Ocit Abdurrosyid Siddiq

Pengantar

Kamis, 12 Desember 2024, Kesbangpol Provinsi Banten menggelar acara Dialog Publik dengan tema “Pendidikan Politik dan Etika Budaya Politik”. Agenda kerjasama Kesbangpol dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Serang ini bertempat di Gamma Function Hall Ciracas Serang.

Hadir sebagai narasumber, dua orang pemateri. Yang pertama Ade Jahran, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Serang. Dan yang kedua adalah Penulis sendiri yang tampil sebagai Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society atau Fordiska Libas.

Sebelum Penulis menyampaikan materi, dalam obrolan kecil menjelang acara dimulai, Ketua HMI Cabang Serang Eman Sulaeman menyampaikan bahwa acara ini dimaksudkan sebagai media untuk mengevaluasi penyelenggaraan Pilkada di Banten yang baru saja digelar.

Mensinergikan antara tema yang telah dirumuskan oleh Kesbangpol Provinsi Banten dengan “arahan” Ketua HMI Cabang Serang merupakan perkara yang tidak mudah. Karena bila selaras dengan tema yang membedah perkara etika, maka jalannya diskusi akan lebih terasa akademik. Sementara perkara mengevaluasi Pilkada bisa lebih mengalir dan santai.

Ketika Penulis diberikan kesempatan untuk memulai pemaparan, perkara inilah yang harus Penulis minta kesepakatan dengan audiens yang adalah mahasiswa anggota HMI, serta beberapa pengurus BEM se Provinsi Banten. Termasuk Penulis tawarkan apakah mau dengan style Rocky Gerung atau ala Gus Miftah, dua sosok yang belakangan ini menjadi perbincangan publik.

Jenis Pengetahuan Manusia

Etika bersama Estetika, merupakan bagian dari Aksiologi. Aksiologi, bersama Ontologi dan Epstemologi, merupakan bagian dari Filsafat. Filsafat merupakan salah satu pengetahuan manusia, selain pengetahuan indera, pengetahuan ilmu, dan pengetahuan agama. Walaupun sejatinya berbeda, etika kerap disamakan dengan adab, moral, sopan-santun, tata-krama, norma, dan nilai.

Ada empat macam pengetahuan manusia. Pertama pengetahuan indera. Kedua pengetahuan ilmu, ketiga pengetahuan filsafat, dan keempat pengetahuan agama. Masing-masing pengetahuan itu memiliki metodologi dan objek sendiri-sendiri.

Pengetahuan indera adalah pengetahuan yang dimiliki oleh manusia lewat panca indera. Untuk menguji kebenaran pengetahuan ini cukup dengan menggunakan panca indera. Misalnya untuk mengetahui bahwa garam itu rasanya asin, maka cukup gunakan panca indera. Dalam hal ini adalah indera perasa, yaitu lidah.

Jadi, untuk mengetahui juga menyimpulkan bahwa garam rasanya asin, tidak perlu dilakukan penelitian ilmiah, atau dengan pemikiran filosofis, apalagi bertanya bagaimana dalilnya pada agama. Untuk membuktikan bahwa garam rasanya asin cukup dengan lidah. “Garam rasanya asin” merupakan sebuah kebenaran yang didapat lewat panca indera.

Pengetahun ilmu atau ilmu pengetahuan dan biasa disebut dengan sains, merupakan pengetahuan manusia yang didapat dengan cara rasional dan empirik. Sesuatu bisa disebut sebagai ilmu, bila dihasilkan lewat penelitian yang empirik, yang bisa dialami, dan rasional.

Jadi, syarat ilmu itu ada dua, yaitu rasional dan empirik. Rasional artinya logis atau masuk akal. Sementara empirik maksudnya adalah bisa dialami, dibuktikan secara kasat, bisa dilihat, didengar, atau disentuh. Ilmu itu selain harus masuk akal juga harus dapat dibuktikan. Harus ada buktinya.

Misalnya tentang terjadinya gerhana. Ini merupakan objek kajian sains. Untuk mengetahui apa dan mengapa terjadi gerhana, tidak bisa dilakukan oleh pengetahuan indera. Karena indera memiliki keterbatasan kemampuan. Hanya dapat melihat namun tidak bisa menemukan jawaban mengapa terjadi gerhana.

Maka dilakukanlah penelitian oleh para ilmuwan yang bekerja diatas prinsip rasionalisme dan empirisme. Ditemukan bukti bahwa gerhana terjadi akibat adanya posisi sejajar antara matahari, bulan, dan bumi.

Kesimpulan itu selain logis juga ada pembuktian. Jadi, “Gerhana terjadi akibat posisi sejajar antara matahari, bulan, dan bumi”, merupakan pengetahuan yang benar. Pengetahuan itu disebut ilmu, ilmu pengetahuan, atau sains.

Karenanya, kepercayaaan mistik pada masyarakat terdahulu, bahwa gerhana terjadi akibat matahari ditelan binatang raksasa, adalah tidak benar. Termasuk cara masyarakat untuk mengakhiri gerhana dengan memukul-mukul kentongan sebagaimana tradisi di sebagian masyarakat kita, juga adalah cara yang tidak benar.

Orang-orang terdahulu memiliki keyakinan bahwa gerhana terjadi karena matahari ditelan naga. Makanya bumi menjadi gelap. Lalu mereka beramai-ramai memukul kentongan untuk menghalau sang naga.

Dan ternyata terbukti, perlahan namun pasti, usai kentongan dipukul-pukul sehingga menimbulkan suara keras, matahari kembali muncul. Seolah diyakini bahwa sang naga melepaskan kembali matahari.

Secara empirik memang terbukti, bahwa usai kentongan dipukul, matahari kembali muncul. Tapi, pengetahuan ini tidak termasuk dalam ranah ilmu. Karena tidak memenuhi syarat sebagai ilmu, yaitu rasional tadi. Tidak ada hubungannya antara kentongan yang dipukul dengan berakhirnya gerhana.

Jadi, sesuatu bisa disebut sebagai ilmu bila rasional dan empirik. Masuk akal dan ada bukti. Masuk akal saja tanpa ada bukti, bukan ilmu. Ada bukti saja namun tidak masuk akal, juga bukan ilmu.

Itulah mengapa mantera, jampi, pelet, asihan, santet, tidak masuk dalam kajian ilmu atau sains. Mengapa? Karena tidak memenuhi kriteria sebagai ilmu. Empirik tapi tidak rasional. Tidak ditemukan relevansinya antara boneka yang ditusuk jarum disini, dengan sakitnya orang di tempat lain.

Jenis pengetahuan manusia berikutnya adalah pengetahuan filsafat. Pengetahuan filsafat merupakan jenis pengetahuan manusia yang didapat dengan menggunakan dan mengandalkan logika dan tanpa mesti disertai dengan pembuktian secara kasat mata.

Benar secara filsafat cukup dibuktikan secara rasional saja. Tanpa perlu pembuktian. Tidak harus empirik. Makanya filsafat dimaknai sebagai pengetahuan spekulatif. Pengetahuan yang benar namun tanpa perlu adanya pembuktian. Untuk menunjukkan bahwa itu benar, tidak harus dibuktikan secara kasat mata.

Persoalannya, apakah sesuatu yang masuk akal namun tidak ada buktinya secara kasat mata, menunjukkan bahwa pengetahuan itu salah? Tidak juga. Mengapa? Karena filsafat tidak seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran, yang ketika menyatakan cinta lalu menuntut untuk dibuktikan.

Begitu banyak kebenaran yang kita yakini keberadaannya namun kita tidak atau belum pernah mengalaminya. Contohnya adalah alam kubur, alam barzah, padang mahsyar, alam akhirat, surga dan neraka. Keberadaannya kita yakini bukan semata karena doktrin agama, tapi memang keberadaanya itu sangat rasional. Dan itu kajian filsafat.

Untuk membuktikan bahwa alam akhirat itu ada, maka bukan tugas ilmuwan yang melakukannya dengan pendekatan rasional dan empirik. Surga dan neraka bukan objek kajian ilmu atau sains. Buktinya, tidak pernah ada orang yang mempresentasikan hasil penelitian ilmiahnya tentang bagaimana kondisi alam barzah!

Maka tugas filsafat lah untuk menjelaskannya bahwa keberadaan alam akhirat itu pasti adanya. Filsafat dapat menjelaskannya secara rasional perihal keberadaan dunia lain itu. Tentu saja dengan pendekatan rasionalitas atau penggunaan akal. Bukan dengan cara penelitian ilmiah yang menghajatkan pembuktian.

Ketika pengetahuan indera dan pengetahuan ilmu tidak mampu menjelaskan perihal alam akhirat, maka tanpa harus bertanya kepada agama pun logika manusia bisa sampai pada kesimpulan bahwa alam akhirat itu pasti adanya.

Logikanya begini. Alam akhirat itu ada, adalah sebagai pembuktian bahwa Tuhan itu Maha Adil. Kalau alam akhirat itu tidak ada, maka bisa disimpulkan bahwa Tuhan itu tidak adil. Bagaimana keterkaitan antara kemahaadilan Tuhan dengan wajib adanya alam akhirat?

Bayangkan bila hari pembalasan itu tidak ada. Maka yang terjadi adalah ketidakadilan di muka bumi ini. Orang paling untung adalah orang yang selama hidup di dunia banyak berbuat dosa dan tidak pernah ibadah lalu mati, dan selesai.

Sebaliknya, orang yang paling rugi adalah orang yang cape-cape beribadah kepada Tuhan dalam kondisi miskin dan tidak sempat menikmati enaknya dunia, lalu mati dan selesai. Tidak ada perhitungan, tidak ada pembalasan.

Bila hidup ini hanya ada di dunia dan setelah itu selesai bersamaan dengan kematian manusia, lalu tidak ada perhitungan, pertimbangan, ganjaran, dan hukuman, maka disitulah letak ketidakadilan Tuhan.

Bahkan lebih jauh dari itu, bila manusia hanya hidup di dunia dan tidak ada lagi hidup setelahnya, maka itu juga bermakna bahwa sesungguhnya Tuhan itu tidak ada dan hanya imajinasi manusia belaka!

Jadi, wajib adanya alam akhirat itu rasional. Dan itu menjadi tugas filsafat untuk menjelaskannya. Filsafat menjelaskan adanya alam akhirat. Alam akhirat menjadi logis keberadaannya dengan pendekatan filsafat, tanpa perlu bantuan dalil dan doktrin agama.

Yang terakhir adalah pengetahuan agama. Pengetahuan agama merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia lewat doktrin agama. Pengetahuan ini didapat oleh manusia secara pasif. Berbeda dengan tiga jenis pengetahuan manusia sebelumnya, yang didapatkan oleh manusia secara aktif.

Disebut pasif karena manusia menerimanya dari doktrin yang datang dari Tuhan lewat pengantarNya yaitu para utusan yang kita kenal sebagai nabi. Karena pasif, maka suka atau tidak, setuju atau tidak atas kebenarannya, kita wajib mengiyakannya.

Mengapa pengetahuan agama ini pasti benar? Karena pengetahuan agama bersumber dari Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Benar. Sesuatu yang bersumber dari Yang Maha Tahu dan Maha Benar, pasti benar. Untuk mengukur kebenaran pengetahuan agama, maka alatnya adalah iman.

Bila kita dihadapkan pada situasi dimana menurut akal manusia ada ajaran agama yang tidak logis, lalu menyimpulkan bahwa ajaran agama itu salah, maka itu salah. Karena yang benar adalah ketika akal manusia tidak bisa sampai pada kesimpulan yang benar menurut akal, sesungguhnya itu menunjukkan keterbatasan akal manusia.

Sederhananya, saat akal kita tidak bisa menemukan titik temu ketika memahami ajaran agama karena tidak logis atau tidak masuk akal, maka itulah pertanda bahwa akal manusia itu terbatas. Wa maa uutitum minal ilmi illa qoliilaa.

Kesimpulan

Kesimpulannya, untuk mengetahui rasa garam, cukup pakai indra. Tak perlu diteliti secara ilmiah. Tak perlu berpikir mendalam apalagi filosofis. Dan tak perlu bertanya pada agama dengan menuntut mempertanyakan dalilnya.

Untuk mengetahui mengapa terjadi gerhana tidak cukup dengan indera. Tidak juga dengan filsafat dan agama. Gerhana adalah objek kajian ilmu. Untuk membuktikan kebenaran adanya akhirat tidak cukup dengan indera juga dengan ilmu. Itu tugas filsafat, pun tanpa bantuan dalil agama.

Ada banyak kebenaran menurut agama yang kita yakini kebenarannya walau indera, ilmu, dan filsafat tidak mampu menjangkaunya. Kebenaran agama itu kadang tidak bisa kita ukuran secara empirik juga secara rasional. Kebenaran agama itu bisa kita terima dengan cara iman.

Selanjutnya, Penulis akan membedah tentang etika yang adalah bagian dari aksiologi, cabang dari filsafat. Kemudian kita diskusikan perkara etika politik. Setelah itu kita membincang etika politik dalam Pilkada serentak. Penjelasan dimaksud akan dituangkan dalam tulisan berikutnya.
*

Tangerang, Sabtu, 14 Desember 2024
Penulis adalah Alumni Prodi Filsafat IAIN SGD Bandung, Pegiat Demokrasi dan Pemilu, Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas), Pengurus Besar Mathlalul Anwar, Pengurus ICMI Orwil Banten

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *