
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Pendahuluan
Akhir-akhir ini kita kerapkali dibuat terperangah oleh gaya dan tipologi kepemimpinan Gubernur Jawa Barat (Dedi Mulyadi), baik ketika kita menyaksikan di dunia maya alias media sosial maupun di dunia nyata. Dan sampai saat ini, sudah terbit buku yang mencoba membidik secara detail tentang fenomena, gaya dan tipologi dari kepemimpinan Gubernur Jawa Barat itu (Dedi Mulyadi). Sementara buku yang membidik fenomena dan gaya kepimpinan Dedi Mulyadi itu berjudul, “Kebijakan Budaya Sunda di Bawah Kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi”. Buku tersebut ditulis oleh : Riyan Haqi Khoerul Anwar, S.Pd., M.Hum dan Prof. Dr. H. Wawan Hernawan. Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit “Wawasan Ilmu”.
Buku yang diterbitkan oleh penerbit “Wawasan Ilmu Itu”, memang menghadirkan perjalanan dan insfiratif seorang tokoh yang telah berhasil menghidupkan kembali nilai-nilai luhur budaya Sunda di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Kang Dedi Mulyadi, seorang pemimpin (Gubernur) yang nota bene dikenal dengan gaya khas kepemimpinannya yang bersahaja namun penuh makna itu, menjadikan budaya Sunda bukan hanya sekadar warisan belaka, tetapi sebagai spirit hidup yang relevan untuk membangun masyarakat yang beradab, harmonis dan berdaya saing. Sementara isi buku tersebut mengajak kita semua untuk menyelami berbagai gagasan kang Dedi Mulyadi, yakni tentang filosofi kehidupan Sunda yang bersumberkan pada kearifan lokal. Nilai-nilai itu nampaknya akan dihidupkan kembali oleh sang Gubernur Dedi Mulyadi, yakni melalui gaya kepemimpinannya yang inovatif (proses pengelolaan lingkungan, pembangunan sosial, hingga penguatan identitas budaya yang ada di wilayah Jawa Barat).
Lebih dari itu, di dalam buku sebagaimana judul diatas, memang mengungkapkan tentang kisah unik dan menarik tentang bagaimana kang Dedi Mulyadi, akhirnya dapat memadukan soal tradisi dengan modernitas, sehingga terciptalah suatu harmoni yang menginsfirasi banyak orang. Tidak hanya membahas visi dan misinya, di buku itu juga disuguhkan narasi tentang perjuangan dan pengorbanan untuk menjaga budaya Sunda agar tetap relevan dan bermakna, dengan judul yang lebih spesifiknya “Spirit Budaya Sunda Kang Dedi Mulyadi”. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kita untuk sama-sama menela’ah secara kritis isi buku tersebut, siapa tau diantara kita akhirnya bisa menggali lebih dalam lagi tentang betapa pentingnya budaya sebagai pilar peradaban dan bagaimana pula seorang individu, tapi pada akhirnya ia mampu menjadikan dirinya sebagai kekuatan perubahan sosial. Melalui insfirasi dari buku itu, kita juga akan merasakan spirit optimisme dan kehangatan nilai-nilai lokal yang tak lekang oleh waktu.
Buku itu menghadirkan pula perjalanan inspiratif sang tokoh yang telah berhasil menghidupkan kembali nilai-nilai luhur budaya Sunda di tengah arus modernisasi, yakni melalui sosok kepemimpinan dunia biokratiknya (Gubernur) yang dikenal dengan gaya khas lidersipnya yang bersahaja namun penuh makna, yang akhirnya menjadikan budaya Sunda bukan sekadar warisan, tetapi menjadi spirit hidup yang relevan untuk membangun masyarakat yang beradab, harmonis, dan berdaya saing. Bahkan, melalui isi buku tersebut, seolah-olah kita diajak untuk menyelami berbagai gagasan kang Dedi Mulyadi, yaitu tentang filosofi kehidupan Sunda yang bersumber pada kearifan lokal. Nilai-nilai tersebut nampaknya aka diaktualisasikan kembali melalui gaya kepemimpinan kang Dedi Mulyadi yang terkesan reaktif tapi penuh inovatif, yaitu mulai dari dikap dan sifat kepeduliannya pada soal lingkungan, konsentratifnya pada pembangunan sosial, hingga pada proses penguatan identitas budaya lokal. Bahkan, sikap opensifitasnya pada soal lingkungan, hal itu berawal dari walayah Kabupaten Purwakarta, yakni ketika kang Dedi Mulyadi menjadi Bupati Purwakarta pada saat itu.
Bahkan, di dalam buku itu juga diungkapkan soal kisah unik dan menarik, yakni bagaimana kang Dedi Mulyadi, akhirnya ia bisa memadukan tradisi dengan fisibilitas modernitas, sehingga terciptalah harmoni yang menginsfirasi banyak orang. Tidak hanya membahas visi dan misinya, di buku itu juga dipersembahkan narasi tentang perjuangan untuk menjaga budaya Sunda agar tetap relevan dan bermakna. Sementara spirit budaya Sunda merupakan nilai-nilai kearifan lokal yang amat sangat kontekstual, yang seyogyanya harus difahami khususnya oleh komunitas masyarakat Sunda. Hal itu demi menguatkan pilar budaya peradaban, yakni bagaimana satu individu (sosok seorang Dedi Mulyadi) pada akhirnya ia mampu menjadikan dirinya sebagai kekuatan perubahan sosial sekaligus menjadi fenomenap. Bahkan melalui buku itu, kita juga akan merasakan tentang spirit optimisme dan kehangatan nilai-nilai lokal yang tak lekang oleh waktu dan tergerus oleh zaman.
II. Dedi Mulyadi Dan Fenomena Budaya Sunda
Sebagaimana telah diungkapkan diatas, bahwa akhir-akhir ini muncul fenomena yang kerapkali muncul di media sosial, yaitu peran sat-set (gercep alias gerak cepat) yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat (kang Dedi Mulyadi). Semenrara fenomena tentang kang Dedi Mulyadi pada faktanya dipicu oleh sejumlah kebijakannya yang memang tegas dan warnanya demikian jelas, yakni memihak pada rakyat. Yaitu mulai dari melarang studi banding sekolah sampai pembongkaran tempat wisata dan bangunan liar tanpa izin. Bahkan, menurut Guru Besar ilmu sosial dan ilmu Politik dari Universitas Padjadjaran Bandung (UNPAD), yaitu Prof. Obsatar Sinaga, yang menilai tentang logika kepemimpinan dari kang Dedi Mulyadi, yang akhirnya menjadi fokus pembicaraan di berbagai pelosok negeri ini tanpa kecuali, alias bukan hanya fenomenal di wilayah Jawa Barat saja. “Ketika saya berkunjung ke Grobokan, Purwadadi Jawa Tengah, saya bertanya kepada para pedagang kaki lima (suku jawa asli) tentang eksistensi Gubernur mereka yang baru saja dilantik. Namun ternyata, pujian malah dijatuhkan kepada Gubernur Jawa Barat, yakni kang Dedi Mulyadi” tutur Prof. Obi sapaan akrab dari Prof. Obsatar Sinaga itu, yakni pada hari Senin (7/4/2025) ketika ia bependapat khususnya kepada para awak media (termasuk kepada awak media Online/RRI.co.id).
Bahkan menurut Prof. Osatar Sinaga, terutama ketika ia berada di Jawa Timur, dan ia menyaksikan berbagai dagelan medsos yang diselenggarakan terbuka, yakni menayangkan obrolan warga dengan warga yang menyampaikan tema tentang Gubernur Jatim. “Warga dalam obrolan itu memberikan penilaian bahwa Gubernurnya lambat dan belum melakukan apa yang dijanjikan. Sekali lagi, pujian itu dijatuhkan kepada kang Dedi Mulyadi, yakni sebagai pembanding”, tutur Prof. Osatar Sinaga. Bahkan, ketika momen Hari Raya Idul Fitri 1446 H, Prof Osatar Sinaga juga kebetulan ia berlebaran di Kalimantan Timur, ia yang saat itu berkesempatan berbincang-bincang dengan warga transmigran di sana. Karena tahu Prof. Osatar Sinaga itu ia berasal dari Bandung, maka mereka banyak yang bertanya tentang Gubernur Jawa Barat, yakni tentang kang Dedi Mulyadi. Tapi dengan bangga Prof. Osatar Sinaga mendengar langsung, yakni bagaimana warga di sana (di Kalimantan Timur) akhirnya terus memuji kang Dedi Mulyadi. “Semua itu saya sebut sebagai fenomena Dedi Mulyadi, karena kang Dedi Mulyadi orang Sunda, maka saya menyebutnya fenomena Ki Sunda. Memang, tidak sedikit tokoh Sunda (terutama para tokoh partai Politik) yang menyampaikan kepada saya tentang weakness tentang kang Dedi Mulyadi”, jelasnya. “Namun semua yang bersifat pribadi itu ada yang disampaikan langsung kepada saya, ataupun melalui rumor-rumor yang berkembang di masyarakat. Dan berbagai rumor itu pada intinya berkisar mulai dari kasus hukum, kemudian selentingan tentang kenakalan laki-laki, perilaku yang (katanya) dituduh syirik, karena kang Dedi Mulyadi, ia terlalu mengagung-agungkan budaya Sunda dan terkesan juga sangatvjauh dari perspektif syari’at agama dan lain sebagainya. Bahkan, sampai urusan rumah tangga yang dijastifikasi gagal”, tutur Prof. Osatar Sinagan.
Namun sebagai manusia, Prof Osatar Sinaga juga menilai bahwa apa yang dituduhkan negatif kepada kang Dedi Mulyadi itu, memang sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Namun apa yang dituduhkan kepada ke Kang Dedi Mulyadi, sesungguhnya sebagai perilaku yang tidak merugikan banyak orang dan itu sifatnya sangat urusan pribadi. “Orang Indonesia dan termasuk orang suku Sunda memang sangat pemaaf, sepanjang manfaatnya lebih besar bagi kepentingan masyarakat dan manfaatnya lebih kongkrit juga bagi kehidupan masyarakat. Bahkan ada pepatah Arab (hadist Nabi) yang mengatakan “Khoirunassi Anfauhum Linass”, tutur Prof. Osatar Sinaga kepada para awak media. Artinya, masih ada waktu bagi kang Dedi Mulyadi untuk menjadi sebaik-baik manusia dan sekaligus menjadi seorang pemimpin untuk menunjukan lebih banyak lagi manfaatnya untuk manusia lainnya (khususnya untuk warga masyarakat Jawa Barat). Dengan kata lain, sosok kang Dedi Mulyadi adalah fenomena, sementara fenomena tentunya membutuhkan sejumlah fakta untuk meyakinkannya. “Bahkan cara perilaku negatif yang dituduhkan kepada kang Dedi Mulyadi itu, yang nota bene kang KDM itu ingin dianggap raja, atau ingin dipanggil Raja dll, memang bukan sesuatu yang baru, karena sejak ia menjadi Bupati Purwakarta-pun tuduhan seperti itu sudah muncul. Tapi, kita sepakati saja sebagai jawaban bahwa fenomena tentang tuduhan ingin disebut sebagai raja itu sesuatu yang lumrah. Mengingat masih ada tuduhan lainnya yang lebih dahsyat lagi, yakni kang Dedi Mulyadi dituduh oleh oknum salah seorang ulama (Habib) dari Jakarta, yang mengatakan bahwa apa yang seringkali dilakukan oleh kang Dedi Mulyadi itu sudah dianggap musyrik dan lain sebagainya. Tapi kita harus yakini bahwa fenomena kang Dedi Mulyadi, malah meyakinkan kepada kita bahwa di setiap daerah memang ada kearifan lokal yang fungsinya untuk menghantarkan kekayaan budaya dan ibadah sekaligus”, tutur Prof. Osatar Sinaga. Bahkan hingga saat ini kita semakin ingat ketika Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) mengatakan, “Islam datang ke Indonesia bukan untuk mengubah budaya yang ada, bukan untuk mengganti kata sampeyan menjadi antum, bukan sarung menjadi jubah, atau saya menjadi ana”. Dan ternyata ucapan Gus Dur waktu masih hidup itu, akhirnya menjadi falsifikasi atas tuduhan musyrik itu”, tutur Prof. Ostar Sinaga. Bahkan saya sebagai orang Sunda hidup di Sunda, menggunakan tatar Sunda, mengingat orang tua saya juga bagian dari suku Sunda. Saya hanya menyarankan agar kita menjaga Bapak kita, yakni kang Dedi Mulyadi untuk kita sama-sama berikan suport sepenuhnya agar menjadi pemimpin (Gubernur Jawa Barat) yang berhasil. “Bapak kita jangan sampai kacaletot dan jatuh tersungkur”. Lebih dari itu, sebagai orang Indonesia, kita juga harus mendorong Bapak kita (kang Dedi Mulyadi), karena kita memang sama-sama membutuhkannya, yakni sebagai pemimpin yang punya karakter. Bahkan Indonesia masa depan juga membutuhkan tipologi gaya kepemimpinan seperti kang Dedi Mulyadi” tutur Prof. Osatar Sinaga.
Bahkan, Prof. Osatar Sinaga menganalisa, jika hari ini dilakukan sensus, maka hampir dipastikan bahwa rakyat Indonesia memang membutuhkan gaya dan karakteristik kepemimpinan seperti tipologi kang Dedi Mulyadi, yakni yang penuh inisiatif, gercep alias gerak cepat, problem solving, dan membela kepentingan rakyat. “Dalam sebuah kesempatan di satu mobil bersama dengan Presiden Prabowo, kang Dedi Mulyadi mencatat kalimat sakti dari Presiden. “Saya hanya akan menjadi Presiden satu periode saja, selanjutnya Pak Dedi Mulyadi yang meneruskan”. “Kalimat itu logis karena Pak Prabowo sudah cukup tua. Pa Prabowo juga besarkemungkinan setelah purna bakti, sangat logis manakala ia juga kita berikan waktu untuk menikmati hidup, menjaga kesehatan, healing dan lain sebagainya, dan itu harus disiapkan sejak dini. Meskipun ada kebiasaan kita, bahwa seorang Presiden yang sukses itu selalu dua periode, kalaupun tidak orangnya, ia minimal orang partainya lah,” tutur Prof. Osatar Sinaga. Sementara partai pak Prabowo adalah partai Gerindra, dan partai kang Dedi Mulyadi juga partai Gerindra. Oleh karena itu, makin logis dan pantas manakala menjadi fenomena bahwa rakyat Indonesia membutuhkan karakter leadership kang Dedi Mulyadi. Apalagi kalau berharap agar tugas berat Presiden Prabowo yang belum selesai akan dikhatamkan (dilanjutkan) oleh kang Dedi Mulyadi.
Terakhir dan terpenting, mari kita doakan kang Dedi Mulyadi, agar semua weakness yang dilontarkan oleh oknum orang-orang yang tidak senang kepada kang Dedi Mulyadi, akhirnya bisa berubah menjadi kebaikan. Kalau-pun kita tidak berhasil mengubahnya, semoga Allah yang maha kuasa yang bisa mengubahnya, terutama perubahan yang lebih positif bagi kang Dedi Mulyadi sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin, yakni menjadi pemimpin yang jauh lebih baik”, tutur Prof. Osatar Sinaga. Bahkan, “perlu diingat oleh kita semua : bahwa orang-orang yang tidak suka kepada kang Dedi Mulyadi itu memang tidak membutuhkan penjelasan apapun tentang kebaikan, karena mereka pasti akan tetap mencari-cari cela dan celah untuk menempatkan kebaikan yang dilakukan oleh kang Dedi Mulyadi itu sebagai keburukan. Sedangkan sebaliknya, bahwa orang-orang yang menyukai kang Dedi Mulyadi memang tidak membutuhkan penjelasan tentang keburukan apapun. Namun percayalah, bahwa langit ia tidak perlu mengatakan bahwa “saya tinggi”, karena langit memang dikenal sangat tinggi. Dan laut tidak perlu ia mengatakan bahwa “saya dalam” karena semua manusia tahu bahwa aliran laut itu memang dalam. Karena itu, kang Dedi Mulyadi harus terus mengukir prestasi produk kebijakan yang bernilai tinggi di hati rakyat yang dalam, terutama di hati rakyat dan masyarakat Jawa Barat. Agar semua orang percaya bahwa kang Dedi Mulyadi memang bernilai tinggi seperti langit dan melekat di hati rakyat yang paling dalam” tegas Prof Osatas Sinaga yang juga Jurnalis senior itu.
Untuk itu, bagi kang Dedi Mulyadi, saat ini waktunya masih cukup banya untuk melakukan wirid sosial dan sekaligus juga masih bisa mengubah takdir kepemimpinannya bagi warga masyarakat Jawa Barat untuk jauh lebih baik. Bukankah takdir tidak dapat berubah kecuali oleh kekuatan do’a dan ikhtiyar manusia itu sendiri. Sementara paradigma hanya bisa diubah oleh fenomena. “Mengingat paradigma lama Presiden Indonesia harus selalu suku Jawa dengan pertimbangan jumlah penduduk terbanyak. Meskipun paradigma itu tidak diakui secara teoritik, namun kenyataannya kerapkali membuktikan bahwa paradigma itu bisa diubah dengan fenomena kang Dedi Mulyadi, dan sekaligus juga menjadi harapan bagi suku-suku lainnya di Nusantara ini. Tegas Prof. Obsatar Sinaga.
III. Urgensitas Dan Pengertian Kebudayaan (Ciri, Fungsi, Jenis Dan Unsur Kebudayaan)
A. Pengertian Kebudayaan
Sebagaimana telah dideskripsikan di sub judul bagaian atas, yakni tentang fenomena yang menonjol dari sosok kang Dedi Mulyadi, yakni soal reaktualisasi gaya kepemimpinannya yang tekesan akan menonjolkan perspektif kebudayaan Sunda, dan akhirnya saat ini muncul pula fenomena sebutan “Bapak Aing”. Lalu muncul pertanyaan, apa pengertian dari kebudayaan itu sendiri? Apakah kita pernah mendengar istilah kebudayaan itu? Tentu saja sering bukan? Apalagi sebagai warga negara Indonesia yang terkenal karena memiliki kebudayaan yang demikian beragam, yakni dari Sabang sampai Merauke. Bahkan secara umum, budaya atau kebudayaan merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh kita bersama selaku bangsa dan negara dan termasuk warga masyarakat Jawa Barat, yang nota bene saat ini dinahkodai oleh kang Dedi Mulyadi selaku Gubernur Jawa Barat. Sementara budaya dan kebudayaan kerapkali diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Contohnya seperti adat ‘ngunduh mantu’ yang ada di Jawa dan termasuk yang ada di Jawa Barat yang akan dilaksanakan ketika seseorang menikah, yang kerapkali dilakukan tradisi palang pintu yang biasanya aikoniknya muncul sosok “Ki Lengser dan Si Ambu”. Lalu, apa saja unsur dari kebudayaan itu dan apakah kebudayaan itu memiliki jenis yang berbeda? Oleh karena itu, pada pokok bahasan di sub judul bagia ini, kita akan membahas secara detail mengenai pengertian, jenis serta unsur-unsur kebudayaan itu sendiri.
Secara etimologi (bahasa), kata “culture” atau budaya berasal dari bahasa latin yaitu “colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan. Sementara kata “culture” itu sendiri dalam bahasa inggris dapat diartikan sebagai “kultur”, sementara dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “kebudayaan”. Bahkan para ahli (para sosiolog) akhirnya mereka turut mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian kebudayaan. Berikut ini pendapat para ahli mengenai pengertian kebudayaan.
- E.B Taylor.
Menurut Taylor, bahwa kebudayaan merupakan hal kompleks yang mencakup beberapa hal di dalamnya seperti kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat istiadat serta kemampuan yang dapat diperoleh manusia sebagai bagian dari kelompok masyarakat tersebut. - Selo Seomardjan Dan Soelaeman Somardi.
Menurut Selo Seomardjan dan Soelaeman, bagwa kebudayaan merupakan seluruh hasil karya, rasa, serta cipta dari masyarakat (manusia). - Ki Hajar Dewantara.
Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara adalah buah budi dari manusia yang muncul karena adanya hasil alam serta kodrat masyarakat. Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara juga bentuk dari kejayaan dari masyarakat yang mampu mengatasi kesulitan-kesulitan serta menjadi awal dari munculnya tata tertib di masyarakat. - Koentjaraningrat.
Kebudayaan merupakan keseluruhan dari perilaku makhluk seperti manusia serta hasil yang dapat diperoleh makhluk tersebut melalui berbagai macam proses belajar serta tersusun dengan sistematis dalam kehidupan bermasyarakat. - Parsudi Suparlan.
Kebudayaan didefinisikan sebagai pengetahuan manusia sebagai ciri makhluk sosial yang dapat digunakan untuk dapat memahami dan menginterpretasikan berbagai hal di lingkungan, sehingga menciptakan sebuah pengalaman. Lebih dari itu menurut Parsudi Suparlan, kebudayaan juga merupakan sebuah landasan serta acuan seseorang dalam bertingkah laku. - Harjoso.
Harjoso mendefinisikan kebudayaan dalam tujuh poin penting, diantaranya sebagai berikut : (1). Kebudayaan yang dimiliki oleh setiap daerah memang berbeda dengan daerah lainnya. (2). Kebudayaan telah hadir sejak dahulu kala, serta dipertahankan dengan cara terus diajarkan secara turun temurun kepada generasi berikutnya. (3). Kebudayaan memiliki beberapa komponen di dalamnya yang terdiri dari sosiologis, biologis serta psikologis keberadaan manusia di berbagai daerah. (4). Kebudayaan dapat disebut sebagai kebudayaan melalui cara serta ketentuan tertentu. (5). Kebudayaan memiliki beberapa aspek biologis di dalamnya. (6). Kebudayaan bersifat dinamis.
Selain bersifat dinamis, kebudayaan juga bersifat relatif serta berbeda-beda dari masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Itulah pengertian kebudayaan dari keenam para ahli sebagaimana telah dikemukakan diatas. Maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan perilaku yang dimiliki oleh manusia sebagai ciri sebagai makhluk sosial yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam bertingkah laku.
B. Ciri-Ciri Kebudayaan
Kebudayaan dapat dikenali melalui ciri-cirinya sebagai berikut. Budaya yang hadir di masyarakat akan dipelajari oleh generasi selanjutnya. Budaya dapat disampaikan oleh setiap individu pada individu maupun kelompok lainnya, serta diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Budaya memiliki sifat yang dinamis, artinya budaya dapat berubah sepanjang waktu. Budaya memiliki sifat selektif yang dapat mencerminkan pola perilaku serta pengalaman manusia secara terbatas. Walaupun kebudayaan setiap daerah pada kenyataannya berbeda-beda, namun budaya juga memiliki unsur yang saling berkaitan. Masyarakat yang memiliki kebudayaan superior, ia akan beranggapan sangat “etnosentrik” atau menganggap bahwa budayanya atau kebudayaannya-lah sebagai budaya yang terbaik (superior) dan kemudian menilai bahwa budaya masyarakat lainnya hanyalah budaya standar.
Lebih dari itu, budaya juga memiliki unsur kepercayaan di dalamnya dan sekaligus dipercayai oleh anggota masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut. Dalam konteks kebudayaan, memang ada bahasa serta ciri khas tertentu dari setiap daerah yang memiliki budaya tersebut. Budaya merupakan produk yang diciptakan oleh manusia atau sekelompok manusia. Budaya meliputi obyek materi yang diwujudkan melalui teknologi, serta meliputi sikap, nilai dan pengetahuan.
C. Fungsi Kebudayaan
Kebudayaan memiliki beberapa fungsi yang hadir dan dapat dirasakan oleh masyarakat. Sedangkan fungsi utama dari kebudayaan sendiri adalah untuk mempelajari warisan dari nenek moyang, kemudian generasi selanjutnya perlu meninjau, apakah warisan tersebut perlu diperbaharui atau tetap dilanjutkan dan apabila ditinggalkan maka kebudayaan tersebut dapat rusak. Budaya maupun unsur-unsur yang ada di dalamnya memang terikat oleh waktu serta bukan menjadi kuantitas yang bersifat statis. Budaya pun akan tetap berubah baik secara lambat maupun cepat.
Berikut ini adalah beberapa fungsi dari kebudayaan diantaranya : (1). Kebudayaan dapat meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat yang memiliki budaya tersebut. (2). Kebudayaan dapat menimbulkan rasa toleransi serta rasa empati dari masyarakat. Sementara komunitas masyarakat yang memiliki budaya atau kebudayaan tersebut, ia akan menghargai satu sama lain. Bahkan, kebudayaan dapat dijadikan sebagai sebuah sarana untuk menjalin sosialisasi dan inrernalisasi nilai-nilai. Lebih dari itu, kebudayaan juga berfungsi wahana literasi budaya dan sekaligus sebagai kancah media belajar. Kebudayaan berfungsi sebagai penentu batas, artinya kebudayaan dapat menciptakan perbedaan yang membuat setiap kelompok masyarakat menjadi unik dan kemudian membedakannya dengan kelompok masyarakat lainnya. Kebudayaan berfungsi untuk memberikan rasa identitas pada anggota kelompoknya. Budaya juga berfungsi untuk memfasilitasi lahirnya komitmen pada suatu hal yang lebih besar dari kepentingan individu maupun anggota kelompok masyarakat tersebut. Kebudayaan juga berfungsi untuk dapat meningkatkan kemantapan pada sistem sosial di masyarakat. Kebudayaan bertindak sebagai sebuah mekanisme, sebagai pembuat makna, maupun sebagai kendali yang dapat menuntun dan membentuk sikap dan perilaku individu yang positif.
D. Unsur-Unsur Kebudayaan
Kebudayaan memiliki unsur yang membentuk budaya tersebut, yakni mulai dari unsur bahasa, religi, peralatan hidup, pengetahuan, kemasyarakatan, teknologi, kesenian serta mata pencaharian. Berikut ini proses penjelasan lebih lanjutnya mengenai unsur kebudayaan.
- Unsur Kebudayaan Sistem Religi.
Unsur kebudayaan yang pertama adalah sistem religi atau kepercayaan. Sistem religi ini menyangkut dan berkaitan dengan keyakinan seorang individu. Unsur kebudayaan, sistem religi ini dianggap sebagai salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting dalam konteks kehidupan bermasyarakat.
Sistem religi juga berfungsi untuk mengatur kehidupan antara manusia serta penciptanya. Kebudayaan dapat hadir di masyarakat, karena adanya unsur sistem religi atau kepercayaan yang berbeda-beda di setiap daerah. Contohnya, masyarakat Bali, mereka memiliki kepercayaan untuk mengadakan pemakaman pada orang yang telah meninggal dengan cara dikremasi (dibakar). Kepercayaan tersebut kemudian membentuk sebuah budaya yaitu “ngaben” yang hadir di Bali. - Unsur Kebudayaan Sistem Bahasa.
Bahasa merupakan alat yang diciptakan oleh manusia, agar mempermudah setiap individu untuk berinteraksi. Sistem bahasa juga merupakan unsur yang dapat membentuk kebudayaan tersebut. Menurut Koentjaraningrat, bahwa sistem bahasa merupakan perlambangan dari manusia yang digunakan untuk komunikasi secara lisan maupun tulisan. Lebih dari itu, sistem bahasa sebagai unsur kebudayaan dapat dilihat melalui pengetahuan bahasa yang digunakan oleh setiap kelompok masyarakat berbeda-beda dan memiliki variasi serta keunikannya masing-masing. - Unsur Kebudayaan Sistem Pengetahuan.
Kebudayaan dapat muncul, karena adanya ilmu pengetahuan yang berfungsi sebagai gagasan maupun ide dari setiap pencetus kebudayaan tersebut. Sistem pengetahuan dalam kebudayaan secara universal juga berkaitan dengan sistem peralatan hidup serta teknologi. Hal itu dikarenakan sistem pengetahuan memiliki sifat yang abstrak dan berwujud dalam ide di setiap manusia. - Unsur Kebudayaan Sistem Ekonomi.
Unsur ekonomi dapat membentuk kebudayaan melalui sistem ekonomi, masyarakat menjadi gotong-royong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Sedangkan mata pencaharian serta sistem ekonomi juga menjadi fokus kajian yang penting dalam etnografi. - Unsur Kebudayaan Kesenian.
Kebudayaan serta unsur kesenian memang saling terikat satu sama lain. Karena kesenian yang dibuat oleh masyarakat dapat membentuk suatu kebudayaan di lingkungan masyarakat tersebut. Contohnya seperti seni tari (dan termasuk tari Jaipong yang ada di Jawa Barat), dan bahkan ada juga tari yang sangat sakralistik di negeri ini, karena tarian tersebut memang memiliki makna khusus dan hanya ditampilkan (ditarikan) dalam ritual maupun upacara tertentu saja. - Unsur Kebudayaan Sistem
Teknologi Atau Peralatan Hidup.
Unsur teknologi dapat berperan penting dalam pembentukan suatu budaya di daerah tertentu, hal itu dapat dilihat melalui usaha antropolog untuk memahami kebudayaan manusia melalui unsur teknologi yang dipakai oleh suatu kelompok masyarakat. Unsur teknologi yang dimaksud merupakan benda yang dapat dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk serta kegunaannya yang sederhana. Unsur teknologi yang hadir dalam kebudayaan ini, yaitu menyangkut fisik dari kebudayaan itu sendiri. - Unsur Kebudayaan Sistem Kekerabatan Dan Organisasi Sosial.
Kebudayaan terbentuk melalui berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat, setiap kehidupan dalam kelompok masyarakat memang diatur oleh adat istiadat serta aturan-aturan yang telah disetujui oleh anggota masyarakat itu sendiri. Sementara kesatuan sosial yang dekat serta dasar dari seorang individu adalah kerabatnya, yaitu keluarga inti dari individu tersebut serta kerabat-kerabat lainnya. - Unsur Kebudayaan Sistem Kemasyarakatan.
Sistem kemasyarakatan dalam unsur kebudayaan adalah sekelompok masyarakat yang anggotanya merasa menjadi satu dengan sesamanya. Sistem kemasyarakatan ini pula menjadi salah satu unsur pewarisan budaya yang penting dalam struktur sosial. Sistem kemasyarakatan juga berperan penting untuk menghitung garis keturunan dari hubungan pernikahan serta hubungan darah seorang individu. - Jenis-Jenis Kebudayaan.
Kebudayaan terbagi dalam beberapa jenis sesuai dengan sifatnya, wujudnya, dan lingkup persebarannya. Berikut penjelasan mengenai jenis-jenis kebudayaan.
D. Jenis Kebudayaan Berdasarkan Sifatnya
- Kebudayaan Subjektif.
Kebudayaan subjektif merupakan faktor nilai, perasaan, idealisme yang apabila disimpulkan maka dapat disebut sebagai faktor batin yang ada pada kebudayaan tersebut. - Kebudayaan Objektif.
Kebudayaan objektif merupakan faktor lahiriah yang hadir dari sebuah kebudayaan dan berupa teknik, lembaga sosial, pengajaran, seni suara, seni rupa, seni sastra hingga upacara yang menggunakan budi bahasa.
E. Jenis Kebudayaan Berdasarkan Wujudnya
- Kebudayaan Material.
Kebudayaan material ini mengacu kepada seluruh ciptaan manusia yang nyata serta kongkrit. Di dalamnya termasuk temuan yang dihasilkan oleh penggalian arkeolog seperti senjata, perhiasan hingga mangkuk dari tanah liat, gerabah dan lain sebagainya. Kebudayaan material dalam konteks sekarang ini seperti mencakup barang-barang lain, yakni selain dari temuan arkeologi, seperti adanya pesawat terbang, pakaian, kendaraan roda dua dan roda empat, televisi, gedung pencakar langit, stadion olahraga, hingga wujud fisik dan benda teknologi tercanggih lainnya. - Kebudayaan Immaterial.
Jenis kebudayaan immaterial berupa ciptaan yang bersifat abstrak dan diwariskan oleh pendahulunya ke generasi selanjutnya. Contohnya seperti lagu, tarian tradisional, dongeng, hingga cerita rakyat.
F. Jenis Kebudayaan Berdasarkan Lingkup Persebarannya
- Kebudayaan Daerah.
Kebudayaan dapat berupa cara berperilaku, pola pikiran hingga cara bertindak dari anggota kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut. Kebudayaan daerah dan termasuk daerah Jawa Barat (komunitas masyarakat Pasundan) dapat dibatasi oleh wilayah administratif daerah tersebut atau demografinya. Wilayah demografis itu menjadi batasan budaya lokal, namun seiring dengan perkembangan zaman, maka batasan wilayah kebudayaan daerah juga menjadi tidak terbatas akibat dari persebaran penduduk yang tidak merata. - Kebudayaan Lokal.
Kebudayaan lokal bergantung pada aspek ruang. Hal itu dapat dilihat melalui ruang pada perkotaan yang hadir sebagai budaya lokal perkotaan tersebut, atau daerah tertentu pada bagian perkotaan yang terpengaruh oleh budaya yang dibawa oleh pendatang. Pada kebudayaan lokal, ada pula kebudayaan dominan yang berkembang yaitu budaya lokal asli pada kota atau daerah tersebut. Sementara Koentjaraningrat berpendapat bahwa budaya lokal berkaitan dengan golongan manusia yang terikat oleh kesadaran serta identitasnya akan kesatuan kebudayaan asli di tempatnya (termasuk kebudayaan lokal di Jawa Barat, yang hingga saat ini menjadi spirit dari kang Dedi Mulyadi, untuk terus mengangkat nilai-nilai (superioritas) budaya Sunda dengan embriotik adi luhung Eyang Prabusiliwanginya). Lebih dari itu, bahwa yang disebut sebagai kebudayaan lokal adalah bahasa sebagai ciri khasnya dan termasuk bahasa Sunda yang berada di tataran Pasundan (Provinsi Jawa Barat). - Kebudayaan Nasional.
Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan dari akulturasi dan akumulasi dari budaya yang hadir di daerah-daerah. Namun ada berbagai macam wujud kebudayaan nasional dan dapat dilihat secara umum apabila diperhatikan dengan cermat, maka dapat diketahui bahwa terdapat persebaran besar yang terjadi antar kebudayaan di satu daerah dengan daerah lainnya. Namun, keragaman budaya tersebut yang menjadikan suatu bangsa kita (Indonesia) memang memiliki jati dirinya. Bahkan, pada kebudayaan nasional terdapat beberapa persebaran. Berikut penjelasannya. Misalnya keberadaan “Rumah Adat”. Rumah adat merupakan rumah yang memiliki ciri khas dan umumnya terdapat di masing-masing daerah di selurub pelosok negeri ini. Bahkan, di detiap daerah memiliki rumah adat dengan ciri khas yang berbeda-beda dan pemaknaan yang berbeda pula. Kemudian adanya “Upacara Adat”. Hal itu merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun dengan teratur serta tertib dan sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat. Berupa rangkaian aktivitas sebagai wujud ungkapan terimakasih atas suatu hal, sesuai dengan sistem kepercayaan masyarakat.
Bahkan, upacara adat memiliki nilai yang universal, suci, bernilai sakral religius dan dilakukan secara turun temurun. Kemudian adanya “Tarian Tradisional”. Di setiap daerah di negeri ini, memang memiliki tarian adat yang berbeda dan akan ditarikan dalam upacara atau peringatan khusus saja. Contohnya tarian sebagai persebaran kebudayaan nasional adalah tarian ranup lampuan di Aceh. Kemudian adanya “Lagu Daerah”. Indonesia memiliki banyak lagu daerah dalam bahasa daerahnya masing-masing. Setiap lagu daerah memiliki makna serta pesannya tersendiri. Selain itu, setiap bangsa juga memiliki lagu nasional yang berfungsi untuk meningkatkan persatuan negaranya masing-masing. Kemudian adanya “Musiik Tradisional”. Musik-musik tradisional umumnya berupa instrumen menggunakan alat musik khusus di daerah masing-masing. Contohnya seperti angklung di Jawa Barat atau gamelan di Jawa Tengah. Kemudian adanya “Pakaian Adat”. Sama halnya dengan persebaran budaya nasional lainnya. Keberadaan pakaian adat juga memiliki ciri khas pada daerah masing-masing dan hanya dikenakan dalam upacara khusus. Pakaian adat juga dipengaruhi oleh faktor agama di daerah masing-masing. Contohnya seperti kebaya di Jawa, ulos di Sumatera Utara, ulee balang di Aceh, kain cual di Bangka Belitung dan lain sebagainya.
IV. Konsep Kebudayaan Menurut Pandangan Islam
Sebagaimana telah dibahas begitu panjang lebar di bagian atas, yakni soal dinamika kebudayaan, baik kebudayaan lokal maupun nasional. Oleh karena itu, pada sub judul bagian ini, penulis mencoba untuk melihat dinamika kebudayaan itu dalam perspektif pandangan Islam. Namun penjelasan secara umum, bahwa kebudayaan itu sendiri ditinjau dari sudut etimologis (bahasa) terutama bahasa Arab, bahwa kata kebudayaan berasal dari kata “Tsaqafah”. Sedangkan kata “Tsaqafah” atau kebudayaan itu sendiri asal-usulnya dari bahasa latin, yaitu “colere” yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah dan bertani. Dari sini berkembang segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Sementara menurut Koentjaraningrat (ia juga mengutip pendapat dari Claude Kluckhohn). Bahwa, kata budaya berasal dari akar kata budhi (bahasa sansekerta) yang artinya berakal. Akar kata budhi merupakan kata tunggal, sedangkan kata jamaknya adalah budhaya. Dengan kata lain, bahwa arti kata budaya dan kebudayaan itu sendiri adalah hasil pemikiran atau akal manusia. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan. Sedangkan daya adalah perbuatan atau ikhtiar atau usaha manusia sebagai unsur jasmani. Sehingga, kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia.
Sedangkan menurut Sanstrock, bahwa budaya didefinisikan sebagai tingkah laku, pola-pola, keyakinan dan semua produk dari kelompok manusia tertentu yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sedangkan produk yang dimaksud adalah hasil interaksi antar kelompok manusia dengan lingkungan sekitar, yakni setelah sekian lama. Dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan “kumpulan pola-pola kehidupan” yang dipelajari oleh sekelompok manusia tertentu dari generasi generasi sebelumnya dan akan diteruskan oleh generasi yang akan datang. Sementara menurut sosiolog lainnya (Samovar dan kawan-kawan), mereka menyimpulkan bahwa kebudayaan terkait langsung dengan suatu teladan bagi kehidupan, dan kebudayaan mengkondisikan manusia secara sadar menuju cara-cara khusus untuk berperilaku dan berkomunikasi.
Sedangkan konsep kebudayaan menurut pandangan Islam, hal itu sebagaimana dikemukakan oleh pemikir (para intelektual muslim) pada dasarnya mereka sepakat untuk membedakan “agama” sebagai wahyu Allah SWT. dan “kebudayaan” sebagai hasil karya manusia. Namun secara substantif, keduanya memiliki hubungan yang erat dan tidak bisa terpisahkan. Oleh karena itu, kebudayaan manusia tentunya wajib berasaskan dan dibentuk oleh ajaran agama (Ad-din). Bukan kebalikannya, karena agama mengarahkan ke arah yang tepat dalam konteks budaya dan berkebudayaan atau berprilaku berperadaban. Sedangkan eksistensi peradaban Islam yang berkelanjutan itu bukan hanya memaparkan kegemilangannya, namun juga menampilkan bahwa peradaban Islam mampu mengikuti dinamika dan perkembangan zaman. Bahkan, peradaban Islam yang awalnya berasal dari Semenanjung Arab, realitanya hingga saat ini telah menyebar ke seluruh seantero dunia dengan berbagai proses adaptasinya yang menarik. Kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang mencakup wilayah etnik dan bangsa.
Sedangkan ciri lain kebudayaan Islam adalah menyeimbangkan antara kebutuhan dunia (materi) dan akhirat (ukhrawi) Selain itu, ciri lain dari kebudayaan Islam adalah meletakkan pada tiga hal sebagai dasarnya, yaitu : Akidah, Akhlak, dan Ilmu sifatnya yang universal, terbuka, mampu melewati semua zaman, toleransi, serta integrasi dalam berbagai perbedaan yang alami. Menurut para pakar kebudayaan, bahwa ciri-ciri sebuah kebudayaan (peradaban) adalah: penyebaran teknik pertanian, pengairan yang sistematik, peternakan, pengkhususan kerja, urbanisasi, terbentuknya negara, munculnya kelas sosial, munculnya dinamika literasi (karya tulis ilmiah) dan proses pendalam ilmu dan betapa pentingnya riset dan saintifik, berkembangnya perdagangan, dan revolusi penciptaan. Sehingga konsep kebudayaan menurut Islam adalah segenap pemikiran maupun tidakan/tingkah laku, pola-pola, keyakinan dan semua produk yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sementara kebudayaan umat muslim tentunya wajib berdasarkan antara kebutuhan duniawi (materi) dan akhirat (ukhrawi) serta bersumberkan pada Al-qur’an dan Hadist. Dengan tata cara seperti meletakkan Akidah, Akhlak dan Ilmu pengetahuan sebagai dasar yang sifatnya terbuka (inklusif), toleran, universal dan mampu mengikuti logika zaman yang terjadi.