banten dimasa lampau. Dengan segala potensi yang dimiliki, setapak demi setapak Banten telah menunjukkan kemajuannya. Pada tahun 2007, Banten menduduki peringkat keempat dalam hal peningkatan APBD.
Provinsi Banten memiliki potensi alam yang cukup tinggi. Secara topografi, Banten terdiri atas dua bagian besar, yaitu daerah perbukitan di sebelah selatan (Kabupaten Lebak dan Pandeglang) dan daerah dataran rendah di bagian lainnya. Banten terdiri dari empat kota (Kota Serang, Tangerang, Cilegon, dan Kota Tangerang Selatan) dan empat kabupaten (Kabupaten Serang, Tangerang, Pandeglang, dan Kabupaten Lebak). Kota Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Serang adalah daerah dengan aktivitas ekonomi cukup tinggi karena merupakan kawasan industri, terutama industri manufaktur. Sementara Kabupaten Lebak dan Pandeglang merupakan daerah hijau, hutan dan perkebunan banyak terdapat di sana. Sementara itu, Kota Tangerang Selatan merupakan Kota jasa dan perdagangan, serta banyak lembaga pendidikan bergensi dan bertaraf internasional.

Provinsi Banten juga memiliki Taman Nasional Ujung Kulon di Kabupaten Pandeglang, tempat masih hidupnya populasi hewan langka yang di dunia hanya ada di Ujung Kulon. Bandara Internasional Soekarno-Hatta, gerbang utama Indonesia, berada di Kota Tangerang. Bahkan, telah direncanakan pembangunan pelabuhan bertaraf internasional di Kramatwatu, Serang. Kondisi itu membuat peningkatan APBD Provinsi Banten meningkat signifikan setiap tahun.

Dalam sektor pariwisata, Provinsi Banten yang ketiga sisinya dikelilingi laut, dari Cilegon hingga Labuhan, jalan melingkar menyusur tepi pantai Selat Sunda merupakan kawasan wisata yang sangat fenomenal. Hotel dan villa berjejer siap memanjakan setiap wisatawan dengan pemandangan Gunung Krakatau yang penuh cerita di lepas pantai.

Pelabuhan penyeberangan ke Sumatera menambah kesibukan Provinsi di ujung barat Pulau Jawa ini. Dihubungkan oleh ruas tol langsung sampai Jakarta. Apalagi jika pembangunan mega proyek jembatan Selat Sunda yang jauh lebih panjang dari jembatan Suramadu terealisasi, membuat Provinsi Banten semakin dinamis.

II. Refleksi 24 Tahun Provinsi Banten

Kini usia Provinsi Banten sudah memasuku dua puluh empat tahun, tepat 4 Oktober tahun 2000 secara resmi Banten memisahkan diri dari Jawa Barat. Perjalanan panjang pemekaran Provinsi Banten selama hampir lima dekade baru dapat terwujud pada awal abad Milenium. Banyaknya cucuran keringat para penggagas pendirian Provinsi Banten diiringi suka dan duka, hal itu perlu kita maknai dengan semangat pembangunan yang bebas dari nuansa koruptif.
 
Dalam merefleksikan dua puluh empat tahun Provinsi Banten, perlulah kita sejenak berkaca ke belakang, apa saja yang telah terjadi? Kemudian dimaknai bagaimana pembenahan wilayah Banten ke depan? Sementara langkah-langkah yang bersifat penyelesaian dalam segala aspek pembangunan berdasarkan lokalitas, hal itu perlu terus digali guna terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang diidam-idamkan, secara konkret dan terarah. Perjalanan Provinsi Banten sejak berdirinya memiliki lika-liku dan serba-serbi yang mewarnai, terutama masalah pembagian kekuasaan dan kesejahteraan bagi elit-elitnya, pada akhirnya malah konotasi yang muncul Banten dikenal dengan Provinsi dinasti dan lain sebagainya.
 
A. Lima Agenda Pembangunan Provinsi Banten Yang Stagnan
 
Konsepsi kesejahteraan menurut para ahli adalah pendistribusian ekonomi yang merata, kemudahan mengakses sandang dan pangan, indeks kebahagiaan yang baik, kemudahan mengakses informasi dan kemudahan dalam pelayanan publik. Sementara manakala kita mengukur melalui konsepsi kesejahteraan, keadaan masyarakat Banten saat ini masih butuh proses, dan bakan bagi orang pesimistis, mereka mengatakan masih jauh panggang daripada api saat ini. Stagnasi pembangunan dari berbagai lini dapat kita ukur dari lima agenda pembangunan yang belum tercapai sepenuhnya di Provinsi Banten, yakni di bidang pendidikan, kesehatan, pariwisata, Agraria dan Pesisir/Maritim, dan Pelayanan Publik.
 
Pertama , pembangunan di bidang pendidikan, nampaknya masih belum tercapai sepenuhnya karena banyaknya akses yang sulit ditembus, terutama daerah pinggiran Kabupaten Lebak dan Pandeglang yang memiliki jalan mencapai sekolah ada yang mencapai di atas lima kilometer. Pembangunan penunjang sarana pendidikan seperti kondisi buruknya jalan mencapai sekolah ikut mempengaruhi kualitas sekolah tersebut, karena jika diminta mewujudkan buruk bukan hanya siswa yang malas belajar, tetapi pihak pendidiknya (gurunya pun) ikut kesulitan mengajar, aspek lainnya di bidang pendidikan adalah kesejahteraan guru yang harus terus terperhatikan dan ditingkatkan secara penuh, sehingga mempengaruhi kualitas mengajar guru, terutama guru honorer yang gajinya masih minim.
 
Kedua , Pembangunan kualitas kesehatan di Banten juga masih tergolong terbelakang. Bahkan, Pemerintah Banten saat ini menggagas pengobatan gratis dengan menggunakan KTP, namun program itu terhambat dengan pelayanan dari RSUD Banten yang belum maksimal melalui prosedur yang cukup rumit, bahkan pengguna BPJS pun belum langsung dilayani saat berobat di rumah sakit. Yang perlu dilakukan adalah pengkoordinasian antar lembaga, agar diskoordinasi administratif semacam itu tidak terjadi, karena program bukan hanya sebuah gagasan yang menarik dan bagus, namun harus dengan optimisme bersama.

Apabila Pemerintah optimis dalam penanganan kesehatan, akan tetapi RSUD nya spesimis, maka hanya akan menimbulkan ketelantaran penderita penyakit, maka disini terjadi disfungsi regulasi/deregulasi (kemandekan regulasi/aturan).
 
Ketiga, Pembangunan pariwisata yang belum tertata dengan baik, karena pariwisata di Banten 75% dikelola oleh swasta (swasta), sehingga pemerintah Provinsi tidak memiliki andil lebih dalam penyerapan pendapatan di bidang pariwisata, seharusnya pariwisata di Banten dilakukan dengan berbasis lokalitas, artinya pengelolaan pariwisata dilakukan melalui optimalisasi pemerintahan Desa dengan mengandalkan BUMDES yang berafiliasi dengan Pemerintah melalui badan usaha milik daerah maupun dengan dinas pariwisata secara langsung, sehingga linierisasi program ini pun akan berdampak pada pengurangan angka kemiskinan di

perdesaan.
 
Keempat, pembangunan agraria atau lebih akrab kita sebut dengan land reform (Reforma Agraria) melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Aturan Pokok Agraria masih jauh dari ketercapaian. Terlalu tingginya kepentingan di atas tanah menjadi momok tersendiri, alih-alih melakukan pembangunan, pemerintah justru terkesan mendegradasi lahan pertanian secara besar-besaran, sehingga cita-cita untuk mencapai kedaulatan pangan semakin jauh jaraknya untuk tercapai. Konflik agraria pun ikut mewarnai gejolak konflik. Gejolak konflik yang terjadi di Banten lebih banyak disebabkan oleh kepentingan industrialisasi ataupun pembangunan kota-kota baru. Alih fungsi semacam itu secara sadar dimaknai oleh masyarakat akan mendegradasi kearifan lokal yang ada, namun justru pemerintah terkesan lebih mengindahkan kepentingan pengusaha ketimbang suara rakyat yang ingin mempertahankan tanahnya, untuk masalah ini ada beberapa kasus yang terjadi di Banten.

Salah satu kasus teranyar adalah soal rencana pembangunn proyek PIK-2 yang konon katanya akan dilakukan pengembang (Agung Sedayu), yang akhirnya hingga saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Bahkan dari pihak Kesultanan Banten sendiri terkesan menolak rencana pembangunan PIK-2 itu, dan pihak Kesultanan Banten. Namun secara prinsif dan substantif pihak Kesultanan Banten bukan anti terhadap pembangunan, tapi rencana pembangunan yang akan dilakukan oleh pihak pengembang itu memang butuh proses pengkajian kembali, yakni proses pengkajian pembangunan yang jauh lebih kholistik dan konprehensif lagi serta menjunjung tinggi kearifan lokal.

Sementara tentang proees penolaka Sultan Banten terhadap rencana pembangunan (proyek PIK-2), hal itu juga  sebagaimana telah diberitakan oleh salah satu media Ibukota (KBA New, 13 Desember 2024, dengan judul berita, “Sultan Banten Tolak Upaya Pengembang Jadikan Banten Seperti Singapura”. Bahkan, sebuah spanduk sederhana berwarna hijau dengan tulisan putih terpampang di sebuah bagunan milik Kesultanan Banten di Serang, Banten.  Spanduk tersebut muncul ketika para aktivis Perlawanan terhadap (Aguan) dari PSN PIK-2 bertemu kerabat Kerajaan Banten. Spanduk itu bertuliskan “Banten Bukan Singapura dan Tidak Akan Pernah Menjadi Singapore” yang ditulis oleh Kerabat Sultan Banten (KSB).

Sementara pihak Pengacara Para Korban PSN PIK-2 Juju Purwantoro menyampaikan hal itu kepada media (KBA News, Jum’at, 13 Desember 2024).  “Untuk mendapat pengarahan dan nasehat dari Sultan Banten, kami bersama tokoh perlawanan, selasa (10/12) lalu, bersama rombongan antara lain rekan advokat Achmad Khozinudin, Said Didu, Edy Mulyadi dan para warga korban PIK-2 bersilaturahim ke Keraton Kesultanan Banten (Banten Lama), Kota Serang, Banten.”
Rombongan sekitar 30 orang dari Jakarta dan Tangerang itu akhirnya diterima oleh tuan rumah yang juga adalah Sultan Banten yaitu Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja. Beliau bersama tokoh agama dan para jawara Banten menerima tamunya itu untuk berdiskusi dengan pengacara. Diskusi berlangsung hangat dan penuh kekompakan juga membahas kesejahteraan seluruh rakyat Banten.

Dalam acara itu juga muncul cetusan yang intinya adalah tentang masalah (soal lahan) di wilayah/area Kesultanan Banten. Semua itu harus diketahui dan diberikan izin terlebih dahulu melalui Sultan Banten.

Menurut sejarah, Kerajaan Banten lama yang dibubarkan Belanda pada tahun 1813 itu memang tidak ada lagi. Tetapi secara spiritual dan keagamaan pemerintah Belanda (sekarang Indonesia) mengakui eksistensinya. Mereka diberikan hak untuk mengelola warisan kerajaan Banten seperti tanah, adat istiadat, agama dan harta berharga lainnya. Karena itu, sampai sekarang mereka masih eksis.

Tidak Anti Pembangunan

Dalam sambutannya, Sultan Banten Ratu Bagus menyampaikan secara tegas bahwa Banten tidak anti dengan pembangunan. Buktinya Airport Internasional Soekarno-Hatta, pabrik-pabrik besar yang produksi merek Internasional ada di wilayah Banten. Hal itu sudah berlangsung bertahun-tahun dalam tepa selera yang harmonis.

Beliau hanya menekankan dan mempersoalkan cara proyek PIK-2 yang akan membangun perumahan dengan cara yang kurang baik (membeli tanah rakyat dengan harga yang sangat murah). Cara seperti itu, jelas perilaku arogan dan akan menghilangkan ciri budaya dan Peradaban kesultanan Banten dengan ciri utamanya khas budaya Islam. “Kami tidak anti pembangunan, tetapi yang kami persoalkan adalah caranya. Amanah integrasi wilayah Kesultanan Banten menjadi Wilayah NKRI, adalah agar tanah Banten digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tanpa meninggalkan peradaban Islam yang menjadi ciri khas Banten. Itu yang nampaknya diabaikan oleh para calon pengembang dan konco-konconya,” kata Sultan lagi. Jadi, pesan spanduk yang bertuliskan “Banten bukan Singapore dan delamanya tidak akan pernah menjadi Singapore” adalah peringatan tegas, kepada para pengembang agar segera menghentikan proyek PIK-2. Jika tidak berarti mereka melecehkan budaya Banten yang menjaga harmoni dan berpegang paa nilai-nilai Islam.
Sultan Banten juga menceritakan, bahwa perayaan besar masyarakat Banten dilakukan dengan hidangan daging kerbau. Tradisi dengan menyembelih kerbau dalam acara perayaan besar, ternyata dengan alasan semangat toleransi kepada umat Hindu yang mengkultuskan Sapi.

Bahkan, telah ratusan tahun umat beragama hidup rukun dan saling berdampingan, toleransi dan damai di wilayah Banten. Mohon para pengemban tidak merusaknya.

Selain pembangunan dibidang Agraria, yakni sebagaimana telah diungkapkan diatas, pada tulisan kali ini penting juga rasanya penulis untuk menyampaikan, yaitu betapa pentingnya proses pembangunan kemaritiman/pesisir yang belum terjangkau secara baik oleh pemerintah Provinsi Banten, pasalnya sampai saat ini banyak keluhan yang dilakukan terkait nelayan tempat bersandarnya kapal (dermaga) dan penataan infrastruktur pesisir, terutama di wilayah Banten bagian Selatan, dengan gelombang laut yang cukup tinggi tetapi kualitas sandaran kapal masih dikatakan seadanya atas dasar swadaya menurut kemampuan nelayan, belum tersentuh secara masif. Tentu saja hal itu tidak aman bagi nelayan, kemudian minimnya lembaga keuangan yang mengurusi pinjaman nelayan, maka kedepannya perlu adanya Bank bagi nelayan.
 
Terakhir, Pelayanan publik sampai saat ini belum menunjukkan motivasi dari “good and clean governance”, sebagaimana dikemukakan di atas bahwa pelayanan publik saat ini masih bersifat matrealistik, artinya dapat dilakukan pelayanan dengan baik apabila ada pembayaran atas jasa pelayanannya. Disinilah aspek keadilan dalam pelayanan justru dikesampingkan, mengingat masyarakat membutuhkan pelayanan dengan baik tanpa harus diberikan beban tambahan, dan itu sudah menjadi tugas pemerintah tentunya.

B. Resolusi Banten
 
Permasalahan-permasalahan sebagaimana yang telah diungkapkan di bagian atas, perlu diselesaikan dengan beberapa langkah, antara lain : (1). Mengkoordinasikan secara aktif struktur pembangunan yang bersifat inklusif kepada Kabupaten/Kota, kemudian dibangun secara bersama-sama melibatkan masyarakat melalui pemerintahan Desa, mengingat saat ini Desa memiliki otonomi untuk membangun pemerintahannya sendiri (2).

Melikuidasi pengusaha-pengusaha yang memiliki rekam jejak yang kurang baik (3). Meninjau ulang kebijakan investasi agar tidak merugikan rakyat (4). Melaksanakan perencanaan pembangun Daerah berbasis aspirasi (5). Melaksanakan pembangunan berbasis lokalitas, bukan berbasis kepentingan. Karena, ketika daya pemangku kebijakan melakukan pembangunan bersama-sama melibatkan masyarakat, hal itu akan terbentuk sebuah pemerintahan yang bersih dan terbuka, dan tentunya memiliki penerapan kebijakan yang baik bagi masyarakat. Paling tidak, apabila langkah-langkah solusi tersebut dilakukan secara seksama, mala 10 tahun ke depan Banten akan menemukan kemajuannya sebagai Provinsi terdepan penyangga Ibukota, karena jika dihitung dengan matematika ekonomi, Banten memiliki cadangan sumber daya yang sangat besar, mulai dari pertambangan, pertanian, perkebunan, pariwisata, kelautan dan perikanan, ditambah memiliki bonus demografi yang cukup besar.

Dengan alasan tersebut, Banten sebetulnya tidak layak dikatakan sebagai Daerah terbelakang, namun hal itu menurut tinjauan penulis bahwa hanya gara-gara segelintir mental (oknum) pejabatnya yang terbelakang, akhirnya Banten masih dijastifikasi terbelakang. Oleh karena itu perburuan rente tidak patut dipertahankan.

III. Sejarah Seharusnya Jadi Inspirasi Membangun Banten Masa Kini

Kejayaan kerajaan nusantara di masa lalu dan termasuk kharismatiknya Kesultanan Banten, bisa dijadikan inspirasi untuk mengeksplorasi seluruh potensi daerah dalam rangka membangun masa depan yang lebih baik. Catatan kesuksesan Kesultanan Banten misalnya, harus menjadi pendorong masyarakat Banten dalam membangun wilayahnya.
“Banten adalah salah satu kerajaan penting di Jawa pada abad XVII. Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692) adalah pemimpin Kesultanan Banten sekaligus Pahlawan Nasional,” kata Wakil Ketua MPR-RI, Lestari Moerdijat saat menjadi pembicara kunci secara virtual dalam Seminar Kebangsaan yang bertemakan “Budaya Dan Politik di Banten : Refleksi Sejarah Dan Eksplorasi Potensi Untuk Masa Depan”, Sabtu (Media Indonesia, 3/10/2020). Hadir dalam seminar tersebut,  Dr. Lili Romli (Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI), Neng Dara Affiah (Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah), Sonny C. Wibisono (Peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) dan Tubagus Amri Wardhana Al-Famakhir (Zurriyat Kesultanan Banten/Ketua II DPP MAKN) sebagai narasumber.

Seminar yang dibuka Ketua DPP Perkumpulan Seni Budaya (PSB) Banten yang juga anggota DPRD Kabupaten Pandeglang, Banten, Yangto, itu dimoderatori oleh Luthfi Asysyaukani (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI). Menurut Lestari, dimasa jayanya Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa membangun armada laut, memiliki angkatan perang, mendirikan pusat budaya dan ilmu pengetahuan. Bahkan, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, dimasa lalu Banten sudah memiliki teknologi untuk menghasilkan air bersih. Menurut Rerie, kepedulian Sultan Ageng Tirtayasa terhadap lingkungan bisa dilihat pada teknologi ini. Namun kondisi sebaliknya, jelas Rerie,  terjadi pada Banten saat ini antara lain mencatat indeks demokrasi dan toleransi yang masih di bawah rata-rata indeks nasional. “Padahal dimasa lalu Kesultanan Banten cukup terbuka terhadap budaya dan pemikiran dari bangsa-bangsa lain,” ujarnya. Bila konsisten melaksanakan nilai-nilai empat konsensus kebangsaan Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, menurut Rerie, masyarakat Banten akan mampu memperbaiki sejumlah pencapaian daerah yang masih di bawah rata-rata nasional.

Diyakini, kehadiran Perkumpulan Seni Budaya (PSB) Banten bisa mendorong masyarakat Banten untuk mengejar ketertinggalan dibidang demokratisasi dan toleransi di wilayah Banten, termasuk masalah budaya.

Sementara menurut peneliti pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sonny C. Wibisono, ia juga memperkuat pernyataan Rerie. Menurut Sonny, Banten di masa lalu adalah tempat kapal lego jangkar dan tempat berdagang. “Di Pelabuhan Banten para pedagang lokal melakukan jual beli dengan pedagang dari Maladewa dan tanah Sumatra.

Daerah Banten dimasa lalu sangat terbuka, terhadap pendatang,” ujar Sonny. Sementara menurut sosiolog Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Neng Dara Affiah berpendapat melihat Banten saat ini jangan melihat kawasan Bumi Serpong Damai (BSD) dan Tangerang Selatan saja, tetapi lihatlah Kabupaten Lebak dan Pandeglang yang nota bene pembangunan fisik dan nonfisiknya masih relatif tertinggal. Saat ini, jelas Neng Dara, masyarakat dan pemerintah Banten terkesan masih ‘tertidur’. “Bila tidak segera ‘bangun’, maka orang di luar Banten-lah yang akan membangunkan,” tegas Neng Dara mengibaratkan tertinggalnya pembangunan di sebagian besar wilayah Banten.

Bahkan, berdasarkan kondisi saat ini, Neng Dara menilai, pengembangan sektor pertanian dan pariwisata bisa menjadi motor penggerak bagi kabupaten-kabupaten di wilayah Provinsi Banten yang masih tertinggal. “Mengingat alam Banten sangat indah, tentu saja hal itu memang membutuhkan komitmen pemerintah dan masyarakat Banten untuk tetap menjaga dan merawat keindahan alam itu jika ingin mengambil manfaat dari pariwisata,” tegasnya.

IV. Orang Banten : Antara Pemajuan Dan Pelestarian Kebudayaan

Siapapun yang merasa menjadi orang Banten (termasuk penulis sendiri), tentunya sangat bangga dengan keane-ragaman budaya serta kharismatiknya masa kejayaan Kesultanan Banten zaman dulu. Seperti hingga saat ini eksiatensi budaya Banten masih masifnya seni bela diri (pencak silat Terumbu Banten), seni debus, terbang gede, rampak bedug dan masih banyak lagi yang bisa disebut. Di negeri para jawara, kerapkali pencak silat dan seni debus itu menghitam putihkan seisi stadion Maulana Yusuf Serang, terutama ketika diacara tahunan “Tapak Karuhun Banten”. Bahkan, orang Banten kerapkali berseragam silat hitam-hitam dipadu putih menjadi ciri khas yang tidak lekang zaman.

Keberadaan seni Debus Banten tidak kalah membanggakan, karena kerapkali manggung di mancanegara dan bahkan hingga Eropa. Belum lagi budaya yang ada dan hidup bersama setiap aktivitas ber-ratus-ratus tahun di setiap daerah. Ingatlah, orang Banten tidak hanya mempunyai “origins culture” dan kekayaannya sendiri, tapi Banten mampu menyatukan budaya Sunda dan Jawa. Tentang seni budaya beladiri dari orang Banten jangan ditanyakan lagi, setiap sekolah menengah punya ekskul silat terlebih berbekal dua Peraturan Gubernur Banten, hal itu memberikan “blessing” untuk pengembangan dan aktifitas muatan lokal/local wisdom pada setiap proses pembelajaran di Sekolah-sekolah tingkat SMP, SMA dan SMK.

Upaya maksimalkan dan menembangkanlah Pergub 15 Tahun 2014 dan 12 Tahun 2018, yakni tentang Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) semestinya harus terus dinamis. Kita lihat Untirta sebagai satu-satunya kampus negeri yang berlebel umum, juga punya satu program studi pendidikan seni. Tetapi di luar seni beladiri, namun budaya di Banten hingga saat ini masih perlu di eksplor. SMK yang konsen melahirkan pemuda-pemuda terampil seni budaya, belum terlihat aikoniknya. Keberadaab teknologi masa kini akhirnya lebih menyilaukan kaum muda dan pegiat pendidikan. Bahkan realitanya, lebih banyak SMK teknik informatika dan sejenisnya ketimbang SMK seni budaya dan kearifan lokal. Lalu, apa pentingnya sekolah budaya di zaman medsos saat ini?

Indonesia sudah menelurkan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Artinya setiap pemerintah Daerah harus membuka udara yang segar dalam konteks pembangunan kebudayaan. Bukankah nomenklatur di Dinas Pendidikan diakhiri dengan frasa “Kebudayaan”.

Jadi urusan kebudayaan masih setali tiga uang dengan urusan pendidikan. Harusnya sih berdiri sejajar begitu. Bahkan menurut UU tersebut, bahwa pemajuan kebudayaan pada hakekatnya bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Sedangkan manfaatnya adalah untuk memperkaya keberagaman budaya agar terbentuk keteguhan persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan rakyat, melestarikan warisan budaya bangsa, dan mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia, sehingga kebudayaan menjadi

haluan pembangunan nasional. Jika keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia dapat diukur melalui kualitas hidup masyarakat Indonesia, maka instrument ukurnya disebut IPM atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sedangkan pembangunan manusia diukur dengan menggunakan pendekatan tiga dimensi dasar manusia, yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan standar hidup yang layak (BPS, 2019). Sedangkan keberhasilan untuk menngurusi kebudayaan, hal itu diukur dari IPK (Indeks Pembangunan Kebudayaan).
Indeks itu harus mampu mengukur sejauhmana keberhasilan pembangunan secara menyeluruh di sektor kebudayaan. IPM dan IPK itu berkorelasi, karena semakin tinggi IPK maka akan mendorong IPM. Dan semakin tinggi IPM maka pertanda pertumbuhan kemakmuran terus meningkat. Dengan kata lain, secara tidak langsung pembangunan kebudayaan mendorong kemakmuran. Begitu kata teori ekonomi makro dari sudut statistikanya. Maka untuk menaikkan kemakmuran maka harus digenjot lah sektor pembangunan dan itu memberikan dampak yang tidak selalu positif.

Ada banyak literatur di dunia tentang sisi negatif pembangunan, seperti tulisan Craigh Johnson yang menulis Pembangunan tanpa kuasa pengetahuan. Dan puncaknya ada pada teori Gramsci (sang Intelektual Perancis) yang mengkritik pembangunan di dunia ketiga. Indonesia itu masih bisa disebut bagian dari negara dunia ketiga. Sementara buku yang mengkaji dampak negatif pembangunan juga cukup banyak. Karena tidak selalu postif maka diantara salah satu wacana yang ditawarkan untuk menutupi kelemahan pembangunan adalah dengan mengusung pembangunan kebudayaan, atau pembangunan dari perspektif budaya. Pembangunan yang tidak meninggalkan kebudayaan, dan masih banyak teori lain yang sejenis.

Intinya kebudayaan menjadi ramuan yang menjinakkan dampak negatif pembangunan.
Banten merupakan Provinsi yang sedang getol membangun, IPM nya sudah bertengger di 10 besar nasional. Tetapi IPK nya masih 10 besar terbawah di Nasional. Berarti dampak negatif pembangunan di Banten belum mampu diantisipasi, kebudayaan belum menjadi ramuan penyembuh efek negatif dari pembangunan. Maka tugas untuk menyediakan ramuan pemusnah dampak negatif pembangunan se-antero Banten ada di pundak Dindikbud Banten. Pelaksanaan pembangunan secara tidak langsung mengubah nilai-nilai yang ada di masyarakat. Perubahan nilai-nilai budaya bergerak mengikuti perkembangan sosiologis dan perilaku ekonomi. Konsumsi adalah anak kandung dari pembangunan dan hedonis adalah anak kesayangan konsumsi. Semakin tidak terkendali arah konsumsi, maka semakin hedon masyarakat kita ini. Karena, semuanya dimonetisasi oleh “asal bisa menjadi uang”. Bahkan kampung Baduy yang adiluhung hingga saat ini menjaga nilai tradisi, namun kini terkesan mulai dibungkus sebagai kampung wisata. Tidak lagi ada tradisionalitas ; yang ada transaksi dagang sejak di pintu masuk Ciboleger. Golok dan debus juga bernasib sama : terkesan sudah kehilangan sakralitas dan menjadi bagian dari mesin konsumsi. Oleh karena itu menurut hemat penulis, memang harus ada sekat dan batas, yakni antara sakralitas dan moderenitas.

IPK tidak dimaksudkan untuk mengukur nilai budaya suatu daerah, melainkan untuk mengukur proses capaian kinerja pembangunan kebudayaan. Jika IPK masih bertengger di bawah artinya pemerintah daerah harus kerja keras untuk membangun kebudayaan. Angka capaian IPK di Indonesia tahun 2018 berada di 53,74.

Artinya pembangunan kebudayaan di Indonesia masih memerlukan usaha dan kerja keras berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Tentu saja Dindikbud Banten harus berada di depan, yakni untuk menyediakan karpet merah bagi pejuang kebudayaan. Karena, pembangunan budaya merupakan suatu perubahan yang terjadi di masyarakat untuk mencapai sebuah kemajuan. Untuk urusan IPK, Provinsi Yogyakarta, Bali, dan Jawa Tengah berada di posisi tiga teratas. Hal itu menandakan bahwa di Yogyakarta dan Bali memang tetap menjaga budaya lokal, bangunan bersejarah sambil terus mengikuti perkembangan yang ada. Lihat peringkat IPK dan IPM Banten berikut ini :

Lalu apa yang diperlukan di Banten? Sebaliknya kita bisa mengajukan pertanyaan, apa sajakah “roadmap” yang sudah disusun untuk mengurus Kebudayaan di Banten Anggaran Dindikbu Banten mencapai miliyaran, sekitar dua ribu milyaraan. Itu banyak sekali. Berapa untuk pendidikan dan berapa porsi untuk kebudayaan. Dan apakah ada pendidikan yang terintegrasi dengan kebudayaan dan sebaliknya: kebudayaan Link and match dengan pendidikan. Tanpa pembangunan kebudayaan maka yang dihasilkan adalah pendidikan untuk menyiapkan tenaga-tenaga operator mesin industri, para konsumen-konsumen baru. Hanya itu!

Oleh karena itu, perencanaan budaya harus didesain untuk menghasilkan pembangunan berkebudayaan dan bukan sekedar pembangunan yang bersifat ekonomi, pembangunan yang capitalistik dan pembagunan yang liberalistik. Namun pembangunan yang harusnya dengan sigap memusatkan kebudayaan sebagai central park peradaban. Setiap perencanaan pembangunan sebaiknya juga mengintegrasikan budaya. Bahkan kata orang, semakin tinggi IPK suatu daerah maka Semakin tinggi pula IPM daerah tersebut. Genjot IPK mulai satu tahun ini untuk terus menyiapkan “blue print” pembangunan kebudayaan di masa-masa berikutnya untuk wilayah Banten.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *