สล็อต blackhat>tele>@bhseo888

먹튀검증 blackhat seo_tele>@bhseo888

fun88 blackhat seo_tele>@bhseo888

fun88 blackhat seo_tele>@bhseo888

jiliko blackhat seo_tele>@bhseo888

w88 blackhat seo_tele>@bhseo888

w88 blackhat seo_tele>@bhseo888

Tasawwuf Yes, Thoriqoh No! - ICMI BANTEN

Ocit Abdurrosyid Siddiq

Tuhan mengutus Muhammad SAW sebagai nabi. Sebagaimana pengakuannya, tugas utama beliau adalah menyempurnakan akhlak. Disebut sebagai “menyempurnakan” karena diyakini bahwa sejak manusia pertama sekaligus nabi pertama yaitu Adam AS hingga nabi terakhir sebelumnya yaitu Isa Al Masih AS, risalah yang mereka emban dari Tuhan itu sama.

Kesamaan itu bukan hanya dalam perkara akhlak, mengubah yang biadab menjadi beradab. Bahkan lebih dari itu adalah kesamaan aqidah, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Hal ini juga menegaskan bahwa Tuhan yang mengutus Adam AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa Al Masih AS, dan Muhammad SAW, adalah Tuhan yang sama. Tuhan yang itu-itu juga, Allah SWT.

Sederhananya begini. Tuhan mengutus Musa AS, lalu dia dibekali Taurat. Umatnya jadi Yahudi. Demikian menurut Yahudi. Tuhan mengutus Isa Al Masih AS, kemudian membekalinya dengan Injil. Pengikutnya menjadi Nashrani. Demikian keyakinan mereka. Tuhan mengutus Muhammad SAW, dan menyertakan Al Quran sebagai bekalnya. Umatnya jadi Islam. Demikian keyakinan orang Islam.

Dengan begitu maka Tuhan yang sama yang mengutus Musa, Isa, dan Muhammad. Tuhan yang itu-itu juga. Makanya ketiga agama ini kerap disebut sebagai agama samawi, yang adalah agama yang bersumber dari langit, dari Tuhan. Tuhan yang ada di atas sana. Bukan agama ardhi, agama bumi, agama yang terlahir dari pikiran manusia.

Cerita seperti begini kan sebetulnya sudah pernah kita terima sekaligus pelajari sejak belajar di madrasah ibtidaiyah. Ustadz-ustadz di madrasah itu menceritakan hal ini dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dan Aqidah Akhlak. Cerita yang sama sebelumnya mereka terima juga dari para guru-guru sebelumnya. Cerita dan pelajaran yang diajarkan secara turun-temurun.

Karena masih anak-anak dan belum memiliki daya nalar, maka cerita itu cukup diceritakan. Tidak ditelaah apalagi didiskusikan. Namun doktrin pertama ini begitu sangat membekas dalam benak dan pendirian, hingga kemudian kadar kebenarannya tetap terbawa hingga dewasa. Pengetahuan selanjutnya tentang cerita itu yang diterima pada jenjang pendidikan berikutnya hanyalah menjadi pelengkap saja.

Doktrin dimaksud diantaranya adalah bahwa ajaran yang dibawa oleh Adam AS hingga Muhammad SAW merupakan satu kesatuan, bersumber dari Tuhan yang sama, yaitu Allah SWT. Risalah seluruh ajaran nabi adalah Islam, bukan yang lain. Bukan Yahudi, bukan juga Nashrani. Semua adalah Islam. Dan Muhammad SAW merupakan utusan penyempurna ajaran tersebut.

Cara pandang kita mungkin akan berbeda bila kita pernah mempelajari, minimal mengenal khazanah keilmuan lain. Dalam hal ini adalah disiplin ilmu-ilmu agama. Termasuk perspektif Yahudi dan Nashrani tentang eksistensi Musa AS dan Isa Al Masih AS sebagai utusan Tuhan. Faktanya, penganut dua agama yang “lebih senior” dari Islam ini tetap keukeuh bahwa dari nabi dan Tuhan yang sama, melahirkan agama yang berbeda.

By the way, terlepas dari perspketif yang berbeda tersebut, hampir setiap agama mengajarkan adanya kehidupan manusia setelah kematian. Kehidupan dimaksud adalah kehidupan akhirat, sebagai masa di mana Tuhan akan, sedang, dan telah memberikan balasan setimpal atas perbuatan manusia selama hidup dan berkehidupan di dunia saat ini.

Yahudi memercayai bahwa ada kehidupan setelah kematian. Pun demikian dengan Nashrani. Apalagi dalam Islam. Dalam Islam mengenal adanya alam kubur, alam barzah, alam makhsyar, dan alam akhirat yang terdiri dari surga dan neraka. Berikut siksa yang pedih di neraka dan kenikmatan surgawi bersama para bidadari, yang tiada akan berhenti.

Ketiga agama selain mengenalkan adanya alam akhirat selain alam dunia, juga menganjurkan agar adanya keseimbangan antara keduanya. Dengan menyadari akan adanya alam pembalasan itulah, setiap penganut agama diwanti-wanti untuk memperbanyak kebaikan dan menghindari kejahatan. Dalam terminology Islam dikenal dengan pahala dan ganjaran.

Pada sebagian dari penganut agama ada yang memilih untuk lebih mementingkan akhirat dengan menjauhi kehidupan dunia. Sikap hidup uzlah ini, bukan hanya dikenal dalam Islam, atau hanya dikenal sejak zaman Nabi Muhammad SAW saja. Mengasingkan diri dari keramaian duniawi dan memilih untuk menyepi dengan maksud mendekatkan diri kepada Tuhan ini, juga dikenal dan diterapkan dalam ajaran Yahudi dan Nashrani.

Dalam khazanah keislaman, pilihan hidup seperti ini dikenal dengan istilah tasawwuf. Orangnya disebut sebagai sufi. Sederhananya, tasawwuf adalah upaya atau usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk menyucikan jiwa dengan menjauhi pengaruh kehidupan yang bersifat kesenangan duniawi dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga kehadiran Allah SWT senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.

Al-Junaid Al-Baghdadi, Abu Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi, Abu Yazid al-Bustami, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Syaikh Ibnu Ajibah, juga Amin Syukur, memiliki rumusan yang hampir sama, bahwa tasawwuf adalah latihan penuh kesungguhan dengan cara riyadhoh dan mujahadah, untuk membersihkan hati, mempertinggi iman dan memperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri seseorang kepada Allah SWT.

Mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara menjauhi perkara duniawi itu, bisa dilakukan oleh siapa saja. Kemauan dan kemampuan untuk itu bukan hanya dimiliki oleh kaum cerdik-pandai, sebatas orang yang disebut dengan waliyullah, abuya, ulama, dan sebutan lainnya. Memilih jalan menjadi sufi itu bahkan bisa dilakukan oleh siapa saja. Cerita bahwa ada seorang yang dianggap waliyullah namun ternyata berpenampilan sebagaimana warga biasanya, adalah salah satu buktinya.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang memilih untuk menjalani hidup sebagai seorang sufi atau mendalami tasawwuf. Bisa karena dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT, bisa juga karena faktor sosial juga politik. Banyak faktor lain yang terlalu panjang bila mesti dituliskan disini. Seorang kawan di Facebook menulis tanggapan atas statement Penulis yang menulis “Tasawwuf Yes, Thoriqoh No”, dengan kalimat “Tasawwuf hadir sebagai reaksi atas kondisi sosial”. Penulis sepakat dengannya.

Dalam perkembangannya, ketika orang-orang besar juga memilih jalan hidup untuk menjadi seorang sufi, lalu memiliki murid dan banyak pengikut, kemudian melembaga menjadi sebuah “jalan”. Atau dikenal dengan istilah thoriqoh. Dalam lisan orang Indonesia lebih familiar disebut sebagai “tarekat”. Oleh murid dan pengikutnya, orang-orang besar ini kemudian ditabalkan sebagai “orang suci”, dan disematkan gelar “waliyullah”.

Mendalami tasawwuf dan menjadi sufi yang semula bisa dilakukan oleh siapa saja, tersebab adanya orang yang diyakini sebagai waliyullah yang memiliki murid dan pengikut, memiliki ajaran, doktrin, serta amalan tersendiri yang berbeda dengan yang dikenal dan diterapkan dalam thoriqoh lain, ini kemudian yang menyebabkan masing-masing thoriqoh menjadi “eksklusif”.

Saat ini kita mengenal begitu banyak thoriqoh. Sebut saja ada Matlubiyah, Akbariyah, Maulawiyah, Alawiyah, Naqsyabandiyah, Abbasiyah, Naqsyabandiyah Khalidiyah, Bayumiyah, Qodiriyah, Buhuriyah, Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, Bakriyah, Rumiyah, Bairumiyah, Rifaiyah, Bakdasyiyah, Syadziliyah, Tijaniyyah, Syuhrawardiyah, Dasuqiyah, Sa’diyah, Ghozaliyah, Sya’baniyah, Syathoriyah, hingga Ghoibiyah.

Masing-masing thoriqoh atau tarekat ini memiliki pakem tersendiri. Dikenal istilah mursyid dan ijazah. Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia thoriqoh, yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru diatasnya, yang terus tersambung sampai kepada “shohibuth thoriqoh” yaitu Rosulullah SAW. Tugasnya antara lain mentalqin dzikir atau wirid thoriqoh kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya.

Dalam thoriqoh dikenal juga istilah ijazah. Istilah ini merujuk kepada ijazah yang dikenal dalam satuan lembaga pendidikan. Ketika seseorang dianggap selesai dan lulus menempuh pendidikan, maka sebagai bukti kelulusannya yang bersangkutan mendapatkan selembar ijazah. Demikian pula dalam dunia thoriqoh. Istilah lain yang juga dikenal dalam dunia thoriqoh adalah ratib dan hizb.

Masing-masing aliran tarekat ini memiliki bacaan serta amalan yang khas. Satu sama lain memiliki kebiasaan dan norma yang berbeda, walau banyak juga yang sama. Pakem di masing-masing tarekat begitu khas. Seseorang dianggap layak menyandang sebutan tertentu bila telah berhasil melalui sejumlah test dan kemampuan tertentu.

Untuk menjadi anggota tarekat tertentu, harus melalui beberapa tahapan. Orang di luar jamiyah mereka, tidak boleh dan tidak bisa ujug-ujug mengklaim sebagai pengamal tarekat tertentu. Apalagi mengklaim sebagai seorang mursyid atau guru, tanpa yang disebut sebagai “ijazah’ itu. Inilah yang kemudian membuat tarekat dalam Islam menjadi eksklusif tersebut.

Bermunculannya beragam aliran tasawwuf yang melembaga dalam bentuk tarekat ini, seperti fenomena sekte dalam agama lain. Dalam tarekat tidak dikenal istilah sekte. Karena istilah ini konotasinya buruk. Sekte biasanya dilekatkan pada sesuatu yang tidak baik. Misalnya sekte sesat dan menyesatkan.

Anggota tarekat akhirnya dihadapkan pada situasi di mana mereka mesti berhasil mencapai satu tahapan tertentu untuk bisa mencapai posisi tertentu dengan melewati sejumlah syarat tertentu. Mereka disibukkan dengan ritus bacaan ratib, hizb, riyadhoh, dzikir, dalam jumlah tertentu. Waktu habis hanya untuk itu. Sementara dunia di luar sana sedang berubah!

Itulah mengapa dalam sejarah peradaban Islam, tasawwuf yang dilembagakan menjadi aliran tarekat ini, menurut beberapa sejarawan, disinyalir menjadi salah satu faktor kemunduran imperium Islam setelah mereka sempat digjaya menjadi adikuasa dunia hingga menguasi hampir sepertiga bumi ini zaman Umayyah, Abbasyiyah, dan Utsmaniyah.

Islam kini mengalami kemunduran sejak dikalahkan oleh peradaban barat ketika Baghdad sebagai ibukota Kekhalifahan Abbasyiah jatuh pada 1258 ketika diserang bangsa Mongol. Lalu Islam kalah kembali dalam Perang Salib yang berlangsung selama 200 tahun hingga 1291 yang begitu banyak menguras sumber daya dan kekayaan Islam. Suasana kebatinan atas orang yang kalah antara lain adalah mencari “paniisan” dalam bentuk memilih jalan tasawwuf. Demikian menurut sebagian sejarawan.

Tasawwuf yang dilembagakan menjadi beragam aliran tarekat ini menyibukkan orang-orangnya dengan ritual beragam bacaan. Sementara peradaban lain di luar sana mendalami, mempelajari, dan menguasai ilmu pengetahuan yang mewujud dalam teknologi. Akibatnya, capaian-capaian ekonomi, sosial, politik, dan adikuasa dunia saat ini dipegang oleh orang-orang di luar Islam.

Tasawwuf dan sufi yang semula merupakan urusan privat antara seorang hamba dengan Allah SWT, ketika dilembagakan menjadi sebuah tarekat, membuat Islam yang semula begitu inklusif, berubah menjadi eksklusif. Eksklusifisme inilah yang membuat Islam perlahan mengalami kemunduran. Mundur karena umat Islam terlalu menyibukkan diri dengan urusan dalam. Urusan bacaan!

Mendekatkan diri kepada Allah SWT bisa dilakukan dengan jalan tasawwuf. Tasawwuf bisa dilakukan tanpa harus terafiliasi dengan tarekat, seperti halnya dahulu ketika para sufi hidup pada zaman sebelum para pendiri tarekat hidup. Menggapai marifat tanpa melalui tarekat itu bisa. Itulah mengapa Penulis berpendirian, tasawwuf yes, thoriqoh no!

Bila anda memiliki cara pandang berbeda, tak perlu menyarankan Penulis untuk membaca atau mempelajari buku atau kitab tertentu. Karena bagi Penulis, jangankan saran anda, bahkan kitab yang anda jadikan rujukan itu, bagi Penulis kadar kebenarannya dibawah Al-Quran dan Hadits. Dua warisan Nabi Muhammad SAW yang digaransi kebenarannya.

Bagi Penulis, tak ada kitab yang keramat dan tanpa cela, entah berbahasa Indonesia atau berbahasa asing, entah bertanda baca atau pelontos, entah pengarangnya manusia biasa atau seseorang yang dianggap waliyullah sekalipun. Kini waktunya bediskusi. Bukan waktunya merasa diri khatam dengan menyarankan orang lain untuk belajar kembali. Wallahualam.
*

Tangerang, Ahad, 29 Desember 2024
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas), Alumnus Prodi Aqidah dan Filsafat IAIN SGD Bandung

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *