Oleh : Adung Abdul Haris

I. Prolog

Kesunyian di tengah keramaian di era globalisasi saat ini, adalah fenomena psikologis dimana seseorang merasa terasing atau kesepian meskipun setiap saat dikelilingi banyak orang, hal itu seringkali disebabkan oleh kurangnya hubungan emosional yang mendalam, cara hidup individualisme modern, ketergantungan pada teknologi, dan tekanan sosial dari media sosial. Fenomena itu dapat diatasi dengan mencari koneksi yang lebih bermakna, misalnya mengikuti komunitas hobi, menjaga keseimbangan antara dunia digital dan interaksi sosial langsung, serta memberikan waktu untuk kontemplasi dan refleksi diri untuk menjaga kesehatan mental.

A. Penyebab Kesepian di Tengah Keramaian (Era Globalisasi)

(1). Emosional.
Individu merasa tidak memiliki hubungan yang mendalam atau bermakna dengan orang-orang di sekitar mereka, meskipun secara fisik banyak orang di sekelilingnya. (2). Zaman individualisme modern yang semaiin akut. Globalisasi dan teknologi mempromosikan individualisme yang bisa menciptakan jarak emosional antar manusia, menyebabkan perasaan terisolasi. (3). Ketergantungan pada teknologi. Penggunaan teknologi yang berlebihan dapat mengikis hubungan sosial antar manusia, menciptakan kesepian meskipun secara fisik berada di tengah banyak orang. (4). Tekanan sosial dan media sosial. Di era media sosial saat ini, memang ada tekanan untuk selalu terlihat bahagia dan sukses, yang dapat meningkatkan perasaan kesepian jika seseorang merasa tidak sesuai dengan ekspektasi tersebut. (5). Kurangnya hubungan yang bermakna. Interaksi sosial yang dangkal atau transaksional tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan emosional, sehingga seseorang tetap merasa kesepian. (6). Perbedaan nilai dan kepentingan. Merasa terasing karena perbedaan pandangan hidup atau minat dengan lingkungan sekitar juga bisa menimbulkan rasa kesepian dan keterasingan diri.

B. Cara Mengatasi Kesunyian di Tengah Keramaian

(1). Mencari koneksi yang bermakna. Carilah interaksi sosial yang lebih mendalam dan otentik, bukan hanya interaksi yang dangkal. (2). Bergabung dengan komunitas hobi. Ikut serta dalam komunitas dengan minat yang sama dapat membantu membangun jaringan sosial dan menciptakan momen-momen berharga. (3). Batasi penggunaan teknologi. Kurangi waktu yang dihabiskan dengan perangkat digital dan lebih banyak berinteraksi secara langsung dengan orang lain.
(4). Mengelola perasaan dan pikiran. Penting untuk menyadari dan memahami perasaan kesepian, serta memberikan waktu untuk menenangkan pikiran dan menata diri. (5). Fokus pada refleksi diri. Menarik diri sejenak untuk menikmati waktu sendirian dapat membantu menstabilkan diri dan menemukan ketenangan batin.

II. Penyebab Seringnya Merasa Kesepian di Tengah Keramaian (di Era Globalisasi)

Manusia saat ini seringkali merasakan kesepian walaupun berada di tengah keramaian. Ironisnya, perasaan ini sering diabaikan atau dianggap sebagai hal yang biasa. Dengan kemajuan teknologi digital yang pesat, manusia semakin terkoneksi satu sama lain, tetapi banyak yang merasakan keterasingan dan kesepian. Selain itu, manusia cenderung menganggap bahwa mereka dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, yang pada akhirnya membuat mereka secara tidak sadar mengasingkan diri.

A. Kesepian di Antara Keramaian

Kesepian di antara keramaian merupakan suatu kondisi di mana seseorang merasa terasing dan kesepian meskipun berada di lingkungan sosial yang ramai. Perkembangan teknologi yang pesat membuat kita semakin fokus pada teknologi, dan secara perlahan mengikis hubungan sosial antarmanusia. Dalam bukunya The Sane Society, Erich Fromm menekankan bahwa modernitas mempromosikan individualisme yang justru menciptakan jarak emosional antara manusia. Akibatnya, seseorang mungkin merasa kesepian dan terisolasi meskipun secara fisik dikelilingi oleh orang lain.

B. Pandangan Erich Fromm Tentang Kesepian

Erich Fromm, seorang tokoh humanistic psychoanalysis, menjelaskan dalam bukunya berjudul “Escape from Freedom”. Di dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa kesepian merupakan bagian dari kondisi manusia, terutama dalam konteks modernitas. Munculnya kebebasan individu yang lebih besar di masyarakat modern menyebabkan manusia kehilangan keterikatan emosional dengan sesama. Keterasingan itu adalah konsekuensi dari kebebasan, dimana manusia merasa lebih terpisah dari alam, sesama manusia, dan bahkan dirinya sendiri. Menurut Erich Fromm, kesepian adalah aspek eksistensial yang tidak dapat dihindari, artinya setiap individu pasti merasakan kesepian, hanya saja bentuk dan tingkatannya yang berbeda-beda.

C. Penyebab Kesepian di Tengah Keramaian

  1. Pengaruh Media Sosial.
    Perkembangan pesat teknologi digital saat ini memberikan kemudahan dalam berkomunikasi dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Namun, situasi ini sebenarnya hanya memberikan ilusi koneksi sosial. Banyak orang merasa terhubung secara digital, tetapi kehilangan interaksi emosional yang bermakna, yang pada akhirnya menyebabkan mereka merasa terisolasi secara emosional.
  2. Perubahan Dinamika Sosial Dan Individualisme.
    Dalam masyarakat yang semakin mengedepankan sikap individualitas, manusia cenderung berfokus pada pencapaian pribadi dan kebebasan individu. Akibatnya, waktu untuk membangun koneksi sosial yang bermakna akhirnya semakin berkurang. Kebebasan yang berlebihan tanpa adanya ikatan sosial, hal itu juga dapat menimbulkan perasaan keterasingan sosial.
  3. Ketergantungan Pada Hubungan Superfisial.
    Ketergantungan pada hubungan sosial yang dangkal, hal itu mengakibatkan akan terjadinya hubungan sosial yang dangkal, dan hal itu pula yang bisa meningkatkan perasaan keterasingan. Meskipun dikelilingi oleh banyak orang misalnya, namun kerapkali hubungan yang tidak memberikan kepuasan emosional yang mendalam pada setiap individu, dan itu akan membuat seseorang merasa semakin kesepian. Dalam hal ini, maka kualitas hubungan sosial jauh lebih penting dibandingkan kuantitasnya.
  4. Perubahan Struktur Keluarga Dan Dukungan Sosial.
    Keluarga dan dukungan sosial memiliki peran penting dalam membangun kesejahteraan emosional. Misalnya, perubahan struktur keluarga seperti meningkatnya jumlah keluarga yang hidup terpisah atau tidak lengkap dapat menimbulkan perasaan kesepian karena berkurangnya peran keluarga sebagai dukungan sosial utama.

D. Epilog

Perasaan kesepian atau keterasingan adalah bagian dari kehidupan setiap manusia, terutama dalam masyarakat modern yang semakin individualistis saat ini. Kesepian merupakan konsekuensi dari kebebasan yang dimiliki manusia modern. Meskipun demikian, kita dapat mengatasi perasaan itu dengan terus mencari hubungan yang bermakna dan tidak boleh juga untuk terus bergantung pada status sosial atau teknologi. Dengan mengurangi ketergantungan pada media sosial dan menciptakan aktivitas yang kreatif serta produktif di lingkungan sosial, maka kita dapat mengurangi perasaan kesepian, bahkan di tengah keramaian.

III. Tasawufi Jalaludin Rumi di Tengah Keramaian (Era Globalisasi)

Di era keramaian, ajaran Sufi
Jalaludin Rumi tentang cinta transenden, pembersihan hati, dan penerimaan diri tetap relevan sebagai panduan untuk menemukan kedamaian batin. Karwna, secara substantif ajaran sufi Jalaludin Rumi, memang menghubungkan manusia dengan esensi spiritual mereka, dan mendorong toleransi serta kasih sayang universal di tengah dunia yang seringkali terpecah dan penuh gangguan. Lebih dari itu, filsafat sufisme Jalaludi Rumi juga memberikan solusi untuk mencapai ketenangan melalui kontemplasi dan kesadaran diri, yakni untuk melawan ego diri, serta menapaki jalan spiritual yang lebih bermakna.

A. Relevansi Ajaran Rumi di Era Keramaian

  1. Pencarian Kedamaian Batin.
    Di tengah stres dan kecemasan modern, ajaran sufi Jalakudin Rumi terutama tentang kontemplasi, keheningan, dan penerimaan penderitaan sebagai bagian dari perjalanan spiritual, hal itu menawarkan solusi untuk mencapai ketenangan dan kedamaian batin.
  2. Cinta Sebagai Pemersatu.
    Jalaludin Rumi menekankan cinta sebagai kekuatan transformatif yang menyatukan manusia dengan Tuhan dan sesama, yaitu sebuah konsep yang sangat penting di dunia yang terpecah belah dan penuh perbedaan saat ini.
  3. Pembersihan Hati dari Ego.
    Ajaran Jalaludin Rumi mendorong pembersihan hati dari ego diri dan keterikatan duniawi, yang merupakan langkah penting untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi dan hidup lebih bermakna.
  4. Toleransi dan Kasih Sayang.
    Dengan menekankan kesatuan segala sesuatu dan hakikat setiap manusia untuk mencintai dan dicintai, maka ajaran Jalaludin Rumi mendorong toleransi, dan bahkan tidak mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan latar belakang, dan membangun dunia yang lebih humanis, adil, dan penuh kasih sayang.
  5. Mencari Makna Hidup Yang Lebih Dalam.
    Di dunia yang serba materialistis saat ini, Jalaludin Rumi mengajak manusia untuk mencari makna hidup yang lebih dalam, yang tidak hanya terbatas pada hal-hal duniawi, melainkan juga tentang hubungan spiritual dengan diri sendiri dan alam semesta.

B. Mengapa Rumi Tetap Populer?

  1. Daya Tarik Universal.
    Jalaludin Rumi hingga saat ini tetap menarik, karena keberaniannya menolak dogmatisme ketinggalan zaman dan menganut pemikiran yang lebih universal, membuat pemikiran Jalaludin Rumi tetap relevan dan terus melintasi berbagai era, latar belakang sosial, dan agama.
  2. Karya Yang Mendalam.
    Karya-karya Jalaludin Rumi seperti “Masnavi”, menjadi sumber inspirasi yang luas karena lirik dan didaktiknya, dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, menjual jutaan eksemplar di seluruh dunia.
  3. Inspirasi Spiritual.
    Ajaran dan kisah hidup Jalaludin Rumi banyak menginspirasi banyak orang, yakni untuk menemukan keberanian dalam diri mereka sendiri dan menjalani jalan spiritual masing-masing.

IV. Jalan Sufi Jalaluddin Rumi

Apabila kita mencoba untuk mendiskusikan tipologi Jalaluddin Rumi sebagai penyair mistik terbesar Persia adalah pekerjaan yang tidak hanya membutuhkan “ijtihad” intelektual, tetapi juga kesabaran batin yang tekun, alias “jihad spiritual”. Hal itu disebabkan buah pena dari Jalaludin Rumi, memang bukan semata-mata karya teoritis yang mudah dilacak melalui pendekatan intelektual, tetapi juga merupakan ekspresi batin dan spriritualistik yang sangat simbolis. Bahkan, kedalaman pengalaman mistiknya, yang sungguhpun sudah tertekstualisasikan, namun tetap saja mengandung misteri dan tak tersentuh oleh kekuatan nalar kitq. Jalaludin Rumi sendiri menyadari bahwa pengalaman batinnya tidak dapat dipahami dengan mudah oleh siapapun.

Bahkan, menyrut penulis buku berjudul “The Great Comentator of Rumi”, yaitu William C. Chittick, di dalam bukunya ia menjelaskan, bahwa Jalaludin Rumi, membiarkan berbicara sendiri. Karena menurut pengakuan Rumi, jika orang berusaha untuk menyusunnya hingga tertata, hal itu akan menyebabkan ketersesatan. Sementara menurut pengagum Jalaludin Rumi lainnya seperti menurut Annimarie Schimmel, bahkan ia memerlukan waktu hampir 40 tahun untuk bisa menyelami mistik dari Jalaludin Rumi.

Ketika memasuki larik-larik puisi Jalaludin Rumi, maka kita seakan-akan memasuki dunia yang indah, penuh kejutan, yang terkadang berseberangan dengan logika umum. Tetapi justru keunikan dan keaslian imajinasi Jalaludin Rumi itulah yang membawa keutuhan puisi-puisinya ke dalam penjiwaan pembaca. Dengan kata lain, bahwa Jalaludin Rumi menjadi simbol kepiawaian kata. Karena, ketangkasan Jalaludin Rumi menyelipkan ayat al-Quran dan Hadis ke dalam puisinya, keahliannya menyisipkan kata-perkataan kaum sufi ke dalam kidung-kidung indahnya, dan itu sulit dicari tandingannya.

Sama seperti tradisi mistik yang ditekuni para sufi sebelumnya, Jalaludin Rumi juga melakukan “jihad” spiritual dengan banyak mengungkapkan tema-tema sufistik. Suatu saat ia berbicara tentang kesatuan bersama Tuhan ( Unity of God, Wahdah al-Wujud), ia berbicara juga tentang hati sebagai cermin manusia. Selain itu, ia berbicara terutama tentang cinta. Bahkan, dari sekian banyak ajaran-ajarannya, Jalaludin Rumi tidak pernah menyusunnya secara sistematis sebagaimana para sufi sebelumnya atau sesudahnya. Sebagai perbandingan misalnya, Ibnu Arabi, yaitu sufi agung yang mendahuluinya sekaligus gurunya, ia menyusun karya seperti “Fushus al-Hikam” dan “Futuhat al-Makkiyah” yang monumental dan sistematis. Lebih dari itu, seperti sufi agung dan seorang filsafat Mulla Shadra misalnya, ia dengan karya-karyanya yang terkenal seperti “al-Hikmah al-Muta’aliyah”, juga disusun secara sistematis. Sungguhpun tidak sesistematis karya-karya tasawuf lainnya, namun karya-karya Jalaludin Rumi tidak kalah kedalaman kualitas isinya. Hampir seluruh tema tasawuf yang pernah dibicarakan oleh tokoh sebelumnya, ia juga bicarakan. Tiga tema besar seperti Tuhan, manusia dan alam sebagai “trilogi metafisika”, tidak luput dari perenungan Jalaludin Rumi. Dalam membicarakan tiga tema tersebut juga telah dimaklumi dalam diskursus kalam dan filsafat, Jalaludin Rumi mengacu pada sumber-sumber inti, yaitu al-Quran, Sunnah dan ajaran-ajaran para sufi sebelumnya dengan menjadikan “tauhid” dan cinta sebagai basis dari seluruh ajarannya.

Di antara karya-karya Jalaludin Rumi yang popular adalah : Pertama, “Diwan-I Syams-I Tabrizi” yang memuat lebih dari 40.000 syair. Kedua, “Matsnawi” (untaian sajak dua baris), terdiri atas enam buku sajak yang bersifat didaktis yang memuat antara 3810 hingga 4915 syair. Bahkan, menurut Willian C. Chittick, “Matsnawi” telah mempresentasikan rasa spiritual yang dalam tentang berbagai dimensi kehidupan dan latihan-latihan rohani. Lebih dari itu, Jalaludin Rumi juga mampu mengantarkan orang untuk duduk dan merenung tentang makna kehidupan. Ketiga, “Fihi Ma Fihi”, yang disunting oleh Badi’uzzaman Furuzanfar dan diterjemahkan oleh Arthur J Abrerry menjadi “Discours of Rumi” (tahun 1961). Di samping ketiga karyanya itu, ada beberapa karya lainnya dari Jalaludi Rumi seperti “Majlis-I Sab’ah” (tujuh pertemuan), “Makatib” (surat-surat). Dari sisi sumber ajaran tasawufnya, Rumi tidaklah berbeda dengan para pemikir Islam pada umumnya. Hanya saja ia memiliki keunikan tersendiri yang jarang ditemukan pada sufi sebelumnya. Jalaludin Rumi menjadikan al-Quran, Sunnah, dan ajaran sufi sebelumnya sebagai sumber inspirasinya.

Sedangkan alat yang ia pakai untuk memahami realitas adalah intuisi. Pendekatan intuitif ini tidaklah asing bagi seorang sufi. Pendekatan rasional dan empiris bagi Rumi tidak akan pernah mampu menembus realitas yang tidak tampak. Justru yang tak tampaklah yang merupakan sumber dari segala sumber.
Menurut Rumi, upaya para filsuf pengagum empirisme dalam menemukan realitas boleh dibilang sia-sia. Bahkan, nada sinis Jalaludin Rumi misalnya, terutama terhadap para filsuf pengagum empirisme tidaklah dalam konteks penggagalan dua kredibilitas; akal dan indera, tetapi justru ia sedang menunjukkan kekuatan masing-masing dalam memahami realitas. Tentu saja Rumi mengakui keberadaan akal sebagai alat pencari kebenaran. Hanya saja ia membagi akal kepada dua kategori; akal parsial dan akal universal. Akal parsial adalah akal yang harus dicari melalui belajar. Sedangkan akal universal adalah akal pemberian dari Sang Ilahi, dan itu hanya dimiliki oleh Nabi dan orang-orang suci. Dengan demikian, dari segi sumber dan metodologi, Rumi mengajak para pembaca untuk menyelami realitas dengan sumber yang valid dan meyakinkan. Di samping sumber dan metodologi, Rumi juga menjadikan “cinta” sebagai tema sentral hampir di seluruh karyanya. Tema cinta inilah yang kemudian menjadi ciri paling menonjol dalam tasawufnya.

Lalu, bagaimana untuk memahami “Tasawuf” Jalaluddin Rumi? Serta bagaimana memahami Jalaludin Rumi mereaktualisasikan sistem tasawufnya Inilah problem besar yang hampir dirasakan setiap pengkaji Rumi. Bahkan pemikir sekelas William C. Chittick, ia juga tidak berani membuat komentar berlebihan terhadapnya. Tetapi tidaklah mungkin kita dapat memenuhi renungan mistik Rumi tanpa sentuhan seni tafsir. Sebagaimana juga kita tidak mungkin memahami al-Quran yang jauh lebih misteri kecuali dengan tafsirnya. Karena, sebelum memasuki dunia Rumi yang lebih spesifik, ada sesuatu yang lebih general untuk melihat jalan pikir seorang sufi. Jalan sufi adalah jalan ke empat (sesudah jalan indera, jalan rasional, dan jalan filsafat), yaitu jalan yang mampu membawa manusia ke dalam suatu dunia hidup yang bebas dari segala batas internal indrawi.

Dengan kata lain, bagwa jalan sufi dapat dipahami dengan membedakan dua pendekatan memahami Tuhan, yaitu melalui jalan “syari’at” dan jalan “sufi”, yaitu dengan jalan tarekat, hakikat dan ma’rifat. Jika jalan “syari’at” lebih fokus pada prosedur dan bersifat eksoteris, sementara jalan sufi lebih fokus pada kesadaran batin, atau bersifat esoteris, yaitu berkehendak kuat untuk mengabdikan diri hanya bagi Tuhan. Walaupun demikian, jalan sufi bukan berarti mengabaikan prosedur formal (jalur syari’at). Karena itu, jalan sufi seringkali tampak lebih lentur dan subjektif tanpa aturan baku yang berlaku secara umum. Sungguhpun tasawuf lebih menekankan pada aspek “hakikat”, tetapi dua dimensi lainnya seperti ; “syari’at” dan “thariqat” (ilmu dan amal) menjadi sangat penting sebagai “entery point” menuju kesadaran spiritual (hakikat). Dalam ajaran Rumi, ketiganya memiliki wilayah kerja dan fungsinya masing-masing. Dari penjelasan Rumi tentang keutuhan dimensi tasawuf, sesungguhnya Rumi sedang menekankan pentingnya ilmu (syari’at), amal (thariqat),
dan kesadaran spiritual (hakikat).

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *