Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Secara umum disiplin ilmu agama Islam sebagaimana disiplin ilmu lain dapat dikelompokkan ke dalam rumpun ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora) dan ilmu sosial, bahkan ada yang masuk pada rumpun ilmu alam seperti ilmu falak. Persamaan ini memungkinkan kita untuk melakukan pengembangan setiap disiplin ilmu agama Islam tersebut melalui kerja ilmiah dan pengembangan metodologinya. Jika kita meninjau ulang sejarah keilmuan abad pertengahan (antara abad 8-12 M), maka kita dapati bahwa ilmu pengetahuan yang dibangun oleh para ilmuwan Islam sangat berkembang pesat, bahkan mewarnai dunia saat itu. Tradisi keilmuan berkembang hingga mampu melahirkan karya-karya besar dan monumental. Padahal jika diukur dengan kondisi sarana dan prasarana yang ada saat itu tidak cukup memadai dan mendukung bagi perkembangan keilmuan tersebut. Tapi, kenapa hal ini bisa terwujud? Apa yang mendorong perkembangan ilmu pada saat itu? Kenapa setelah itu berbalik? Kenapa peran lembaga keagamaan (Islam) tertinggal oleh yang lain? Apa problem yang dihadapi? Adakah kesalahan pada tingkat epistemologisnya? Tulisan kali ini, saya mencoba ingin medeskripsikan beberapa problem di atas, yaitu melalui pendekatan filosofis.

Sementara pengembangan pendidikan agama Islam memerlukan upaya untuk merekonstruksi pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi: pertama, subject matter pendidikan Islam harus diorientasikan ke masa depan; kedua, perlu dikembangkan sikap terbuka bagi transfer of knowledge dan kritsis terhadap setiap perubahan; ketiga menghindari pandangan dikotomis terhadap ilmu (ilmu agama dan ilmu umum). “Agama” dan “ilmu” merupakan entitas yang menyatu (integral) tak dapat dipisahkan satu sama lain. Hendaknya kita tidak terjebak pada kategori-kategori yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis. Metodologi Studi Islam (MSI) perlu dikembangkan lebih lanjut agar visi epistemologisnya dapat menjabarkan secara integral dan terpadu terhadap tiga arus utama dalam ajaran Islam: aqidah, syari’ah dan akhlaq. Integritas ketiga aspek tersebut hendaknya dimantapkan berdasarkan kecenderungan intelektual masa kini, bukan mencatat metodologi setiap ilmu yang berkembang dalam sejarah pemikiran Islam secara parsial, melainkan berupaya menemukan hubungan-hubungan logis antar pelbagai disiplin ilmu yang berkembang dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi ilmiah hanya akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern ini. Begitu juga sebaliknya bahwa kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam pengembangan ilmu dan teknologi juga akan menjadikan dishumanisme. Di sinilah perlunya paradigma integralisme dan desekularisasiilmu.

II. Tradisi Keilmuan Islam

Bahwa Islam memiliki tradisi yang kuat di bidang ilmu pengetahuan di masa lampau bukanlah merupakan peryataan yang berlebihan. Karena, kesaksian para sejarah dunia, hal itu membuktikan bahwa Islam pernah mengalami abad kejayaan dan keemasan, dengan munculnya begitu banyak ilmuwan muslim di abad kejayaan Islam itu. Bahkan cukup banyak sejarawan ilmu (science historian) yang menyebut peradaban Islam sebagai “peradaban ilmu”. Tidak ada bidang ilmu pengetahaun dikenal saat itu yang tidak memiliki figur-figur dari kalangan Muslim. Bahkan banyak cabang ilmu dan bidang baru diciptakan oleh para cendikiawan Muslim, seperti Al-Jabr. Demikian pula beberapa pokok cabang yang belakangan dinamai sains modern sebenarnya telah dirintis oleh para cendikiawan Muslim itu, seperti sosiologi, dan filsafat sejarah yang dirintis oleh Ibn Khaldun. Sementara aspek lain dari kebesaran Islam dibidang pengetahuan dimasa lampau itu adalah sumbangan peradaban Islam kepada kebangunan pengetahuan dan peradaban Barat di kemudian hari.

Daniel Defo dengan karya utamanya “Robinson Crusoe”, ia telah terpengaruh oleh “Hay bin Yaqzhan-nya” Ibn Thufail. Sementara Goethe dan Rilke, yang merupakan puncak dunia puisi jerman higga saat ini mengambil banyak sekali dari karya-karya puisi kaum sufi. Jean Jacques Rousseau, ia memasukkan unsur-unsur teori pemerintahan yang dikembangkan para sarjana hukum Muslim, untuk karya utamanya, “Le Contrat Social”. Hingga kini pun masih terasa besarnya sumbangan para pemikir Muslim bagi beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti filsafat. Bahkan dikatakan oleh W. Leifer (1963), bahwa dua corak ilmu pengetahuan (ilmu murni dan teknologi) dibawa ke Eropa dari dunia Islam. Dijelaskan oleh Laifer bahwa ilmu murni (pure science) berpangkal dari pola pikir para ahli Yunani Kuno, sedangkan ilmu teknologi (applied science) bersumber dari pola pikir para ahli Islam. Tidak diragukan lagi bahwa filsafat Kristen telah dipengaruhi oleh filsafat Islam sejak abad ke 12 M, ketika orang-orang Latin mengadakan kontak dengan orang-orang Arab melalui Sicilia dan Andalusia (Sepanyol) serta melalui penejermahan buku-buku. Pengaruh tersebut begitu kuat pada abad ke-13 M dan bergema selama dua abad sesudahnya hingga era renaisssance. Kita hampir tidak menemukan tokoh terkemuka abad 13 M yang mempunyai hubungan dengan Ibn Sina atau Ibn Rusyd. Jika Siger dari Brabant (m. 1282 M) adalah seorang pendukung bersemangat Ibn Rusyd, maka seorang Roger Bacon, ia lebih mendukung Ibn Sina, sementara St. Thomas Aquinas telah menggabungkan antara filsafat Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Demikian karya-karya Muslim telah banyak diterjemahkan, mulai dari Ibn Thufail, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al- Khawarizmi dan seterusnya.

Toledo (Sepanyol) saat itu menjadi jembatan bagi dunia Barat dalam proses mencerdaskan bangsa dan perasaan seni. Toledo dan Salerno merupakan awal penciptaan sains di dunia Barat. Di sana sebuah pelita dinyalaka cemerlang. Di sinilah maka ketika George Sarton (seorang pakar sejarah sains) ia kemudian membagi daur era penciptaan sains, Islam dianggap sebagai yang tampil progresif. Sarton membagi prestasi sains ke dalam beberapa era, dimana setiap era berjangka waktu sekitar setengah abad, dengan separoh abad diasosiasikan seorang tokoh utama: Pertama, tahun 450 sampai 400 SM adalah era Plato, yang lalu diikuti oleh era Aristoteles, Euklides dan Arkhimedes, Kedua, dari tahun 600 sampai 700 M adalah era Cina, Ketiga dari tahun 750 sampai 1100 M, kemudian tahun 350 tahun secara kesinambungan adalah Jabir, Khawarizmi, Razi, Mas’udi, Wafa’, Biruni, Ibn Sina, Ibn Haitsman dan Umar Khayam, mereka adalah bangsa Arab, Turki, Afghan dan Persia dari persemakmuran Islam. Baru sesudah tahun 1100 M, munculah nama-nama Barat untuk pertama kalinya, yautu Gerardo dari Cremona dan Roger Bacon. Tetapi kehormatan itu masih harus dibagi selama 250 tahun berikutnya dengan nama-nama seperti Ibn Rusyd, Thusi, Ibn Nafis, para ahli yang mendahului Harvey dalam pengembangan “teori peredaran darah”. Oleh karena itu, kalaulah tidak karena persinggungan dengan dunia Islam, barangkali Barat tak akan semaju seperti sekarang ini. Bahkan, dari catatan-catatan sejarah di atas, maka kita bisa melihat bagaimana interaksi Islam dengan kebudayaan lain sepanjang sejarah. Ketika itu Islam bisa dikatakan sebagai wakil Kubu Dunia Timur. Di lain pihak ada kebudayaan Barat, kebudayaan India, logika dan filsafat Yunani (Hellenisme) serta administrasi pemerintah dari Persi. Yang menarik adalah pada saat itu Islam tidak di India-kan, tidak di Yunanikan, tidak juga di-Pers-kan dan seterusnya. Kenapa? Jawabannya menurut E. Von Gruneboum adalah, karena pada saat itu Islam merupakan budaya yang dominan, sehingga ia tak terpengaruh oleh budaya lain. Oleh karena itu menurut Dr. Kuntowijoyo, Islam memiliki dua sistem budaya: budaya keterbukaan dan budaya orisinil/otentik. Terbuka artinnya bahwa perkembangan budaya Islam tidak hanya tumbuh dari dalam, melainkan Islam pun mengakui kepada kebudayaan.

Karena itu sebagai sistem yang orisinil dan otentik, artinya, bahwa selain Islam mewarisi peradaban dunia, Islam juga memiliki peradabannya sendiri (memiliki watak yang orisinil dan otentik tadi). Oleh sebab itu ia juga menjadi mata rantai peradaban dunia. Tentang watak keterbukaan dan orisinalitas ini bisa dibandingkan dengan pendapat HAR. Gibib yang menyatakan, bahwa Islam tidak hanya sebagai sebuah sistem ajaran teologi (doktrin) saja melainkan ia sarat dengan sistem peradaban (islam is indeed much more than a theology is complete civilization). Dalam hadis juga dikatakan, bahwa kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengambil (baca: belajar) ilmu pengetahuan (hikmah) walau dari manapun asalnya, meski dimanapun berada (khuz al-hikmata walau fi ayyi wi’ain kana). Kemajuan ilmu pada saat itu banyak ditunjang oleh kondisi serta dukungan penguasa, disamping memang konsep Islam menuntut untuk itu. Dalam Islam diajarkan keterbukaan, penggalian dan pembangunan ilmu pengeatahuan. Semaraknya transmisi ilmu pengetahuan lewat penterjemahan (dari Yunani ke Arab) hal itu menjadikan ilmu semakin berkembang, sehingga (menurut terminologi Peursen) ilmu menjadi sebuah proses, kata kerja bukan produk atau kata benda Ilmu yang berkembang bukan ilmu dogmatis, melainkan ilmu yang dialektis. Agama atau ilmu hukum tidak lagi menjadi otoritatif melainkan justru memberikan semangat yang luar biasa dan sangat aspiratif. Baru setelah itu macet, bahkan terjadi “involusi”, ketika agama salah dipersepsi dan menjadi otoriter. Sementara penguasa pada saat itu sudah tidak lagi “concern” dengan perkembangan keilmuan. Dan itulah awal kemunduran Islam. Dan kasus serupa ternyata terjadi juga pada kaum Kristiani (Keristen), ketika para penguasa gereja saat itu sudah tidak lagi interes dengan keilmuan dan menjadikan agama sebagai ajaran yang “rigid” dan otoritatif.

III. Klasifikasi Ilmu Agama Islam Dan Pemikir Islam abad 20

Setelah Seminar ketujuh Internasional, yakni tentang Pendidikan Islam yang berlangsung di Makkah pada tahun 1977, akhirnya terjadilah proses “mengklasifikasikan” ilmu dalam dua katageri : Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu Ilahi yang tertera dalam al-Qur’an dan al-Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya; Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya (teknologi) yang dapat berkembang secara kualitatif.
Sebagaimana yang diklasifikasikan oleh Tim Perumus Pengembangan Pendidikan Agama Islam seluruh IAIN (pasca seminar Islam ketujuh di Mekah tahun 1977), bahwa ilmu-ilmu Islam dalam perkembangan modern sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar : kelompok dasar dan kelompok cabang. Kelompok dasar mencakup: tafsir, hadis, akidah/ilmu kalam (teologi), filsafat Islam, tasawuf, tarekat, perbandingan agama dan perkembangan moderen (pembaruan) dalam Islam. Kelompok cabang terdiri dari:
Ajaran yang mengatur masyarakat yang terdiri dari ushul fiqih, fiqih mu’amalah, fiqih siyasah, fiqih ibadah, peradilan dan perkembangan moderen (pembaruan). Dalam bidang ini fiqih ibadah dimasukkan karena kaitannya erat dengan hidup kemasyarakatan. Dalam fiqih mu’amalah termasuk peraturan kemiliteran, kepolisian, ekonomi dan pranata administrasi negara; Peradaban dalam Islam yang mengandung: Bahasa-bahasa dan sastra, terutama bahasa Arab dan sastra Arab. Pengajaran Islam kepada anak didik, yang terdiri dari: pendidikan Islam dan perkembangan moderen (pembaruan) dalam pendidikan Islam. Penyiaran Islam, yang terdiri dari: sejarah dakwah Islam, metode dan materi dakwah, perkembangan moderen dalam dakwah dll.

Sejarah Islam, termasuk didalamnya sejarah politik, sejarah ekonomi, administrasi, kepolisian, kemiliteran dll. Sejarah pemikiran Islam, yang mencakup: ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Sains Islam. Budaya Islam, yang mencakup: arsitektur, kaligrafi, seni lukis, seni tari, seni musik dll. Sementara tudi wilayah Islam, terutama ditinjau dari segi perbandingan, maka kedua kelompok dasar dan cabang di atas dapat dibagi ke adalam bidang-bidang berikut: Sumber ajaran Islam, yang mencakup: ilmu al-Qur’an, hadis dan perkembangan modern. Sementara pemikiran dasar Islam yang mencakup: ilmu kalam, filsafat, tasawuf dan tarekat, perbandingan agama dan perkembangan modern.
Pranata sosial, yang mencakup: ushul fiqih, fiqih mu’amalah, fiqih siyasah, fiqih ibadah, fiqih ekonomi, fiqih kemiliteran, fiqih kepolisian dan pranata-pranata sosial lainnya serta perkembangan moderen dalam bidang fiqih. Sedangkan sejarah dan peradaban Islam, yang mencakup hal-hal sebagai tersebut diatas ditambah dengan perkembangan modern.
Bahasa sastra Islam, yang cakupannya sebagaimana tersebut di atas, ditambah denganperkembangan modern.
Pendidikan Islam, yang cakupannya sama dengan di atas ditambah dengan perkembangan modern. Dakwah Islam, cakupannya sama dengan di atas, ditambah dengan perkembangan modern.
Perkembangan modern dalam Islam, yang mencakup bidang-bidang: sumber, pemikiran dasar, pranata sosial, pendidikan Islam, dakwah, sejarah dan peradaban serta bahasa dan sastra.

IV. Rekonstruksi Pendidikan Islam Ke Depan

Desekularisasi dan Integrasi dalam konteks sekarang ini, kenyataannya memang tak dapat dipungkiri, bahwa ilmu selalu berkembang hingga sekarang. Dari tahapan yang paling mitis pemikiran manusia terus berkembang hingga sampai pada supra resional. Atau dari yang paling “mitis, ontologis” hingga yang sangat “fungsional”. Atau dari yang “teologis, metafisik” hingga sampai yang sangat “positif”. Bahkan, perkembangan industri di abad 18 M yang telah menimbulkan berbagai implikasi sosial dan politik telah melahirkan cabang ilmu yang disebut sosiologi.

Penggunaan senjata nuklir sebagaimana di abad 20 M telah melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “polemologi” dan seterusnya entah apa lagi nanti namanya. Bagi orang Islam, pengetahuan bukan merupakan tindakan atau pikiran yang terpencil dan abstrak, melainkan merupakan bagian yang paling dasar dari kemaujundan dan pandangan dunianya (world-view). Oleh karenavitu tidaklah mengherankan jika ilmu memiliki arti yang demikian penting bagi kaum muslimin pada masa awalnya, sehingga tidak terhitung banyaknya pemikir Islam yang larut dalam upaya untul mengungkap konsepsi keilmuan. Dengan kata lain, bahwa konseptualisasi ilmu yang mereka lakukan nampak dalam upaya mendefinisikan ilmu yang tiada habis-habisnya, dengan kepercayaan bahwa ilmu tak lebih dari perwujudan “untuk memahami tanda-tanda kekuasaan Tuhan”, seperti juga membangun sebuah peradaban yang membutuhkan suatu pencarian pengetahuan yang komperehensif. Sebagaimana kata Rosentall, sebuah peradaban Muslim tanpa hal itu tak akan terbayangkan oleh orang-orang Islam abad pertengahan sendiri, lebih-lebih pada masa sebelumnya. Bahakan saat ini, reorientasi intelektual umat Islam harus dimulai dengan suatu pemahaman yang benar dan kritis atas epistemologinya. Dengan begitu, sebuah reorientasi seharusnya bukan merupakan suatu pengalaman yang baru bagi kita, melainkan sekadar sebuah proses memperoleh kembali warisan kita yang hilang (ilmu yang hilang). Jika umat Islam tidak mau tertinggal jauh oleh dunia Barat, maka sudah saatnya kita untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) warisan intelektual Islam yang selama ini terabaikan, dan jika perlu mendefinisikan kembali ilmu dengan dasar epistemologi yang diderivasi dari wahyu (baca: Al-Qur’an dan al-Hadis). Bahkan yang terkesan saat ini, pembaruan-pembaruan pendidikan di seluruh dunia Islam terkesan lebih dipacu untuk membangun tiruan-tiruan tonggak intelektual Barat daripada membentuk kembali sumber akalnya sendiri. Jika kita tidak mendefinisikan kembali konsep pandangan dunia (world-view) Islam, maka kita hanya akan menoreh luka-luka intelektual kita sebelumnya. Bukankah sains dan teknologi adalah juga warisan intelektual umat Islam sendiri? Oleh sebab itu kita harus menemukan kembali warisan yang berharga itu.

Kita mesti ingat sabda Nabi “Bahwa ilmu pengetahuan (hikmah) adalah perbendaharaan orang mukmin yang telah hilang. Barang siapa menemukannya kembali, maka ia berhak atasnya. Dalam konteks ini, negara kita Indonesia termasuk negara yang menempati posisi terbesar jumlah penduduk muslimnya. Tetapi potensi mayoritas muslim tersebut belum menjamin peran sosialnya. Hal itu tentu terkait dengan soal konseptualisasi ilmu dan pendidikan. Apakah pendidikan yang dikembangkan oleh umat Islam sudah memenuhi fungsi dan sasarannya? Karena itu seperti yang diungkap oleh (alm) Dr. Kuntowijoyo, bahwa pendidikan tinggi Islam saat ini sebagaimana pendidikan tinggi lainnya secara empirik belum mempunyai kekuatan yang berarti karena pengaruhnya masih kalah dengan kekuatan-kekuatan bisnis maupun politik. Disinyalir, bahwa pusat-pusat kebudayaan sekarang ini bukan berada di dunia akademis, melainkan di dunia bisnis dan politik. Dalam “setting” seperti itu, maka lembaga pendidikan tinggi Islam terancam oleh subordinasi. Pendidikan tinggi Islam, baik dalam konteks nasional Indonesia maupun sebagai bagian dari dunia Islam, kini tengah menghadapi tantangan yang lebih berat. Sementara agenda besar yang dihadapi bangsa Indonesia kini adalah, bagaimana menciptakan negara yang aman, adil dan makmur dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, yang didukung oleh warga negara yang berpengetahuan, beriman dan bertakwa. Dengan begitu maka pendidikan tinggi Islam dituntut untuk berperan penting serta untuk mewujudkan tatanan Indonesia baru dimaksud, dengan merumuskan langkah-langkah strategis pengembangannya. Hingga saat ini masih ditengarai bahwa sistem pendidikan Islam belum mampu menghadapi perubahan dan menjadi “counter ideas” terhadap globalisasi kebudayaan.

Oleh karena itu, pola pengajaran maintenance learning yang selama ini dipandang terlalu bersifat adaptif dan pasif harus segera ditinggalkan. Dengan begitu, maka lembaga pendidikan Islam setiap saat dituntut untuk selalu melakukan rekonstruksi pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi. Setidaknya ada tiga faktor yang menjadikan model pendidikan Islam berwatak statis dan tertinggal: Pertama, subject matter pendidikan Islam masih berorientasi ke masa lalu dan bersifat normatif serta tekstual. Hal itu bukan berarti bahwa kita harus meninggalkan warisan masa lalu. Warisan masa lalu sangat berharga nilainya karena ia merupakan mata rantai sejarah yang tidak boleh diabaikan. Prinsip kita harus tetap memelihara tradisi warisan masa lalu yang baik dan mengambil tradisi yang lebih baik (al-muhafadhat ala ‘l-Qadim as-Shalih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-Jadid al-Ashlah) justru merupakan prinsip yang tepat bagi sebuah rekonstruksi pemikiran pendidikan Islam. Kedua, masih mengentalnya sistem pengajaran maintenance learning yang bercirikan lamban, pasif dan menganggap selalu benar terhadap warisan masa lalu; ketiga masih ada pandangan dikotomis ilmu secara substansial (ilmu agama dan ilmu umum). Secara umum Johan Hedrik Meuleman (Intelektual Muslim asal Prancis), ia melihat adanya beberapa kelemahan tradisi ilmiah di kalangan umat Muslim, yaitu Pertama, adanya logosentrisme, tektualis. Akibat logosentrisme tersebut kemudian mengabaikan unsur tak tertulis dari agama dan kebudayaan Islam, seperti tindakan sosial, seni dan lain sebagainya. Kedua sikap apologetik terhadap aliran (teologi, fiqh dan seterusnya). Ketiga adanya kecenderungan yang verbalistik dan memberikan wibawa terlalu besar pada tradisi, yang berimplikasi pada sikap ekskulisivisme. Kondisi demikian menurut Meuleman, bebannya masih terasa sampai saat ini. Malangnya hal serupa juga dialami oleh Islamolog Barat. Karena, pada sebagian besar masyarakat kita sekarang ini juga masih muncul anggapan, bahwa “agama” dan “ilmu” merupakan entitas yang berbeda dan tidak bisa ditemukan, keduanya dianggap memiliki wilayah sendiri-sendiri baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing, bahkan sampai pada penyelenggaraan institusinya.

Kenyataan itu bisa kita lihat misalnya pada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Adalah sangat penting untuk melihat sejarah masa lalu, bahwa dalam sejarah kependidikan Islam telah terbelah dua wajah paradigma integralistik-ensiklopedik di satu pihak dan paradigma spesifik-paternalistik di pihak lain. Paradigma pengembangan keilmuan yang integralistik-ensiklopedik ditokohi oleh ilmuwan Muslim, seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, sementara yang spesifik-paternalistik ditokohi oleh ahli-ahli hadis dan ahli fiqih. Keterpisahan secara diametral antara keduanya (dikotomis) dan sebab lain yang bersifat politis-ekonomis itu menurut hemat penulis berakibat pada rendahnya kualitas pendidikan dan kemunduran dunia Islam zaman itu. Oleh karena itu menurut hemat penulis, perlu ada gerakan rapproachment (kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan yang dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Gerakan itu juga disebut dengan reintegrasi epistemologi. Namun lagi-lagi kita juga agar tetap waspada terhadap adanya dikotomi, menghindari dualisme buruk dan berpikir secara dialektis. Dan kita jangan terjebak pada kategori-kategori yang saling bertolak belakang itu. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis. Dalam perspektif keilmuan Islam, posisi filsafat Islam adalah sebagai landasan adanya integrasi berbagai disiplin dan pendekatan yang makin beragam, karena dalam konstruks epistemologi Islam, filsafat Islam dengan metode rasional-transendentalnya dapat menjadi dasarnya.

Sebagai contoh, fiqih pada hakikatnya adalah pemahaman yang dasarnya adalah filsafat, yang kemudian juga dikembangkan dalam ushul fiqh. Tanpa filsafat, fiqih akan kehilangan semangat inovasi, dinamisasi dan perubahan. Oleh karena itu jika terjadi pertentangan antara fiqih dan filsafat seperti yang pernah terjadi dalam sejarah pemikiran Islam, maka menurut hemat penulis, hal itu lebih disebabkan oleh terjadinya kesalahpahaman dalam memahami risalah kenabian. Filsafat bukan anak haram Islam, melainkan anak kandung yang sah dari risalah kenabian tersebut. Oleh karena itu, setiap diskursus tentang metodologi haruslah dibangun diatas sentuhan-sentuhan filsafat. Tanpa “sense of philosophy” menurut hemat penulis, maka sebuah metodologi akan kehilangan substansinya. Metodologi Studi Islam (MSI) perlu dikembangkan lebih lanjut agar visi epistemologisnya dapat menjabarkan secara integral dan terpadu tiga arus utama dalam ajaran Islam, yaitu : Aqidah, Syari’ah dan Akhlaq. Integritas ketiga aspek tersebut hendaknya dimantapkan berdasarkan kecenderungan intelektual masa kini, bukan mencatat metodologi setiap ilmu yang berkembang dalam sejarah pemikiran Islam secara parsial, melainkan berupaya untuk menemukan hubungan-hubungan logis antar pelbagai disiplin ilmu yang berkembang dalam wacana pemikiran Islam kontemporer. Para ilmuwan dulu memang mengklasifikasi ilmu dalam berbagai macam jenis, Ibn Khaldun misalnya, ia membuat klasifikasi ilmu dalam dua jenis ilmu pokok: yaitu ilmi naqliyah dan ilmu ‘aqliyah. Ilmu naqliyah adalah ilmu yang berdasarkan wahyu, dan ilmu aqliyyah adalah ilmu yang berdasarkan rasio. Menurut Ibnu Khaldun yang termasuk ilmu naqliyah adalah: al-Qur’an, hadis, fiqh, kalam, tasawuf dan bahasa; sedangkan yang termasuk ilmu aqliyah adalah: filsafat, kedokteran, pertanian, geometri, astronomi dst. Tetapi klasifikasi ilmu tersebut menurutnya bukan dimaksudkan untuk mendikotomi ilmu antara satu dengan yang lain, tatapi hanya sekadar klasifikasi. Klasifikasi tersebut menunjukkan betapa ilmu tersebut berkembang dalam peradaban Islam. Dalam konteks ini ilmu agama Islam merupakan salah sau saja dari berbagai cabang ilmu secara keseluruhan. Jadi persoalannya bukan “ilmu agama” dan “non agama”, tetapi lebih kepada “kepentingan”, untuk apa ilmu tersebut digunakan (karena ilmu sebagai instrumen, bukan tujuan). Dan apalagi jika kita sepakat bahwa pada dasarnya sumber ilmu itu dari Allah.

Dengan demikian terminologi “ilmu agama” dan “ilmu umum”, “non agama” adalah peristilahan sehari-hari dalam pengertian sempit saja. Hanya memang, pertama-tama kita harus punya prioritas bahwa sebagai seorang Muslim harus menguasai ilmu yang berkaitan langsung dengan ibadah mahdhah itu, misalnya ilmu tentang shalat, puasa, zakat, haji dan seterusnya, yang ilmu tersebut sering disebut ilmu syar’iah/fiqh; dan ilmu tentang ketuhanan/keimanan kepada Allah SWT, yang biasa disebut sebagai ilmu tauhid/kalam. Ilmu-ilmu itupun sebetulnya jika dipahami secara mendalam dan kritis tampak sangat berkaitan dan tak terpisahkan dengan ilmu-ilmu yang selama ini disebut “ilmu umum” itu, misalnya ilmu sosial dan humaniora dan juga ilmu alam. Karena semua sistem peribadatan (al-’ibadah, worship) di dalam Islam memang mengandung dimensi ajaran yang tidak lepas dari hubungan antara Allah SWT sebagai Zat pencipta (al-Khaliq) dan manusia atau alam sebagai yang dicipta (al-makhluq). Dan hubungan tersebut dalam al-Qur’an disebut sebagai hablun min Allah wa hablun min al-nas, hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Di sini rukun iman dalam ajaran Islam lebih berorientasi pada hubungan vertikal, manusia dengan Allah atau yang ghaib, sedang rukun Islam lebih berorientasi pada hubungan horizontal antara manusia dengan manusia yang lain ataupun alam semesta. Tetapi keduanya (iman dan Islam) tak dapat dipisahkan tak ubahnya seperti hubungan ilmu dan amal (integral) Dalam perspektif sejarah, pengadilan inquisi yang dialami oleh baik Copernicus (1543), Bruno (1600) maupun Galileo (1633) oleh geraja karena pendapatnya yang bertolak belakang dengan agama, akhirnya telah mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa, yang pada dasarnya ingin terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan yang berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya (das sein) dengan semboyan: “ilmu yang bebas nilai”.

Setelah pertarungan kurang lebih 250 tahun, atau yang dikenal dengan gerakan renaissance (abad 15) dan aufklarung (abad 18), para ilmuwan mendapat kemenangannya. Sejak saat itulah filsafat Barat menjadi sangat antrosopentris, terbebas dari ikatan agama dan sistem nilai. Di saat itulah terjadinya benih “sekularisasi” di dunia Barat. Karena saat itu para ilmuwan Barat tidak lagi percaya dengan agama yang dianggap terus “membelenggu” kemajuan ilmu pengetahuan. Kepercayaan agama luntur karena dianggap tidak mendukung pertumbuhan ilmu dan cara berpikir yang ilmiah.

Oleh sebab itu, saatnya kini kita tidak perlu mengulang lagi sejarah kelabu pertentangan antara ilmu dan agama (ilmuwan dan agamawan) yang akan melahirkan sekularisasi, dan oleh karena itu harus ada sinergi dan integrasi antara ilmu dan agama. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatis ke dalam argumentasi ilmiah, hal itu menurut hemat penulis akan mendorong ilmu surut ke belakang (set back) ke zaman Pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlangsungnya inquisi ala Galileo (1564-1642 M) pada zaman modern ini. Begitu juga sebaliknya penulis berkeyakinan, bahwa kecenderungan mengabaikan nilai-nilai moral dalam pengembangan ilmu dan teknologi juga akan menjadikan proses dishumanisme. Di sinilah perlunya paradigma baru tentang “integralisme” dan “desekularisasi”. Lebih dari itu dalam era modern dan globalisasi saat ini, kita perlu mengembangkan ilmu agama Islam pada wilayah praksis, bagaimana ilmu-ilmu agama Islam mampu memberikan kontribusi yang paling berharga bagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim sebelumnya. Berpadunya aspek idealisme dan realisme atau rasionalisme dan empirisme dalam paradigma keilmuan Islam perlu dikembangkan. Karena menurut hemat penulis, selama ini ruang lingkup filsafat Islam lebih cenderung menitikberatkan pada aspek ontologis dan aksiologis ketimbang epistemologisnya. Dan epistemologi yang dibangunnya memenangkan epistemologi Plato/Platonisme yang rasionalistik-normatif seperti yang nampak dalam dominasi kalam dan sufisme, ketimbang empirisme-historis Aristoteles.

Kini saatnya kita harus membangun kultur akademik dan keilmuan yang lebih inklusif dan inovatif serta berorientasikan pada kehidupan yang bersifat praksis. Kemudian kita juga perlu menciptakan kesadaran untuk berlaku objektif (willingness to be objective). Sikap ini penting, karena objektivitas merupakan ciri ilmiah. Sikap demikian harus dimiliki bagi setiap individu ilmuan muslim. Namun, sikap objektif harus memenuhi syarat-sayarat diantaranya: (1). Memiliki sifat rasa ingin tahu terhadap apa yang diselidiki, hal itu untuk memperoleh pemahaman sebaik mungkin (2). Bisa menerima perubahan (fleksibel, terbuka), artinya jika objeknya berubah, maka seorang ilmuwan harus mau menerima perubahan tersebut (3). Berani menanggung resiko kekeliruan. Oleh sebab itu “trial and error” merupakan karakteristik dari seorang ilmuwan (4). Tidak mengenal putus asa, artinya gigih dalam mencari objek atau masalah, hingga mencapai pemahaman secara maksimal (5). Terbuka, artinya selalu bersedia menerima kritik dan saran ilmuwan lain secara lapang dada.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *