Ocit Abdurrosyid Siddiq
Saya bukan orang NU, baik secara kultural apalagi secara struktural. Walau masa kecil saya hidup di tengah muslim yang menjalankan ibadah dan muamalah “versi” NU, saya lebih memilih versi seperti Muhammadiyah.
Pilihan saya yang lebih condong kepada cara Muhammadiyah, bukan disebabkan oleh pengaruh orangtua, lembaga pendidikan, apalagi lingkungan. Tapi oleh bahan bacaan yang kemudian menjadi referensi bagi saya untuk mengambil jalan hidup versi itu.
Bila pun ketika kuliah pernah masuk dan tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah atau IMM, lebih dilatari oleh rasa penasaran terhadap platform persyarikatan ini. Saya mendapatkan irisan kesamaan antara prinsip beragama saya selama ini dengan doktrin Muhammadiyah.
Tapi saya bukan orang Muhammadiyah. Apalagi secara struktural. Hingga kini belum pernah tergabung dalam kepengurusan ormas keagamaan Muhammadiyah mulai ranting hingga pusat. Termasuk organisasi otonomnya. Bila pun pernah beririsan dengan Muhammadiyah lewat beladirinya, Tapak Suci.
Andai mesti mengkategori-diri sebagai orang apa, mungkin lebih dekat ke Mathlaul Anwar. Selain karena orangtua adalah guru di madrasah milik MA, saya juga pernah belajar di tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah milik MA. Apalagi kini tergabung dalam kepengurusan di tingkat pusat.
Tapi saya memiliki beberapa perbedaan cara-pandang dengan MA pada perkara-perkara prinsipil. Khittahnya sangat bagus, namun tafsir atas khittah itu yang bagi saya kurang cocok. Tafsir inilah yang kemudian membentuk karakteristik jamiahnya. Tafsir yang membawa kesan MA menjadi puritan.
Itulah mengapa, walau hidup dan berada di tengah muslim yang menjalankan ritual ibadah dan muamalahnya seperti jamiah NU, saya tetap memilih jalan sunyi, seperti Muhammadiyah. Tapi sekali lagi, saya bukan orang Muhammadiyah.
Jalan sunyi dimaksud misalnya ketika berdoa lebih memilih untuk “mandiri” dengan memanjatkannya langsung kepada Allah. Tak perlu dikomando oleh pimpinan atau imam. Pun dzikir, lebih memilih untuk bermain “solo” dibanding menjadi salah satu anggota “paduan suara” dibawah arahan seorang “dirijen”.
Atau ketika disaat yang lain begitu antusias untuk mengunjungi tempat-tempat yang dianggap keramat dan sarat berkah, bila pun mesti berpergian saya lebih memilih ke tempat-tempat wisata. Berkah nyata yang saya rasakan setelah piknik dan healing itu begitu terasa keramat.
Pastinya, sebagai bagian dari cara untuk merawat kebersamaan dengan kerabat dan tetangga sebagai wujud tanggung-jawab moral makhluk sosial, tradisi riungan, tahlilan, muludan, panjang mulud, ngeropok, rajaban, berkat, besek, saya ikuti. Turut serta di dalamnya karena aspek sosial tadi. Bukan karena paradigma beragama.
Saya punya banyak kawan orang NU. Kami tergabung dalam banyak forum. Misalnya Komunitas Gusdurian. Saya juga berkawan dengan pentolan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia atau Lakpesdam, lembaga yang bergerak untuk memberdayakan sumber daya warga NU khususnya dan warga masyarakat pada umumnya.
Walau demikian –bahwa saya bukan orang NU- saya merasa bersyukur dan bangga terhadap kader-kader NU yang kini banyak menempati posisi-posisi strategis dalam berbagai bidang. Khususnya dalam pemerintahan. Lebih khusus lagi pada Kementerian Agama Republik Indonesia saat ini.
Walau saya bukan orang NU, saya harus sampaikan dengan jujur. Bahwa beruntung pada pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua, Kementerian Agama Republik Indonesia dibawah komando Gus Menteri Yaqut Cholil Qoumas, yang adalah mantan politisi PKB, yang juga Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor, pemudanya NU.
Dia bersama generasi muda NU lainnya sudah terbiasa terlibat dalam kegiatan-kegiatan diskusi perihal kebangsaan dan keagamaan. Perspektif mereka atas beragam persoalan kerap memunculkan hal-hal baru dan bagi yang tidak biasa terasa nyeleneh. Karenanya, banyak yang terkaget-kaget dengan gaya kepemimpinan dan pemikiran-pemikiran dia.
Sebelumnya, dulu dengan sosok Gus Ulil Absar Abdalla yang menginisiasi Jaringan Islam Liberal, wadah tempat berkumpulnya para generasi muda NU melakukan diskusi dan kajian, begitu banyak membawa pencerahan baru dalam paradigma beragama. Walau akhirnya Ulil mesti menuai banyak cacian dan makian.
Nadirsyah Hosen, Savic Ali, Kalis Mardiasih, Irwan Masduqi, Ahmad Sahal, Anwar Zahid, Allisa Wahid, Dodo Widarda, merupakan sederet nama-nama kader muda NU yang pemikirannya banyak mempengaruhi pola pikir anak muda NU lainnya, juga generasi muda Indonesia lainnya di luar NU.
Paradigma beragama NU yang menurut Azyumardi Azra dicirikan dengan kekhasannya yaitu vernakularisasi dan indigenisasi, membuat ajaran agama -dalam hal ini Islam- lebih terasa mempribumi dan dekat serta lekat dalam keseharian kita. Memadukan ajaran pokok Islam dengan keindahan budaya yang tumbuh di mana Islam itu berada.
Ide dan pemikiran NU yang khas itu, melahirkan wacana dan konsep sebagai antitesa atas pemahaman keagamaan selama ini. Salah satunya adalah yang belakangan ini kita kenal dengan istilah moderasi beragama. Konsep ini sangat lekat dengan NU. Lekat karena bisa dipastikan sebagian besar orang NU mengamini konsep ini.
Moderasi beragama yang dicirikan dengan toleransi terhadap perbedaan agama dan pendapat, dialog yang konstruktif antara anggota berbagai kelompok agama, pendidikan dan pemahaman yang benar tentang agama, keadilan sosial dan kemanusiaan universal.
Juga menjunjung tinggi nilai keadilan di tengah hidup bersama, baik ekstrim kiri maupun ekstrim kanan, berkeseimbangan, lurus dan tegas, dinamis, kreatif, dan inovatif, menaati kesepakatan bersama dan taat konstitusi, komitmen kebangsaan, dan anti kekerasan serta penerimaan terhadap tradisi.
Dengan Gusmen Yaqut sebagai komandan tertinggi di Kementerian Agama RI, konsep moderasi beragama ini kemudian digetok-tularkan oleh para anak buahnya di tiap provinsi serta kabupaten dan kota, yang notabene adalah orang-orang NU juga.
Ada banyak Kepala Kantor Kementerian Agama di provinsi-provinsi dijabat oleh kader-kader NU. Begitu pula dengan kader-kader NU yang menjabat Kepala Kantor Kementerian Agama di tingkat kabupaten dan kota. Mereka berada dalam satu komando. Satu komando dalam konsep moderasi beragama ini.
Sosialisasi tentang moderasi beragama ini begitu massif digaungkan dalam setiap kesempatan. Konsep ini menemukan elan-vitalnya ditengah kondisi bangsa yang terancam perpecahan karena beragam faktor. Termasuk Pemilu dan Pilkada yang menyeret agama untuk kepentingan politik praktis.
Itulah yang saya maksud bahwa beruntung Kementerian Agama RI di setiap jenjang mulai tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten dan kota, pernah bahkan masih dipegang oleh kader-kader NU. Mereka kompak satu suara menyuarakan moderasi beragama sebagai solusi untuk menjaga persatuan bangsa.
Dibalik keberhasilan peran moderasi beragama sebagai penjaga keutuhan bangsa, sejatinya masih ada pekerjaan rumah bagi Kementerian Agama RI. Dan ini tugas Menteri Agama baru dibawah pemerintahan Presiden Prabowo. Salah satunya adalah moderasi guru madrasah. Jadi, bukan hanya paradigma beragama yang perlu dimoderasi. Tetapi juga nasib para guru madrasah.
Sudah mafhum kita ketahui, bahwa pendidikan agama yang dijalankan oleh madrasah pada umumnya masih banyak tertinggal dibanding dengan pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga dibawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Riset, dan Teknologi RI.
Ketertinggalan itu baik dalam aspek sumber daya manusia, sarana pendukung, dan kesejahteraan. Khusus tentang kesejahteraan, di lingkungan madrasah masih banyak guru-guru non PNS yang penghasilan bulanannya masih sangat jauh dari ideal.
Umumnya, guru-guru di sekolah dibawah binaan Dinas Pendidikan itu statusnya sudah PNS. Pun guru-guru PNS di madrasah milik pemerintah. Mereka sudah mendapatkan penghasilan yang layak. Selain gaji pokok juga beragam tunjangan lainnya.
Persoalannya, masih lebih banyak madrasah-madrasah swasta yang dikelola oleh masyarakat lewat yayasan, dengan guru-guru honorer yang mendapatkan honorarium alakadarnya, jauh lebih rendah pun dibanding upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah.
Umumnya pembiayaan bersumber dari Bantuan Operasional Sekolah yang besarannya berdasarkan jumlah siswa, yang mesti dikelola untuk mencukupi seluruh kebutuhan operasional madrasah setiap bulannya. Sementara sumber lain seperti kontribusi masyarakat sudah tidak bisa diharapkan di tengah gencarnya narasi gratis bagi pendidikan.
Perkara tidak liniernya antara besarnya tanggung-jawab seorang guru honorer di madrasah dengan besaran honorarium yang mereka terima, tidak perlu saya paparkan secara panjang, apalagi lebar. Bahkan dslam sebuah anekdot disebutkan bahwa “singa pun akan menangis bila dibisiki tentang nestapa guru honorer di madrasah ini”.
Tahun 2024, pada saat memeringati Hari Amal Bakti Ke-78 Kementerian Agama RI dengan tema “Indonesia Hebat Bersama Umat”, oleh Gusmen Yaqut telah berhasil dijadikan sebagai momentum untuk melengkapi keberhasilan moderasi beragama dengan memoderasi nasib guru madrasah.
Menurut Gusmen Yaqut waktu itu, “Semangat Indonesia Hebat Bersama Umat ini terinspirasi dari sebuah kesadaran akan pentingnya kebersamaan dan kerukunan umat dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. Apalagi, HAB ke-78 diperingati dalam suasana Pemilu”.
Indonesia Emas 2045 akan terwujud bila generasi pembelajar hari ini memiliki sumber daya yang baik. SDM yang baik itu bisa dicetak oleh guru yang professional dan fokus, khidmat, serta khusyu pada tugasnya, dengan tidak dipusingkan lagi oleh semakin panjangnya daftar utang di warung sebelah.
Selamat memperingati Hari Amal Bakti Ke-79 Kementerian Agama Republik Indonesia. Bila tahun lalu di bawah Gusmen Yaqut Indonesia Hebat Bersama Umat. Kini dibawah Nasaruddin Umar, Umat Rukun Menuju Indonesia Emas. Indonesia Emas semoga terwujud berkat kontribusi para guru dalam mendidik anak-anak bangsa secara professional dan bermartabat, juga sejahtera. Wallahualam.
Banjarsari, 3 Januari 2025
Penulis adalah guru honorer di madrasah swasta.