Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Sejak kecil, terutama di era tahun 1970-an, saat itu penulis seringkali menyaksikan langsung berbagai proses pertunjukan wayang (terutama wayang golek). Bahkan di era tahun 70-an, tidak sedikit warga masyarakat Kampung penulis yang seringkali mendengarkan lakon wayang golek, yaitu melalui proses putaran lewat tape recorder, alias melalui radio kaset. Saat itu sang dalang wayang golek yang sedang mashur, alias sedang buming adalah Ki Dalang Raden Cecep Supriyadi (Karawang). Sementara grup gamelan yang kerapkali mengiringi sang Dalang Raden Cecep Supriyadi saat itu, yaitu grup gamelan “Panca Komara”. Bahkan di era tahun 1970-an hingga tahun 1990-an, Ki Dalang Cecep Supriyadi memang sangat populer, dan kerapkali juga alur cerita yang ditampilkannya seolah-olah menjadi menu “Tontonan” menjadi “Tuntunan”, karena lakon wayangnya pada realitasnya kerapkali menginsfirasi masyarakat (sangat religius-sufistik) disetiap alur cerita yang dibawakannya. Bahkan, suara dalang Raden Cecep Supriyadi sangat khas, terutama suara ki Semar Badranaya, si cepot, si dewala, sang arjuna dan sang gatot gaca. Dan itu kerapkali didengar oleh masyarakat (khususnya oleh pencinta seni budaya) melalui vita kaset rekamannya, alias seringkali diputar melalui radio tape recorder maupun seringkalinya muncul sang dalang Raden Cecep Supriyadi di stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) Jakarta.

Penulis juga sangat terkejut, ketika seusai menjadi pembicara (nara sumber) diacara diskusi publik yang bertemakan “Mengulik Sejarah”, yang berlangsung di bulan Oktober tahun 2024, karena panitia penyelenggara akhirnya memberikan sebuah cindera mata, yaitu berupa sebuah reflikasi (lukisan) wayang Semar Badranaya. Lebih dari itu, pada malam tahun baru (2025), di salah satu wilayah Desa yang ada di Kecamatan Kemiri (Desa Patramanggala) di malam tahun baru (2025) nampaknya mehandirkan juga sebuah pertunjukan Wayang Golek. Hal itu konon kata panitia penyelenggara, sebagai upaya untuk menjunjung tinggi soal “kearifan lokal” dalam konteks untuk menyambut perayaan tahun baru (2025) agar proses perjalanan hidup di tahun 2025 penuh makna, penuh berkah dan sekaligus juga mensejarah.

Lebih dari itu, secara rutinitas, bahwa setiap tanggal 7 November, merupakan peringatan Hari Wayang Nasional. Momen tersebut menjadi kenangan berharga akan warisan budaya yang telah diakui oleh pihak UNESCO (dunia) sebagai “Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity”, yaitu sejak tahun 2003. Wayang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat bangsa kita (khususnya masyarakat wilayah Pulau Jawa) sebagai warisan budaya yang tak ternilai, tentunya wayang menjadi cermin kehidupan yang menyimpan kearifan leluhur dalam setiap lakon dan tokohnya. Bahkan, dalam setiap pertunjukan wayang, penonton tidak hanya disuguhi keindahan seni pedalangan belaka, tetapi juga diajak untuk menyelami berbagai makna kehidupan yang dalam. Sementara kisah-kisah yang dibawakan oleh para dalang kerapkali menghadirkan nilai-nilai luhur seperti kesetiaan, kejujuran, kebijaksanaan dan pengabdian. Misalnya, Kumbakarna, ia kerapkali mengajarkan tentang kesetiaan pada negeri. Kemudian Yudhistira, ia selalu mencontohkan prinsip keteguhan. Sementara Ki Semar Badranaya, ia kerapkali merepresentasikan kebijaksanaan dalam kemudahan.

Di tengah arus modernisasi dan globalisasi saat ini, nampaknya wayang masih tetap menemukan relevansinya. Karena ajaran moral yang terkandung di dalamnya menjadi kompas dalam menghadapi tantangan zaman yang begitu komfleks. Melalui wayang, kita belajar untuk mengutamakan kepentingan umum, menjunjung tinggi kebenaran, dan menjaga keharmonisan sosial. Nilai-nilai tersebut menjadi semakin penting dalam konteks untuk membangun sebuah karakter generasi muda kita saat ini (generasi milenial), serta untuk memperkuat identitas budaya negeri ini. Bahkan, di malam pergantian tahun baru (2025), yakni sebagaimana telah dikemukskan diatas, dan bahkan tidak sedikit juga ada beberapa wilayah Kecamatan yang berada di wilayah Provinsi Banten, ternyata di malam pergantian tahun (2025) memang menampilkan seni pertunjukan wayang (khususnya wayang golek). Hal itu menurut hemat penulis, sebagai pertanda sesuatu yang positif, yakni demi menjaga serta melestarikan warisan seni budaya nenek moyang kita.

Sementara pagelaran wayang (khususnya wayang golek) di malam tahun baru (2025) yang nota bene banyak melibatkan para dalang berbakat dari wilayah Banten pada khususnya dan dari tataran sunda pada umumnya, hal itu menjadi bukti tentang upaya proses pelestarian budaya bangsa kita. Lebih dari itu, bahwa keterlibatan generasi muda, baik sebagai dalang cilik maupun penabuh gamelan, hal itu juga telah memberikan harapan baru bagi keinginan seni wayang di masa depan. Oleh karena itu, mari kita untuk sama-sama menjaga warisan budaya adi-luhung bangsa kita. Karena, setiap kali kita menyaksikan pertunjukan wayang, maka kita juga bisa sambil menimba kebijaksanaan untuk membangun masyarakat yang lebih berkarakter. Bahkan, pertunjukan seni budaya wayang, tidak hanya sekedar menjadi tontonan, namun juga menjadi tuntunan yang akan terus hidup dalam sanubari masyarakat kita.

II. Siapa Sang Semar Badranaya Itu?

Ketika di zaman Kerajaan Majapahit misalnya, sosok Semar Badranaya ini kerapkali digambarkan sebagai abdi Raden Sadewa dalam Kidung Sudamala. Dia bukan dewa, namun hanya sebagai abdi biasa dengan segala lelucon atau kelucuan tingkahnya. Hal tersebut secara arkeologis sebagaimana terdapat di dalam relief Candi Sukuh.

Ketika di zaman Kerajaan Demak-Mataram Islam, konon para sunan menjadikan tokoh Semar Badranaya ini sebagai tokoh wayang yang sakti keturunan dewa. Bahkan Semar yang berstatus Sudra itu mampu mengalahkan Bathara Guru, yaitu dewanya para dewa. Hal itu mengandung pesan kepada komunitas (masyarakat Jawa) yang saat itu baru masuk Islam (masa transisi antsra Hindu dan Islam), bahwa kalian (umat) jangan menyembah dewa, tuh lihat, Semar saja yang seorang manusia akhirnya dapat mengalahkan dewa. Silakan menghormati dewa tapi jangan kamu sembah, yang harus disembah adalah Allah Swt. Begitu pesannya ketika di zaman Demak-Mataram Islam dulu. Tokoh Semar dijadikan misi (sosok pendakwah) untuk mendesakralisasi dewa-dewa bagi komunitas masyarakat Jawa saat itu.

Pada zaman Kolonial Belanda, sosok tokoh Semar Badranaya memiliki peran baru. Dia menjelma menjadi sosok manusia bernama Sabda Palon, abdi Prabu Brawijaya dari Majapahit. Semar alias Sabda Palon ini mengkritisi ajaran Islam yang terkesan (pesan simbolik) selalu mengagungkan agama Budi (agama yang dianut orang Jawa pra-Islam). Agama Islam digambarkan sebagai agama fisik yang nista (terlalu bersifat eksoteris-fikiyah dan jauh dari sesuatu yang bersifay esoteris-sufistik, yang penuh kesyahduan hidup dan kebeningan hati yang esoteris). Sementara agama Kristen digambarkan sebagai agama akal. Sedangkan agama Budi sebagai agama hati yang utama. (Hal itu sebagaimana terdapat dalam Serat Darmagandhul yang ditulis pada awal abad ke-20 M).

Ketika di zaman Orde Baru, Semar tampil dengan wajah baru, yaitu lepas dari busana agama dan keyakinan. Sosok Semar Badranaya menjadi simbol kebijaksanaan, ketenteraman, dan kesejahteraan hidup. Simbol Semar yang “ngemong” itu akhirnya merujuk pada para pamong praja, yakni mulai dari tingkat Desa hingga Pusat. Setelah berkali-kali dijadikan alat politik, kini sosok tokoh Semar Badranaya, ia memang harus tampil dan muncul dengan berbagai versi dan multi talenta, yang seyogyanya harus muncul dengan penuh konotatif milinealistik, agar budaya perwayangan saat ini terus difahami serta dicintai oleh generasi milenial saat ini. Dan Semar Badranaya, ia memang harus terus muncul serta membebaskan dirinya untuk diinterpretasi oleh siapa-pun.

III. Filosofi Wayang Dan Tradisi Yang Perlu Dilestarikan

Seni wayang adalah tradisi masyarakat Jawa yang perlu terus dilestarikan, agar keberadaannya tidak punah, alias tergerus oleh kemajuan zaman. Seperti kita ketahui, wayang adalah termasuk tradisi atau budaya komunitas masyarakat Jawa yang perlu untuk terus dilestarikan, agar keberadaannya tak punah digerus kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi. Di era dulu, pagelaran wayang merupakan salah satu tontonan favorit yang biasanya begitu dinanti-nanti oleh masyarakat di tanah Jawa. Sementara menurut Gesta Bayuadhy di dalam bukunya berjudul, “Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa”, ia menjelaskan ada berbagai macam wayang yang ada di Jawa, diantaranya jenis wayang yang sangat populer sampai saat ini adalah wayang kulit dan wayang golek. Wayang atau wewayangan adalah bayang-bayang. Dengan kata lain, wayang merupakan bayangan atau cermin kehidupan. Masyarakat melihat wayang seperti bercermin di kaca kehidupan yang transparan dan objektif. Selain itu, masyarakat juga bisa mencari teladan baik dari lakon dan tokoh wayang yang dimainkan oleh ki dalang. Ada beragam kisah yang dimainkan dalam dunia perwayangan. Gesta Bayuadhy di dalam buku sebagaimana judul diatas menguraikan, banyak lakon dalam pertunjukan wayang yang pernah ditampilkan di panggung-panggung pertunjukan di seantero tanah Jawa, baik pentas wayang orang (wayang yang dimainkan secara langsung oleh orang-orang) maupun wayang kulit dan wayang golek.

Sementara lakon wayang secara filosofis memang bersumber dari kisah Mahabharata dan Ramayana. Namun, berbagai lakon wayang memang selalu berpijak pada satu tujuan, yaitu “ambrasta durangkara”, atau membasmi perbuatan jahat dan angkara murka (menegakkan kebenaran). Semua lakon wayang selalu menggambarkan kesatria yang berupaya membela kebenaran dengan melalui berbagai rintangan yang tak mudah ditundukkan. Bila kita berusaha merenungkan tradisi wayang beserta filosofi yang terkandung di dalamnya, maka dapat disimpulkan bahwa wayang termasuk budaya yang memiliki nilai-nilai positif, karena dari beragam kisah yang dimainkan oleh para lakon dalam wayang tersebut, kemudian para penonton dapat mengambil pesan-pesan moral yang positif atau pelajaran berharga yang bisa menjadi rujukan dalam menyikapi kehidupan ini. Karenanya tak heran bila para pemuka zaman dahulu seperti Wali Songo menjadikan wayang sebagai sarana yang cukup efektif dalam menyampaikan dakwah Islam ke masyarakat.
Bicara perjuangan Wali Songo, dalam tulisannya yang dimuat di “detik Edu , 23 November 2012”. Rahma Indina Harbani, ia menjelaskan, bahwa Wali Songo memiliki metode masing-masing dalam berdakwah, yaitu dalam konteks mensyiarkan ajaran agama Islam agar dapat diterima oleh masyarakat Jawa ketika itu. Terutama masyarakat yang masih kental dengan budayanya masing-masing.

Salah satu metode dakwah yang digunakan oleh para wali adalah menggunakan media wayang kulit dan wayang golek, yakni unsur seni budaya yang saat itu dekat dengan masyarakat Jawa. Perlu diketahui, Wali Songo adalah kumpulan tokoh pemuka agama yang berperan penting untuk menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa. Sesuai namanya, Wali Songo berjumlah 9 orang, diambil dari bahasa Jawa songo yang berarti sembilan. Tentu perlu dipertanyakan seumpama ada sebagian orang Islam (terlebih dia adalah sosok yang mengaku sebagai pemuka agama) dengan seenaknya menghukumi wayang sebagai sesuatu yang haram dan harus dimusnahkan.
Wacana tentang pengharaman wayang tentu hanya akan melahirkan polemik atau kontroversi dan ujungnya akan memecahbelah persatuan umat. Sepemahaman penulis, bila wayang tersebut digunakan sebagai tujuan positif seperti berdakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, hal itu tentu akan sangat baik. Sama halnya sebuah pisau, bila kita menggunakannya untuk tujuan kebaikan, misalnya sebagai peralatan memasak, maka hal tersebut tidaklah dilarang. Namun, seumpama pisau tersebut digunakan untuk melakukan aksi kejahatan seperti merampok atau membunuh orang, maka hal itu sangat dilarang.

IV. Nilai Filosofis Seorang Dalang Dalam Konteks Pertunjukan Wayang

Unsur-unsur dalam pertunjukan wayang terbagi menjadi dua, yaitu unsur benda dan unsur manusia. Unsur benda pada pertunjukan wayang seperti wayang, kotak wayang, keprak, gebog, gamelan, dan masih banyak lagi. Sedangkan unsur manusia pada pertunjukan wayang adalah dalang, penyimping, waranggana, dan niyaga. Semua unsur dalam pertunjukan wayang bersifat penting karena semua hal yang ada di pertunjukan wayang itu memiliki perannya masing-masing. Dalang merupakan salah satu unsur pertunjukan wayang yang paling penting karena dalang merupakan pusat dari pertunjukan wayang. Sebagaimana yang dikemukakan oleh salah seorang pengamat dunia perwayangan (Wiyono). Menurutnya, bahwa kisah pewayangan tentu saja tidak dapat dipisahkan dari peran seorang dalang. Dalang berperan sebagai aktor utama dalam setiap kisah pewayangan, sebab layaknya seorang sutradara dalang memiliki peran penting untuk menentukan alur atau jalannya cerita wayang. Dalang diibaratkan sebagai sutradara pertunjukan yang mengatur segala unsur-unsur dalam pewayangan dengan tujuan pertunjukan bisa berjalan dengan sukses dan lancar.

Sementara proses pertunjukan wayang dapat mencerminkan nilai-nilai yang sangat filosofis dan mendalam. Salah satunya nilai filosofis dalang dalam pertunjukan wayang. Dalang membutuhkan kemampuan khusus karena dalam pertunjukan wayang, dalang harus melakukan peran sebagai narator, penentu alur cerita, pemeran utama, melakukan musikalisasi, serta memimpin pertunjukan. Nilai filosofis dalang dalam peran-peran tersebut mencerminkan seseorang yang harus melakukan segala hal dan menjadi pemimpin yang harus mengatur pertunjukan dengan lakon-lakon yang memuat filosofi kehidupan untuk memberikan pengalaman yang memperkaya spiritual dan intelektual kepada para penonton yang hadir pada pertunjukan. Dalang juga dianggap sebagai sosok pengajar yang baik atau pandai memberikan pelajaran karena dirinya mengatur cerita dengan pesan moral didalamnya. Hal itu diperkuat oleh hasil penelitian pada tahun 2020 misalnya, yakni memuat judul hasil penelitiannya, “Pagelaran wayang Kulit dan wayang Golek sebagai sarana pembentukan karakter bangsa”. Hasil pada penelitian yang dilakukan sang peneluti (Nurhayati dan Suroto) bahwa dalang memiliki peran menyampaikan pesan filosofis atau “piwulang” ajaran mengenai kebaikan dan kebenaran pada kehidupan manusia. Dalang memiliki peran penting untuk menyiapkan naskah cerita yang bersifat inovatif, yaitu sesuai kondisi dan kebutuhan cerita, namun tetap memiliki edukasi dan pengenalan budaya tanpa mengabaikan tuntutan masyarakat akan hiburan.

Bahkan tanpa dalang, maka pertunjukan wayang tidak akan terlaksana, karena dalanglah kunci dari pertunjukan wayang. Dalang mengajarkan para penontonnya tentang pelajaran spiritual dan intelektual dari cerita-cerita pewayangan. Dari nilai-nilai filosofis itu, maka dalang diatas dapat kita terapkan pada diri kita masing-masing bahwa menjadi pemimpin itu memang butuh kemampuan khusus, seorang pemimpin tidak hanya mengatur satu atau dua hal tetapi semua hal dari unsur-unsur yang ada. Cerminan sikap pemimpin juga berpengaruh karena menjadi pusat bagi orang-orang yang dipimpinnya.

V. Nilai Filosofi Pada Unsur Pewayangan Dan Refleksinya Dalam Konteks Kehidupan Kita Sehari-Hari

Wayang merupakan salah satu kebudayaan yang dimiliki Indonesia sejak zaman dahulu. Berbagai peristiwa sejarah menunjukkan bahwa budaya pewayangan telah melekat dan menjadi bagian hidup bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Budaya pewayangan merupakan salah satu wujud keunggulan lokal yang kini telah mendunia dan ternyata memiliki sejumlah keanehan yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang salah satunya dalam sudut pandang pertunjukan. Menurut Nurgiyantoro dalam artikelnya berjudul “Wibisono dan Widowati”, hal itu menunjukkan begitu erat budaya pewayangan pada masyarakat Jawa sehingga begitu berpengaruh dan menjadi sumber rujukan pada penulisan sastra Indonesia.

Pada awalnya wayang merupakan pertunjukan berupa bayang-bayang yang berfungsi untuk menghormati dan meminta restu kepada roh leluhur. Dalam pertunjukan wayang tidak terlepas dari unsur-unsur diantaranya unsur manusia dan unsur benda. Unsur manusia terdiri dari dalang, niyaga, waranggana, dan penyimping yang masing-masing memiliki peran dan nilai filosofinya. Sementara unsur benda terdiri dari gamelan, kelir, debog, blencong, cempala, keprak atau kepyak, kotak wayang, dan krayon atau gunungan. Unsur manusia maupun unsur benda keduanya memiliki pengaruh terhadap jalannya pertunjukan pewayangan di Indonesia.
Jika kita mencari di mesin pencarian mengenai wayang misalnya, maka akan muncul tulisan yang mengkaji mengenai pewayangan yang dikaitkan dengan nilai filosofi. Hal itu tidak terlepas dari representasi budaya kehidupan masyarakat Jawa. Setiap hal yang berkaitan dengan wayang seperti pertunjukan pewayangan, maka akan dikaitkan juga dengan nilai filosofi. Sama halnya dengan kedua unsur tersebut memiliki nilai-nilai filosofi pada pewayangan di Indonesia.

Sedangkan pemeran utama dalam pertunjukan wayang adalah dalang. Seorang dalang bertugas untuk mengatur jalannya pertunjukan wayang. Dalang memiliki nilai filosofi yaitu, suatu bentuk cerminan dari kehalusan jiwa manusia dan bukan hanya mengatur suatu pertunjukan wayang. Dalam kebudayaan Jawa, dalang seringkali menjadi sumber rujukan tentang sebuah nilai dan pengatur ritme yang mampu memberikan visi dalam kisah kehidupan manusia. Dari nilai filosofi pada dalang, dapat kita terapkan dalam kehidupan bahwa sebelum menjadi seorang pemimpin, intropeksi diri sangat wajib dilakukan karena menjadi seorang pemimpin itu tidak hanya mengatur satu atau dua orang saja. Cerminan diri dapat mempengaruhi kinerja pemimpin tersebut, sikap seorang pemimpin menjadi contoh utama bagi orang-orang yang dipimpinnya. Dalam pertunjukan wayang, dalang dibantu oleh penabuh gamelan yaitu niyaga, waranggana, dan penyimping yang masing-masing memiliki fungsi tertentu dan mengandung nilai filosofi. Niyaga berasal dari kata wiyaga yang berarti semedi atau meditasi. Niyaga dikenal sebagai pengrawit atau penabuh gamelan yang membantu dalang untuk mengiringi pertunjukan wayang. Sama halnya dengan dalang, niyaga juga memiliki nilai filosofi yaitu membangun sebuah koneksi antara manusia dengan alam semesta. Menurut penulis, refleksi niaga dalam kehidupan yaitu sebagai manusia yang hidup bersosial, membangun sebuah kerja sama sangat diperlukan, karena setiap manusia tidak bisa menjalani hidup sendiri.

Selain itu, salah satu unsur manusia pada pewayangan yaitu waranggana atau lebih dikenal dengan pesinden atau sinden. Pesinden berasal dari kata pasindhian yang berarti kaya akan lagu atau yang melantunkan lagu. Sinden juga disebut waranggana yang berasal dari kata wara yang berarti seseorang yang berjenis kelamin wanita, dan anggana berarti sendiri. Nilai filosofi pada waranggana atau sinden terdapat pada posisi duduk pesinden.

Posisi duduk pesinden menggambarkan agar sebagai manusia kita harus saling menghormati sesama manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, menghormati seseorang merupakan suatu nilai kesopanan yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Contohnya seperti kita sebagai kaum remaja yang menghormati orang tua dalam kehidupan bersosial.

Dalam pertunjukan wayang, dalang juga dibantu oleh penyimping. Penyimping adalah orang yang membantu dalang dalam menyiapkan wayang yang di jajar (disimping) pada debog atau gedebog pisang. Dari penyimping itu terdapat nilai yang bermanfaat yakni mengajarkan manusia untuk mempersiapkan segala sesuatu, tidak ada sebuah alasan apa pun untuk menunda dalam mempersiapkan masa depan. Dari penyimping itu kita mendapatkan nilai yang bermanfaat yakni mengajarkan manusia untuk mempersiapkan segala sesuatu. Dalam kehidupan nyata, masa depan atau masa yang akan berlalu tentu merupakan sebuah hal yang nyata atau kehidupan yang realistis dan tidak utopis.

Selanjutnya unsur benda dalam pewayangan yang utama adalah wayang. Nilai filosofi pada wayang yaitu melambangkan makhluk tuhan. Selain itu wayang merupakan refleksi dari budaya Jawa, artinya dalam pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan kehidupan, moralitas, harapan, dan cita-cita. Menurut Kasim (kritikus perwayangan) bahwa di dalam filsafat wayang terbagi menjadi tiga yaitu, wayang secara “ontologi” yang secara “filosofi” wayang merupakan bayangan, yaitu gambaran atau lukisan mengenai kehidupan alam semesta. Di dalam wayang digambarkan bukan hanya mengenai manusia, namun kehidupan manusia dalam kaitannya dengan manusia lain, alam, dan Tuhan. Yang kedua yaitu wayang secara “epistemologi”, wayang secara etimologis berasal dari kata “Wad an Hyang”, artinya leluhur. tetapi ada juga yang berpendapat bahwa wayang berasal dari kata bayang berarti bayang-bayang atau bayangan. Yang ketiga yaitu wayang secara “aksiologis”, yang berarti kegunaan kesenian wayang itu adalah untuk menuntun masyarakat menuju ke arah kebaikan.

Dalam kehidupan dunia, wayang dijadikan sebagai contoh tolak ukur terhadap tokoh-tokohnya. Suatu tokoh pewayangan mempunyai tujuan kehidupan, moralitas, dan cita-cita. Wayang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini tidak akan selalu berjalan atas kemauan kita sendiri. Jika ada hal yang tidak ingin terjadi dalam kehidupan namun hal tersebut muncul harus dihadapi dengan berani jangan sampai menghindar. Unsur benda dalam pewayangan selanjutnya adalah Gamelan. Nilai filosofis pada gamelan ini menggambarkan berbagai bentuk perubahan yang ada di alam semesta dan isinya. Menurut Kendita Agustin, setiap instrumen gamelan Jawa memiliki makna yang berkaitan dengan kehidupan yang dibagi menjadi sepuluh bagian yaitu kendang, bonang, saron, gambang, suling, siter, rebab, kethuk, kempul, dan gong. Gendang memiliki peran sebagai pemimpin dalam permainan musik gamelan. Gendang memiliki filosofi yang artinya agar segera untuk beribadah kepada Tuhan. Bonang barung dan bonang penerus terdapat pada bunyi bonang yang diartikan sebagai manusia setelah lahir dan hidup di dunia harus bisa berpikir dengan hati jernih, sehingga keputusan yang diambil tidak akan membawa penyesalan. Kemudian Saron yang mengajarkan manusia agar mendukung penuh untuk menyuarakan kebenaran. Gambang yang memiliki arti seimbang dan jelas, artinya adanya keseimbangan antara kehidupan dan akhirat. Suling yang berarti eling (ingat) agar manusia selalu ingat akan kewajibannya. Siter yang mempunyai makna filosofi yaitu manusia harus mampu membimbing orang lain pada suatu tujuan yang baik. Rebab yang mengandung makna manusia memiliki tujuan yang jelas, tujuannya agar tidak ada penyimpangan. Kethuk yang mempunyai arti setuju, maksudnya adalah manusia harus setuju untuk mengikuti perintah dan larangan Tuhan. Kempul yang dalam bahasa Jawa diartikan sebagai kumpul, yang berarti ajakan untuk berjamaah dalam beribadah. Gong yang mempunyai makna agar manusia mengakhiri hidupnya dengan sempurna.

Sepuluh alat musik gamelan mempunyai nilai filosofinya masing-masing. Kesimpulannya, dalam kehidupan seorang manusia harus mengikuti segala perintah dan larangan dari Tuhan, menjadi manusia yang bijak dan tidak egois, mempunyai tujuan hidup yang jelas, mengambil keputusan dengan berpikir panjang. Refleksi nilai filosofi pada gamelan sebenarnya harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena berhubungan dengan dunia dan akhirat.

Selanjutnya kelir, kelir merupakan sebuah kain putih lebar yang digunakan untuk pertunjukan wayang kulit. Kelir memiliki nilai filosofi berupa simbol dari langit atau angkasa. Kelir merupakan unsur benda kedua yang sangat penting dalam pertunjukan wayang kulit. Dalang akan menceritakan wayang melalui kelir yang disorot oleh blencong seakan-akan wayang hidup. Unsur benda selanjutnya yaitu debog. Debog merupakan sebuah tempat di sisi kanan dan kiri untuk menaruh wayang. Debog melambangkan bumi yang merupakan tempat berpijak bagi tokoh-tokoh dalam cerita wayang. Lalu terdapat unsur benda blencong yang merupakan sebuah lampu minyak khusus yang digunakan dalam pertunjukan wayang. Blencong melambangkan cahaya seperti matahari, bulan, dan bintang.

Cempala merupakan alat pemukul dan pegangan dari kayu dalam pertunjukan wayang. Cempala digunakan dalang untuk memerintah kepada nayaga dan waranggana untuk membantu dalang. Nilai filosofi pada cempala yaitu melambangkan bahwa setiap kejadian tertentu memiliki tanda atau isyarat bagi mereka yang mengerti. Cempala memiliki refleksi dalam kehidupan yaitu apabila bertindak harus hati-hati atau tidak gegabah dan segalanya harus dipersiapkan. Selanjutnya keprak atau kepyak yang merupakan lempengan tipis sebanyak 3 sampai 4 buah yang terbuat dari kuningan atau besi. Dalam kesenian wayang, kepyak menggambarkan aliran air atau darah. Dari filosofi keprak atau kepyak dapat kita refleksikan dalam kehidupan bahwa menjalani hidup harus mempunyai prinsip. Misal prinsip hidup yang dijalani seperti air yang selalu mengalir walaupun banyak rintangan yang menahan alirannya. Kita juga harus seperti itu menjalani hidup yaitu pantang menyerah dan berpendirian, walaupun banyak rintangan harus terus berusaha mencari jalan keluarnya.

Kotak wayang merupakan tempat penyimpanan wayang, menggambarkan arti kehidupan atau melambangkan gerak paru-paru yang berkaitan dengan nafas manusia. Kotak wayang adalah salah satu perlengkapan dalam pertunjukan wayang. Dilambangkan sebagai arti kehidupan karena sebelum wayang ditunjukan, wayang disimpan terlebih dahulu dalam kotak wayang yang artinya masa sebelum kehidupan. Selanjutnya unsur benda terakhir pada pewayangan yaitu krayon atau gunungan. Kayon atau gunungan mempunyai bentuk seperti daun besar yang melambangkan gunung, hutan, api, lautan, angin, dan bumi seisinya. Tidak semua unsur benda dalam pertunjukan wayang memiliki refleksinya dalam kehidupan, namun semua unsur-unsur pada pewayangan memiliki nilai filosofi yang sudah dijelaskan di atas. Nilai filosofi merupakan nilai-nilai moral yang berguna bagi pendidikan karakter manusia. Dalam pertunjukan wayang selain sebagai sarana hiburan dapat pula menjadi sarana pendidikan. Wayang merupakan salah satu kebudayaan Indonesia yang wajib dilestarikan dan diperkenalkan agar lebih mendunia lagi.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *