“PENEMBANG” KULTURAL BANGSA
Oleh: H. Lukman Hakim, S.Pd, M.I.Kom.
Pemerhati sosial budaya, mengabdi di SMAN 6 Kabupaten Tangerang Banten
Selain membawa paham liberalisme yang tidak cocok dengan kultur Nusantara, tindak-tanduk Mas Nadiem tampak hendak “memperkeruh” sektor kebudayaan, melalui kebijakannya dalam membonsai gerak langkah Museum Nasional Indonesia dan Galeri Nasional Indonesia, yang dua bidang ini, gedungnya berada di lingkar satu pusat kekuasaan Republik Indonesia, yaitu di kawasan Lingkar Monas, Jalan Medan Merdeka.
Wajah pertama pemerintahan Indonesia, kabarnya ini sudah ditata oleh Bung Karno, adalah seperti ini. Letak Istana Negara, tempat Presiden ngantor, itu di jalan Medan Merdeka Utara, yang sejajar dengan kantor Mahkamah Agung dan Kantor Kostrad. Di seberangnya, terdapat Kantor Gubernur DKI Jkt, Perpustakaan Nasional, Dubes AS, Wisma Antara (wartawan). Di Medan Merdeka Barat, terdapat Kemeterian Pariwisata, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Pertahanan, Museum Nasional, RRI, Mahkamah Konstitusi, dan di Medan Merdeka Timur terdapat Kementerian Perdagangan, Kementerian Maritim dan Perikanan, Galeri Nasional, homebase BUMN, lalu agak menjorok ke dalam, terdapat Mesjid Istiqlal slh satu kebanggaan umat Islam Indonesia dan Gereja Katedral.
Tamu yang datang, bisa diajak menengok langsung Museum atau Galeri, yang tak begitu jauh dari Istana. Di museum itu, terdapat sejarah Indonesia berdasarkan artefak dan koleksi benda-benda masa lalu dari berbagai provinsi. Di museum ini mestinya terdapat sejumlah guide yang terdidik, yang mengerti dan hapal sejarah benda-benda serta pesan yang terkandung di dalamnya. Guide bukan hanya tukang tunjuk tempat bagi para tamu.
Cerita teman kami yang ikut mengantri, untuk mendengarkan penjelasan lukisan karya Rembrandt yang berjudul Kembalinya Si Anak Hilang (The Return of the Prodigal Son). Lukisan realistik itu menceritakan dua anak yang diberi kekayaan oleh ayahnya. Anak sulung, menggunakan kekayaan itu untuk bepergian, wisata, dan berfoya-foya. Hingga kekayaan untuknya habis, dan saat pulang, ia mengenakan sepatu jelek dengan pakaian compang-camping. Sedangkan adiknya menggunakan kekayaan untuk modal usaha, menjalani hidup bersahaja dan hemat, sehingga meraih kehidupan yang sejahtra dan kaya raya. Pesan moral dari lukisan tersebut, hendaklah hidup bersahaja dan jangan menghabur-hamburkan uang untuk foya-foya. Kelak hidupmu menderita. Sebuah pesan yang tentu saja layak disimak oleh para siswa.
Di Rusia, di berbagai lokasi tempat seni-budaya, kunjungan para siswa selalu ada, malah mengantri, termasuk di pemakaman para seniman-budayawan-tokoh besar Rusia, para siswa berkunjung dengan membawa hadiah untuk tokoh-tokoh yang mereka kagumi. Hadiahnya, mungkin ini karena anak-anak, ada yang membawa permen s bon-bon. Di kita, nusantara hadiahnya air mawar, bunga dan …Alfatihah!
Mestinya sebagai seorang lulusan Harvard, mengerti tatakelola kebudayaan. Namun Mas Nadiem memang lulusan bidang ekonomi, jadi ia tidak apresiatif terhadap bidang seni budaya. Jangan-jangan selama di luar negeri, ia tak suka mengunjungi museum atau galeri, dan lebih banyak masuk ke bursa saham. Makanya yang ia lakukan, adalah membonsai bidang museum dan galeri yang dinilai tidak profitable.
Galeri Nasional adalah tempat unjuk karya seni terkini dari kemampuan eksplorasi estetik seniman-seniman anak negeri. Makanya di tiap negara modern, galeri nasional itu selalu prestisius. Di beberapa negara modern, sebutlah Australia, negara akan memiliki representasi galeri nasional di tiap provinsi. Bila ada karya yang dianggap bagus dan perlu diketahui oleh warga negara sebanyak-banyaknya, maka karya tersebut akan dipamerkan secara keliling di tiap representasi galeri nasional. Tetapi di kita..?
Kita baru memiliki Galeri Nasional selepas reformasi. Rintisan Galeri Nasional mulai dicetuskan pada masa Dirjen Kebudayaan dijabat Edy Sedyawati, ya sekira tahun 1993 – 1998. Namun proyek terhenti karena krisis moneter. Tahun 1998, rencana ini dilanjutkan, dengan gedung seadanya. Pada masa Sekretaris Meneri Pariwisata dan Kebudayaan dijabat Sapta Nirwandar, ada upaya untuk membebaskan rumah-rumah dan gedung di sekitar Galeri, yang menurut akta, tanahnya merupakan bagian dari galeri, tetapi dihuni oleh warga turun-temurun, karena dulunya itu bekas wisma karyawan. Saat Sapta menjabat Wakil Mentri Kebudayaan dan Pariwisata, pembabasan tanah dan pembangunan gedung di tanah bekas, sudah selesai, sehingga ia meresmikan fasilitas Galeri Nasional yang baru itu. Sekian program dan rencana kedepan dipaparkan oleh Sapta Nirwandar saat peresmian, terdengar visioner, tapi sayang ia kemudian keburu pensiun.
Di Era Pak Jokowi, kebudayaan kembali bergabung dengan pendidikan, sehingga menjadi Kemendikbud. Ini tak ada masalah. Namun menjadi sedikit.. bermasalah, ketika Kemendikbud dijabat Mas Nadiem. Sektor kebudayaan yang amat penting, yang menjadi etalase pertama, atau salah satu wajah seni-budaya Indonesia, kedudukan Museum dan Galeri ‘dikerdilkan’ menjadi dibawah bidang Museum dan Cagar Budaya (MCB). Semula, pejabat Museum Nasional itu adalah Eselon II A, dan pejabat Galeri Nasional adalah Eselon III B. Nah, dalam struktur dibwah Nadiem, Pejabat Museum Nasional menjadi Eselon IV B, juga pejabat Galeri Nasional menjadi Eselon IV B.
Pembonsaian ini jelas berdampak pada citra seni budaya Indonesia yang tampak memandang rendah dua institusi penting untuk mempelajari sejarah dan imajinasi. Dengan dijabat Eselon IV, setingkat kepala seksi, tentu saja ruang gerak menjadi relatif terbatas dan anggaran pun mengalami pemangkasan yang amat signifikan. Pembonsaian ini bisa dikatakan sebagai penistaan terhadap peran dan fungsi museum dan galeri nasional sebagai etalase, wajah, dan martabat seni-budaya visual bangsa Indonesia. Pemangkasan anggaran, jelas sama dengan penebasan batang kaki, sehingga berjalan menjadi terpincang-pincang.
Era Mas Nadiem sudah lewat. Menjadi tantangan bagi Kementerian Kebudayaan, yang selalu dikritik dan diagungkan oleh para seniman dan budayawan, termasuk Fadli Zon, kenapa sih negara sebesar Indonesia tidak memiliki kementrian kebudayaan sendiri, yang otonom, dan bukan anak tiri dalam wadah kementerian pendidikan. Nah, Pak Menteri, sekarang yang pernah Anda usulkan itu, sudah ada, dan di tangan Anda. Jangan lupa, di era sosmed ini, kami dengan mudah menonton kiprah Anda. Selamat berkarya Bang F Z, karya nyatanya sangat ditunggu. 💪🇲🇨