Oleh : Adung Abdul Haris
I. Zaman Keemasan Islam
Penulis sadar betul, bahwa untuk membuat tulisan tentang peradaban dan termasuk untuk menceritakan zaman keemasan Islam, memang cukup berat. Karena, cakupannya demikian luas, multidimensi, dan sudah barang tentu menuntut kajian yang lebih luas dan lebih dalam lagi. Namun sejatinya, bahwa pada tulisan singkat ini, soal efisthema (awal adanya ide yang muncul di benak penulis), yaitu beranjak dari perjalanan hidup maupun dari proses perenungan pikiran yang penulis alami, yaitu ketika di era tahun 1995-an, saat itu penulis kebetulan ikut diskursus filsafat dan peradaban. Dan jebetulan juga bahwa sang Dosen tamunya, yaitu berasal dari negara Perancis bernama Dr. John Moeleman (dosen filsafat dan peradaban kontemporer). Ketika penulus mengikuti diskursus saat itu, ada materi diskursus, yang cukup menarik dan menggelitik penulis, dan kemudian penulis terus menseriusi pokok-pokok kajian yang menggelitik itu, terutama yang bertemakan “Menemukan Kembali Imajinasi Islam”. Oleh karena itu, mudahan-mudahan tulisan kali ini (artikel) menjadi pemantik diskusi lanjutan bagi kita semua. Mengingat, setiap bangsa besar memang memiliki akar tunggang budaya yang mengalami pasang surut (termasuk pasang surut masa kejayaan Islam). Oleh itu, budaya dan capaian peradaban sebuah bangsa dan tradisi agama bersifat dinamis. Bahkan, disana terdapat budaya dan agama yang sirna dan tak kunjung kembali. Di sini berlaku hukum Darwinisme sosial, sintasan yang paling cocok (survival of the fittest). Hanya mereka yang kuat dan bisa beradaptasi dengan cepat yang bisa bertahan dan terus berkembang.
A. Keredupan Peradaban
Demikian pula halnya dengan peradaban Islam, yang menurut catatan sejarah, akhirnya mulai meredup pada abad ke-11 M. Para sejarawan menamakan abad ke-8 sampai dengan ke-13 sebagai Zaman Keemasan Islam (The Golden Ages of Islam). Istilah itu dipopulerkan oleh kalangan modernis muslim yang merasa kalah menghadapi kemajuan Barat, lalu mencari referensi dan motivasi ke masa lalu. Dan akhirnya ratusan buku telah ditulis untuk mencari jawaban, apa penyebab utama kemunduran peradaban Islam dan mengapa Barat lalu bangkit dan kemudian menyalip dan terus berkembang jauh lebih cepat. Ada pendapat, diantara penyebabnya adalah krisis politik dan ekonomi di sentra-sentra kekuasaan Islam yang saat itu membuat tradisi keilmuan terhenti. Bahkan, para penguasa pada saat itu lebih fokus pada pemikiran fikih untuk mengendalikan perilaku rakyatnya. Sementara di sisi lain, tidak sedikut jua ada ulama lalu memilih kajian tasawuf untuk meraih kesyahduan hidup dan ketenangan batin, kemudian peristiwa Perang Salib juga telah ikut merusak bangunan peradaban Islam. Kemudian tradisi keilmuan beralih ke atmosfer peperangan. Warisan peradaban Islam dalam bidang keilmuan akhirnya terpecah dan menyempit. Ilmu-ilmu alam, sosial, dan humaniora justru dipelihara, dipupuk, dan dikembangkan di Eropa yang pada urutannya oleh dunia Islam dikucilkan dengan label ilmu umum atau sekuler. Sementara itu, dunia Islam lebih semangat mengembangkan ilmu fikih dan tasawuf yang dipandang sebagai inti ilmu keislaman dengan ikon Imam Al-Ghazali yang menulis karya sangat monumental : “Ihya Ulum al-Din”.
Kemudian memasuki abad modern, di kalangan umat Islam malah muncul kerinduan akan kebangkinan kembali peradaban Islam. Namun nampaknya, pendulum sejarah masih berjalan sangat lambat. Atau mungkin memang dunia luar (Barat) yang berjalan lebih cepat. Kita (umat Islam) saat ini, dipaksa harus bisa belajar dari sejarah, tapi lagi-lagi, kita mungkin bukan murid yang cerdas dari sejarah. Dan oleh karena itu diperlukan aktor dan institusi yang bisa mendesain strategi dan punya peta jalan terang untuk eksekusinya. Bahkan, tidak mudah bagi sebuah bangsa yang pernah maju peradabannya seperti Yunani, Mesir, dan Irak, untuk kemudian bangkit kembali.
B. Bingkai Rekonstruksi
Menurut salah seorang ahli politik Islam kelahiran Iran, Mozaffari, yang saat ini mengajar di Universitas Aarhus Denmark, ia kemudian menawarkan peta jalan untuk membangun kembali peradaban Islam. Baginya, yang dibutuhkan saat ini (oleh umat Islam) adalah melakukan rekontruksi sejarah masa lampau (masa kejayaan Islam). Sedangkan rekonstruksi adalah suatu proses intelektual. Karena, ada elemen lampau di sana yang harus dipertahankan, tetapi harus dilengkapi juga dengan elemen kontekstualnya, yakni sesuai kebutuhan masanya.
Konsep tersebut berbeda dari proses “reproduksi” yang bersifat mekanistik dan menyalin masa lampau apa adanya untuk dihadirkan kembalil. Reproduksi tersebut akan menjadikan muslim sulit untuk beranjak dari tempatnya, karena hidup di bawah bayang-bayang masa lalu. Bahkan dalam strategi rekonstruksi pertanyaannya adalah : Apa elemen-elemen yang sangat fundamental masa lalu yang perlu dipertahankan, dan apa pula elemen kontektualnya yang perlu untuk diperhitungkan?
C. Elemen Lampau.
Ada elemen masa lampau yang bersifat perenial dan dapat kita lacak kembali pada masa awal Islam serta pada ajaran dasarnya. Pertama, semangat tauhid, yaitu sikap berserah diri sepenuhnya kepada Allah Sang Pencipta. Kesadaran ini, jika dimaknai dengan baik, akan menjadi sumber energi abadi bagi umat Islam. Dan kesadaran itu pula yang mengantarkan kita pada pemahaman bahwa Islam tidak hanya hadir sebagai rahmat bagi kaum muslim, tetapi juga bagi semesta alam. Elemen kedua yang harus terus dikawal, yaitu nilai kemanusiaan universal. Pesan universalisme Islam perlu dilantangkan kembali saat ini. Itulah nilai yang menjadikan Islam dapat diterima dengan baik oleh banyak kalangan karena sifatnya yang inklusif dan apresiatif pada martabat manusia, apapun latar belakang agama, etnis dan budayanya. Pada abad-abad awal, Islam malah sudah berkembang melampaui batas-batas etnis dan kawasan yang telah mendorong munculnya peradaban baru di luar tradisi Arab. Ketiga, ekletisisme implementasi ajaran Islam. Islam mengajarkan muslim bersifat terbuka terhadap hal-hal baik. Tentu, hal iti bukan berarti kita (umat Islam) membuka pintu sinkretisme akidah, tetapi umat Islam bersikap apresiatif terhadap peradaban baru yang dijumpainya dimana pun mereka berada. Dalam konteks ini terjadi proses kreatif-dialektis antara “islamisasi nilai-nilai pribumi” dan “pribumisasi nilai-nilai Islam”. Dalam ungkapan lain, berlangsung kontekstualisasi ajaran Islam. Dengan demikian, kehadiran Islam akan dipahami sebagai bagian solusi dari berbagai masalah kemanusiaan.
Sikap itu pula yang menjadikan saintis muslim pada Zaman Keemasan Islam, akhirnya membuka diri mempelajari pemikiran dari bangsa lain, termasuk mempelajari filsafat Yunani kuno. Warisan filsafat Yunani, akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, termasuk oleh para sarjana Yahudi dan Kristen yang dipekerjakan pada pusat-pusat peradaban Islam saat itu. Sikap itu telah menunjukkan keterbukaan para saintis muslim saat itu yang penuh percaya diri ketika bertemu dengan dunia luar. Satu poin penting lain yang perlu dicatat adalah bahwa saintis muslim saat itu tidak hanya belajar dari peradaban lain, tetapi juga berkreasi untuk mengembangkan dan memberikan karakter keislaman pada peradaban luar yang dijumpai.
D. Elemen Kontekstual.
Tuntutan zaman senantiasa dinamis dan berubah, sehingga membutuhkan respons dan solusi baru yang kontekstual. Tokoh dan pemikiran besar pada zamannya akan tidak lagi dianggap relevan sebagai respons yang tepat pada zaman yang berbeda. Dalam konteks kekinian, seorang muslim jangan terjebak pada pendekatan reaktif layaknya pemadaman api. Untuk itu ada berapa agenda yang perlu dipertimbangkan matang-matang. Pertama, kalangan muslim perlu mendesain kembali beragam masa depan kolektifnya. Karena masa depan tidak singular. Terlebih dengan kehadiran teknologi digital saat ini, yang sangat membantu untuk menghubungkan berbagai informasi yang tadinya tertutup dan tidak tersambung dengan yang lain. Wajah dunia saat ini semakin terlihat plural dan saling bersentuhan.
Bahkan, peta jalan dan imajinasi masa depan saat ini mesti kita bahas bersama secara reflektif-kontemplatif, yaitu berdasarkan data dan pengalaman sejarah masing-masing bangsa dan negara. Jangan paksakan ide masa depan singular. Karena, keseragaman adalah sebuah utopia yang mengarah ke destopia. Agama dan budaya itu selalu plural. Dalam tubuh dunia Islam pun pluralitas ekspresi politik, budaya dan mazhab merupakan kenyataan. Di sinilah semangat ko-eksistensi perlu dikembangkan dengan terus menjaga prinsip-prinsip dasar Islam yang menekankan pada tauhid, kemanusiaan dan semangat membangun peradaban luhur sebagai wujud “rahmatan lil’alamin”. Kita bangun dan sepakati koridor besar yang akan ditapaki bersama, dan jangan terjebak pada satu garis yang akan sulit mengakomodasi keragaman.
Kedua, umat Islam saat ini harus secara proaktif untuk mengikuti perkembangan mutakhir, termasuk dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Revolusi senyap yang didorong oleh beragam teknologi modern, seperti kecerdasan buatan, mahadata, Internet “of things”, dan biologi modern yang melahirkan “neurosains”, perlu dikuasai. Hal itu semua adalah proses kerja kolektif khususnya bagi kalangan intelektual kampus dan para akademisi. Salah seorang tokoh politik Islam asal Iran, Mozaffari, dalam tulisannya ia mengusulkan, yang perlu diperjuangkan secara kolektif adalah Islam yang beradab (civilized Islam) yang hidup berdampingan dengan peradaban dunia lain. Karenanya, peradaban Islam saat ini, yaitu suatu peradaban yang harus mampu berkembang secara konsisten dan memberikan kontribusi yang bermakna untuk peradaban dunia.
Sementara saat ini kalau kita baca dari berbagai media pemberitaan tingkat dunia, bahwa keberadaan maupun populasi masyarakat muslin di dunia populasinya semakin meningkat. Namun, berkembangnya pemeluk Islam dari hari ke hari yang kian terus bertambah itu, jika tidak diikuti oleh prestasi keilmuan dan kontribusi besar pada peradaban dunia, hal itu akan menjadikan dunia Islam diposisikan pada garis koordinat pinggiran yang tidak produktif, meski secara demografis semakin besar.
II. Zaman Renaissance, Zaman Modern Dan Era Milenial
A. Zaman Renainssance
Eropa pernah berada pada masa kegelapan atau dikenal sebagai “The Dark Age” (Abad Kegelapan). Pada abad kegelapan itu, masyarakat Eropa hidup dalam berbagai keterbatasan karena inovasi dibatasi. Akan tetapi, hal itu mulai berubah semenjak Eropa memasuki zaman renaissance. Zaman renaissance terjadi pada tahun 1350-1620 atau pada abad 14–16 M, atau persisnya setelah peradaban Islam meredup dan kemudian mengalami kehancuran.
Sebelum terjandi “renainssance”, saat Eropa harus menghadapi berbagai wabah penyakit, krisis politik, krisis ekonomi dan krisis inovasi akibat abad kegelapan yang berlangsung ratusan tahun. Era tersebut sering disebut sebagai era kelahiran kembali dan memainkan peranan penting dalam membentuk masyarakat modern hingga saat ini. Oleh karena itu, kita sama-sama pahami apa itu zaman renaissance.
B. Latar Belakang Renaissance
Kata renaissance berasal dari bahasa latin, yakni “renaitre” atau “re” dan “naitre”. Kata re berarti kembali, sementara naitre artinya adalah lahir. Oleh karena itu, istilah renaissance dalam sejarah peradaban Eropa disebut zaman terlahir kembali. Sementara sejarah Eropa sendiri sebenarnya sudah terbentuk sejak zaman Yunani Kuno di abad 20 SM. Namun, peradaban Eropa digantikan dengan peradaban Romawi di Eropa. Nah, pada saat peradaban Romawi masuk ke Eropa, kekuasaan Romawi mencapai puncak kejayaannya. Bahkan, Romawi berhasil menaklukkan tiga per empat persen (¾) dari luas keseluruhan benua Eropa. Sayangnya, peradaban Kekaisaran Romawi di Eropa itu akhirnya runtuh pada abad 4 M. Sejak keruntuhan Kekaisaran Romawi itu, akhirnya peradaban Eropa mengalami kemerosotan cukup tajam. Era kemerosotan peradaban Eropa itu dikenal sebagai abad pertengahan yang terjadi dalam kurun waktu sekitar 1000 tahun.
Sementara kehidupan Eropa di abad pertengahan itu sangat didominasi oleh doktrin gereja. Doktrin gereja saat itu sangat membatasi inovasi, kreativitas, hingga kebebasan berbicara di Eropa. Bahkan, gereja pada saat itu berperan besar dalam urusan politik serta pemerintahan. Tak hanya itu, pendidikan di abad pertengahan itu sangat terbatas, yakni hanya untuk kaum bangsawan maupun pendeta di gereja saja. Akhirnya, pada abad 14 Masehi, kehidupan Eropa diwarnai oleh kekacauan dan bencana seperti krisis ekonomi, kemiskinan ekstrim, wabah penyakit (Black Death), dan kekacauan politik. Hal itu akhirnya mendorong kaum pemikir untuk melakukan pergerakan, yaitu untuk melakukan kesadaran mengenai renaissance itu, terutama pertama kali muncul di Italia. Sedangkan arsiteknya yang berasal dari Kota Fiorentina, yaitu Masehi Leon Batista Alberti di abad 15 Masehi. Ia mengungkapkan pandangannya mengenai perkembangan dunia pemikiran baru. Leon Batista mengatakan bahwa “semua orang bisa melakukan berbagai hal apabila mereka menginginkannya”. Agar manusia bisa melakukan segala hal, maka hak setiap individu (hak setiap orang) tidak boleh dibatasi dan harus dihargai. Bahkan para pemikir di Italia pada saat itu mengungkapkan gagasan mereka tentang sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan dunia) dan individualisme pada era renaissance. Gagasan para pemikir pada saat itu bisa ditemukan dari karya sastra, seni dan karya intelektual. Para pemikir saat itu melakukan pengkajian mendalam terhadap karya sastra klasik peninggalan peradaban Yunani Kuno dan Romawi. Pengkajian itu disebut sebagai “gerakan humanisme renaissance”.
C. Ciri-Ciri Renaissance
Zaman renaissance ditandai oleh kelahiran kembali peradaban dan kebudayaan Yunani serta Romawi di benua Eropa setelah hampir 1000 tahun berada di abad kegelapan. Pertama kali berkembang di Italia, sementara masa renaissance akhirnya menyebar ke seluruh Eropa dengan ciri-ciri berikut:
- Pengaruh Gereja Berkurang.
Pada masa Renaissance pengaruh gereja melemah, salah satu penyebabnya adalah masyarakat yang tidak mau lagi untuk terikat oleh doktrin dari pihak gereja. Pada era pencerahan, banyak pemikir dan kaum intelektual yang menganggap bahwa doktrin gereja justru membatasi inovasi dan pemikiran.
Hal itu dikarenakan masyarakat melihat pihak gereja (Katolik Roma) terlalu mengekang masyarakat dan justru bekerjasama dengan pihak kerajaan untuk menindas rakyat atas nama agama.
- Ilmu dan Filsafat Berkembang di Eropa.
Perkembangan ilmu pada zaman renaissance cukup pesat, terutama jika dibandingkan dengan zaman kegelapan saat inovasi dan pemikiran dianggap bertentangan dengan doktrin gereja dilarang. Salah satu bidang ilmu yang berkembang pesat di zaman renaissance adalah karya sastra. Karya sastra renaissance dihubungkan dengan humanisme, yaitu karya intelektual yang diperoleh dengan mengkaji karya sastra klasik era peradaban Yunani dan Romawi. Liberal arts yang dipelajari oleh para tokoh humanis adalah puisi, retorika, tata bahasa, filsafat moral, sejarah dan etika. Sementara bidang ilmu yang dipelajari oleh tokoh humanis di zaman renaissance disebut sebagai humaniora. - Penghargaan Tinggi Terhadap Rasionalitas.
Ciri-ciri zaman renaissance berikutnya adalah masyarakat memberikan penghargaan tinggi terhadap nilai-nilai rasionalitas, etika dan estetika. Masyarakat di zaman peralihan dari abad kegelapan itu mulai menghidupkan kembali tentang kebudayaan Yunani dan Romawi yang sudah lama ditinggalkan. - Tokoh Renaissance.
Zaman renaissance telah memberi ruang yang sangat besar bagi para pemikir, tokoh filosof, dan ilmuwan untuk mengembangkan pemikiran maupun ilmu pengetahuannya. Beberapa tokoh besar yang terlahir di era renaissance adalah:
4.1. Nicholas Copernicus.
Ahli Matematika serta ilmu astronomi asal Polandia yang lahir pada tahun 1473 M dan meninggal tahun 1543 M. Nicholas Copernicus terkenal dengan teorinya mengenai tata surya yaitu matahari sebagai pusatnya (heliosentris).Teorinya itu bertentangan dengan teori gereja sehingga ia dihukum mati.
4.2. Petrarch.
Petrarch dikenal sebagai bapaknya humanisme renaissance asal Italia. Petrarch lahir tahun 1304 M dan wafat di tahun 1374 M. Francesco Petrarca merupakan penyair Italia yang karya-karyanya sangat terpengaruh oleh Publius Vergilius Maro, Cicero dan lainnya.
4.3. Johannes Kepler.
Johannes Kepler lahir tahun 1571 M dan wafat tahun 1630 M, merupakan seorang ahli astronomi asal Jerman. Teori Johannes Kepler yang paling terkenal adalah pendapatnya yang mengatakan bahwa orbit planet yang berputar mengelilingi matahari berbentuk elips dan tidak bulat.
4.4. Lenonardo Da Vinci.
Leonardo Da Vinci lahir tahun 1452 dan wafat tahun 1519 merupakan seorang seniman terkenal pada masa itu bahkan hingga sekarang. Leonardo da Vinci memiliki keahlian luar bisa di bidang memahat, melukis, arsitektur bangunan, penulis, filsuf dan ilmuwan.
4.5. Michaelangelo.
Michelangelo lahir tahun 1475 dan wafat tahun 1564 M. Michelangelo Buonarroti adalah seorang seniman terkenal asal Roma, Italia yang memiliki kemampuan memahat, melukis, pujangga hingga arsitek bangunan indah di zaman renaissance.
4.6. Galileo Galilei.
Tokoh zaman renaissance berikutnya adalah Galileo Galilei yang lahir di abad ke 16 Masehi yaitu tahun 1564 dan wafat tahun 1642 M. Galileo Galilei adalah seorang ilmuwan, filsuf, astronom dan fisikawan asal Italia. Galileo dikenal luas sebagai “Bapak Astronomi Observasional” dan “Bapak Ilmu Fisika Modern”.
- Dampak Renaissance.
Pengaruh Renaissance sangat luas terhadap peradaban Eropa, bahkan hingga ke Indonesia. Renaissance atau kelahiran kembali menandai era baru dengan masyarakat Eropa mulai membebaskan pikirannya untuk berinovasi dan tidak lagi terikat oleh doktrin gereja. Pengaruh zaman renaissance bagi Indonesia dan dunia adalah mendorong kebebasan berpikir yang sebelumnya terkungkung oleh doktrin gereja. Zaman renaissance mendukung masyarakat memaksimalkan potensi akalnya untuk mencari solusi atas persoalan hidup di dunia. Selain di Eropa, renaissance juga berpengaruh besar di dunia. Kebebasan berpikir yang dicanangkan zaman itu membuat kemajuan inovasi yang besar dalam bidang teknologi dan industri dunia. Akan tetapi, renaissance juga membawa dampak negatif, yaitu penjelajahan samudra oleh bangsa Eropa untuk mencari daerah koloni atau jajahan baru. - Peninggalan Renaissance.
Zaman renaissance berlangsung selama kurang lebih tiga abad sejak abad 14 Masehi sampai abad 17 Masehi. Era tersebut ditandai dengan ledakan berbagai karya seni fenomenal yang dihasilkan oleh para seniman. Selain karya seni, masih banyak peninggalan lain yang bisa kita temukan diataranya :
Bangunan renaissance yang megah dan ciri khas renaissance adalah berdirinya berbagai bangunan dengan arsitektur megah di penjuru negara Eropa. Bangunan bergaya klasik Renaissance ini bisa kamu temukan di daerah Florence, Italia. Bangunan Eropa bergaya Renaissance yang masih bisa kita saksikan sampai hari ini seperti St.Peter’s Basilica, Italia, San Lorenzo de El Escorial dan sebagainya.
D. Efisthema Renaissance
Dalam konteks sejarahnya, bahwa efisthema (awal munculnya ide) tentang renaissance atau renaisans adalah bemula dari gerakan budaya yang terjadi di abad ke 14 hingga 17 M. Gerakan tersebut muncul pertama kali di pusat kekuasaan gereja Italia, kemudian menyebar secara luas di dataran Eropa. Renaissance berasal dari bahasa latin “renaitre” yang terdiri atas dua kata yakni, “re” berarti kembali dan “naitre” berarti lahir. Dalam bahasa Perancis, “renaissance” berarti terlahir kembali. Setelah keruntuhan Kekaisaran Romawi di abad IV Masehi, perkembangan peradaban di Eropa seperti meredup. Selama kurun waktu 1000 tahun setelah keruntuhan Kekaisaran Romawi, Eropa berada dalam peradaban abad pertengahan. Masyarakat Eropa di abad pertengahan itu dinamika kehidupan masyarakatnya didominasi oleh Gereja. Gereja dengan para pendetanya saat itu sangat mendominasi kegiatan pengembangan dunia pemikiran. Akibatnya, inovasi dalam dunia pemikiran menjadi sangat terbatas, sehingga abad pertengahan disebut juga disebut sebagai abad kegelapan atau “dark ages”.
Bahkan, pada abad ke-14 M, kehidupan masyarakat Eropa saat itu dilanda berbagai bencana, seperti kekacauan politik, krisis ekonomi, dan wabah penyakit pes (black death). Hingga abad ke-15 M, kehidupan masyarakat Eropa mulai membaik, yaitu seiring dengan berkembangnya “renaissance”. Sementara masa renaissance ditandai dengan kelahiran kembali kebudayaan Yunani dan Romawi. Hal itu dicirikan oleh penghargaan terhadap etika, estetika, dan rasionalitas.
Menurut faham renaissance, bahwa manusia dapat hidup secara maksimal jika hak-hak individunya dihargai. Dengan demikian, ia harus melepaskan diri dari dominasi agama dan gereja. Ia dapat melakukan kegiatan keagamaan sebagai seorang individu, tetapi kebebasannya sebagai seorang manusia harus didasarkan kepada kehidupannya sebagai manusia di dunia. Akhirnya gerakan renaissance perlahan-lahan menyingkirkan peran agama dalam kehidupan publik. Sebagai ganti agama, masyarakat masa renaissance terus memperkuat fungsi dan peran negara. Otoritas negara saat itu diyakini sebagai sarana yang tepat untuk mewujudkan kesejahteraan. Renaissance telah melahirkan masyarakat yang lebih progresif dan wujud semangat untuk mandiri sehingga membawa kepada aktivitas penjelajahan dan kemajuan di Eropa.
Ajaran renainsanse mendorong untuk mengejar ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi dari bangsa Asia dan Afrika (dunia Islam) pasca-jatuhnya kota Konstantinopel ke tangan Kekaisaran Turki Utsmani yang mengisolasi daratan Eropa.
- Tokoh-Tokoh Renaissance.
Masa renaissance turut memberi ruang yang ideal bagi berkembangnya ilmu pengetahuan, hingga melahirkan tokoh-tokoh yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Berikut tokoh-tokoh tersebut :
a. Bidang Seni dan Budaya.
- Albrect Duhrer (1471-1528). (2). Desiderius Erasmus (1466-1536) (3). Donatello (4). Ghirlandaio (5). Hans Holbein (1465-1506) (6). Hans Memling (1430-1495) (7). Hieronymus Bosch (1450-1516) (8). Josquin De Pres (1445-1521) (9). Leonardo Da Vinci (1452-1519).
b. Bidang Penjelajahan Samudra.
- Christopher Colombus (1451-1506) (2). Ferdinand Magellan (1480-1521).
c. Bidang Ilmu Pengetahuan.
- Nicolaus Copernicus (1478-1543), seorang ahli Matematika dan astronomi dari Polandia yang terkenal dengan teori Heliosentris yaitu matahari sebagai pusat tata surya (2). Johan Gutenberg (1400-1468), penemu mesin cetak. (3). Andreas Vesalius (1514-1564), pakar anatomi dari bangsa Dlemish dan menulis buku yang berpengaruh pada bidang ilmu anatomi. (4). William Gilbert (1540-1603), pelopor penelitian tentang magnet dan dikenal sebagai sebutan bapak ilmu listrik (5). Galileo Galilei (1546-1642), ilmuwan asal Italia yang menemukan teleskop yang dapat melihat gunung-gunung di Bulan, dan menemukan bahwa Yupiter memiliki 4 satelit (6). Johannes Kepler (1571-1642), astronom asal Jerman yang berpendapat bahwa orbit dari planet-planet yang mengitari matahari tidak berbentuk lingkaran, namun elips (7). Petrarch (1304-1374), dianggap sebagai bapak humanisme renaissance Italia.
III. Zaman Modern
Secara bahasa kata modern berasal dari bahasa Latin, yaitu modernus, yang berarti: saat ini; sekarang; masa kini; dan akhir-akhir ini. Dari kata modern itu kemudian muncul beberapa kata lainnya, yaitu modernitas; modernisme dan modernisasi. Modernitas berarti realitas kemodernan yang kongkrit sementara itu modernisme berarti paham mengenai kemodernan yang berada dalam tatanan konseptual atau ideology. Sedangkan modernisasi adalah suatu proses aktivitas msyarakat dari statis menuju dinamis, dari tradisional menjadi rasional, dari feodal menjadi kerakyatan, dengan jalan mengubah cara berfikir masyarakat sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi segala aparat dan tata cara semaksimal mungkin.
Beberapa ciri dari masyarakat modern itu, diantaranya adalah perkembangan sains, teknik, ekonomi kapitalis, dan adanya “kesadaran” yang menempatkan manusia sebagai titik sentral jagad raya ini. Sehingga kosmosentrisme berubah menjadi antoposentrisme.
Ciri lainnya adalah adanya penolakan pada tradisi, keyakinan pada kemampuan akal, kemajuan dan sains, pemisahan masyarakat dari yang sacral dan agama melalui proses sekularisasi dan membuka nilai perubahan dan penemuan. Jadi dapat disimpulkan definisi budaya modern mengacu pada paradigma budaya yang rasionalistik, ilmiah, objektif, dan sistematik. jadi tatanan nilai budaya yang dikemukannya adalah berwatak modern, rasional dan objektif dalam setiap esensi yang disampaikan maupun dalam pengungkapannya.
Dewasa ini sudah biasa orang menghubungkan kebudayaan modern dengan kondisi-kondisi kehidupan tak terhindarkan yang diciptakannya, seperti meluasnya berbagai bentuk kemerosotan nilai yang berpangkal dari hedonisme, kehampaan spiritual dan hasrat melampaui batas terhadap kebebasan. Kondisi lain yang tak terhindarkan ialah alienasi dengan berbagai manifestasinya, sikap asosial dan nihilisme yang membuat manusia kehilangan makna dalam hidupnya dan dengan demikian pula kehilangan tujuan dalam hidupnya. Semua itu merupakan manifestasi dari krisis yang dialami manusia modern yang hidup dalam peradaban serba materialistis.
Tetapi apabila orang berbicara tentang kebudayaan dan peradaban modern serta krisis-krisis yang ditimbulkannya, biasanya orang hanya menunjuk pada kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi sebagai biang keladinya, dan lupa bahwa sumber dari krisis itu adalah berbagai manipulasi dan penyalahgunaan terhadap kemajuan yang telah dicapai manusia, khususnya di bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi. Orang juga lupa bahwa sumber dari berbagai krisis yang dihadapi manusia sebenarnya dapat dicari pada falsafah hidup, sistem nilai dan gambar dunia (weltanshauung) yang mendasari kebudayaan modern.
Tentu saja tidaklah mudah untuk memastikan falsafah hidup yang bagaimana yang benar-benar mendasari kebudayaan modern, oleh karena begitu banyak aliran falsafah dan ideologi yang berkembang dalam sejarah pemikiran Barat. Pada umumnya pula jika orang berbicara tentang kebudayaan modern maka orang hanya ingat bahwa fundasi yang membentuk kebudayaan Barat ialah Helenisme, atau semangat kebudayaan Yunani yang mencintai pemikiran rasional, penelitian ilmiah dan demokrasi. Semangat Helenisme ini kemudian dikaitkan dengan sejarah munculnya Renaisance yang memicu timbulnya revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke-17 dan 18 M, serta lahirnya falsafah rasionalisme dan empirisme. Orang lupa pada anasir dominan lain yang mendasari pembentukan kebudayaan dan peradaban modern.
Kebudayaan modern sekarang yang serba kompleks ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu canggih dan mengelaborasi hampir seluruh kawasan dunia. Pada saat manusia harus berkelit dengan problem kehidupan yang serba materrialistis dan pada giliranya sangat egois dan individual. Hubungan antar manusia pada zaman modern juga cenderung “impersonal”. Fenomena-fenomena tersebut membuat manusia semakin kehilangan jati dirinya.
Kondisi demikian juga mengharuskan manusia untuk benar-benar mampu bertahan mengendalikan dirinya, untuk kemudian tetap tegar dalam kepribadian sebab ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin tidak banyak tergantung kepada faktor-faktor luar; sosial, ekonomi, politik, adat kebiasaan dan sebagainya, melainkan lebih tergantung kepada cara dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut. Akibatanya dihinggapi oleh rasa gelisah yang sangat, yang kadang-kadang membawa kepada keabnormal tindakan dan sikap dalam hidupnya, gangguan kejiwaan atau bahkan bisa terkena sakit jiwa. Pada kehidupan masyarakat modern, kerja merupakan bentuk eksploitasi kepada diri, sehingga mempengaruhi pola ibadah, makan, dan pola hubungan pribadi dengan keluarga, sehingga dalam kebudayaan industri dan birokrasi modern pada umumnya, dipersonalisasi menjadi pemandangan sehari-hari. Masyarakat modern mudah stres dan muncul penyakit-penyakit baru yang berkaitan dengan perubahan pola makanan dan pola kerja. Yang terjadi kemudian adalah dehumanisasi dan alienasi atau keterasingan, karena dipacu oleh semangat kerja yang tinggi untuk menumpuk modal.
Berger menyebutnya sebagai “lonely crowd” karena pribadi menemukan dirinya amat kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kebudayaan industrialisasi, terus terjadi krisis. Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna karena otonomisasi dan sekularisasi sehingga rasa aman lenyap. Kedua masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri kepada pusat semesta, ketiga nilai kebersamaan goyah, keempat birokrasi dan waktu menggantikan tokoh mistis dan waktu mitologi.
Para penganut faham pascamodern seperti Lyotard pernah mengemukakan perlunya suatu jaminan meta-sosial, yang dengannya hidup kita dijamin lebih merdeka, bahagia, dan sebagainya. Khotbah agung-nya (metanarasi) ini mengutamakan perlunya new sensibility bagi masyarakat yang terjebak dalam gejala dehumanisasi budaya modern. Kebiasaan dari masyarakat modern adalah mencari hal-hal mudah, sehingga penggabungan nilai-nilai lama dengan kebudayaan birokrasi modern diarahkan untuk kenikmatan pribadi. Sehingga, munculah praktek-peraktek kotor seperti nepotisme, korupsi, yang menyebabkan penampilan mutu yang amat rendah.
A. Ciri-Ciri Zaman Modern
Sebagaimana telah dikemukakan di bagian atas, bahwa secara etimologi istilah “modern”, berasal dari bahasa latin yaitu “moderna”. Arti kata Latin ini adalah “sekarang” atau “baru”. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa kehidupan manusia di zaman modern, memang identik dengan kesadaran akan kekinian. Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa sekitar tahun 1500-an adalah hari lahir zaman modern di Eropa, karena sejak tahun itu kesadaran akan kekinian mulai bermunculan. Pertanyaan selanjutnya apakah orang yang hidup sebelum tahun 1500-an tersebut, berarti tidak hidup di masa yang disebut dengan masa kini? Mungkinkah mereka kurang sadar kalau ada perubahan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya yang bersifat kebaruan? Bisa saja kita mengatakan kalau mereka kurang menyadari perubahan secara kualitatif baru. Artinya bahwa modernitas tidak hanya mempersoalkan zaman, tetapi ketika orang sadar akan sesuatu yang bersifat kebaruan. Oleh karena itu, ciri kesadaran modern itu sendiri adalah “perubahan”. Misalnya, perubahan sosial, kemajuan teknologi, revolusi dalam negara dan pertumbuhan ekonomi dalam suatu komunitas masyarakat. Namun, sebenarnya perlu ditekankan bahwa bentuk kesadaran modern lebih bersifat epistemologi yaitu bentuk kesadaran atau pola berpikir individu; walaupun orang sering ditumbuhi ilmu pengetahuan, teknik dan kapitalisme ekonomi sebagai ciri masyarakat modern. Kesadaran modernitas memiliki ciri-ciri yang sangat khas dan mudah diingat yaitu: Subjektivitas, kritik dan kemajuan itu sendiri.
- Subjektivitas
Subjektivitas memberi pengertian bahwa kamu dan saya adalah pusat dari kenyataan dan menjadi ukuran dari segala sesuatu. Transformasi perubahan subjektivitas modern terjadi pada zaman renaisans, dimana kehidupan masyarakat di zaman renainsanse itu lebih mengenali diri sebagai ras, rakyat dan kolektif. Sementara modernisasi yang dimulai di Italia pada zaman renaisans berdampak pada cara berpikir manusia yang lebih menyadari dirinya sebagai individu. Karena di akhir abad ke 13 M di Italia para individu telah menerobos tembok penghalang individualisme dan para individu itu menyanjung dirinya masing-masing. Bukan katedral yang menjadi pusat kota renaisans, melainkan alun-alun kota (palazzo), pasar dan bank.
Sejak zaman renaisans itu-lah, modernitas telah melebur dalam kehidupan masyarakat kota renaisans modern. Modernitas di kota renaisans di italia pada saat itu sangat besar pengaruhnya dalam proses peningkatan kesadaran akan subjektivitas. Dalam filsafat di fajar rasionalisme modern, kita mendengar ungkapan Descartes “ja pense donc je suis” atau “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). Adapun kaum humanis dengan Gerakan humanismenya, mereka menggoncang cara berpikir abad pertengahan dengan lebih banyak tekanan dan lebih percaya pada kemampuan manusia, sebagai penghargaan atas disiplin intelektual.
Tidak lupa juga pemikiran Marx yang menegaskan bahwa manusia sebagai subjek sejarah, tidak hanya dipermainkan waktu, melainkan yang mendesain sejarahnya sendiri.
Oleh karena itu, subjektivitas juga dipahami dari dimensi historisnya. Pernyataan yang telah disebutkan itu merupakan rumusan yang padat akan kesadaran zaman modern yang selanjutnya terus dipertahankan bahkan sampai dengan abad ini, bahwa manusia bisa mengetahui kenyataan dengan rasionya sendiri.
- Kritik Dan Kemajuan
Ciri yang kedua adalah kritik. Kritik sudah tentu dengan sendirinya telah terkandung dalam pengertian subjektivitas, dan berhadapan dengan kekuasaan. Ketika kritik itu dilakukan maka rasio bukan saja menjadi pusat pengetahuan, melainkan juga menjadi kekuatan pragmatis yang membebaskan individu dari wewenang (abuse of power) yang memenjarakan kebebasan berpikir, atau juga menghancurkan anggapan yang menyesatkan.
Bahkan, di tahun 1600-an, peristiwa tragis yang terjadi di alun-alun Campo di Fiore di Roma, sang bidah Giordano Bruno dihukum bakar di depan publik karena pemikirannya (de la causa dan panteisme moderat) oleh otoritas abad pertengahan, karena ajarannya dianggap bertolak belakang dari kitab suci. Adapun Emanuel Kant yang merumuskan kritik adalah tindakan keberanian untuk berpikir sendiri, di luar tuntutan otoritas. Imanuel Kant mengatakan “terbangun dari tidur dogmatis”. Hal itu artinya bahwa dengan kemampuan kritis rasio akhirnya membuat manusia terbebas dari pemikiran tradisional yang berciri “Teosentrisme”. Pada akhirnya subjektivitas dan kritik itu melahirkan kemajuan. Dengan kemajuan tersebut, maka manusia kemudian sadar akan waktu kekinian sebagai sumber langka. Waktu yang dialami manusia sebagai suatu sistem realitas yang tertuju kepada satu tujuan yang dituju oleh subjektivitas dan kritik itu sendiri. Hari itu, kita cukup mudah menerima dan menentukan perbedaan cara berpikir abad ke 16 dan seterusnya dengan abad-abad sebelumnya. Sebagai suatu periode, ketiga ciri kesadaran modernitas muncul pada abad ke 16 dan berpuncak di abad 18 M. Tentunya perbedaan tersebut adalah hasil perdebatan dimasa lalu. Karena begitu samar dan kompleksitas mengenai periodesasi tersebut, tidak mengherankan kalau pada abad ke 19 M para sejarawan menentukan tanggal lahir zaman modern atau modernitas yaitu pada abad ke 16 M, yakni bersamaan dengan itu juga mereka membedakan zaman sebelumnya yang disebut sebagai “abad pertengahan”.
Walaupun demikian, Istilah “medium aevum” (zaman tengah) sudah muncul di awal modernitas. Istilah itu berasal dari Flavio Biondo. Dia mengatakan bahwa peristiwa awal modernitas adalah Gerakan renaisans dan juga penemuan-penemuan benua-benua baru, penemuan mesin cetak, dan mesiu. Sedangkan pemikiran para filsuf yang hidup mulai dari abad ke 16 M, kemudian dicirikan sebagai “modern”, karena pemikiran para filsuf pada era itu berpusat pada manusia sebagai subjektivitas, rasio sebagai kemampuan kritis dan sejarah sebagai kemajuan. Saat itu, telah bermunculan tema baru dalam filsafat yang mulai meninggalkan ketiga tema itu dan membicarakan kelahiran bukan hanya kesadaran baru, tetapi juga zaman baru atau post modern.
IV. Zaman Millennial Sumber Ide
Generasi milenial tidak tertarik dengan iklan televisi dan media cetak yang hanya dianggap cocok untuk generasi tua. Bahkan di zaman milenial saat ini, produk melalui content video di internet maupun digital marketing lainya memang telah menjadi sebuah keharusan. Sedangkan karakteristik generasi milenial berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonomi. Namun, generasi milenial umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Generasi millennial merupakan generasi “kepo”, karena sebelum memutuskan pembelian suatu produk misalnya, mereka terlebih dahulu mencari informasi melalui internet maupun sosial media. Review tentang produk di internet dan sosial media menjadi referral bagi mereka. Bshkan, istilah “word of mouth” akan mengalami perubahan menjadi “word of internet” atau “word of social media”.
Hasil riset Alvara Reseach Center tahun 2015 menemukan bahwa informasi produk yang paling banyak di cari oleh generasi millennials di internet adalah informasi tentang price, feature product, kemudian diikuti oleh promotion program dan customer review.
Meledaknya konsumsi “gadget” dan “internet” oleh generasi millennial saat ini secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada selling channel penjualan. Fenomena menjamurnya “toko online” adalah salah satu indikasinya. Selain toko online, forum, media sosial sekarang juga banyak digunakan sebagai selling channel. Bahkan, meroketnya jumlah penggunaan internet menjadikan di tahun 2020 tentu merupakan indikasi perkembangan “online channel” yang makin menggembirakan.
Generasi millennial adalah masyarakat sosial yang melek dan “adaptable” pada teknologi. Mereka cenderung suka memanfaatkan teknologi untuk mempermudah segala aktivitas, tak terkecuali aktivitas belanja. Dengan kemajuan teknologi cara pembayaran membuat generasi milenial semakin cashless (cenderung tak membawa uang tunai). Kemudahan pembayaran belanja melalui debit card, credit card e-money, internet banking dan lain sebagainya. Hal itu memang sangat mudah diadopsi oleh urban middle-class millennials. Sehingga keberadaan urban middle-class millennials tentu akan menjadi trigger bagi perkembangan pembayaran yang bersifat cashless. Kedepan alat pembayaran tradisional akan bergeser ke alat pembayaran yang modern.
Munculnya teknologi (gadget dan internet), perubahan geografis dan perubahan daya beli secara berlahan tapi pasti telah mengubah perilaku dan nilai nilai yang dianut oleh manusia. Urban middle-class millennials adalah masyarakat yang memiliki perilaku dan nilai-nilai yang unik yang disebabkan oleh melekatnya tiga entitas tersebut. Masyarakat urban middle-class millennials merupakan masyarakat muda terbuka (open minded), individualis, dan masyarakat multikultur sehingga memunculkan budaya-budaya baru. Bahkan, proses perubahan fenomena sosial generasi masa depan bisa tercermin dari fenomena Generasi millennial saat ini, karena karakter individualis masyarakat kedepan akan terus terjadi secara dunamis. Meskipun mereka berkumpul gadget, tapi masih tidak bisa lepas dari tangan, tenggelam dalam dunia mereka sendiri adalah sebuah keniscayaan masyarakat masa depan. Gadget bukan menjadi lagi sebatas teknologi, tetapi sudah menjadi teman. Sepertinya sehari tanpa gadget adalah suatu kemustahilan. Hasil pengamatan penulis, yakni ketika mengamati perilaku Generasi Millennial yang lagi nongkrong di café maupun di mall-mall, hal itu menunjukkan hasil yang sama. Dari pengamatan penulis meskipun mereka berkumpul dengan teman maupun komunitas mereka, tapi gadget tidak bisa lepas dari tangan dan penglihatan mereka. Mereka ngobrol sambil memegang dan melihat gadget.
Budaya lain yang muncul adalah budaya selfie dan narsis. Berkembangnya teknologi kamera smartphone salah satunya mendorong munculnya fenomena selfie dan narsis, apalagi saat ini muncul “smartphone” dengan keunggulan kamera depan sehingga menghasilkan hasil selfie yang fotogenik, perkembangan kamera smartphone perkembangan munculnya sosial media juga menjadi trigger. Bahkan, setelah bernarsis ria, mereka langsung mengunggah ke sosial media. Tempat-tempat menarik menjadi spot selfie dan narsis. Mereka tidak hanya selfie di tempat-tempat seperti mall, café, tempat wisata bahkan ditempat ibadah pun mereka berselfie ria. Selfie dan narsis secara tidak langsung memunculkan fenomena sosial lain, yaitu membludaknya pengunjung tempat wisata.
Bagi masyarakat saat ini, berlibur sudah menjadi kebutuhan seiring dengan padatnya pekerjaan mereka, akhirnya membutuhkan waktu refresh sejenak. Kerkunjung ke tempat wisata bukan saja untuk liburan. Berfoto selfie dan narsis di tempat wisata khususnya tempat wisata luar negeri menjadi kebanggaan tersendiri bagi generasi milenial. Generasi millennial juga memiliki sifat yang lebih toleran terhadap sesamanya.
Hal itu dipengaruhi oleh arus globalisasi yang semakin cepat, dimana anak muda zaman saat ini dapat berinteraksi dengan manusia dari berbagai belahan dunia. Arus globalisasi berhasil menciptakan interaksi langsung dan tidak langsung yang lebih luas antar umat manusia, yang tidak mengenal batas-batas antara negara satu dengan negara yang lain. Oleh karena itu, globalisasi membuat generasi millennial menjadi lebih terbuka terhadap perbedaan, wawasan mereka terhadap keberagaman pun menjadi lebih luas sehingga timbul sifat toleran yang cukup tinggi dari generasi ini.
Namun, ada perbedaan paradigma yang mencolok antara Generasi X dan Generasi Millennial terkait dunia kerja. Generasi X memandang ukuran sukses di dunia kerja adalah ketika mereka sukses meniti karir dari bawah sampai ke puncak posisi di perusahaan yang sama, loyalitas pada perusahaan adalah salah satu ukuran kunci sukses. Sebaliknya bagi Generasi Millennial ukuran sukses di dunia kerja adalah ketika mereka bisa pindah-pindah kerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain, bagi mereka semakin sering pindah berarti mereka termasuk orang yang “laku” di perusahaan.
Bahkan, di lingkungan pekerjaan saat ini, banyak generasi millennial sebagai ujung tombak dalam pekerjaan, baik di bidang teknis atau di bidang pendukung. Jika generasi millennial ini bertugas di bidang Pengelolaan Kekayaan Negara, Bidang Penilaian , Bidang Lelang, pastinya generasi millennial tersebut akan berupaya memberikan inovasi-inovasi atau ide-ide yang mampu mempermudah dan meningkatkan kinerja. Namun, jika generasi millennial tersebut bertugas di bidang pendukung, sangatlah cocok jika berada pada bidang informasi dan teknologi. Dengan kemampuan generasi millennial yang mampu mengupdate pengetahuan tehnologi itu akhirnya dapat membantu unit kerja dalam hal teknologi, selain itu dengan hobinya bermedia sosial sehingga akan selalu aktif mempublikasikan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan tugas dan fungsi unit kerja, membuat inovasi-inovasi serta sehingga memberi dampak positif pada reputasi dan citra suatu unit kerja. Unit kerja melalui teamwork harus mampu menjembatani dua generasi ini. Generasi millennial juga harus mampu menularkan antusiasme kepada generasi X dan generasi X mampu memberikan arahan dan mereka bekerja sama dengan baik untuk dapat mencapai target dan kinerja yang lebih baik.