สล็อต blackhat>tele>@bhseo888

먹튀검증 blackhat seo_tele>@bhseo888

fun88 blackhat seo_tele>@bhseo888

fun88 blackhat seo_tele>@bhseo888

jiliko blackhat seo_tele>@bhseo888

w88 blackhat seo_tele>@bhseo888

w88 blackhat seo_tele>@bhseo888

Upa Membuat Orang Pintar Menjadi Bener, Dan Membuat Orang Benar Menjadi Pintar Dan Tidak "Kebelinger" - ICMI BANTEN

Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Kata “pinter keblinger” sering diucapkan orang jawa yang menunjukkan adanya sifat paradoksal atau sifat pertentangan di dalam diri seseorang. Bagaimana mungkin orang pandai dan berilmu itu justru tersesat jalan, alias sampai “kebelinger”? Tapi dalam konteks kehidupan di era milenial ini memang tak ada yang aneh. Karena, tidak sedikit orang berilmu (pintar) dan berpengalaman panjang dalam hidup dan kehidupannya, kemudian salah langkah dan kemudian terjebak dalam “belengerisme” alias “kebelinger”. Kenapa orang pintar bisa keblinger, salah jalan, salah pandang dan salah sikap atau istilah yang lagi ngetren sekarang disebut “gagal faham”. Hal itu biasanya, bahwa penyakit akut yang menjangkitinya biasanya hanya dua, yaitu instrument nalar verbalnya buruk dan hawa nafsu sesat dan henistik. Bahkan, orang yang nalar instrument verbalnya buruk sering menjadi rabun terhadap kebenaran yang hakiki, alias selalu memandang kebenaran hanya dari sudut pandangnya sendiri, sementara yang lain seolah-olah salah total. Ia menjadi terlalu percaya diri pada apa yang dimilikinya, menganggap milik orang lain itu salah. Tatkala ada sesuatu pada orang lain yang berbeda dipandangnya, hal itu ia memandangnya sesat atau salah jalan. Bahkan, dibalut dengan nafsu maka kesesatan dan kekeliruan itu akhirnya lebih sempurna, karena nafsu selalu mengajak kepada keburukan dan kesesatan, ”anna nafsa la ammratutun bis-su’ illa man rahima rabbuh”.

II. Pintar Belum Tentu Benar

Pernahkah kita merasa kesal saat berhadapan langsung dengan orang yang merasa dirinya paling benar? Dia selalu memang dirinya paling pintar, tapi menurut kita apakah karena hanya dia paling pintar maka harus dibenarkan? Pasti sangat menjengkelkan bukan..? jika kita berhadapan dengan orang yang merasa dirinya paling benar. Padahal seringkali setiap ucapannya selalu mengalami “krilulogi”
(hanyalah omong kosong, ibarat tong kosong nyaring bunyinya). Maka kita secara tidak sadar langsung menggerutu di dalam diri dan emosi di dalam hati, mengapa orang seperti itu selalu saja ada? Mungkin kata-kata yang kita ucapkan di dalam hati kita itu seperti “Kenapa, ada orang seperti itu, yang selalu sok benar dan sok pintar dan tidak pernah menerima saran pendapat orang lain”. Pertama yang perlu dihadapi adalah dengarkan saja semua ucapannya, walaupun dia sampai marah tensi emosinya terus tinggi dan berbicara beribu-ribu kata. Lebih baik di dengarkan saja sampai dia merasa lelah. Baru setelah selesai, giliran kita yang ambil alih berbicara padanya. Namun jika mereka tetap tidak terima dan merasa benar, lebih baik kita mengalah dan menghindar darinya atau lebih tepatnya kita menghindari masalah darinya.

Sebenarnya ada banyak cara menghadapi orang-orang seperti itu. Hanya saja pada tulisan kali ini (artikel ini) lebih fokus kepada untuk menjelaskan kenapa orang pintar selalu dianggap benar? Apakah karena dia lebih pintar dari kita dan semua perbuatan kita itu selalu dianggap salah. Sementara orang pintar yang selalu merasa benar biasanya dimiliki oleh orang pintar yang egois dan tidak mau menerima pendapat. Hal itu disebabkan karena dia merasa paling benar dan paling pintar, sementara ia menganggap bahwa kebenaran milik orang lain adalah hal yang salah. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang tidak sempurna seimbangkan-lah kepintaran kita dengan akhlak dan adab kita. Bukan hanya karena kita pintar lalu kita menganggap orang lain salah, dan itu tentunya salah kaprah.

Semisal kita disuruh berpendapat oleh orang sekitar kita, mintalah mereka berpendapat tentang usulan kita. Apakah usulan kita itu sudah tepat atau belum. Jangan hanya karena usulan kita diterima, dan lalu kita langsung semena-mena dengan usulan kita sendiri. Kita sebagai manusia bukanlah makhluk individu, tapi kita sebagai makhluk berkelompok (makhluk sosial) yang selalu tolong menolong di kala susah maupun senang. Dengan kata lain, “Lebih baik menjadi orang benar, meski tidak pintar-pintar amat. Sebab membuat orang pintar menjadi benar itu ternyata membutuhkan kejernihan hati dan keluasan jiwa”

III. Pinter Keblinger

Sebagaimana telah disinggung diatas, bahwa kata “pinter keblinger” itu menunjukkan sifat paradoksal, yakni sikap dan sifat pertentangan di dalam diri. Bagaimana mungkin orang pandai dan berilmu justru tersesat jalan? Tapi dalam kehidupan sekarang memang tak ada yang aneh.

Tidak sedikit orang berilmu dan berpengalaman panjang dalam hidup lantas terjebak salah langkah. Namun, realitanya saat ini memang ada istilah “orang salah dibela mati-matian. Orang berprestasi biasa dianggap luar biasa, dengan cara pandang fanatik-buta”. Bahkan, ketika terjadi pertentangan atau perbedaan pendapat, baik dari hal-hal yang sepele maupun hal yang sangat prinsipil, ia kerapkali tidak mau menerima dengan lapang dada. Sebaliknya, ia terus membuat asumsi-asumsi seolah ilmiah, “itu kemenangan kaum ploretal- ngeyeliyah, yang kerapkali mengalahkan rasionalitas.” Mudah sekali mengambil kesimpulan berdasarkan selera sendiri yang seolah-olah paling benar. Bahkan, memandang orang lain radikal di sisi kanan, tidak sadar dirinya juga sama radikal di sisi kiri. Kerapkalim enyaksikan orang hanya sekilas dari luar. Tampak hebat, bersih, dan digdaya karena kepandaian menghidangkan prestasi-prestasi verbal yang memukau nalar sesaat. Lalu larut dalam kekaguman tanpa kritis, bak orang bertumpuk-lumus dalam “oase fatamorgana” yang sejatinya semu. Bahkan ilmu yang luas tak mampu menembus kebenaran hakiki, karena dirinya terjangkiti oleh subjektivitas tinggi. Kenapa orang-orang pintar seperti itu tampak “keblinger” alias salah cara pandang dan bersikap apoligetik? Penyakitnya biasanya dua, yakni sebagaimana telah dijelaskan diatas, yaitu nalar verbal yang instrumental plus hawa nafsu. Karena sudah alergi pada objek, orang-orang dengan nalar instrumental yang kental sering menjadi rabun kebenaran yang hakiki. Kebenaran hanya datang dari diri dan lingkungannya saja yang dianggap benar, sementara yang lain dianggap salah. Dan akhirnya ajaran Islam pun hanya dibenarkan oleh konstruksinya sendiri, yaitu konstruksi yang beraroma liberal-sekuler, yang melihat kenyataan dari alam pikir bebas-netral tetapi tidak didukung data lengkap plus olah nalar-hakikat.

Namun, tatkala ada konstruksi pihak lain yang berbeda, hal itu dipandangnya sesat atau salah jalan entah ke kiri atau ke kanan. Bahkan dibalut hawa nafsu sesaat, tidak jarang juga pikiran verbal menyesatkan pikiran dan tindakan jernih. Merasa berada dalam bingkai jiwa berpikir merdeka, yang mencuat malahan pilihan kerdil plus angkuh-diri. Kebenaran tidak diletakkan secara menyeluruh seperti tubuh gajah yang harus dilihat secara utuh dan menyeluruh dan kemudian dilihst dari banyak sudut pandang. Informasi dan pandangan satu orang mestinya diolah untuk dipertukarkan secara kritis dan cerdas. Bahwa agar mendapat kebenaran yang lebih lengkap, maka dengarlah setiap usulan dari banyak pihak dan bukan dari orang-orang terdekat saja. Sebab ciri “ulul-albab” dan orang yang memperoleh hidayah ialah “yang mendengar setiap pendapat lalu mengikuti mana yang terbaik di antaranya” (Qs al-Zumar: 18). Nalar verbal berbalut nafsu sesaat, hal itu seringkali mengecoh. Asal kontroversial dan menyempal dari arus umum disebut maju dan melintasi. Tidak pernah dipersoalkan substansi dan hakikat ujarannya. Bahkan, kebenaran hanya dilihat dari luar, tak pernah diselami hingga ke lubuk terdalam yang hakiki. Tak berpikir mendalam, apa sebenarnya yang terjadi? Bahkan, rasa optimisme yang berlebihan akan kemenangan, justru berbuah kekalahan. Semua baru terkejut setelah apa yang dipikirkan berbeda dengan kenyataan.

Namun kaum beriman, kendati berilmu tinggi mesti sadar bahwa pengetahuan manusia itu memang terbatas. Bahwa di balik hukum dan kebenaran produk manusia, masih terdapat hukum dan kebenaran Tuhan yang melampaui. Maka jangan salah membaca tanda-tanda zaman dan angkuh diri pada kebenaran satu dimensi. Sebab ketika Tuhan menunjukkan kehendak-Nya, siapa pun yang merasa paling digdaya di muka bumi ini akan menerima takdirnya. Bahwa segala urusan itu dalam kuasa Allah dan jika Dia berkehendak maka terjadilah yang mesti terjadi, “kun fayakun” (Qs Yasin: 82).

IV. Memintarkan Orang Benar, Dan membenarkan Orang Pintar

Menurut (alm) Kiyai Hasyim Muzdadi “Indonesia saat ini lebih banyak orang pintar daripada orang benar”. Demikian pernyataan Rais Syuriyah PBNU KH Hasyim Muzadi saat berceramah di Pondok Pesantren Al Hidayah Gerning, Tegineneng, Pesawaran, Lampung, Kamis (14/5/2012), yakni ketika beliau masih hidup. Lebih lanjut menurut mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) itu, ia menegaskan bahwa “memintarkan orang bener itu lebih gampang daripada membenarkan orang pintar”. Hal itu, tambahnya, merupakan tugas berat bagi semua pihak di era seperti sekarang ini. Kini banyak anak muda kita yang nampaknya pintar-pintar dan lihai dalam berargumen, namun lebih mengedepankan soal rasio ketimbang moral-spiritual. Menurutnya, ilmu rasional memerlukan ketahanan moral-spiritual, sehingga ilmu yang didapatkan akan dapat memberinya kemanfaatan ketika terjun dalam kehidupan. Ketika memiliki mental dan moral yang baik maka ilmu yang didapatkan tidak akan mubazir dan membahayakan. “Sarjana sekolahan tidak mesti menjadi sarjana kehidupan,” tegasnya. Kiyai Hasyim Muzadi mencontohkan ilmu yang membahayakan seperti beberapa kasus hukum yang ada di Indonesia dimana banyak ahli hukum yang bermasalah dengan hukum, dan para penegak hukum malah terjerat kasus “makelar hukum” dan seterusnya.

Sembilan Wejangan Dari Mbah Moen Djubair : Membuat Orang Pintar Menjadi Orang Benar

Tokoh bangsa kita, yaitu Kyai Maemun Zubair atau Mbah Moen meninggal dunia pada Hari Selasa pagi (06/08/2019) sekitar pukul 08.17 WIB atau pukul 04.17 waktu Makkah, Arab Saudi. Sebagai ulama, Mbah Moen dikenal sebagai sosok yang tetep gigih dan selalu memperjuangkan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Sementara terkait nilai-nilai dan moralitas pada anak bangsa ini, Mbah Maemun Djubair, ia diantaranya memberikan wasiat tentang perlunya membuat orang “pintar” menjadi orang yang “benar”. Hal itu, ujarnya bisa dilakukan dengan adanya kejernihan hati dan keluasan jiwa. Hal itu disampaikan Mbah Moen saat memberikan wejangan diacara Haul Ponfok Pesantren Denanyar Jombang, pada tanggal 28 Maret tahun 2017. Sembilan pesan dari Mbah Moen dalam bahasa Jawa kemudian penulid coba terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :

“Ora kabeh wong pinter kuwi bener” (Tidak semua “orang yang pintar/cerdas/intelektual” itu adalah orang yang “benar/lurus”. Ora kabeh wong bener kuwi pinter (Tidak semua orang yang “benar/lurus” adalah orang “pintar/cerdas/intelektual”. Akeh wong pinter ning ora bener (Banyak orang “pintar/cerdas/intelektual” tapi tidak “benar/lurus”). Lan akeh wong bener senajan ora pinter (Dan banyak “orang benar/lurus” meski pun dia tidak/bukan “orang pintar/cerdas/intelektual”). Nanging tinimbang dadi wong pinter ning ora bener (Namun, daripada jadi “orang pintar/cerdas/intekektual” tapi tidak “benar/lurus”). Luwih becik dadi wong bener senajan ora pinter (Lebih baik menjadi orang “benar/lurus” meskipun dia tidak “pintar/cerdas/intelektual).
Ono sing luwih prayoga yoiku dadi wong pinter sing tansah tumindak bener (Ada yang lebih hebat/bagus, yaitu menjadi orang yang “pintar/cerdas/intelektual” yang selalu berbuat “benar/lurus”). Minterno wong bener kuwi luwih gampang tinimbang mbenerake wong pinter. (Sementara membuat “pintar/cerdas/intelektual” orang yang “benar/lurus” itu lebih mudah dari pada membuat “orang pintar/cerdas/intelektual” menjadi orang yang “benar/lurus”). Mbenerake wong pinter, kuwi mbutuhke beninge ati, lan jembare dodho (Karena, membuat orang “cerdas/pintar/intelektual” menjadi orang yang “benar/lurus”, itu membutuhkan kejernihan/kebeningan hati dan keluasan jiwa).

V. Bibit, Bebet Dan Bobot Orang Yang Akan Menjadi Pintar, Dan Sekaligus Benar

Universitas Jember menggelar Wisuda periode V tahun akademik 2022/2023 di Gedung Auditorium (11/3/2023). Sementara salah seorang wisudawan yang dikukuhkan oleh Rektor bernama, Nabil Nabhan, yang merupakan lulusan Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Nabil, begitu panggilannya, adalah salah satu dari 31 lulusan dengan pujian (cumlaude). Nabil mencetak Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,61. Tak hanya memiliki prestasi akademis, Nabil juga punya segudang prestasi lain. Yakni, mulai dari juara pertama Pemilihan Mahasiswa Berprestasi tingkat FMIPA Universitas Jember, Juara pertama Lomba Esai Tingkat Nasional (LETN) tingkat nasional di UIN Walisongo Semarang dan lainnya. Di bidang non akademis sebut saja sebagai peserta mobility program di Universiti Tun Hussein Onn Malaysia, mengikuti International Summer Course di Feng Chia University, Taiwan, hingga terpilih sebagai 7 start-up terbaik se Jawa Timur-Bali versi New Energy Nexus Indonesia. Satu lagi, Nabil yang mondok di Pondok Pesantren Al Jauhar Jember itu, ia juga hafidz Al Qur’an.

Menurut Nabil, mencari ilmu agama dan ilmu dunia bisa seiring sejalan bahkan keduanya saling melengkapi. Prinsip itu tak lepas dari didikan orang tuanya, pasangan Taufikurrahim dan almarhumah Wasilah yang selalu menekankan anak-anaknya untuk disiplin menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Keduanya memfasilitasi anak-anaknya dengan menyediakan buku-buku seperti ensiklopedia Al-Qur’an, shahih muslim, dan buku-buku lainnya. Sementara Ayah Nabil adalah guru di SMPN 2 Pengantenan Pamekasan. “Abah selalu berpesan agar anak-anaknya menjadi santri yang intelek dan intelek yang santri. Tiap pagi sebelum berangkat sekolah, saya dan saudara-saudara saya diwajibkan untuk belajar kitab-kitab fikih seperti Safinatun Najah, Sullam Taufiq, dan Fathul Qarib dan lainnya. Setelah pulang sekolah, di sore harinya saya juga selalu dibiasakan untuk belajar agama lagi di madrasah setempat. Kemudian malamnya ba’da sholat Isya saya belajar lagi kitab fiqih. Setelah itu baru saya beralih belajar pelajaran sekolah. Bahkan saya tak boleh beraktivitas di luar rumah sebelum menyelesaikan setoran hafalan Al Qur’an kepada Ayah,” tutur anak kedua dari empat bersaudara itu.

Sejak duduk di bangku SMP Nabil sudah tertarik dengan mata pelajaran Fisika. Sudah tak terbilang lomba Fisika atau bidang IPA yang diikutinya. Oleh karena itu begitu lulus dari SMAN 1 Pamekasan, Nabil menjatuhkan pilihan kuliah di Program Studi Fisika FMIPA Universitas Jember. Pilihan kuliah di Jember itu memang sesuai dengan pesan almarhumah Ibunya yang ingin Nabil dekat dengan kakaknya yang saat itu juga tengah kuliah di Universitas Jember. Apalagi keluarga besar Ayahnya berasal dari Kecamatan Kalisat. Selama kuliah di Jember, Nabil juga memutuskan modok di Pesantren Al Jauhar. Tempaan disiplin semenjak kecil membuat Nabil terbiasa membagi waktu. Kesibukan di kampus dan kegiatan di luar kuliah dijalaninya dengan enjoy, termasuk saat harus menuntut ilmu di Al Jauhar. Menurut anak kedua dari empat bersaudara itu, tinggal di pondok pesantren memiliki banyak keunggulan. Pasalnya tinggal bersama banyak orang yang memiliki pola pikir dan kepentingan yang bermacam-macam. Kondisi itu membuat Nabil harus adaptif dalam segala situasi dan kondisi. Menurutnya pondok pesantren adalah kehidupan bermasyarakat skala kecil, sehingga mau tidak mau membuatnya harus bisa memposisikan diri.

Lantas apa resep Nabil agar sukses di kampus dan berprestasi di kehidupan nyata ? “Saya membagi kesibukan saya menjadi empat hal, penting mendesak, tidak penting mendesak, penting tidak mendesak, dan terahir tidak penting tidak mendesak. Dengan cara seperti itu saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya tanpa harus khawatir tugas bertumpuk. Kemudian saya coba mengerjakan sesuatu seefisien mungkin. Jika pekerjaan tersebut adalah pekerjaan kampus maka saya selesaikan ketika saya berada di kampus, sehingga ketika pulang tidak membawa beban apa-apa. Jika pekerjaan tersebut adalah pekerjaan pondok atau hal lain di luar kampus, maka saya selesaikan sebelum saya pergi ke kampus, jadi ketika sampai di kampus saya tidak terbebani pekerjaan-pekerjaan diluar kampus,” ungkap Nabil.

Selepas wisuda, Nabil berencana melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pengalaman beraktivitas di perguruan tinggi di luar negeri membuka cakrawala pemikirannya, rencana itu pun sudah disetujui Ayahnya. Kini Nabil mulai mencari pendanaan beasiswa, tentu Fisika yang menjadi pilihannya. Nabil pun ingin berkiprah di dunia sosial terutama dalam pemberdayaan kaum dhuafa seperti yang dilakukannya melalui LAZISNU Pamekasan. “Jangan pernah merasa cukup atas ilmu yang kita punya. Jika kita sudah menekuni ilmu pengetahuan umum, jangan lupa untuk mendalami ilmu agama juga agar hidup kita seimbang. Sebab nilai dari pengetahuan kita bukan dari seberapa banyak rumus yang kita hafal, seberapa banyak gelar yang kita punya, atau seberapa lama kita belajar. Melainkan seberapa besar manfaat yang mampu kita berikan melalui ilmu kita kepada sesama,” tegas Nabil yang sudah hafal Al Qur’an sepuluh juz itu.

VI. Santri : Pengisi Daya Rohani Menerangi Peradaban dan Menyatukan Umat

Sebagaimana yang telah dikemukakan di sub judul bagian atas, yakni munculnya sosok seorang Nabail, yakni santri yang intelek dan intelek yang santri, dan besarkemungkinan ia menjadi pribadi dan tipologi santri yang mempuni. Dan mudah-mudahan ia akan menjadi seorang sosok yang “pintar” juga sosok seorang “yang benar”, yakni sosok pribadi santri, yang cerdas secara nalar-intelektual, juga cerdas secara moral-spiritual.

Santri ibarat Pengisi HP bagi masyarakat dan bangsa, merupakan sumber energi spiritual yang mengisi kehidupan dan peradaban dengan nilai-nilai luhur. Seperti halnya charger yang memberikan daya bagi perangkat elektronik, santri memberikan daya pencerahan dan keberkahan melalui ilmu pengetahuan dan keagamaan yang mereka peroleh di pesantren. Dalam setiap detiknya, charger hp bekerja tanpa henti untuk mengisi daya baterai, begitu juga santri yang gigih menuntut ilmu dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kabel charger yang menghubungkan perangkat dengan sumber energi, pesantren menjadi jalur yang menghubungkan santri dengan hikmah dan keteladanan ulama serta kyai.

Tak hanya itu, santri juga mirip dengan charger hp yang dapat digunakan dimana saja. Mereka siap melanjutkan perjuangan dalam berbagai lingkungan dan situasi kehidupan. Seperti saat hp kehabisan daya di tengah perjalanan, santri memiliki ketekunan dan ketabahan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi dalam mengejar ilmu. Keberadaan santri juga melampaui batas ruang dan waktu, seperti charger hp yang dapat menjangkau perangkat yang berada di jarak jauh. Pesantren sebagai tempat pembelajaran agama menjadi wadah untuk mencapai hati santri, mengajarkan nilai-nilai kebaikan, dan memupuk semangat untuk berkontribusi demi kebaikan umat dan bangsa.

Dalam dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk teknologi, santri menjadi garda terdepan dalam memelihara kearifan lokal dan tradisi luhur bangsa. Seperti charger hp yang menjaga daya baterai tetap stabil, santri harus memegang teguh identitas keagamaan dan budaya, serta turut melestarikan nilai-nilai adat istiadat yang kaya warisan nenek moyang bangsa kita. Sebagai pemegang amanah keilmuan dan keagamaan, santri memiliki tanggung jawab besar untuk meneruskan warisan kearifan lokal kepada generasi mendatang. Di tengah dinamika zaman yang terus berubah, keberadaan santri sebagai pengisi spiritual sangat diperlukan untuk mengisi kekosongan nilai-nilai keagamaan dan moral di tengah masyarakat. Seperti charger hp yang menyediakan daya baterai cadangan, santri menjadi kekuatan yang mendukung ketahanan spiritual dan moral bangsa. Mereka menjadi tonggak kestabilan dan keharmonisan dalam masyarakat, serta berperan penting dalam konteks untuk menciptakan kesadaran akan pentingnya toleransi, persatuan, dan kerukunan antar umat beragama. Sebagai penjaga tradisi keilmuan dan spiritual, maka santri adalah penerus warisan intelektual dan keagamaan para ulama terdahulu. Seperti charger hp yang selalu dijaga kualitasnya, santri menjunjung tinggi kualitas ilmu dan keteladanan ajaran agama yang mereka terima. Mereka menjadi pelopor perubahan positif dalam masyarakat, mendorong untuk menyelamatkan ilmu pengetahuan dan merangkul kebeberagaman.

Dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berkembang, peran santri sebagai pengisi spiritual sangatlah penting. Dengan semangat penuh, mereka mengisi kehidupan dengan cahaya ilmu dan nilai-nilai agama, menjadi inspirasi bagi banyak orang, dan membawa pencerahan bagi peradaban. Seperti charger hp yang selalu siap memberikan daya, santri harus tetap teguh menjalankan tugas mulianya sebagai pemimpin masa depan, pengawal agama, dan penjaga tradisi budaya. Keberadaan santri juga memainkan peran penting dalam menyebarkan pesan damai dan rasa saling menghormati antar umat beragama. Dalam dunia yang akhirnya terlibat oleh konflik dan perpecahan, santri seyogyanya harus menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai latar belakang dan keyakinan keagamaan.

Seperti charger hp yang menyatukan sumber energi menjadi satu, santri menjadi simbol persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman masyarakat. Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di skala internasional, santri seyogyanya berperan sebagai tugas perdamaian dan dialog antar budaya. Pesantren sebagai pusat pendidikan agama dan keilmuan menjadi magnet bagi santri dari berbagai negara.

Melalui pertukaran budaya dan pengetahuan, santri harus terus memperkuat jaringan global dan menjadi agen perubahan yang menginspirasi dunia. Tak kalah pentingnya, peran santri dalam menjaga lingkungan hidup juga patut diberi pengakuan. Seperti charger hp yang berusaha hemat energi dan ramah lingkungan, santri menjadi agen pembaharu dalam upaya pelestarian alam. Mereka harus diajarkan tentang mencintai dan menjaga alam sekitar, serta berkontribusi dalam upaya konservasi dan kepunahan lingkungan untuk masa depan yang lebih baik. Santri adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang tidak pernah menyelesaikan perjuangannya. Seperti charger hp yang selalu siap membantu perangkat elektronik, santri harus siap memberikan bimbingan dan pencerahan bagi masyarakat dan bangsa. Keberadaan santri sebagai pengisi spiritual harus terus memberikan energi positif untuk menjaga ketahanan spiritual dan moral, merawat keberagaman, serta menciptakan masa depan yang lebih cerah.

VII. Santri Perennial : Revitalisasi Genealogi Intelektual Pesantren

Menyebut “santri” tentu saja lebih berkonotasi budaya dan bukan agama. Tak pernah ditemukan istilah santri dalam sejarah agama manapun, kecuali terkait dengat budaya dan tradisi di Indonesia. Sulit untuk dapat menjelaskan kapan dan siapa yang pertama kali memberikan nama santri, kecuali istilah tersebut telah secara turun temurun menjadi istilah lokal yang mentradisi sekian lama dalam masyarakat Indonesia.

Seorang peneliti Belanda, Karel Steenbrink, pernah menyinggung dalam bukunya, bahwa istilah santri terambil dari bahasa Belanda, “priesterschoolen” yang berarti “sekolah pendeta”, karena para santri adalah mereka yang belajar di dalam lingkungan pesantren, mirip seperti lembaga kependetaan di gereja. Istilah itu kemudian diserap ke dalam budaya Indonesia untuk menyebut mereka yang mempelajari agama Islam secara khusus dengan bimbingan seorang guru atau kiai dalam lembaga yang dinamakan pesantren.

Sementara “Perennial” memang dipergunakan dalam istilah filsafat yang memiliki nilai “keabadian” secara ontologis, di mana setiap pengetahuan yang dimiliki manusia lahir dan ditularkan dari generasi ke generasi hingga saat ini. Filsafat perennial secara genealogis menularkan tradisi keilmuan secara terus menerus dan akhirnya membentuk suatu tradisi mata rantai intelektual yang abadi.

Seorang filosof Muslim yang pertama kali mempopulerkan istilah “filsafat perennial” adalah Ibnu Maskuyah (yang sering dieja “Miskawaih” w. 421/1030) yang tertuang dalam sebuah karya doksografi (kidung) yang berjudul “Jawidan Khirad” dalam bahasa Persia atau “Hikmah Khalidah” dalam bahasa Arab (Eternal Wisdom atau Philosophia Perennis). Namun, sering kali yang beredar di masyarakat bahwa gagasan perennis dipopulerkan pemikir barat, Augustino Steuco dan Leibnitz pada abad XVI, padahal jauh sebelum itu para filosof Muslim terlebih dahulu memperkenalkannya kepada dunia. Itulah kenapa, saya menyematkan istilah “perennial” kepada santri, sebab santri sejatinya para pemikir yang terus hidup, menghidupkan dan mengabadikan tradisi keislaman secara integral, kedalam suatu jaringan mata rantai intelektual mengikuti tradisi yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad.

Perennis-nya terletak pada geneologi intelektual yang tak pernah terputus, berada dalam lingkaran tradisi intelektual yang hidup secara turun-temurun. Tradisi intelektual santri adalah menghubungkan yang tradisional dengan yang kontemporer secara terus menerus. Seorang santri sejati, ia tidak mungkin menutup diri dari mata rantai intelektualitas ini dalam segala sisi kehidupannya.

Jika dulu Al-Kindi adalah maha guru para filosof Muslim yang diikuti oleh para muridnya, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, sampai Ibnu Khaldun hingga kemudian lahir para pemikir tasawuf yang mensintesakan filsafat dan tradisi, menyebar ke seluruh dunia dan dimodifikasi oleh para ulama diterima para kiai dan sampai kepada para santri, seolah hubungan-hubungan itu menjadi jejaring unik yang hampir tak pernah mati karena bersifat perennial.

Salah satu tokoh yang menghidupkan kembali perennialisme yang paling berpengaruh di dunia Islam kontemporer adalah Seyyed Hossein Nasr. Teorinya tentang tradisi sangat menarik, dimana ia ingin menghidupkan kembali tradisi yang “sakral” yang sejauh ini justru banyak disimpangkan atau bahkan ditutup oleh berbagai realitas modern. Menurutnya, tradisi merupakan suatu pengetahuan suci (scientia sacra) yang menjadi pusat dan meliputi seluruh lingkaran pemikiran suatu tradisi asal itu sendiri. Ketika diajukan suatu pertanyaan, “dari mana pengetahuan itu berasal?”, maka secara tradisional, pengetahuan berasal dari dua sumber yang kembar: pewahyuan (revelation) dan “intellection” atau “intellectual intuition” yang menerangi hati dan pikiran manusia, hadir secara langsung, dirasakan dan menjadi sumber pengalaman pribadinya. Tradisi ini yang harus terus dihidupkan (perennis) secara geneologikal, yang dalam tradisi Islam dikenal dengan istilah “’ilm al-hudluri” atau “pengetahuan yang hadir dan hidup”.

Santri perennial berarti mereka yang senantiasa menghidupkan kembali tradisi pemikiran suci masa lalu, tanpa mengambil atau mengikuti secara membabi-buta alur pemikiran modern yang jelas terputus. Dalam tradisi pesantren, para ulama masa lalu, mereka memiliki epistemologi pemikiran “sakral” yang harus diikuti atau minimal dihadirkan kembali oleh para santri dalam rangkaian kenyataan-kenyataan masa kini. Keistimewaan dari prinsip perennis adalah ketaatan terhadap lingkaran tradisi, yang hidup sejak zaman Nabi Muhammad. Terdapat nilai-nilai spiritual yang tak pernah kering, sebab tradisi intelektual Islam masa lalu, selalu merasakan dahaga akan “keabadian” yang transenden, yang bersifat ilahiah. Modernitas atau postmodernitas kerapkali memutus dan menutup lingkaran tradisi sakral itu, namun tradisi pesantren malah berhasil membongkarnya dengan cara membangkitkan dan menghidupkan kembali rangkaian tradisi intelektual “suci” para ulama dimasa lalu.

Namun demikian, benarkah santri sejauh ini hadir dalam lanskap pemikiran yang merajut kembali nilai-nilai tradisi sakral yang terputus? Atau minimal, tumbuh kesadaran bahwa tradisi pesantren yang dibangun melalui geneologi intelektual keulamaan tidak hanya Nusantara tetapi juga transnusantara tetap menjadi warisan tradisi intelektual yang direspon para santri milenial? Persoalannya, pesantren saat ini lebih cenderung memodernisasi dirinya, bahkan hampir dipastikan modernitas menjadi bagian tak terpisahkan dari lingkungan pesantren. Modernitas tentu saja bukan hanya wujud penggunaan teknologi, tetapi bagaimana pola pendidikan pesantren seringkali mengadopsi cara-cara modern dengan meninggalkan sedikit demi sedikit aspek kesakralan tradisi yang bahkan dianggap ketinggalan zaman. Diakui maupun tidak, banyak persepsi yang terbangun dimana pesantren tradisional sudah tak lagi diminati, karena aspek tradisional seringkali dipahami secara negatif sebagai kekolotan dan keterbelakangan oleh sementara pecandu modernitas.

Di sisi lain, santri juga sebagian telah bertransformasi sebagai sosok intelektual modern dalam pengertian pejoratif bagaimana kemudian nilai-nilai Barat diadopsi secara intelektual dan bahkan cenderung mengagungkannya dibanding harus kembali kepada tradisi masa lalu dengan merangkai kembali epistemologi pemikiran Islam yang mengabadi dalam suatu ‘tradisi ketimuran’.

Istilah ‘ketimuran’ bukan berarti kita mencontoh manusia-manusia yang hidup di negeri-negeri Timur, tetapi ‘timur’ merupakan analogi tempat dimana cahaya matahari pertama kali menyebarkan terangnya. Transformasi santri menjadi sosok intelek-modern, tidak seharusnya memilih cara-cara Barat, baik ideologi, pemikiran, atau metodologi, tetapi bagaimana nilai-nilai ketimuran itu tetap dipertahankan sebagai tradisi sakral yang abadi. Namun sulit untuk tidak mengatakan, bahwa kecenderungan terhadap ide-ide Barat-Sekuler juga mulai diadopsi para santri modern, dan disisi lain, memutuskan hubungan dengan geneologi tradisi sakralnya di masa lalu, sehingga tampak sangat kering nilai-nilai spiritualitas. Barangkali sebagai contoh, ketika ide-ide Barat, seperti multikulturalisme disuarakan, banyak yang ditelan mentah-mentah para santri dan bahkan “disakralisasi” menjadi hal yang harus diperjuangkan sebagai nilai-nilai kemanusiaan yang sesuai doktrin keagamaan.

Padahal, beberapa negara Barat justru menyesal karena ide multikulturalisme telah mengasingkan tradisi dan budaya lokal mereka sendiri, sedangkan disisi lain hanyalah memperluas ideologi liberal yang justru berasal dari tradisi luar masyarakat lokal. Disadari maupun tidak, ide multikulturalisme di negeri kita seolah telah menemukan tempatnya dan bukan tidak mungkin diperjuangkan oleh mereka yang mengaku sebagai pewaris genealogi intelektual para ulama yang sangat kuat memegang tradisi sakral di masa lalu.

Padahal, santri merupakan penjaga tradisi sakral epistemologi Islam yang telah hadir dari sejak zaman Nabi Muhammad yang dihidupkan secara perennial dari generasi ke generasi. Tradisi intelektual itu terus dihidupkan dan diabadikan para filosof, para mistikus Muslim, para ahli fikih, ulama, yang membentang sekian abad lamanya. Santri harus tampil menjaga kesakralan tradisi, melalui intelektualitasnya yang mengabdi kepada warisan pemikiran Islam masa lalu, para “salafussalih”, yang pernah membesarkan Islam dalam cakrawala pemikiran dan peradaban dunia. Jadilah santri yang menginspirasi dan berdedikasi bagi ilmu pengetahuan dengan tetap setia berada dalam lingkaran kesakralan tradisi.

VIII. Memiliki Pemikiran Kritis, Tanda Santri Intelektual

Agar dapat dikatakan intelektual, maka seorang santri harus memiliki pemikiran yang kritis. Sementara santri adalah makhluk Allah, sosok intelektual yang seyogyanya harus serba bisa, siap di segala situasi dan keadaan. Agar dapat dikatakan intelektual, seorang santri harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya adalah memiliki pemikiran yang kritis dan pemikirannya kontekstual dan membumi. Kecerdasan itu sudah pasti didapatkan karena di pesantren diajari membagi waktu. Hal itu juga dapat disaksikan oleh masyarakat bahwa pesantren memang punyq program yang cukup padat yang harus dijalani oleh santri, dan itu penulis pernah alami sendiri, yakni ketika di era tahun 1980,an sampai 1990-an, pernah berjibaku di pondok pesantren. Bahkan, orang yang bisa membagi waktu adalah orang yang sadar dan kecenderungannya akan cerdas. Karena, “Di pesantren, santri diuji dengan berbagai macam ujian. Misalnya, ujian semester, hafalan, harus “survive” selama 20 hari saat kiriman telat, dan lain sebagainya. Ketika dihadapkan dengan ujian, maka santri akan terus berkreasi agar membuahkan hasil yang bermanfaat. Buktinya hinnga saat ini ada juga pondok pesantren yang mengarahkan santrinya agar terus bisa “survive” di tengah keterbatasan ekonomi keluarga, namun akhirnya para santri bisa menjadikan sampah plastik menjadi barang yang layak dijual, bermanfaat dan lain sebagainya,”

Lebih dari itu, penampilan atau kesederhanaan santri bukan menjadi barometer, tapi nilai-nilai ilmu yang bermanfaat yang menjadi ukuran, karena mencari ilmu lebih sulit dibandingkan dengan mencari materi (harta). Namun dengan ilmu, makq dunia dan seisinya akan berada di genggamannya. “Keyword-nya” (kata kuncinya) adalah ilmu yang menjadi media untuk mendapatkan segala keutamaan, baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Kesulitan Sebagai Tirakat

Santri agar tidak putus asa dalam mencari ilmu, sebab kesulitan adalah bentuk tirakat. Siapa yang kuat akan menuai kesuksesan dimasa depan. Sebagaimana Imam Syafi’i mengatakan, bila ada santri tidak pernah merasakan kesulitan dalam belajar, maka akan berada dalam kehinaan dan kebodohan di sepanjang hidupnya. “Sebelum Imam Syafi’i cerdas dan hafal Al-Quran di usia dini (baligh), kebiasaannya saat membuka buku adalah menutupi halaman 8 dengan tangannya agar fokus menghafal isi kitab di halaman 9. Beliau juga pernah mengalami kesulitan dalam menghafal. Sementara pesan sang gurunya, yakni Imam Al-Waqi’, tinggalkan kemaksiatan. Karena ilmu adalah cahayanya Allah dan tidak akan diberikan kepada orang yang melakukan maksiat,”. Hal itu sebagaimana dijelaskan di dalam kitab “Ta’limul Muta’allim”. Bahkan, santri yang kelelahan dalam memahami ilmu akan mendapatkan pahala. Karena, Nabi Musa As sebelum mendapat kitab Taurat, ia juga tirakatnya puasa 40 hari. Sementara Nabi Adam As sebelum bertemu dengan Siti Hawa di bumi kulitnya kusam. Sementara untuk mengembalikan kulitnya yang kusam itu, yakni kembali seperti sediakala, Allah memberikan amalan, yaitu puasa 3 hari di dalam 1 bulan tepatnya pada tanggal 13-15. Oleh karena itu, “Syariat mengatakan puasa Nabi Adam itu adalah puasa sunnah dan dikenal puasa “ayyamul bidh”, Ketika Nabi Adam mau bertemu Siti Hawa, ia pun masih tirakat.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *