Oleh : Adung Abdul Haris

I. Prolog

Perjalanan sejarah Banten dari zaman “Sanghyang Dengdek” hingga zaman “intelek”, alias zaman milenial saat ini. Sementara pase zaman modern, para sejarawan menyimpulkan, yaitu mulai dari awal kemerdekaan, pembentukan Provinsi-provinsi di negara kita, hingga menuju era paska kemodernan (Orde Lama dan Orde Baru) yang ditandai dengan pembangunan infrastruktur dan mulai munculnya perkembangan teknologi di negeri ini. Sementara periode (Hindu-Budha) para sejarawan menyimpulkan, yaitu mencakup masa sebelum abad ke-16 M, ketika Banten masih menjadi bagian dari Kerajaan Sunda. Sementara masa kesultanan, yaitu sejak berdirinya Kesultanan Banten, kemudian berlanjut ke era kolonial Belanda, ke masa pendudukan Jepang, dan akhirnya Banten menjadi Provinsi tersendiri di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sementara masa awal (zaman prasejarah Banten) menurut tinjauan penulis, yaitu dari mulai era “Sanghyang Dengdek”. Istilah tersebut penulis mencoba merujuk pada masa awal atau zaman prasejarah Banten, dimana Banten saat itu diindikasikan masih merupakan bagian dari kekuasaan Kerajaan Salakanagara (kerajaan tertua di Pulau Jawa). Sementara penguasa di zaman Kerajaan Sunda, yaitu pada masa Prabu Pucuk Umum (putra dari Prabu Sidaraja Pajajaran). Sedangkan era Kesultanan Banten berdiri sejak tahun 1526-1527 M, hal itu tidak terlepas dari peran Sunan Gunung Jati yang menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Banten. Sementara pusat pemerintahan Kesultanan Banten saat itu berada di wilayah Banten Lama, yang pada masa kejayaannya menjadi pusat perdagangan dan budaya yang penting. Sedangkan berbagai peninggalan pada masa itu (fakta-fakta arkeologis berbentuk fisik), yaitu berupa kompleks Keraton Surosowan, Masjid Agung Banten, dan berbagai bangunan bersejarah lainnya. Sedangkan di masa era kolonial Belanda dan kemunduran kesultanan Banten, yaitu sejak mulai adanya pengaruh VOC. Karena, masuknya VOC (Vereninging Oost-Indie Compagnie, pada tahun 1602-1799), yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Kesultanan Banten.
Sedangkan pemindahan pusat pemerintahan kesultanan Banten saat itu, terutama ketika di zaman kolonial Belanda, mereka (kolonial Belanda) terlebih dahulu menghancurkan pusat kota Kesultanan Banten yang ada di wilayah Banten lama, dan kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke kota Serang. 

Sedangkan di era zaman pendudukan modern Jepang, yaitu setelah kekuasaan Belanda berakhir pada tahun 1942, dan akhirnya pihak pemerintahan militer Jepang juga berakhur dan takluk juga pada pihak sekutu, yaitu pada tahun 1945. Sedangkan Provinsi Banten resmi menjadi sebuah Provinsi, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000, tanggal 17 Oktober tahun 2000. Sementara proses perkembangan Banten saat ini, yakni seiring dengan statusnya sebagai wilayah Provinsi, ternyata wilayah Banten terus mengalami perkembangan pembangunan infrastruktur, transportasi, dan sektor-sektor lainnya, serta menjadi wilayah dengan populasi yang besar dan beragam. 

II. Sanghyang Dengdek Jejak Megalitikum di Pandeglang, Banten

Sanghyang Dengdek merupakan salah satu peninggalan tradisi zaman megalitikum atau zaman batu besar di Kabupaten Pandeglang, Banten. Situs Sanghyang Dengdek, yaitu berupa arca atau patung batu yang terdapat di kaki Gunung Pulosari, tepatnya di Kecamatan Saketi. Nama “Sanghyang Dengdek” sendiri diambil dari nama Desa tempat situs itu berada yaitu Desa Sanghyang Dengdek. Situs Sanghyang Dengdek merupakan salah satu dari beberapa peninggalan zaman megalitikum atau zaman batu besar di Pandeglang. Sanghyang Dengdek dibentuk dengan sangat sederhana berbentuk arca manusia. Bagian atas patung batu manusia itu berbentuk kepala dengan mata bulat, mulut berupa goresan, telinga tipis, dan hidung tidak nyata. Tangan dibentuk melingkar ke arah perut dengan alat kelamin tidak kentara.

Secara etimologis, zaman megalitikum berasal dari bahasa Yunani, “megalitik” yaitu  “mega” berarti besar dan “lithos” yaitu batu. Zaman megalitukum berarti zaman batu besar. Arca Sanghyang Dengdek merupakan salah satu hasil kebudayaan zaman megalitikum berbentuk menhir. Menhir biasanya digunakan untuk pemujaan arwah nenek moyang. Di sisi lain, menhir yang ditegakkan di atas tanah merupakan hasil kebudayaan nenek moyang sebagai tanda peringatan dan lambang arwah nenek moyang. Arca Sanghyang Dengdek berdiri tegak dengan sedikit membungkuk. Keadaan arca itu menimbulkan julukan “Si Bungkung Yang Terpuja”. Arca tersebut memiliki tinggi sekira 75 cm. Arca Sanghyang Dengdek menggambarkan karya seni nenek moyang di daerah tersebut. Jika kita berkunjung ke wilayah Pandeglang, maka Situs Sanghyang Dengdek bisa menjadi tujuan wisata budaya dan wisata sejarah bagi kita, terutama bagi yang ingin melihat peninggalan masa lalu. Situs kecil bernilai sejarah tinggi itu, terletak 31 kilometer ke arah Barat dari Kota Pandenglang.

A. Jejak Peradaban Megalitik Dan Filosofi Sanghyang Dengdek

Di balik keindahan alam wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten, sebagaimana telah dikemukakan di sub judul bagian atas, ternyata tidak jauh dari Gunung Pulosari terdapat sebuah Desa dengan sejarah yang jarang diketahui, namun sangat menarik untuk diungkap. Desa Sanghyang Dengdek, sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Pulosari, hingga saat ini menyimpan jejak kebudayaan kuno yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Salah satu penemuan paling menakjubkan di Desa itu adalah patung menhir sebuah batu besar yang dipahat dengan teliti dan diperkirakan memiliki nilai spiritual yang dalam bagi masyarakat masa lalu.

Sedangkan asal-usul (filosofi)
Desa Sanghyang Dengdek memiliki nama yang berhubungan dengan kata “Sanghyang”. Sedangkan kata “Sang” itu sendiri merupakan kata sandang yang digunakan untuk menghormati leluruh. Sedangkan “Hyang” ialah kata dalam bahasa sunda yang berarti “sosok yang disembah/didewakan” atau “Tuhan”. Jadi Desa Sanghyang Dengdek berarti tempat suci atau tempat yang dihormati. Hal itu menunjukkan bahwa wilayah dekat Gunung Pulosari itu telah memiliki makna spiritual atau religius sejak zaman dahulu. Masyarakat yang hidup di Desa itu (dimasa prasejarah) diyakini telah memanfaatkan batu besar atau menhir itu sebagai bagian dari upacara keagamaan dan pemujaan terhadap leluhur atau kekuatan alam. Menhir tersebut berupa batu besar yang dipahat menyerupai bentuk manusia atau figur tertentu, yang menggambarkan bahwa masyarakat waktu itu (zaman prasejarah) memiliki tradisi pemujaan yang berkaitan dengan dunia roh atau alam gaib. Bentuk menhir itu menunjukkan teknik batuan yang cukup maju pada masanya. Menhir dalam tradisi megalitikum sangat berkaitan dengan alam, dimana tanah bukan hanya dilihat sebagai tempat tinggal atau tempat bercocok tanam, tetapi dianggap sebagai unsur vital dalam kehidupan manusia. Kepercayaan lokal menyatakan bahwa tanah memiliki kekuatan spiritual yang harus dihormati dan dijaga. Oleh karena itu, tanah harus diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan tata cara dan aturan yang berlaku agar “penjaga” tanah, yang dianggap sebagai roh penjaga kesuburan, senantiasa memberikan hasil yang baik.

Sementara upacara-upacara megalitik yang dilakukan oleh masyarakat pada masa itu berfungsi untuk meminta berkah dari roh-roh yang menguasai alam, terutama roh nenek moyang yang telah meninggal.

Para pemimpin masyarakat, yang dihormati dan dianggap memiliki kedekatan dengan roh leluhur, saat itu sangat dihormati dalam upacara-upacara sakralistik. Gagasan tentang hal supernatural yang masih dipegang dalam kepercayaan lokal maupun kepercayaan pada adanya “personified being” atau perwujudan benda mati yang dapat berupa Tuhan, dewa, maupun orang suci dalam masyarakat Banten zaman prasejarah nampaknya masih kental. Sehingga sampai saat ini, masih ada saja orang yang menjadikan situs Sangyang Dengdek itu sebagai tempat berziarah atau berkunjung untuk meminta barokah dan karomah dari situs yang disakralkan itu. Terlepas dari sisi spiritualnya, Menhir itu tidak hanya berfungsi sebagai penanda atau penghormatan kepada roh leluhur, tetapi juga sebagai simbol dari kepercayaan yang berkembang di masyarakat, terutama di zaman prasejarah di wilayah tersebut.

III. Rekonstruksi Kehidupan Prasejarah Banten

Menurut pandangan penulis, untuk mekonstruksi tingkat kehidupan prasejarah di wilayah Propinsi Banten, mungkin harus ditarik paling tidak ke bentang waktu antara 10.000 – 5.000 tahun lalu, sebagaimana acuan bukti-bukti hadirnya bekas-bekas habitasi kelompok-kelompok manusia di wilayah Banten. Karena, bagbagan (episode) sejah tersebut boleh bersifat hipotetis dan sangat sementara, mengingat di wilayah Banten selain ditemukan sisa-sisa teknologi tingkat kehidupan masa bercocok tanam, juga ditemukan sisa-sisa budaya gua, dan tradisi pembuatan alat-alat batu inti dan serpih bilah di Cigeulis, Pandeglang. Salah satu hal yang kurang menguntungkan dalam kajian tingkat kehidupan masa prasejarah di wilayah Banten adalah masih kurangnya penelitian arkeologi secara intensif dan berkesinambungan di wilayah Banten. Berbagai proses penelitian belum dilakukan secara menyeluruh dan masih bersifat sepotong-sepotong, terutama pada pase “Plestosin” (± 3 juta – 10.000 tahun sebelum Masehi) dimana saat itu terjadi penurunan drastis suhu bumi sehingga es yang biasanya hanya ada di daerah kutub akhirnya telah meluas, dan permukaan air laut-pun turun drastis, disamping terjadi pengangkatan daratan sehingga terbentuk gunung/pegunungan baru. Pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan menjadi satu dataran dengan benua Asia dan Eropa, yang disebut dengan paparan Sunda (Sunda shelf), sedangkan pulau-pulau di bagian timur Indonesia bersatu dengan Australia yang disebut paparan “Sahul” (Sahul shelf). Masa itulah yang diduga sebagai masa penyebaran penduduk Nusantara. Baru setelah adanya perubahan iklim yang diikuti dengan pencairan es, maka pulau-pulau tersebut menjadi terpisah oleh lautan. Selat Sunda yang dulunya merupakan sungai besar, akhirnya berubah menjadi selat yang memisahkan Sumatra dan Jawa. Dengan ditemukannya singkapan endapan tanah formasi plestosen di Banten, maka diyakini bahwa daerah ini muncul semasa dengan munculnya benua Asia (Kartodirdjo, 1975: 33).

Secara umum, perkembangan budaya manusia pada masa prasejarah digambarkan berupa tiga tahapan yang masing-masing memiliki ciri tertentu. Misalnya ; masa berburu dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, dan masa kemahiran teknik (perundagian). Masa berburu dan mengumpulkan makanan, hal itu ditandai dengan kepandaian mereka untuk berburu binatang hutan, menangkap ikan, kerang dan siput di laut atau di sungai dan mengumpulkan makanan dari alam sekitarnya, misalnya umbi-umbian seperti keladi, buah-buahan atau biji-bijian dan daun-daunan. Hidup berburu dan mengumpul makanan adalah cara hidup yang pokok pasa masa itu. Mungkin merekapun telah mengenal pertanian, walau dengan cara yang sangat sederhana dan dengan cara berpindah-pindah sesuai dengan kesuburan tanah dan alam lingkungannya. Biasanya mereka sudah mempunyai tempat tinggal di goa-goa alam di dekat sumber air atau sungai walau tidak tetap. Mereka akan berpindah tempat apabila keadaan alam atau persediaan makanan sudah makin berkurang.

Dalam hal alat-alat penopang hidupnya-pun sangat sederhana yang dibuat dari batu, tulang ataupun bambu, berupa batu atau tulang yang ditajamkan, seperti kapak perimbas, kapak penetak, pahat genggam, kapak genggam dan alat serpih. Dalam keadaan yang lebih maju, mereka juga membuat mata anak panah yang terbuat dari batu atau tulang yang diberi gerigi untuk keperluan berburu binatang. Walaupun mereka sudah hidup berkelompok, namun dalam ukuran yang sangat sederhana, tergantung dari keadaan tempat yang ditinggalinya. Peninggalan masa prasejarah itu, ternyata di Banten dapat ditemukan di Cigeulis, Pandeglang, yaitu berupa kapak perimbas, kapak penetak, pembelah dan serpih bilah. Kemudian di Sanghiyang Sirah, Ujung Kulon juga ditemukan lukisan gua yang kemungkinan besar dibuat oleh penghuni gua pada masa itu.

Masa kehidupan bercocok tanam (neolitik), masa itu ditandai dengan mulai cara hidup menetap di suatu perkampungan yang terdiri dari tempat-tempat tinggal sederhana yang didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga. Populasi mulai meningkat, dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan-pun mulai diatur antar anggota masyarakat. Bahkan, kegiatan bercocok tanam, pemeliharaan hewan ternak sudah mulai dibiasakan di samping kegiatan berburu dan menangkap ikan masih terus dilakukan.

Sedangkan unsur kepercayaan dalam kehidupan perkampungan saat itu sangat dipentingkan, hal itu untuk membina, mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan dalam hidup bersama. Sementara pemujaan kepada benda-benda alam yang besar seperti gunung-gunung, matahari, bulan, laut, pohon-pohon besar, arwah nenek moyang yang dianggap sakti dan keramat yang akan dapat menolong dan mencegah kemurkaan alam menjadi dasar kepercayaan mereka. Teknologi pembuatan pakaian, gerabah (alat yang dibuat dari tanah liat), alat-alat kerja, dan perhiasan mulai dikenal; pembuatan alat berburu seperti kapak, beliung persegi dan mata tombak atau anak panah mulai ditingkatkan dengan diasah halus dan spesifik. Pada tahun 1980 ketika Departemen Pekerjaan Umum melaksanakan perluasan dan perbaikan irigasi DAS Cibanten Hilir tepatnya di plot Kampung Odel, Desa Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang (saat itu), yaitu sekitar 2 km di selatan Masjid Agung Banten, ditemukan berbagai benda berciri prasejarah, seperti serpih, bilah, alat batu inti, beliung persegi, belincung, fragmen gerabah “cord-marked”, manik-manik, fragmen gelang dan cincin perunggu, yang seluruhnya bercampur dengan temuan-temuan yang berciri Banten-Islam.

Hasil survey dan ekskavasi yang dilakukan di Karadenan, Odel dan Kenari yang masih termasuk DAS Cibanten, saat itu memperlihatkan jenis-jenis temuan sebagai berikut :
alat batu 186 buah, tatal batu 600 buah, batu apung 9 buah,
pecahan batu (chunk) 17 buah,
pecahan gerabah 5.280 buah,
pecahan keramik 581 buah,
manik-manik 43 buah, kaca
24 buah, fragmen logam 29 buah, fragmen tulang 73 buah, fragmen gigi 17 buah. Dari ketiga plot penelitian di sepanjang DAS Cibanten Hilir itu, terlihat akumulasi data yang menampakkan kecenderungan membentuk pola linear, yaitu pola huni di sepanjang aliran sungai. Sedangkan sungai merupakan lingkungan mikro yang dianggap penting, baik sebagai prasarana transportasi atau-pun sebagai sumber daya untuk keperluan industri, rumah tangga dan lain sebagainya. Mengingat salah satu kondisi situs telah teraduk, yang berdampak tercampurnya unsur-unsur budaya berciri prasejarah dan Banten-Islam, menimbulkan permasalahan apakah situs Odel merupakan situs prasejarah yang kemudian langsung sinambung dengan situs Banten-Islam, ataukah situs Odel merupakan “multi component-site”.

Apabila sebagai situs yang berkesinambungan, diasumsikan akan ditemui tingginya tingkat persamaan dalam perbandingan unsur-unsur budaya prasejarah dan Banten-Islam. Namun pada kasus situs Odel ini, yang dijumpai adalah tingginya tingkat perbedaan kedua budaya tersebut, yang mana hal itu berarti situs Odel di DAS Cibanten Hilir merupakan “multi component-site”. Pada tingkat kehidupan berikutnya, wilayah Banten memasuki masa “proto” sejarah yang antara lain ditandai oleh kehadiran, pembuatan dan penggunaan benda-benda logam, yang secara tipologis di masa-masa lalu sering dikaitkan dengan Budaya Dongson. Penemuan berbagai kapak perunggu tipe kapak corong di Pamarayan, Kopo, Pandeglang, Cikupa dan Cipari. Selain itu ditemukan pula benda-benda perunggu dan besi dari jenis senjata dan alat-alat pertanian, hal itu menunjukkan bahwa jenis penggunaan dan pengenalan terhadap teknologi pembuatan benda-benda logam itu sendiri.

Salah satu temuan penting ialah sebuah nekara perunggu dari Banten dengan tipe “Heger IV”. Seperti halnya penemuan nekara dari Waleri (Jawa Tengah), maka temuan nekara tipe “Heger IV” itu termasuk langka di Indonesia, karena biasanya yang ditemukan adalah nekara-nekara tipe “Heger I” (Soerjono et al, 1984: 246).

Nekara tipe Heger IV berbentuk seperti dandang terbalik, karena bagian atas datar dan bagian bawah terbuka. Nekara ini mempunyai bidang pukul menutup badan nekara, bahu berbentuk cembung dan bagian tengahnya hanya sedikit membentuk cekungan pinggang dan selanjutnya melurus ke bawah. Pada nekara ini tampak bentuk seolah-olah bagian atas lebih besar daripada bagian bawah. Tipe ini juga disebut dengan tipe Cina.

Proto-sejarah wilayah Banten semakin lengkap dengan ditemukannya situs yang mengandung sistem penguburan di Anyer, yaitu Tempayan Kubur Anyer yang berisi tulang-belulang manusia yang mayatnya dikuburkan secara primer beserta benda-benda gerabah dan atau perunggu yang berfungsi sebagai “bekal kubur”. Situs Anyer ditemukan pada tahun 1954, dan pada tahun berikutnya (1955) diselidiki oleh Hendrik Robert van Heekeren dan Basuki, dan baru pada tahun 1980-an dilanjutkan penelitiannya oleh Haris Sukendar dan Joyce Ratna Indraningsih. Keberadaan Tempayan Kubur Anyer itu, diduga merupakan sisa dari kebudayaan megalitik tua (4500 – 2500 SM) yang berkembang di sana.

Benda-benda gerabah dari situs Anyer itu belum banyak diperoleh sebagai sample penelitian. Di antaranya adalah sebuah cawan berkaki (pedupaan) seperti yang ditemukan pada situs-situs kompleks budaya Buni (Jawa Barat Timur), serta sebuah kendi tanpa cerat berleher panjang, tanpa hiasan. Tempayan dan benda gerabah Anyer, pada umumnya merupakan gerabah berwarna coklat kehitaman dan diupan. Sedangkan masa perkembangan gerabah Anyer diduga antara 200 – 500 Masehi. Di antara masa-masa akhir neolitik-perundagian (logam awal), bahkan sampai pada masa sejarah, tumbuh dan berkembang budaya dan tradisi megalit, yang beresensi pada kultus/pemujaan leluhur, yang diwujudkan melalui pendirian bangunan-bangunan batu, baik secara mengelompok (kompleks) maupun individual.
(R. von Heine Geldern : 1945 : 151), menganggap bahwa tumbuh-berkembangnya budaya megalit ke Indonesia berlangsung dalam dua aliran, yakni :
(1). Megalit tua; yang dalam perkembangannya dibawa oleh aliran etnik atau kultural, yang datang pada tingkat kehidupan bercocok tanam, dengan komunitas manusia yang memperkenalkan budaya beliung persegi. Budaya ini berlangsung antara 2.500 – 1.500 SM, dengan memperkenalkan adat pendirian menhir (tunggal maupun kelompok), dolmen (bukan berupa kuburan), pelinggih batu, undakan batu, patung-patung simbolik monumental, dan lain sebagainya.

(2). Megalitik muda, yaitu rangkaian migrasi yang berlangsung pada masa berkembangnya kebudayaan Dongson[4] dan Logam Awal, yang memperkenalkan adat pendirian kubur peti batu, kubur dolmen, sarkopagus dan kubur bejana batu.

(3). Menurut Rumbi Mulia (1980: 609), bahwa berbagai penemuan bangunan arca/area megalit di wilayah Banten, antara lain ditemukan di Tenjo, Pandeglang, yaitu arca dengan teknik pahat dasar, seluruh bagian utama tubuh lengkap, bentuk-bentuk dan ukuran mata, telinga tidak proporsional. Arca tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional (Inv. no. 480n), digambarkan dalam posisi duduk. Candi, Lebak: bangunan megalit dengan 11 arca di atasnya, yang seluruhnya kini disimpan di Museum Nasional (Inv. No. 4222 s/d 4232). Kerta, Parengkujang, Lebak: ditemukan arca dari batu tanah liat (clay-stone), disimpan di Museum Nasional (Inv. No. 3865). Kosala, Lebak, yaitu bangunan berundak dan di dekatnya ditemukan arca yang dikenal sebagai arca Kosala, pahatan menggambarkan posisi sedang duduk.

Bangunan megalit Kosala  dan “Arca Domas” memperlihatkan adanya hubungan dengan orang-orang Baduy yang kini hidup meng-isolir diri di daerah Banten Selatan. Monumen-monumennya berupa bangunan batu berundak lima tingkat, dan pada setiap undak terdapat menhir (Soejono et al, 1984: 219). Dalam kompleks tersebut dijumpai batu berbentuk segi lima, di bagian bawah yang tertanam dalam tanah terdapat sejumlah batu bulat bergaris tengah antara 10 – 15 cm.

Di situs itu pula terdapat arca kecil yang melukiskan tokoh yang duduk bersila, ditemukan dekat bangunan berundak. Kedua tangan arca itu digambarkan dilipat ke depan, dan salah satu tangannya mengacungkan ibujari. Arca Domas memiliki 13 undakan batu, dan undak paling atas didirikan sebuah menhir berukuran besar. Menurut kepercayaan orang Baduy, menhir tersebut merupakan lambang dari Batara Tunggal sang pencipta roh, dan kepadanya pula roh-roh tersebut kembali.

Peninggalan megalit di Lebak Sibedug berupa bangunan berundak empat, yang seluruhnya setinggi 6 meter. Di depan undakan batu itu terdapat lahan datar dan di sini pula terdapat sebuah menhir yang ditunjang batu-batu berukuran kecil. Bangunan berundak di Kosala, Arca Domas  dan Lebak Sibedug itu, masih dipuja dan dikeramatkan, dan karenanya bangunan-bangunan megalit di Banten Selatan itu termasuk kategori “living megalithic culture”, yang berarti benda-benda arkeologi/megalit yang masih berada dalam konteks sistem perilaku pendukungnya (Hasan Muarif Ambary, 1991: 397), menyatakan bahwa peninggalan kolosal bangunan megalitik di Lebak Sibedug (Cibedug) merupakan salah satu prototipe tempat pemujaan tradisi megalit yang umum terdapat di Asia Tenggara. Sementara itu Halwany Michrob (1988) melihat kemungkinan adanya persamaan-persamaan unsur arsitektur Lebak Sibedug dan Arca Domas terhadap berbagai bangunan di Madagaskar dari bagian barat sampai Rupa-nui, P. Paskah, Pekan, Formosa, Campa, Aoteraroa, New Zealand.
Khusus mengenai “orang Baduy” yang masih melakukan pemujaan/pengeramatan Arca Domas dan Lebak Sibedug, sebenarnya terbagi dalam kelompok Baduy Luar yang menghuni habitat seluas ± 2606 ha, dan Baduy Dalam yang menghuni habitat seluas ± 2515 ha, yang seluruhnya berada pada ketinggian lebih dari 700 meter di atas permukaan laut.

Keterpencilan pemukiman orang Baduy, hendaknya dilihat dalam perspektif paling resen/modern. Karena dari perspektif orang Baduy sendiri, “isolasi” (jika pun istilah itu tepat untuk digunakan), sekaligus menampakkan keberhasilan orang Baduy dalam mengelola teknik adaptasi mereka terhadap lingkungan alam di mana mereka hidup dan tinggal.
Penemuan-penemuan unsur bangunan megalit dari wilayah Banten akhir-akhir ini, antara lain menghasilkan informasi mengenai adanya punden berundak di gunung Cupu, jajaran menhir di puncak Gunung Karang, dolmen di situs Sang Hyang Dengdek, menhir (Sirit Bedug) di Pandeglang, dan lain sebagainya (Michrob, 1988: 18). Peninggalan prasejarah agaknya pernah ada di sekitar Banten Girang (Banten Hulu), sejak di tempat tersebut (di situs itu) ditemukan pula keramik Cina yang berasal dari masa Dinasti Han (206 SM – 220 M), serta undakan-undakan di atas gua Banten Girang.

Namun demikian agaknya memang perlu hati-hati dalam menafsirkan periodisasi bangunan-bangunan berundak. Agus Aris Munandar (1992: 284) menyatakan bahwa bangunan berundak di Jawa Barat tidaklah selalu berasal dari masyarakat yang mendukung tradisi megalit, karena ada juga bangunan-bangunan berundak yang dapat dihubungkan dengan kegiatan keagamaan masyarakat kerajaan Sunda (Hindu), bahkan pada periode akhir masa Hindu-Budha di Jawa. Misalnta, bangunan berundak Kosala, yang pada jarak sekitar 100 meter ditemukan sebuah arca. Oleh beberapa sarjana arca tersebut dinyatakan sebagai arca Budha, tinggi 50 cm, dipahat dalam relief tinggi, sikap tangan menunjuk pada mudra tertentu. Menurut Rumbi Mulia (1980: 616-618), arca Kosala itu dihubungkan persamaannya dengan arca perwujudan zaman klasik akhir yang melambangkan pengruwatan, dan mungkin menggambarkan arca leluhur. Peringatan itu kemudian diulangi oleh Satyawati Suleiman (1992: 318), yang menyatakan bahwa arca-arca tipe Pajajaran yang ditemukan di Jawa Barat memiliki bentuk yang sangat mirip dengan arca-arca yang ditemukan di wilayah Polynesia, maka dahulu arca-arca tipe Pajajaran sering disebut dengan arca tipe Polynesia. Ditambah lagi dengan lokasi penemuan yang seringkali di dekat/sekitar bangunan berundak, maka orang sering pula menafsirkannya sebagai arca prasejarah.

Salah satu arca yang pernah disebut dengan tipe Polynesia ini, ada yang berinskripsi angka tahun antara 1263 – 1341 Masehi. Betapa pun demikian, sungguh jelas bahwa wilayah Banten telah intensif dihuni sejak masa-masa paling tua untuk wilayah ini, yakni sejak masa pertanian awal, mungkin lebih awal lagi sejak masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut, seperti jika benar pada lukisan gua di Sanghiyang Sirah, Ujung Kulon, atau pun alat-alat batu, kulit kerang dan pecahan gerabah yang ditemukan di dasar-dasar gua Kampung Candi, pantai Bojonegara, yang malangnya telah diruntuhkan untuk  “pemburuan batu” bagi keperluan pembuatan landasan pacu dan pembangunan bandara Sukarno Hatta. Jika benar bahwa keramik masa Dinasti Han telah ditemukan di Banten Girang, setidaknya wilayah Banten memang telah terjangkau hubungan internasional, lebih awal dari pertumbuhan komunitas nelayan di pantai utara Bekasi, dimana di komplek budaya Buni pernah ditemukan pecahan gerabah romano-roulette yang bertitimangsa abad-abad satu dan dua Masehi. Wilayah Banten tumbuh dan berkembangnya tak lepas kait dengan vitalitas Selat Sunda sebagai alur alternatif perdagangan dan pelayaran samudra India Laut Cina Selatan selain melalui Selat Malaka. Kesinambungan habitasi berbagai pusat pemukiman di wilayah Banten, adalah sekedar kelanjutan tradisi mengoptimalkan berbagai wilayah pemukiman yang memiliki daya dukung potensial, sejak masa prasejarah, dan sejarah.

IV. Kisah Banten Sebelum Islam

Sebagaimana telah diuraikan di sub judul bagian atas, yakni Banten ketika di zaman prasejarah. Dengan kata lain, bahwa wilayah Banten memang memiliki sejarah yang panjang sebelum era Islam datang. Bahkan dalam Naskah Sajarah Banten, terutama yang terungkap di dalam buku berjudul “Banten Sebelum Zaman Islam”. Buku tersebut merupakan karya dari Claude Guillot dan kawan kawan. Di dalam buku tersebut Claude Guillot menuyebutkan bahwa dulunya Banten merupakan ibukota kerajaan kuno sebelum Kerajaan Pajajaran. Petunjuk itu terlihat pada cerita tentang hal-hal yang dilakukan oleh Hasanudin ketika datang ke Banten. Dia melakukan sejumlah upacara di tiga gunung yakni Gunung Karang, Gunung Pulasari, dan Gunung Lancar. Untuk nama yang terakhir peneliti sejarah menyimpulkan bahwa itu adalah nama kuno dari Gunung Aseupan yang ada sekarang.

Hasanudin sangat memperhatikan satu gunung yakni Gunung Pulasari. Karena di Gunung Pulasari itu tinggal keturunan penguasa lama yakni Brahmana Kandali. Sajarah Banten menceritakan bahwa Hasanudin tinggal bersama delapan ratus ajar atau cantrik kalau di Jawa, yang dipimpin oleh Pucuk Umun. Hasanudin tinggal dengan mereka selama lebih dari sepuluh tahun. Para ahli menyimpulkan bahwa selama itu pula proses konversi ke Islam terjadi di Banten. Ciri khas proses konversi ke Islam pada kurun transisi terlihat pada riwayat Hasanudin yang mengharuskan para Ajar untuk tetap menempati Gunung Pulasari walaupun mereka sudah Islam. Karena, menurut Hasanudin jika tempat itu kosong tanpa pendeta maka tanah Jawa akan berakhir. Kisah tersebut menemukan data kesejarahannya dalam penelitian yang dilakukan oleh Rouffaer dan Ijzermann di tahun 1915. Penelitian itu menunjukkan bahwa pada akhir abad 16 M, masih terdapat sebuah Desa bernama Sura yang ada di kaki Gunung Karang. Di sana tinggal sekelompok pendeta beragama Hindu yang atas izin raja Banten, tinggal di sana. Konon mereka adalah para pendeta yang mengungsi ke barat akibat konflik yang terjadi di Pasuruan.

A. Keberadaan Arca Bongkok

Di Desa Sanghyang Dengdek, Kecamatan Pulasari, sekarang bernama Saketi, Kabupaten Pandeglang, terdapat satu arca purba yang dinamakan “Sanghyang Dengdek”. Arca tersebut bentuknya menyerupai sosok laki-dengan bentuk kepala yang dipahat kasar menyerupai patung zaman megalitik dalam bentuk pendek dan gemuk. Balai Arkeologi Nasional menyebutnya sebagai batu menhir yang berbentuk manusia. Tinggi arca ini 95 cm dengan keliling badan 120 cm dan diameter kepala 20 cm. Nama “dengdek” menurut balai arkeologi menunjukkan bentuk bahu yang tidak datar alias satu sisi lebih rendah. Banyak dugaan bahwa bentuk bulat, agak pendek, tubuh tidak simetris, sangat sesuai dengan kepercayaan orang Jawa kuno yang mengenal sosok mistik dengan ciri-ciri badan yang mengalami deformasi. Orang Jawa mengenalnya sebagai Semar, Punta, atau Sabdapalon. Di Gunung Pulasari itu pula terdapat arca “bongkok yang terpuja” dalam bentuk batu yang agak membungkuk. Dan itulah kenapa judul artikel yang penulis suguhkan pada tulisan kali ini berjudul “Banten : Dari Zaman Sanghiyang Dengdek Hingga Ke Zaman Intelek”, karena penulis sendiri memang “tergelitik” dan “ter-efistema” oleh adanya fakta arkeologis (bukti adanya peninggalan sejarah berbentuk fisik), yaitu keberadaan menhir Sanghiyang Dengdek itu.

B. Sejarah Dan Kebudayaan Banten Dari Masa Ke Masa

Secara historis (terutama di abad ke 16 -17 M) Banten dikenal karena di daerah ini pernah berdiri sebuah kesultanan (kerajaan Islam) yang sangat mercusuar. Bahkan, Banten saat itu, terutama dimasa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten sudah disebut-sebut sebagai negara Banten oleh masyarakat dunia. Lebih dari itu, latar belakang sejarah Banten sesungguhnya sangat panjang, hal itu sebagaimana telah dikemukakan di sub judul bagian atas, yakni bagaimana kondisionalitas Banten ketika di zaman prasejarah dan lain sebagainya, karena Banten memiliki kebudayaan yang cukup panjang dan melimpah. Misalnya, investarisasi dan penelitian peninggalan purbakala yang dimulai sejak abad ke-19 M di daerah Banten membuktikan akan hal tersebut. J.W.G.J Prive misalnya, seorang kontrolir Belanda pada tahun 1896 M, ia melaporkan adanya temuan bangunan kuno di dekat desa Citorek, Bayah, yang kemudian dikenal sebagai bangunan punden berundak “Lebak Sibedug”. (Van Der Hoop, 1932 : 63 – 64). Kemudian dalam bukunya berjudul “Rapporten van der Oudheikundingen Dienst in Nederlansch Indie” tahun 1914, ia menyatakan bahwa di seputar Kabupaten Pandeglang ada juga peninggalan arkeologi berupa arca nenek moyang, beberapa kapak batu dari hasil penggalian arkeolog di pamarayan (Kolelet) dan patung tipe Polinesia di Tenjo “Sanghyang Dengdek”. (Djanenuderadjat, 2001 : 2). Pendirian monumen-monumen megalitikum dengan beragam bentuk seperti Punden Berundak, arca, menhir, dolmen, dan batu bergores turut memperkaya budaya dan tradisi masyarakat Banten pada masa lalu. Tradisi megalitik mulai ada sekitar 4500 Tahun ketika manusia mulai hidup menetap dengan mata pencaharian bercocok tanam dan beternak. Sampai hari ini tradisi megalitik tersebut oleh sebagian masyarakat adat di wilayah Banten (terutama oleh masyarakat Baduy) masih ditaati dan dipatuhi secara konsisten dan berkesinambungan. Kebudayaan Banten kemudian semakin berkembang setelah bersentuhan dengan kebudayaan luar. Pengaruh budaya luar tersebut datang dari India yang membawa agama Hindu dan Budha. Disamping membawa pengaruh agama Hindu dan Budha masuknya pengaruh India juga berdampak pada sistem sosial dan pemerintahan di Nusantara, hal itu ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan (kerajaan Salakanagara, Tarumanegara, dan Pajajaran). Sementara salah satu kerajaan Hindu yang pertama berdiri di Banten ialah kerajaan Banten Girang yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-10 sampai dengan abad ke-16 M. Sedangkan masuknya pengaruh Islam pada akhirnya berdampak pada mundurnya pengaruh Hindu-Budha di Banten. Kerajaan Banten Girang berada dibawah penguasa Islam yang kemudian mendirikan kerajaan di sekitar Teluk Banten. Pusat kotanya dikenal dengan nama Surosowan, yang kini disebut Banten Lama. Kerajaan Islam Banten ada sejak abad ke-16 M sampai dengan abad ke-19 M. Kemudian secara Historis, kota Banten Lama yang terletak 10 Kilo Meter dari Kota Serang, dahulu ramai dikunjungi oleh kapal dan pedagang asing seperti dari Arab, Portugis, Cina, Persia, Suriah, India, Turki, Jepang, Filipina, Inggris, Belanda, Perancis serta Demark. Selain pedagang asing, para pedagang Nusantara seperti dari Maluku, Solor, Makassar, Sumbawa, Gresik, Juwana, dan Sumatera ikut berdagang di Banten Lama.

Kini masa lalu Kesultanan Banten itu tinggal hanya menyisakan bukti-buktinya (berbagai fakta arkeologis berbentuk fisik). Sementara bukti-bukti peninggalan tersebut antara lain berupa bekas kompleks Keraton Surosowan yang dibangun pada masa pemerintahan Maulana Hassanudin, Mesjid Agung Banten, Kompleks Makam Raja-raja Banten dan keluarganya, Mesjid Pecinan Tinggi, Kompleks Keraton Kaibon, Benteng Speelwijk, Kelenteng Cina, Watu Gilang, Danau Tasikardi, dan Makam Sultan Kenari, Jembatan Rante serta banyak lagi yang lainnya.

Selain peninggalan berbentuk bangunan, peninggalan dari Banten Lama juga berupa keramik dari Cina, Jepang, Thailand, dan Eropa, serta mata uang dan Tembikar. Kemudian Kerajaan Islam Banten yang berbentuk Kesultanan, pada akhirnya mengalami kemunduran juga, yakni setelah masuknya pengaruh VOC (Vereniging Oost-Indie Compagnie) yaitu perkumpulan dagang Belanda di Indonesia tahun 1602-1799 dan penjajahan kolonial Belanda, hingga kurang lebih 250 tahun.

Belanda kemudian menghancurkan pusat kota kesultanan Banten dan memindahkan pusat pemerintahan ke Serang. Namun, kekuasaan Belanda di Banten-pun berakhir, yakni setelah mengalami kekalahan oleh Jepang pada tahun 1942. Dengan kata lain, bahwa Banten telah mengalami proses perjalanan sejarah dan budaya paling panjang, kini merupakan salah satu wilayah Provinsi yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sementara selama dalam perjalanannya, Banten telah mewariskan peninggalan-peninggalan yang tak ternilai harganya. Yakni, berbagai kekayaan dari beragam pusaka budaya Banten yang tinggi nilainya itu, tentunya perlu kita dijunjung tinggi, hal itu sebagai bukti perjalanan sejarah dan budaya Banten yang dapat memberi sumbangan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, sejarah dan kebudayaan melalui penggalian nilai luhur yang tercermin di dalamnya. Disamping itu pula pusaka budaya itu dapat menjadi dasar dalam memupuk kepribadian dan jati diri masyarakat Banten pada khususnya dan bagi bangsa dan negara kita pada umumnya.

V. Banten Dalam Konteks Saat Ini

Banten, daerah yang cukup menarik. Sebagai wilayah Provinsi, jika dilihat luas wilayahnya memang tidak signifikan, yakni dibanding daerah induknya, yakni Jawa Barat, yang sangat jauh berbeda. Karena, wilayah Jawa Barat seluas 44.354,61 Km2 , yang terdiri dari 16 Kota dan 10 Kabupaten. Sedangkan Provinsi Banten memiliki luas hanya 8.651,20 Km2, meliputi empat wilayah Kota dan empat Kabupaten. Sempitnya wilayah Banten bukanlah suatu persoalan untuk mencapai kemajuan, karena Banten memiliki sejumlah potensi. Antara lain, letak strategi, kondisi alam, dan kekayaan alam yang dimiliki. Selain itu, latar belakang sejarah kejayaan Bantrn dimasa lalu serta momentum yang ada menjadi faktor penting bagi kemajuan Banten, baik kini maupun dimasa yang akan datang. Berangkat dari perhitungan atas berbagai potensi yang dimiliki, dan akhirnya di tahun 2000 Banten telah memisahkan diri dari Jawa Barat dan membentuk Provinsi tersendiri, dan saat ini sudah genap berusia 25 tahun.

Kejayaan masa lalu seperti Provinsi-provinsi di Pulau Jawa, maka terbentuknya Provinsi Banten juga tidak terlepas dari pengaruh latar belakang sejarah yang mengitarinya. Khususnya pada masa kejayaan yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu kejayaan masa kerajaan dan kemajuan atau proses perjuangan pada masa kolonial. Banyak kejayaan yang dicapai pada masa kerajaan kemudian menginsfirasi dan menjadi ikon suatu daerah. Jawa Timur misalnya, ia mendapat pengaruh kejayaan Kerajaan Majapahit dan Kediri. Kemudian Jawa Tengah, ia dipengaruhi oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta. Kemudian Daerah Istimewa Yogyakarta, ia juga tidak terlepas dari pengaruh Mataram Yogyakarta. Begitu pula Jawa Barat, memang identik dengan Kerajaan Pajajaran. Secara historis, Kesultanan Banten juga pernah mengalami puncak masa kejayaan, terutama pada masa kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692). Banten saat itu bukan hanya menjadi pusat penyebaran agama Islam semata, namun pelabuhan Banten (Pelabuhan Karangantu) saat itu dikenal sebagai pusat perdagangan internasional yang termashur. Lebih dari itu, bukti-bukti kejayaan Kesultanan Banten dapat ditelusuri melalui beberapa literatur. Sedangkan bukti fisik yang bisa disaksikan hingga saat ini, yakni sisa-sisa peninggalan masa lalu, seperti situs bangunan Keraton Surosowan Kesultanan Banten, benda-benda peninggalan yang tersimpan di Museum Kepurbakalaan Banten, dan Masjid Agung Banten. Semua berada di kawasan Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang.
 
Sementara pengaruh masa kolonial, seperti diketahui melalui sejarah tentang beberapa kota di Provinsi di Pulau Jawa. Kota Surabaya di Jawa Timur, Semarang di Jawa Tengah, Bandung di Jawa Barat, dan Yogyakarta merupakan pusat pendudukan kolonial sekaligus basis perjuangan masyarakat pribumi untuk merebut kemerdekaan. Sebagai daerah penting, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, setelah VOC dibubarkan, di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels (1808-1811), di Anyer dan Ujung Kulon, saat itu dibangun pangkalan Armada Laut. Oleh Daendels, Anyer juga dijadikan titik nol proyek monumental pembangunan jalan raya trans Jawa hingga ke Panarukan Jawa Timur. Peninggalan di Anyer berupa mercusuar kapal, menara pemantau-kapal laut yang hingga kini masih berdiri kokoh. Kejayaan masa lalu Banten bukan hanya menjadi kenangan, karena peninggalan berupa fisik dapat berfungsi untuk bahan kajian ilmiah dan sarana wisata sejarah dan budaya. Bahkan, warisan berupa nilai-nilai agama maupun budaya menjadi pijakan bagi pembangunan Provinsi Banten.

A. Banten Masa Kini

Seiring bergulirnya reformasi di tahun 1998, pada akhirnya berimplikasi pada perubahan sistem politik, salah satunya desentralisasi kekuasaan, dan momentum yang sangat fenomenal, yaitu terbentuknya wilayah Provinsi Banten pada tanggal 4 Oktober tahun 2000. Terbentuknya Provinsi Banten bagaikan napak tilas kejayaan Banten masa lampau. Dengan segala potensi yang dimiliki Banten mampu menunjukkan kemajuannya.

Tahun 2007 misalnya, bisa menduduki peringkat ke empat dalam hal peningkatan APBD (Asep Kurnia dan Ahmad Siabudin: 2010). Bahkan, Provinsi Banten memiliki potensi alam yang cukup tinggi. Secara topografi terdiri atas dua bagian besar, yaitu daerah perbukitan di sebelah selatan (Kabupaten Lebak dan Pandeglang) dan daerah dataran rendah di bagian lainnya. Terdiri dari empat kota (Kota Serang, Tangerang, Cilegon, dan Kota Tangerang Selatan) dan empat Kabupaten (Kabupaten Serang, Tangerang, Pandeglang, dan Kabupaten Lebak).

Sementara Kota Tangerang, Kota Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Serang merupakan daerah dengan aktivitas ekonomi cukup tinggi karena merupakan kawasan industri, terutama industri manufaktur. Sedangkan Kabupaten Lebak dan Pandeglang merupakan daerah hijau, hutan dan perkebunan banyak terdapat di sana. Sedangkan Kota Tangerang Selatan merupakan kota jasa, perdagangan, serta banyak lembaga pendidikan bergensi dan bertaraf internasional. Maklum, di kota tersebut banyak tinggal tokoh intelektual, tokoh nasional, dan kaum ekspatriat. Tentang internasional, Provinsi Banten memiliki Taman Nasional Ujung Kulon, di Kabupaten Pandeglang yang masih hidup populasi hewan langka yang di dunia hanya ada di Ujung Kulon. Bandara internasional Soekarno-Hatta merupakan gerbang utama Indonesia yang berada di Kota Tangerang. Bahkan konon katanya, telah direncanakan pembangunan pelabuhan bertaraf internasional di Kramatwatu, Serang. Kondisi demikian membuat peningkatan APBD Provinsi Banten meningkat signifikan setiap tahunnya. Sektor pariwisata, Porivinsi Banten yang ketiga sisinya dikelilingi laut, dari Cilegon hingga Labuhan jalan melingkar menyusur tepi pantai Selat Sunda merupakan kawasan wisata yang sangat kesohor. Hotel dan villa berjejer siap memanjakan setiap wisatawan dengan pemandangan Gunung Krakatau yang penuh cerita di pantai lepas. Pelabuhan penyeberangan Merak menuju Sumatera, pada faktanya menambah Provinsi di ujung Barat Pulau Jawa ini sangat sibuk. Dihubungkan oleh ruas tol langsung sampai Jakarta. Apalagi kalau pembangunan mega proyek jembatan Selat Sunda yang jauh lebih panjang dari jembatan Suramadu terealisasi, sudah pasti membuat Provinsi Banten kian melambung.

Sementara dalam konteks sejarahnya, bahwa Provinsi Banten dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2000 tertanggal 14 Oktober tahun 2000. Sedangkan puncak perayaan terjadi pada tanggal 14 Oktober 2000 saat puluhan ribu masyarakat Banten datang ke Gedung DPR RI di Senayan Jakarta, dengan Sidang Paripurna DPR untuk pengesahan RUU Provinsi Banten. Akhirnya, masyarakat Banten pun sepakat tanggal 14 Oktober 2000 sebagai Hari Jadi Provinsi Banten yang saat itu dipimpin oleh Bapak HD Munandar sebagai Gubernur Banten dan Ibu H. Ratu Atut Chosiyah, SE sebagai wakil Gubernur Banten.

B. Pusat Intelektualitas Masyarakat Banten

Kini Banten di usia yang ke 25 tahun, secara realitas faktual sudah memiliki institusi kependidikan (perguruan tinggi) yang terus semakin mercusuar. Sedangkan pusat untuk melakukan intelektualisasi masyarakat Banten yang mercusuar dan menonjol hingga saat ini antara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten bergantung pada perspektif dan kebutuhan masing-masing. Sedangkan Untirta mewakili pusat intelektual keilmuan umum dan teknis dengan fokus pada riset dan teknologi, sementara UIN lebih menjadi pusat keilmuan Islam terintegrasi dan studi keislaman yang lebih spesifik. Namun keduanya, memainkan peran penting masing-masing dalam konteks untuk pengembangan SDM di Banten, yaitu melalui program studi yang berbeda. Misalnya, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) memang fokus dan berperan sebagai pusat intelektual keilmuan umum dan teknis, khususnya melalui fokus pada riset dan pengembangan teknologi, sesuai dengan sejarahnya sebagai perguruan tinggi negeri pertama di Banten.
Lebih dari itu, Untirta juga telah memiliki beberapa fakultas, yaitu berfokus pada bidang teknik, hukum, ekonomi, sosial dan politik, keguruan, ilmu pendidikan, dan pertanian. 

Sementara UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, hingga saat ini berfokus pada pusat keilmuan Islam terintegrasi dan studi keislaman, sekaligus menjadi pusat intelektual bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kerangka nilai-nilai Islam. Sementara program studi yang ada di lingkungan UIN Banten, menawarkan berbagai program studi yang berfokus pada ilmu-ilmu keislaman, seperti Pendidikan Bahasa Arab, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, serta program studi umum di fakultas seperti Tarbiyah dan Keguruan, Syariah, Ushuluddin, Dakwah, dan Adab. Dengan kata lain, baik Untirta maupun UIN Banten merupakan pusat intelektualitas di wilayah Banten. Pemilihannya tergantung pada kebutuhan dan minat individu dalam bidang akademik. Sementara pilihan program studi yang tersedia di masing-masing Universitas memang menentukan fokus intelektualnya.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *