Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Saat ini, yakni seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, setiap individu masyarakat terkesan bebas untuk mengakses internet dan bermedia sosial riya, yakni dimanapun berada untuk mendapatkan informasi atau berbagi informasi mengenai dirinya maupun keberadaan temannya. Bahkan internet dapat menciptakan “dunia” sendiri, yakni seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih serta dibarengi dengan dunia maya yang nota bene sudah tidak terpisahkan dan menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia saat ini. Internet memang menjadi sebuah teknologi dan sekaligus sebagai kanalisasi yang dapat diakses tanpa batas ruang dan waktu, yang akhirnya kita bisa terhubung dan bisa melakukan percakapan (chatting) dengan siapapun dan kapan-pun dari jarak jauh.

Bahkan saat ini, sudah bermunculan media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Tiktok. Beberapa aplikasi chatting seperti WhatsApp, Messenger, Line, dan beberapa aplikasi dating apps yang membuat perubahan cara komunikasi kita serba canggih. Bahkan keberadaan “smartphone” membuat para pengguna dapat berinteraksi walaupun dari jarak jauh dengan akses internet dan sudah tidak seperti sebelumnya dimana handphone hanya bisa mengirim SMS dan untuk menelepon saja. Bahkan, melalui dunia maya orang-orang dapat berbagi mengenai dirinya sendiri seperti foto, video, dan hobi di akun media sosial miliknya, dan kita juga bisa mengunjungi akun media sosial milik orang lain, hanya sekedar untuk melihat segala aktivitas yang dilakukan orang lain di dunia nyata.

Tetapi apakah yang kita bagi dalam dunia maya seperti video, foto dan kata-kata, sesuai dengan dunia nyata? Mungkin sering kita melihat akun media sosial orang lain yang hidup di lingkungan kota-kota besar, mereka mengunggah/memposting segala bentuk kegiatan membeli barang dan jasa tidak untuk kebutuhan dan kemanfaatan, tetapi hanya untuk memenuhi kebutuhan akan gaya hidup mereka demi konsumsi publik. Saat ini kita sudah memasuki era yang disebut sebagai era post-modernisme, dimana era ini keinginan dan kebutuhan telah menjadi suatu yang baru, tidak cair, tidak jelas dan semakin sulit dibedakan. Di era saat ini, semakin menonjol adanya keinginan untuk lebih dihargai (karena didorong oleh gengsi dan harga diri) agar terlihat eksis jika ia memiliki status sosial lebih tinggi daripada orang lain yang status sosialnya lebih rendan.

Bahkan masyarakat saat ini, seolah-olah tidak mau ketinggalan informasi tentang produk-produk terbaru yang sedang viral untuk dibeli dan dibagikan (diunggah) kepada teman-temannya melalui media sosial seperti Instagram dan lain sebagainya. Tanpa disadari kehidupan di media sosial yang penuh kemewahan, nampaknya berbanding terbalik dengan dunia nyata. Oleh karena itu, terlalu nyaman dengan dunia maya, kerapkali juga kita suka lupa dengan dunia nyata. Contoh pada anak remaja yang kurang mampu secara finansial untuk mengikuti kemajuan zaman, namun ia tetap ingin mengikuti teman-temannya mulai dari membeli “Smartphone” merek terbaru, membeli tas mahal, berkunjung ke tempat wisata yang hits, dan memasuki lingkungan pertemanan yang rata-rata memiliki ekonomi menengah ke atas. Akhirnya berdampak pada keluarga, dan mau tidak mau orang tuanya harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan sang anaknya. Bahkan sang anak yang imitator itu, ia kerapkali mengakui bahwa ia merupakan bagian dari keluarga yang berstatus sosial tinggi, dan akhirnya ia mengubah fakta menjadi sebuah rekayasa. Oleh karena itu, kita boleh-bolah saja mengikuti gaya hidup sesuai perkembangan zaman, namun kita juga harus mampu menyeimbangkan kondisi ekonomi sendiri maupun ekonomi keluarga agar tidak terjerumus pada kehidupan yang seharusnya belum mampu ditiru. Bahkan saat ini setiap individu lebih mementingkan faktor keinginan (want), ketimbang soal kebutuhan (need) dan cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan materi semata (hedonistik).

Bahkan saat ini ada istilah “Social Climbing” atau panjat sosial. Dan hal ini telah banyak dilakukan individu tertentu untuk menaikkan status sosialnya melalui media sosial. Pelaku panjat sosial atau “Social Climber”, dalam kenyataannya, ia akan mati-matian melakukan tindakan apapun agar dirinya dapat masuk ke dalam lingkaran masyarakat kelas atas, meskipun hal itu berbanding terbalik dengan keadaannya yang sebenarnya. Salah satu tindakannya yaitu mengunggah foto-foto dirinya di tempat-tempat mewah, barang mewah yang mungkin bukan miliknya, hanya meminjam atau merekayasa agar pengguna jejaring sosial yang melihatnya, menganggap dirinya adalah bagian dari individu kelas atas.

Akhirnya, munculah penilaian sosial yang baik dan yang tidak baik dari para pengguna media sosial itu sendiri. Menurut Sheriff dalam teori penilaian sosialnya yang disebut sebagai social “judgement theory” adalah teori yang memberikan perhatian mengenai bagaimana individu lain memberikan penilaian tentang segala hal, baik itu berupa informasi maupun pernyataan yang didengarnya, ia juga menggambarkan bagaimana orang menilai pesan dan penilaian yang dibuat tersebut dapat mempengaruhi sistem kepercayaan yang telah dimiliki sebelumnya.

Oleh karena itu, seyogyanya para pengguna media sosial saat ini harus lebih berhati-hati dalam mengunggah foto-foto yang mengumbar kemewahan, yang dapat mengancam keselamatan mereka. Seperti beberapa milyuner yang juga menampilkan kemewahan dan menyalakan fitur lokasi mereka, menyebabkan kediaman yang ditinggalkannya dirampok saat dirinya tidak berada di rumah. Hal itu dialami oleh selebgram muda asal Inggris, yaitu Kieran Hamilton yang menjadi target merangkulan brutal di kediamannya sendiri dan menyebabkan dirinya terluka, karena sering mengunggah kemewahan di media sosial. Oleh karena itu, marilah kita untuk bertindak secara bijak dalam berinteraksi dan mengunggah segala sesuatu di akun media sosial kita agar tidak merugikan diri kita maupun orang lain di dunia nyata.

II. Dunia Maya VS Dunia Nyata

Saat ini semua orang merasakan, seolah-olah “betapa hampanya hidup tanpa smartphone”. Bahkan ada yang lebih rela dompet tertinggal di rumah ketimbang smartphone yang ketinggalan di rumah. Seakan-akan hidup tanpanya seperti hidup tanpa jiwa. Bahkan, tiap hari kita tenggelam dalam lautan konten media sosial. Entah di antrean kantin, bank, atau bahkan dibawa hingga ke kamar mandi demi mengisi waktu-waktu senggang. Tiap hari, layaknya detektif kita terus memantau kehidupan orang asing yang tampil di explore Instagram atau menyaksikan deretan aktivitas mereka yang kita ikuti. Tak jarang kita suka tertawa sendiri, mengerutkan alis mata mata kits sendiri, bahkan bisa marah-marah-pun seringkali menjadi reaksi sesudah menyaksikan konten-konten di dunia maya. Bahkan, seakan-akan tidak mau ketinggalan, dan kita-pun mulai melakukan kurasi pada foto-foto yang ada di galeri ponsel kita. Memulasnya dengan berbagai aplikasi fotografi bahkan tak jarang memberikan berbagai macam filter sampai sosok asli tak lagi terlihat sama. Semua demi mendapatkan tanda hati, jempol atau pesan akun media sosial kita. Tidak lupa dengan rentetan kata-kata di bagian caption yang belum tentu sesuai dengan gambar yang dipublikasikan. Terkadang berbentuk puisi, terkadang sekadar barisan emoji. Banyak juga dari kita yang berlomba-lomba untuk menuliskan curahan hati baik ketika sedih, kecewa, atau sedang gembira. Bisa dari pengalaman tidak menyenangkan di sebuah restoran sampai kepuasan menggunakan jasa kecantikan di sebuah salon misalnya. Hal itu, seolah-olah kita tidak lagi memikirkan privasi. Tidak masalah mengumbar jati diri ada orang lain, orang yang bahkan tidak mengenal kita sama sekali.

Dengan kata lain, hidup di era modern memang penuh dengan jebakan yang tidak kita sadari. Karena, hari demi hari kita lewati dengan berjalan dalam bayangan dunia maya. Tiada hari tanpa mengabari para followers dimana kita menghabiskan makan siang atau apa yang sedang kita kenakan ke kantor hari ini dengan tagar ucapan “outfit of the day”. Kita bahkan rela menghabiskan uang demi kepentingan konten. Makan di restoran mewah, memegang gelas dengan merek kopi ternama, hingga berfoto dengan baju desainer yang harganya selangit. Bahkan, kita rela kelaparan hanya demi untuk mengambil gambar makanan yang ada di atas meja. Tata letak dan sisi estetisnya harus sempurna. Kalau tidak belum boleh disentuh sama sekali.

Kalau boleh ditanyakan kembali ke diri sendiri kita, semua itu untuk apa? Apakah kita bercita-cita untuk menjadi seorang influencer? Atau sebenarnya kita mencoba menjadi seorang “social climber” dimana kita bersusah payah untuk memperlihatkan pada orang lain bahwa kehidupan kita lebih baik? Apa tujuan yang sesungguhnya di balik foto-foto dan kata-kata mutiara yang kita biarkan wira-wiri di linimasa orang banyak? Apakah kita membutuhkan validasi mereka akan eksistensi diri? Atau benar-benar sekadar iseng dan mengisi waktu luang saja? Lalu mengapa kita terlalu peduli dengan seberapa banyak orang yang menekan tombol hati itu? Sampai-sampai setelah posting tidak berhenti kita buka tutup aplikasi medsos. Bahkan, mengapa kita tidak menghiraukan orang-orang di sekeliling kita dan justru kita memilih memberikan komentar atau berbalas pesan dengan mereka yang ada di dunia maya.

Jika kita memberikan waktu sebentar untuk meresapi pertanyaan-pertanyaan tersebut seharusnya kita mulai menyadari tentang adanya sisi negatif dari media sosial. Dan malah nantinya, lama-kelamaan kita menjadi orang yang aktif secara sosial di dunia maya namun pasif di dunia nyata. Dan benar yang banyak dibilang orang: dunia maya itu menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Kita lupa untuk menghabiskan waktu dengan orang-orang yang tinggal serumah dan justru lebih senang bertegur sapa dengan akun-akun yang bahkan tidak menggunakan nama asli mereka. Karena kita membangun karakter “palsu” demi mendapatkan sebuah pengakuan di dunia maya. Misalnya, aslinya kita tidak suka menggunakan sepatu hak tinggi, namun demi terlihat cantik di foto, dan akhirnya kita mau-mau saja mondar-mandir di tengah penyeberangan jalan untuk foto kekinian.

Aslinya tidak suka makanan kebaratan tapi untuk mendapatkan label “keren” kita tidak enggan menggesek kartu kredit kita untuk menikmati hidangan resto bintang lima.
Coba tanyakan kembali apakah betul pengalaman-pengalaman tersebut kebahagiaan untuk kita? Pengalaman mendapatkan puluhan pesan, ratusan likes, hingga ribuan followers membuat kita merasakan kepuasan batin? Bukannya sedikit riset yang menunjukkan betapa seseorang dapat mengalami stres berat akibat terlalu banyak mengkonsumsi media sosial. Faktanya melihat ribuan konten orang-orang dengan tujuan untuk mendapatkan validasi dari orang lain hanya akan membuat kita mengembangkan rasa iri. Kemudian perasaan tersebut akan berkembang menjadi kompetisi dimana kita selalu tidak mau kalah dengan orang lain. Tentu saja itu tidak akan baik untuk mental kita.

Setelah merefleksikan kembali semua aktivitas dunia maya kita seharusnya kini kita bisa lebih bijaksana untuk menggunakan akun-akun tersebut. Dan kita harus mencoba untuk mendefinisikan kebahagiaan diri kita dengan hal-hal yang riil. Hal-hal positif yang berguna untuk diri sendiri dan orang lain. Namun pada hakikatnya, detoksifikasi media sosial sangat penting kita lakukan secara rutin. Misalnya seminggu sekali sama sekali tidak membuka media sosial dan mengganti hari tersebut dengan mengajak orang tua pergi makan di luar bersama. Atau jika ingin lebih aktif lagi secara sosial jadilah sukarelawan di hari-hari detoks media sosial.

Dengan kata lain, bahwa efek domino dari kemajuan teknologi komunikasi, akhirnya tercipta-lah dunia siber, alias dunia maya yang akut. Munculnya cyberspace (media sosial) sebagai sebuah ruang tanpa batas dan tanpa pengawasan turut menghapus monopoli suatu lembaga pengaturan atas individu. Setiap individu diberi ruang untuk berekspresi dan mengaktualisasikan diri. Di sini, tindakan represif dan otoriter dapat diminimalisasi. Di dalamnya segala bentuk fragmentasi dan diferensiasi sosial berdasarkan kategori-kategori tertentu menjadi semakin kabur. Peran-peran sosial dalam masyarakat tidak lagi dimonopoli oleh satu kelompok saja. Dalam konteks politik misalnya, rakyat kini memiliki posisi tawar menawar yang kuat dalam proses formulasi kebijakan-kebijakan publik. Formulasi kebijakan publik tidak lagi dimonopoli oleh politisi yang menduduki kursi pemerintahan. Rakyat bisa memberikan aspirasinya melalui media sosial. Sungguh, dunia siber dan medsos telah memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap individu untuk mengaktualisasikan diri secara bebas dan tanpa tekanan-tekanan dari realita di luar dirinya. Apabila dipandang secara fenomenologis, medsos merupakan sebuah rekayasa virtual netral. Artinya kehadiran dunia maya tersebut dapat membawa pengaruh positif-kontruktif atau negatif-destruktif bergantung pada manusia sebagai subjek pengguna realitas virtual tersebut.

Akan tetapi, salah satu kenyataan gamblang yang tak terelakan dari keseringan berselancar di dunia maya, ialah terlemparnya manusia dari realitas riil hidupnya. Manusia bisa kehilangan jati diri dalam kiprahnya di dunia myata. Seorang pelajar bisa lupa dengan tugas hariannya karena waktunya dihabiskan hanya untuk berselancar di dunia maya. Pria yang dalam kehidupan nyata dikenal sebagai seorang yang bertampang garang dan berhati baja bisa saja tampak begitu feminim dan melankolis dalam realita virtual. Ibu rumah tangga yang dalam realitas nyata terlilit cicilan dengan pinjol misalnya, namun ia bisa saja tampil dengan mimik wajah gembira di halaman facebooknya. Seseorang yang secara psikologis digolongkan sebagai anak-anak bisa saja memposting konten-konten dewasa di dunia maya. Singkat kata, dunia virtual adalah dunia lepas kendali dan di dalamnya manusia bisa bebas menyeting hidupnya.

Di sini manusia sebenarnya sedang teralienasi. Ia bergerak jauh dari realitas riil dan masuk ke dalam realitas maya. Hal itu kerapkali diungkapkan oleh para filsuf kontemporer maupun para sosiolog modern, bahwa manusia merasa begitu nyaman dengan realitas maya karena di dalamnya manusia diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan diri. Namun, aktualisasi diri yang terlampau sering di dunia maya itu, hal itu juga bisa membuat manusia buta terhadap realitas hidup riilnya. Ia barangkali lebih mengenal dan memahami persoalan di belahan dunia nun jauh di sana, ketimbang persoalan-persoalan di dalam lingkungan tempat tinggalnya. Ia bisa saja lebih mengenal artis-artis Hollywood misalnya, ketimbang tetangga dekatnya sendiri.

Keseringan berselancar dan mengaktualisasikan diri di dunia maya telah menyebabkan (oknum) generasi milenial kita semakin kehilangan daya kritis dalam mengidentifikasi dan mendiferensiasi realitas maya dari realitas nyata. Di sini, adalah sebuah keniscayaan jika generasi milenial saat ini ketika melihat realitas virtual itu sebagai realitas riil, dan sekaligus dianggapnya sebagai ruang dan waktu ia untuk hidup. Oleh karena itu, mari kita kembali pada kesejatian diri, karena keterasingan diri akibat kecanduan medsos, memang lahir dari ketidaksadaran mereka akan realitas semu yang mereka hadapi.

III. Peran Media Sosial Dalam Pembentukan Identitas Budaya Generasi Muda

Siapa yang tidak mengenal media sosial? Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, karena tidak semua orang menggunakan media sosial secara merata, generasi yang lebih muda umumnya lebih cenderung menggunakan media sosial daripada generasi yang lebih tua, yang mungkin kurang mengenalnya. Dari Instagram hingga TikTok. Berbagai platform itu tidak hanya menjadi tempat untuk berbagi foto, video maupun sumber informasi tetapi juga berfungsi sebagai arena dimana identitas budaya dibentuk dan diekspresikan. Kemudian bagaimana media sosial itu berperan dalam pembentukan identitas budaya generasi muda? Berawal dari pertanyaan apa itu identitas budaya? Identitas budaya dapat diartikan sebagai suatu ciri berupa budaya yang membedakan suatu bangsa atau kelompok masyarakat dengan kelompok yang lainnya. Kenneth Burke menjelaskan, bahwa untuk menentukan identitas budaya itu sangat tergantung pada ‘bahasa’ (sebagai unsur non material), bagaimana representasi bahasa menjelaskan sebuah kenyataan atas semua identitas yang dirinci kemudian dibandingkan. Bagi generasi muda, identitas budaya menjadi penting karena dapat membantu untuk memahami siapa mereka dan dari mana mereka berasal. Identitas budaya memberikan rasa memiliki, kebanggaan, dan pemahaman tentang diri mereka dan komunitas mereka. Dalam dunia yang serba cepat, dimana budaya-budaya saling berinteraksi, maka generasi muda perlu memiliki pegangan yang kuat terhadap identitas mereka agar membantu mereka untuk tidak hanya mengenali diri mereka, tetapi juga menghargai perbedaan yang ada di sekitar mereka serta tidak mudah terbawa arus globalisasi budaya.

Thomas L. Friedman menjelaskan globalisasi mempunyai dimensi ideologi dan teknologi. Dimensi ideologi adalah pasar bebas dan kapitalisme. Sedangkan dimensi teknologi adalah teknologi informasi yang sudah mempersatukan dunia. Globalisasi membawa budaya dari berbagai belahan dunia ke dalam satu platform. Meskipun hal itu memperkaya wawasan, namun memungkinkan menjadi sumber kebingungan dan kebimbangan bagi generasi muda yang berusaha mencari jati diri mereka di dunia yang semakin terkoneksi. Mereka mungkin merasa terjebak karena harus beradaptasi dengan dua budaya yang berbeda. Bahkan, lanskap media sosial Indonesia telah berkembang pesat, bahkan menurut Business Insider, Indonesia telah menjadi salah satu dari 10 negara teratas pada tahun 2025 yang paling aktif di media sosial. Hingga saat ini jumlah pengguna media sosial di Indonesia telah meningkat menjadi 191,4 juta per tahun 2025. Di Indonesia, 68,9 % penduduk menggunakan media sosial. Jumlah pengguna media sosial aktif tumbuh pada tingkat 12,6 % pada tahun 2025, naik 21 juta dari tahun 2022 dengan rata-rata waktu harian yang dihabiskan di Internet adalah 8 jam 36 menit, dan media sosial diperkirakan menyumbang 3 jam 17 menit dari waktu tersebut.

Berbagai platform media sosial seperti, Instagram, Twitter (yang telah berganti menjadi X), dan TikTok memiliki keunikan tersendiri yang mampu memikat perhatian kaum muda. Berdasarkan statistik media sosial di Indonesia, Instagram tetap menjadi platform media sosial paling populer, dengan perkiraan 173,59 juta pengguna per tahun 2025. Jumlah itu mencakup lebih dari setengah populasi penduduk Indonesia. Setiap harinya, berbagai topik dan percakapan baru muncul melalui platform tersebut, dapat dikatakan platform-platform yang berkembang saat ini juga sebagai wadah bagi perkembangan budaya populer. Media sosial menjadi penghubung antara generasi muda dan budaya mereka. Melalui berbagai platform, mereka bisa menemukan serta membagikan konten yang mencerminkan nilai-nilai budaya mereka sehingga menciptakan ruang dimana budaya lokal dapat dipromosikan dan dihargai. Generasi muda sering membagikan konten yang menggambarkan identitas budaya mereka, seperti makanan tradisional, festival kebudayaan, dan fashion atau pakaian adat.

Dengan melakukan itu, mereka tidak hanya memperkuat identitas mereka sendiri, tetapi juga memperkenalkan budaya mereka kepada khalayak luas. Dengan kata lain, media sosial telah menjadi tempat berkembangnya komunitas online yang merayakan dan melestarikan budaya tertentu. Contohnya, terdapat grup Facebook yang khusus untuk penggemar musik tradisional atau akun Instagram yang berfokus pada seni dan kerajinan lokal maupun pelestarian permainan tradisional. Komunitas-komunitas itu, ternyata menyediakan dukungan dan ruang bagi generasi muda untuk berperan aktif dalam melestarikan budaya mereka. Media sosial memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk membagikan tradisi, seni, dan nilai-nilai budaya mereka kepada audiens yang lebih luas. Misalnya, dengan video pendek di TikTok, pengguna dapat mengekspresikan kreativitas mereka secara menyenangkan. Mereka bisa membagikan konten yang menggambarkan budaya mereka, seperti foto, video, dan cerita tentang tradisi serta nilai-nilai yang mereka anut. Walaupun media sosial menawarkan banyak keuntungan, ada juga tantangan yang muncul, seperti dampak tren global yang dapat mengikis nilai-nilai budaya lokal. Karena, generasi muda sangat rentan terpengaruh dalam mengadopsi budaya asing, yang pada akhirnya bisa mengakibatkan hilangnya identitas budaya mereka. Hal itu menjadi lebih krusial mengingat pengguna media sosial mencakup berbagai kalangan, yakni mulai dari anak-anak sekolah dasar hingga dewasa. Media sosial memiliki peran signifikan dalam pembentukan identitas budaya generasi muda. Dengan menyediakan wadah untuk berbagi dan merayakan budaya, media sosial membantu generasi muda untuk memahami dan menghargai identitas mereka. Namun, tantangan yang muncul tidak bisa diabaikan, karena generasi muda perlu menemukan keseimbangan antara menghargai budaya mereka sendiri dan tetap terbuka terhadap pengaruh global.

IV. Srategi Pemanfaatan Media Sosial Untuk Pelestarian Budaya Lokal

Manusia adalah makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu ingin berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain. Komunikasi tersebut dilakukan dengan maksud menyampaikan ide, gagasan kepada orang lain. Sebelum kita mengenal teknologi, namun komunikasi antar sesama manusia dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, yaitu dengan menggunakan bahasa, isyarat atau dengan perantara alat seperti bunyi-bunyian atau tanda-tanda alami seperti asap, api dan lain sebagainya. Dengan kata lain, manusia akan selalu menemukan cara berkomunikasi dengan maksud agar apa yang ingin disampaikan dapat dimengerti oleh orang lain. Seiring dengan perkembangan teknologi, media untuk menyampaikan maksud dan tujuan manusia juga berkembang mengikuti teknologi tersebut. Saat ini teknologi informasi bahkan sudah melampaui ruang dan waktu. Dengan ditemukannya internet, kita sekarang dapat berkomunikasi kapan saja dan dimana saja bahkan kita bisa berkomunikasi dengan orang dari belahan dunia lain dengan sangat cepat.

A. Kebudayaan, Kearifan Lokal Dan Media Sosial

Menurut koentjaraningrat, Budaya diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan akal dan budi. kebudayaan dapat diwujudkan dalam tiga hal, yaitu : Bentuk ide, gagasan, dan nilai-nilai norma. Bentuk aktivitas manusia dalam komunitas masyarakat. Benda hasil karya manusia. Dengan demikian, budaya bisa meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti cara berlaku, kepercayaan, sikap, serta hasil yang khas untuk masyarakat atau kelompok tertentu. Budaya dapat dibagi menjadi budaya tradisional dan budaya populer. Budaya tradisional menjadi identitas bangsa indonesia yang dimanfaatkan dalam bidang ekonomi demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Budaya tradisional dapat berupa, tari tradisional, lagu daerah, dan lain sebagainya. Banyak orang mulai meninggalkan budaya tradisional dan beralih ke budaya moderm (pop), sehingga banyak pihak berupaya untuk mempertahankan dan melestarikan budaya tradisional. Budaya populer sering disebut sebagai budaya pop yang mempunyai ciri khas dikenal dan disukai oleh banyak orang. Budaya pop dihasilkan oleh dan untuk masyarakat. Saat ini, budaya populer sudah hadir dan semakin berkembang dalam kehidupan masyarakat, misalnya budaya kpop yang masuk ke indonesia. Budaya populer dianggap dapat mengancam budaya tradisional. Hal itu dapat dilihat dari respon masyarakat indonesia mengenai budaya kpop, seperti makanan, cara berpakaian, bahasa, dan lain sebagainya.

Kearifan lokal dapat diartikan sebagai sebuah identitas atau kepribadian sebuah bangsa yang mampu diserap/dikelolah oleh bangsa tersebut. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kearifan lokal adalah gagasan yang timbul dan terus berkembang dalam masyarakat yang meliputi adat istiadat, tata aturan/norma, bahasa, kepercayaan, budaya, dan kebiasaan sehari-hari. Kearifan lokal diungkapkan melalui banyak hal, salah satunya seperti yang sering kita lakukan, yaitu kebiasaan yang sering dilakukan di lingkungan sosial. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, media sosial adalah laman atau aplikasi yang memungkinkan penggunanya dapat membuat dan berbagi isi atau terlibat dalam jaringan sosial. Gohar F. Khan dalam bukunya berjudul “Social Media for Government” menyatakan bahwa secara sederhana, media sosial adalah sebuah platform berbasis internet yang saat ini mudah diakses (mudah digunakan) sehingga memungkinkan para pengguna untuk membuat dan berbagi konten (informasi, opini, dan minat) dalam konteks yang beragam (Informatif, Edukatif, Sindiran, Kritik dan sebagainya) kepada khalayak yang lebih banyak lagi. Oleh karena itu, media sosial mempunyai efek berantai sehingga proses transmisi yang terjadi tidak berhenti pada satu audiens pokok saja (multiplier effect).

B. Pengaruh Perkembangan Media Terhadap Pelestarian Budaya

Penggunaan media sosial memiliki dampak positif maupun negatif. Dampak positif yaitu memudahkan kita para penggunanya untuk berinteraksi dengan orang banyak, dapat memperluas pergaulan, lebih mudah dalam mengekspresikan diri, biaya lebih murah, penyebaran informasi yang berlangsung secara cepat, serta jarak dan waktu saat ini tidak lagi menjadi sebuah masalah. Akan tetapi penggunaan media sosial juga memiliki dampak negatif yaitu menjauhkan orang-orang yang sudah dekat, interaksi yang dilakukan secara tatap muka menjadi menurun, menimbulkan konflik, menjadikan orang-orang kecanduan terhadap internet, serta rentan terhadap pengaruh buruk orang lain. Perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan dalam hubungan sosial dan segala bentuk perubahan-perubahan yang ada dalam cara berinteraksi pada masyarakat, yang dapat mempengaruhi sistem sosial yang termasuk di dalamnya nilai-nilai, budaya, sikap dan juga pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tanggal 20 November 2020 mengumumkan hasil survei pengguna internet di Indonesia pada periode 2019 hingga kuartal II tahun 2020 secara daring. Dengan hasil jumlah pengguna internet di Indonesia hingga kuartal II tahun 2020 yang lalu, ternyata naik menjadi 73,7% dari populasi. Menurut Ketua Umum APJII, Jamalul Izza kenaikan jumlah pengguna disebabkan oleh beberapa faktor, seperti faktor infrastruktur internet yang cepat atau adanya broadband di Indonesia yang semakin hari semakin merata dengan adanya palapa ring. Transformasi digital menjadi semakin masif ketika dunia sedang dilanda pandemi yang diakibatkan oleh pembelajaran online dan juga kebijakan bekerja dari rumah (WFH) akibat pandemi COVID-19 sejak maret 2020. Pengguna di Pulau Jawa masih berkontribusi terbesar terhadap kenaikan jumlah pengguna internet tersebut, yakni 56,4 persen. Pengguna internet terbesar kedua berasal dari Pulau Sumatera dengan 22,1 persen. Disusul Pulau Sulawesi 7 persen, Kalimantan (6,3 persen), Bali-Nusa Tenggara (5,2 persen), dan Maluku-Papua (3 persen).

Sementara budaya dan juga media merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena keduanya memiliki hubungan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Budaya dan media adalah kajian yang menghasilkan daya tarik. Sementara daya tarik ini terletak pada bagaimana suatu media dapat mempengaruhi budaya dan begitu pula sebaliknya. Budaya yang kuat dapat mempengaruhi media dalam memproduksi kontennya. Media massa juga dapat merubah budaya lokal dan perilaku dari suatu masyarakat sehingga dengan kehadiran media yang hingga saat ini semakin berkembang dapat membuat masyarakat lebih mudah dalam mengakses semua informasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Bahkan, tidak dapat kita pungkiri saat ini teknologi media memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, seperti teknologi informasi yang bersumber dari televisi, internet dan lain sebagainya. Melalui media-media tersebut kita dapat melestarikan budaya dan nilai luhur bangsa kita. Di sinilah teknologi bisa memainkan perannya dalam pelestarian budaya dan nilai luhur bangsa indonesia, Budaya dapat diartikan sebagai pedoman yang berisi nilai-nilai tertentu seperti keadilan, kemanusian, kebenaran, kebijaksanaan, yang mempengaruhi cara pandang dan gaya hidup budaya suatu bangsa. Indonesia yang masyarakatnya bersifat konsumtif seringkali dengan mudah mengadopsi budaya-budaya yang berasal dari luar yang memiliki sifat modern. Hal itu membuat budaya lokal semakin terpinggirkan, oleh karena itu, maka munculah berbagai anggapan bahwa budaya luar bersifat lebih modern dibandingkan budaya lokal. Kebudayaan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang tidak menarik karena memiliki sifat tradisional, kuno dan tidak dibumbui dengan gaya kekinian dari pergaulan anak muda zaman sekarang. Arus kemajuan era globalisasi dan modernisasi di masyarakat menimbulkan kesan yang saling berlawanan antara budaya dengan kemajuan teknologi.

Karena, teknologi kini menjadi sebuah hasil inovasi perkembangan kecerdasan manusia yang harus ditanggapi secara baik, jika tidak akan menimbulkan permasalahan sosial yang akan merambah pada jati diri dan identitas bangsa Indonesia yang berbudaya. Masyarakat Indonesia sendiri terbilang cukup mudah beradaptasi dengan jenis-jenis media sosial yang baru. Namun berdasarkan laporan digital tahunan yang dikeluarkan oleh “We Are Social” dan “Hootsuite” pada Januari tahun 2018, ada empat kanal media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia, yaitu YouTube, Facebook, Instagram, dan Twitter.

C. Strategi Dalam Pemanfaatan Media Sosial Untuk Membangun Daerah Yang Berkebudayaan

Promosi kebudayaan yang ada selama ini terbatas pada penggunaan media-media yang konvensional, dan itu harus segera diubah. Dengan adanya teknologi informasi dan perkembangannya harus ditanggapi dengan cepat, dengan memunculkan terobosan-terobosan baru dalam promosi budaya. Penggunaan internet menjadi salah satu solusi yang dapat digunakan, disamping media-media konvensional dan kegiatan pertukaran budaya. Media jejaring sosial merupakan sarana yang sangatefektif untuk mempromosikan budaya-budaya nusantara. Pengguna muda yang mendominasi pengguna internet di Indonesia, terutama media jejaring sosial menjadi kekuatan yang besar bagi peningkatan promosi kebudayaan nusantara. Untuk menarik minat pengguna muda diperlukan kreativitas dan kemasan promosi yang menarik dengan tetap mengedepankan unsur budaya tradisional. Sebagaimana tercantum pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pencitraan budaya nusantara yang dikemas dengan teknologi dan penggunaan media jejaring sosial akan mengubah citra dan pandangan terhadap budaya itu sendiri. Dalam hal ini, budaya akan menjadi kebanggaan dan gaya hidup (lifestyle) dan ketika kebanggaan menjadi kekuatan, maka kesadaran untuk memperkenalkan budaya nusantara oleh generasi muda akan berjalan dengan sendirinya. Teknologi informasi dan komunikasi dapat menjadi wadah untuk menyebarluaskan informasi mengenai budaya bangsa Indonesia dalam bentuk apapun dengan mudah dan cepat. Penyebarluasan informasi terkait budaya dapat disampaikan hanya dengan “gadget” dan tersambung dengan internet masyarakat dapat mengetahui kebudayaan bangsa Indonesia secara teori yang selanjutnya berkembang menjadi keingintahuan dan berujung pada minat untuk mempelajari dan melestarikannya. Selain itu, teknologi merupakan jembatan atau penghubung dengan bangsa lain khususnya yang mempunyai ketertarikan pada kebudayaan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, budaya sebagai wujud “tangible” tidak dapat berbicara sendiri, karena hiruk pikuk kehidupan saat ini justru mengenyampingkannya. Dengan mengemasnya dengan berbagai media teknologi informasi tentunya akan sangat banyak membantu dalam menunjukkan keindahan budaya itu sendiri. Media sosial menjadi wadah yang sangat potensial untuk mempromosikan budaya.

Nilai luhur budaya bangsa Indonesia menjadi perhatian yang serius oleh para pemangku kepentingan di tengah kondisi arus berita dan informasi yang mengalir tanpa terkendali. Pemerintah merupakanlembaga yang dipercayai dan diamanahkan mengajak masyarakat untuk menjaga nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Dengan demikian, permasalahan yang mengemuka dalam penggunaan media sosial oleh generasi muda diantaranya adalah apakah pengguna belum mampu memilah informasi atau berita di media sosial dan mengidentifikasi sumber yang kredibel dari berbagai sumber yang muncul di media sosial; apakah pengguna internet cenderung menerima informasi mentah dari media sosial dan menyebarkannya; dan apakah pengguna internet belum mampu memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia.

Permasalahan itu perlu dijawab dengan melakukan kegiatan pembekalan dan survei kepada generasi muda atau generasi milenial. Untuk menciptakan generasi muda yang tidak hanya menjadi konsumen media baru, dan hal itu perlu dilakukan berbagai upaya. Upaya pertama, yaitu perlu dilakukan pengenalan media baru agar generasi muda mampu memanfaatkan semua aspek media baru. Kedua ialah penggunaan karakter interaktivitas media baru yang memungkinkan generasi digital berinteraksi secara terbuka, nyaman, dan aman.

Bahkan media sosoal juga bisa digunakan untuk promosi pariwisata daerah. Misalnya, Provinsi Banten hingga saat ini memiliki budaya yang beraneka ragam dan termasuk keberadaan etnis tertentu (suku Baduy) serta berbagai artefak sejarah tentang masa kejayaan Banten zaman dulu. Budaya yang dimiliki oleh masyarakat Banten sangat multi kultural (sangat beragam). Oleh karena itu, sayang sekali apabila tidak diperkenalkan kepada masyarakat yang ada dil uar Banten, dan seyogyanya budaya dan kearifan lokal Banten bisa sampai hingga keluar negeri, alias bosa go Internasional. Dalam hal ini, Pemprov Banten memiliki peran penting dalam konteks memperkenalkan serta melestarikan budaya yang ada di wilayah Banten dengan menggunakan teknologi informasi khususnya media sosial.

D. Strategi Pemerintah Dalam Pemanfaatan Medsos Untuk Melestarikan Budaya
Menyelenggarakan Kegiatan Yang Bertemakan Kebudayaan

Banyaknya sanggar-sanggar dan pegiatsenibudaya yang ada di Kota Banten misalnya, hal itu bisa menjadi alat penggerak dalam melestarikan budaya dan kearifanlokal. Pemerintah bisa mengajak dan memfasilitasi mereka dengan membuat program kegiatan agar mereka bisatampil dan mengisi acara untuk mempromosikan budaya. Selain itu pemerintah juga dapat menyelenggarakan lomba foto dan juga lomba video yang dipublishdi media sosial agar banyak orang yang menyebarkan budaya yang ada di Kota Singkawang.

E. Membuat Hashtag Untuk Semua Media Sosial

Hashtag atau tagar dibuat agar dapat mempermudah orang-orang mencari serta menemukan postingan tentang budaya yang ada di Kota Singkawang. Tagar itu juga digunakan dalam caption untuk postingan kegiatan tentang budaya, tarian daerah, lagu daerah, alat musik tradisional, dan lain-lainnya yang termasuk dalam kebudayaan yang ada di Provinsi Banten.

F. Membuat Postingan Tentang Budaya Yang Ada di Banten

Setiap even atau pertunjukan wajib di dokumentasikan dengan baik secara audio maupun visual .Untuk kemudian dikemas dalam sebuah konten yang menarik untuk diposting. Agar content tersebut lebih banyak menjangkau masyarakat luar, pemerintah bisa bekerja sama dengan melibatkan “influencer”.

G. Memperkenalkan Budaya Dengan Platform Media Sosial Yang Trending

Memperkenalkan budaya dengan beberapa media sosial contohnya lewat Tiktok, Youtube, dan juga Instagram yang digunakan oleh banyak orang dan selalu mendukung segala hal yang berkaitan dengan perkembangan budaya.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *