Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Waktu saya sekolah di tingkat Madrasah Tsanawiyah, pernah belajar Fisika dan Kimia. Fisika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari sifat dan fenomena alam, serta interaksi yang terjadi di dalamnya. Dalam mempelajari fenomena alam, fisika menggunakan proses pengamatan, pengukuran, analisis, dan menarik kesimpulan.
Sementara Kimia adalah ilmu yang mempelajari tentang susunan, struktur, sifat, dan perubahan energi yang menyertai suatu perubahan materi atau zat.
Dalam Fisika antara lain dipelajari tentang Rumus Gaya. Yang masih saya ingat dari pokok bahasan ini adalah bahwa Gaya disimbolkan dengan huruf F. Untuk mencari F, maka F = m x a. F adalah gaya, m adalah massa benda, dan a adalah percepatan.
Ada juga Rumus Energi Potensial, yang adalah energi yang dimiliki suatu benda akibat adanya pengaruh tempat atau kedudukan benda tersebut. Rumusnya adalah Ep = m x g x h. Ep adalah energi potensial, m adalah massa benda, g adalah percepatan gravitasi, dan h adalah tinggi benda dari permukaan tanah.
Ada lagi yang lainnya, seperti Rumus Energi Kinetik, Rumus Panjang Gelombang, Rumus Hukum Kirchoff, Rumus Hukum Ohm, dan yang lainnya. Saya mempelajari Fisika juga Kimia di tingkat MTs itu dalam waktu 6 catur wulan.
Mempelajari rumus-rumus Fisika dan Kimia itu, dihadapkan pada angka-angka yang sangat rumit. Waktu saya belajar banyak tersita dengan rumus-rumus dan angka-angka tersebut. Baru tingkat MTs sudah dihadapkan dengan perkara yang “njelimet”.
Saat asik dengan rumus-rumus dan angka-angka tersebut, serasa berada dalam dunia lain yang terpisah dengan lingkungan sosial. Asik memainkan rumus dan angka, hingga tersadar bahwa “Ini kita sedang mempelajari apa sih?”.
Sementara di sisi lain mesti mempelajari juga Bahasa, Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial, Pendidikan Moral Pancasila, juga Aqidah Akhlak, Al-Quran Hadits, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.
Lalu, apakah pelajaran Fisika dan Kimia yang dipelajari di tingkat MTs hingga 2 tahun itu, khususnya rumus-rumus dan angka-angka itu, hari ini memberikan manfaat secara pragmatis dalam kehidupan saya? Tegas saya katakan, “Tidak!”.
Hari ini saya terpikir, ngapain waktu itu mempelajari sesuatu yang tidak memberikan dampak pragmatis bagi kehidupan? Bahwa Fisika dan Kimia itu penting, saya sepakat. Tapi bukan untuk dipelajari oleh murid setingkat MTs yang begitu banyak menyita waktu.
Dari cerita ini, apa pesan yang hendak saya sampaikan? Sepertinya beberapa kawan pembaca sudah mafhum arahnya ke mana. Bila pun “analogi” ini saya jelaskan kemudian, terbuka untuk ditanggapi, baik setuju atau pun menolak. Wong ini hanya celoteh ringan doang koq, yang pastinya banyak keliru.
Cuma saran saya, saat menanggapi, hindari gaya ceplok-batok. Karena itu bisa berujung pada debat-kusir. Dan itu tidak produktif. Akibatnya bisa seperti Pacquiao. Ketika dia menantang Klitchko, sejak awal pertandingan kita sudah bisa memprediksi siapa yang akan tercungkur mencium kanvas. Sarkas?
Saya tidak bermaksud menyamakan belajar Fisika dan Kimia itu dengan mempelajari tasawwuf dengan cara gabung dalam tarekat, yang walapun pada keduanya ada kesamaan dalam hal menghafal angka dan rumus dengan bacaan dzikir dan yang semacamnya yang diulang-ulang dan dalam jumlah tertentu.
Saya juga tidak bermaksud menyampaikan bahwa ritual yang demikian itu secara pragmatis tidak memberikan kemanfaatan. Karena pastinya dari para anggota dan penggiatnya, ada sekian deretan argumentasi untuk merasa yakin bahwa hal itu jauh lebih bermakna dibanding pelajaran Fisika dan Kimia.
Tidak berimbang kan bila disajikan fakta bahwa belajar Fisika dan Kimia di level madrasah itu hanyalah sekedar hafalan yang kemudian nilai praksisnya tidak langsung dirasakan oleh semua orang, dengan ritus dalam tarekat? Karena pastinya meyakini bahwa norma dalam tarekat sangat sakral dibanding sekedar belajar rumus-rumus.
Sebagaimana pakem mainstream dalam dunia tasawwuf bahwa tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara uzlah atau menjauhi perkara duniawi yang diyakini bersifat sementara, yang diartikulasikan dalam wujud kontemplasi dan dzikir, sebagai cara untuk menggapai kehidupan akhirat yang diyakini pasti adanya dan abadi.
Persoalannya, dunia dan permasalahan umatnya yang hari ini sedang kita hadapi terus berubah dan berkembang, butuh jawaban yang -idealnya- mutlak benar, dan itu datangnya dari Tuhan lewat agama yang disampaikan oleh para petingginya; kiai, ulama, syech, dan waliyullah itu.
Di luar sana, mereka sudah menjadikan Mars sebagai objek mainan. Dengan teknologi artificial intelegent, kelompok “minhum” ini bisa merekayasa peradaban masa depan umat manusia termasuk peradaban umat Islam. Dan untuk bisa seperti itu, tidak cukup hanya dengan menyebut namaNya secara rutin, berulang-ulang, sembari geleng-geleng kepala belaka!
Karenanya, sebaiknya jangan jadikan akhirat sebagai sekedar alat pelipur-lara untuk ngareuah-reuah hate mengobati dan menghibur diri atas kegagalan dalam pencapaian hidup kita di dunia dibanding capaian umat lain dalam berbagai bidang. Gaya apologetic itu bisa memposisikan kita sebagai umat pecundang! Wallahualam.
*
Jayanti, Minggu, 5 Januari 2025
Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten, Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas), Alumnus Prodi Aqidah dan Filsafat IAIN SGD Bandung