Oleh : Adung Haris

I. Pendahuluan

“Menulis bukan untuk mengubah dunia, tapi untuk mengubah diri kita sendiri”, demikian ungkapan dari Michel Foucault. Pernyataan seperti itu kerapkali datang diam-diam ke relung batin penulis. Yakni, seperti desir angin yang menampar pelan dibalik sunyinya malam : mengapa saya harus tetap menulis? Untuk siapa? Apa gunanya? Akui saja, bahwa setiap penulis pasti pernah sampai pada titik nadir seprti itu. Yaitu, suatu titik jenuh, titik ragu, titik rapuh dan titik ketika jari-jemari kita sudah tidak mau lagi menari diatas papan ketik karena merasa tak satu pun huruf yang berguna dan sekaligus bermakna.

Penulis betul-betul pernah sampai ke titik nadir seperti itu. Bahkan, di tahun yang lalu, penulis terkesan puasa menulis bukan karena tidak ada ide, bukan pula karena kehilangan waktu, tapi karena rasa kecewa yang diam-diam terus menyelinap. Bahkan, berbagai tulisan dan termasuk beberapa naskah buku (sejarah lokal) yang pernah penulis tuangkan dan bahkan hampir masuk ke pra-cetak, hal itu dengan harapan akan segera terterbitkan dan sekaligus akan mampu menggugah, menggerakkan, bahkan sekadar membuka mata hati para pembaca, namun akhirnya sia-sia. Karena, disamping terkendala oleh berbagai hal yang bersifat praktis pragmatis (ketiadaan biaya cetak), juga disebabkan oleh ketidak-jelasan sang pemesan naskah buku itu yang semakin tidak jelas juntrungnya.

Namun, dalam keheningan jeda itu, ternyata tetap masih ada ruang kosong yang perlahan tapi pasti yang terasa menggigit dan menggelitik. Yakni, ada suatu kegelisahan yang tak bisa dilampiaskan. Bahkan, saat kegelisahan itu terus menyelimuti, seolah-olah penulis semakin kehilangan jati diri penulis sendiri. Tapi, ketika mulai menulis kembali, akhirnya penulis sadar bahwa menulis itu bukan hanya untuk orang lain, tapi menulis adalah cara berdamai dengan diri sendiri. Bahkan, bagi sebagian orang, menulis mungkin adalah profesi. Tapi bagi penulis sendiri bahwa menulis itu disamping sebagao profesi juga sebagai bagian dari terapi. Hal itu sebagaimana telah diungkapkan oleh sang filsuf asal Prancis, Michel Foucault, bahwa menulis adalah cara manusia untuk menciptakan subjektivitasnya sendiri, yakni untuk membentuk dirinya melalui narasi yang ia pilih dan ia bangun sendiri. Dengan kata lain, menulis adalah cara kita untuk terus berdialog dengan jiwa kita sendiri. Yaitu, sebuah proses eksistensial yang jauh dari sekadar produktivitas. Saat penulis pernah jeda untuk menulis, bukan dunia yang kehilangan, tapi penulis sendiri memang merasa kehilangan jati diri dan teraborsi saluran untuk melampiaskan idealisme, unek-unek, keresahan, ekspresi diri, bahkan rasa keprihatinan. Lebih dari itu, secara substantif, menulis menjadi jendela untuk melihat ke dalam dan sekaligus juga sebagai pintu untuk membuka hubungan dengan sesama (orang lain).

II. Menulis, Mengurai Rasa Dan Menguatkan Jiwa

Dalam kehidupan yang semakin cepat dan penuh tekanan saat ini, maka kita seringkali lupa untuk mendengarkan diri kita sendiri, karena terlalu disibukkan dengan tenggat, sibuk membahagiakan orang lain, sibuk memenuhi ekspektasi, hingga lupa untuk berhenti sejenak dan bertanya: “Apa kabar diriku hari ini?” Di tengah dunia yang bergerak cepat saat ini, menulis adalah jeda. Yaitu, suatu ruang kecil tempat kita bernapas. Menulis bukan saja untuk dibaca orang lain, tapi menulis untuk diri sendiri (menulis di buku harian). Sebuah tindakan sadar untuk mengurai kekusutan pikiran dan meringankan beban di dalam dada, yakni saat persoalan hidup yang kian terus mendera. Salah satu contoh paling menyentuh tentang kekuatan menulis datang dari sosok yang kita semua kenal: Presiden ketiga Indonesia, B.J. Habibie misalnya. Setelah kepergian Ibu Ainun, cinta sejatinya, Habibie tidak memilih untuk mengurung diri atau tenggelam dalam kesedihan. Ia malah memilih untuk menulis. Lewat tulisan, ia menyampaikan rindu, menyusun kembali kenangan, dan perlahan menyembuhkan dirinya sendiri. Ia menyebut proses itu sebagai bagian dari “healing”. Dan dari tulisan tersebut, lahirlah buku berjudul “Habibie Dan Ainun” yang tidak hanya menyembuhkan dirinya, tapi juga menyentuh hati jutaan orang.

Kemudian James W. Pennebaker, profesor psikologi dari “University of Texas at Austin” misalnya, ia melalui risetnya sejak tahun 1986, telah menemukan “expressive writing”, yakni menulis dengan pikiran dan perasaan terdalam, yaitu terkait peristiwa emosional, hal itu dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, menurunkan tekanan darah, serta memperbaiki suasana hati dan kesejahteraan jiwa kita. Bahkan, dalam salah satu penelitiannya yang dimuat dalam “Journal of Consulting and Clinical Psychology” (terbit tahun 1986), bahwa para peserta yang menulis pengalaman emosional selama 15–20 menit selama empat hari berturut-turut, hal itu menunjukkan peningkatan signifikan dalam kesehatan fisik dan mental setelah beberapa minggu. Temuan serupa juga diungkap oleh Karen A. Baikie dan Kay Wilhelm dalam “review” ilmiahnya berjudul “Emotional and Physical Health Benefits of Expressive Writing”. Mereka menyimpulkan bahwa menulis secara ekspresif, hal itu mampu mengurangi gejala depresi, meningkatkan daya tahan tubuh, serta membantu seseorang untuk memahami dan merekonstruksi makna dari pengalaman hidupnya yang sulit. Maka aktivitas menulis dalam konteks ini, bukan sekadar menuangkan kata-kata, tapi suatu proses aktif untuk menata ulang ingatan dan emosi yang terasa semrawut dan terus menjejali di kepala kita.

Dengan kata lain, menulis dalam konteks ini, secara tidak langsung, kita sedang membangun narasi baru atas pengalaman lama. Dan kita-lah yang mengambil alih kendali atas cerita hidup kita sendiri. Dan dalam proses itu, perlahan tapi pasti, maka kita telah bisa menyembuhkan diri sendiri. Bayangkan komputer yang mulai lemot misalnya, yakni akibat terlalu banyak file dan aplikasi berjalan bersamaan, hal itu satu-satunya cara agar komputer itu kembali ringan dan responsif adalah dengan cara restart ulang. Nah, menulis bisa jadi tombol restart itu, yakni demi jernihnya pikiran dan perasaan kita. Ia membantu untuk menyaring mana yang penting, dan melepaskan beban yang tidak perlu kita pikul terus-menerus. Lebih dari itu, menulis juga sangat inklusif, alias tidak butuh biaya mahal atau fasilitas khusus. Hanya butuh niat serta keberanian untuk jujur. Bisa dengan kertas bekas, jurnal, atau bahkan aplikasi catatan di ponsel kita. Dan yang lebih penting : tidak ada yang akan menghakimi. Sedangkan menulis untuk diri sendiri adalah proses yang bersifat privat, personal, dan membebaskan.

Menariknya, menulis bukan hanya soal “curhat”. Dalam pendekatan “narative therapy”, seperti yang dikembangkan oleh Michael White dan David Epston, proses menulis dan menyusun cerita hidup pribadi akan membantu setiap kita untuk mendefinisikan ulang diri kita sendiri secara lebih positif. Kita belajar melihat diri kita bukan sebagai korban, tapi sebagai penyintas. Bukan sebagai orang yang “rusak”, tapi sebagai pribadi yang sedang tumbuh dan berproses. Dan semua itu bisa dimulai dari hal kecil. Yakni, dari satu paragraf, dari satu halaman, dan dari satu cerita. Tak perlu menjadi penulis berpengalaman dan terkenal. Yang dibutuhkan hanyalah suatu keberanian untuk mendengarkan suara hati kita sendiri, dan komitmen untuk merawat diri lewat tulisan. Maka jika kita merasa lelah, bingung, marah, sedih, atau bahkan terlalu bahagia sampai-sampai kita sulit untuk mengekspresikannya, maka cobalah duduk sebentar, ambil alat tulis, dan biarkan diri kita bercerita dan terus menulis. Sementara menulis bukan tentang menjadi hebat, karena menulis adalah tentang menjadi jujur. Jadi, mulailah menulis. Karena saat kita menulis, maka kita sedang menyelamatkan bagian-bagian diri kita yang mungkin selama ini terabaikan dan bahkan telah teraborsi oleh “ego sentris” diri kita sendiri.

III. Menulis Merupakan Pelepasan Kegelisahan Jiwa

Menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan. Kita bisa mengetahui apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan melalui tulisan. Sedangkan aktivitas menulis sudah pasti harus diawali dengan menemukan ide, kemudian pengendapan ide itu dengan mencari informasi yang belum dipahami atau lebih tepatnya melalui proses riset. Kemudian kita bisa memulai menulis sebagai pelampisan kejenuhan pada pikiran dan perasaan kita. Sementara tahap akhir dari menulis adalah “publishing”, yaitu tahap yang membahagiakan karena tulisan kita besarkemungkinan bisa dibaca orang. Sedangkan menulis hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan pribadi misalnya, hal itu merupakan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Karena, menulis tentang kehidupan pribadi, kerapkali dilakukan oleh para penulis novel, karena mereka menguasai objek yang mereka tulis. Namun, terkadang ada hal yang bersifat privacy dan mengharuskan seseorang untuk menulis. Karena menulis tidak hanya sebagai bentuk aktualisasi diri tetapi sebagai pelepasan emosi.

A. Pelepas Duka

Kehilangan orang yang dicintai merupakan pukulan teramat berat hingga membuat seseorang kerapkali terpuruk bahkan menmgalami depresi. Presiden RI ketiga, BJ. Habibie menulis buku ‘Ainun dan Habibie’ sebagai terapi atas kehilangan istri yang dicintainya, yakni ibu Hasri Ainun Habibie. Buku yang menceritakan suka dan duka yang beliau lalui bersama istri tercintanya itu akhirnya menjadi buming. Buku yang kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Kisah yang mengharu biru itu, akhirnya memberikan pelajaran pada setiap generasi muda saat ini, yakni akan arti sebuah ikatan suci.

B. Mengungkapkan Masa Lalu

Setiap orang mempunyai masa lalu. Namun, tidak semua orang mampu mempublikasikan masa lalunya itu. Andea Hirata, yakni sang lulusan dari Universitas Indonesia bidang ekonomi dan meraih predikat cumlaude untuk program master dari Universitas Sheffield Hallam di Inggris itu, ia menulis masa kecilnya dalam bentuk buku Novel berjudul “Laskar Pelangi”, yaitu ironi pendidikan dari anak-anak Belitung pulau timah yang kaya raya. Novel yang melahirkan trilogi “Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov : Semua isi buku novel tersebut merupakan rekam jejak kehidupan pribadi Andrea Hirata. Novel yang akhirnya bisa membuka mata hati setiap generasi muda saat ini, ternyata hidup di alam jagat raya ini memang penuh perjuangan dan harus diperjuangkan. Lebih dari itu, menulis bukan masalah bakat tetapi sebuah kebutuhan. “Saya menulis karena saya memang harus menulis untuk melepaskan segala hal yang memenuhi pikiran dan perasaan saya dalam bentuk fiksi maupun non fiksi”. Sementsra tekad seperti itu harus ada disetiap diri kita masing-masing (termasuk yang kebetulan sedang membaca artikel penulis saat ini). Sementara latar belakang penulis sedikit bisa menulis, memang diawali dari sebuah perkenalan penulis dengan sebuah media masa cetak (Tabloid LaJUR) dan sekaligus penulis pernah menahkodari (menjadi Redaksi Pelaksana atau Redpel) di media cetak tersebut, yang akhirnya membawa berkah tersendiri, karena hingga saat ini memang sudah ada beberapa buku sejarah lokal yang penulis garap dan akhirnya telah terterbitkan menjadi beberapa buku sejarah lokal. Bahkan, setiap orang berpotensi untuk menjadi penulis terkenal, dan dikenang oleh zaman.

C. Mencari Makna Dalam Setiap Kata

Kata-kata yang kita pilih adalah cermin dari cara kita berpikir dan merasakan. Penulis sendiri, kerapkali selalu berusaha untuk memilih kata-kata yang tidak hanya menggambarkan sesuatu secara literal, tetapi juga mengandung makna lebih. Menulis dengan makna adalah sebuah usaha untuk menyampaikan sesuatu yang lebih dari sekadar informasi, tetapi sebuah pesan yang bisa untuk menggugah pikiran dan hati pembacanya. Misalnya, dalam menulis tentang kehidupan, maka kita seringkali menggambarkan bagaimana perjalanan hidup ini kerapkali penuh tantangan dan perjuangan. Namun, jika kita melihat lebih dalam lagi, maka kita bisa menemukan bahwa setiap tantangan itu kerapkali juga mengandung pelajaran, dan bahkan setiap kesulitan pasti ada hikmahnya dan ada jalan keluarnya.

D. Menulis Untuk Berbicara Dengan Dunia

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa hasil tulisan penulis bukan hanya untuk diri penulis sendiri. Bahkan, setiap kata yang penulis ungkapkan memang punya tujuan untuk menghubungkan penulis dengan orang lain, yakni untuk berbagi pikiran, perasaan, dan perspektif yang bisa membuka cakrawala kita bersama. Bahkan, tidak jarang segmentasi penulis (sasaran utamanya) adalah bagi mereka yang sedang mencari pemahaman atau yang sedang merasa sepi, merasa tidak ada yang memahami, dan berusaha untuk memberikan afinitas bagi orang yang kehausan insfirasi itu. Sementara karakter penulis yang senang merenung, tapi sesekali suka meletup-letup idealistiknya, dan kerapkali juga tergelitik untuk menggali hal-hal di luar pandangan umum, akhirnya kerapkali membawa penulis untuk menulis tentang hal-hal yang jarang dibicarakan, seperti dinamika perasaan orang yang gagap dan gugup untuk bisa menulis, kemudian mencoba mengungkap soal “gigantisme” alias orang yang besar oleh penyakit psikologi. Dan bahkan penulis juga tak jarang untuk menulis yang bertemakan sejarah, filsafst maupun tulisan yang bersifat lintas tematik. Hal itu lagi-lagi tujuan utamanya, agar kita bisa memahami betapa pentingnya sisi psikologis dari suatu karakter maupun betapa pentingnya diskursus sejarah maupun filsafat. Bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menunjukkan bahwa ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik permukaan.

Namun hingga saat ini, banyak orang mengira bahwa menulis adalah urusan berat harus bagus, harus rapi, harus sesuai kaidah. Padahal, sebelum menjadi karya sastra atau tulisan ilmiah, menulis adalah peristiwa batin. Ia bukan sekadar aktivitas tangan dan otak, tapi juga perasaan dan jiwa. Karena, menulis yang paling jujur adalah menulis yang lahir dari hati. Ia mengalir seperti air, melepaskan tekanan dalam diri, dan membawa kelegaan atau kepuasan batin tersendiri setelahnya. Maka jangan dulu pikirkan “apakah tulisan saya layak dibaca orang?” tapi tanyakan, “apakah dengan saya menulis akhirnya perasaan saya lebih lega?”

E. Menulis Untuk Melepaskan, Bukan Menahan

Pernah-kah kita merasakan sesak napas karena terlalu banyak yang kita pikirkan? Ingin bicara, tapi tak tahu harus kepada siapa? Di sinilah tulisan berperan. Ia menjadi tempat paling aman untuk menumpahkan segalanya. Kertas tak akan menghakimi. Layar kosong tak akan tertawa. Ia hanya menunggu untuk ditulis dan diisi. Menulis adalah cara melepas bukan menahan. Semakin kita banyak menulis, maka semakin kita tahu bahwa kita tak harus menyimpan semuanya sendirian. Emosi yang tertumpuk bisa menjadi racun dan bom waktu jika dipendam terus menerus. Tapi saat dituangkan lewat kata-kata, hal itu sudah pasti perlahan-lahsn berubah menjadi obat. Bahkan, nenulis bisa menjadi “katarsis”, yakni menjadi semacam proses “penyucian emosi”.

F. Menulis Adalah Obat

Banyak penelitian membuktikan bahwa menulis bisa menyembuhkan luka batin. Psikolog menyebutnya “expressive writing”, karrna menulis bisa secara bebas untuk mengekspresikan tentang pikiran dan perasaan yang terdalam. Lebih dari itu, menulis juga untuk bisa melepaskan ledakan emosi, dan bukan untuk menahan (Ist). Bahkan, mereka yang rutin menulis jurnal pribadi misalnya, ternyata terbukti lebih tenang, lebih sehat mental, dan lebih stabil emosinya. Menulis bukan hanya tentang merangkai kalimat indah. Jika yang kita tulis itu adalah luapan kesedihan, amarah, atau ketakutan, hal itu juga tetap menyehatkan. Karena disetiap kata yang kita tulis, memang ada energi yang dilepaskan. Ada beban yang dikurangi, dan ada rasa yang dirawat.

Masalah utama yang membuat orang takut menulis adalah : takut jelek, padahal tulisan yang baik bukan berarti yang selalu berbunga-bunga, tapi yang jujur. Jika sedang marah, tulislah kemarahan kita. Jika sedang sedih, curahkan. Tak perlu kita sunting dulu perasaan kita, cukup tuangkan apa adanya. Menulis adalah ruang pribadi (terutama menulis di buku harian) dan itu bukan ajang pamer. Menulis bukan lomba, oleh karena itu tak perlu dinilai siapa pun. Justru saat kita berhenti berpura-pura dalam tulisan kita, justru disitulah tulisan kita mulai hidup.

Menulis juga bukan soal beban tugas. Jika kita menulis hanya karena kewajiban, maka kita akan lelah. Tapi jika kita menulis karena merasa dibebaskan olehnya, maka kita akan bahagia. Menulis dengan bahagia artinya menulis tanpa tekanan. Menulis karena ingin berbicara, bukan karena harus berbicara. Menulis seperti kita bercerita kepada sahabat apa adanya, tanpa topeng. Menulis dengan bahagia juga berarti kita menikmati prosesnya, bukan sekadar mengejar hasil. Kita menikmati detik-detik saat jari-jemari kita terus menari di atas keyboard, saat pikiran kita mengalir seperti sungai, saat hati kita terasa ringan karena telah menuliskan yang mengganjal.

IV. Menulis Itu Obat Kegelisahan

Ketika kegelisahan menyelimuti hati dan pikiran kita, maka kita seringkali terjebak dalam siklus rumination yang tak berujung. Perasaan cemas yang berlebihan, atau anxiety, hal itu dapat menguasai pikiran kita. Di tengah turmoil emosional itu, maka menulis dapat berfungsi sebagai catharsis yang efektif. Cobalah ungkapkan perasaan kita melalui tulisan. Tulislah kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan biarkan kegelisahan kita itu untuk terus menemukan jalan keluar melalui untaian kata. Aktivitas itu dikenal dengan “expressive writing”, dalam studi psikologi telah terbukti, hal itu dapat membantu mengurangi gejala depresi dan kecemasan. Menulis juga bukan hanya sekadar merangkai kata, namun bentuk terapi yang ampuh, atau dikenal sebagai “bibliotherapy”. Proses menulis memungkinkan kita merangkum perasaan dan pikiran, menyusun kembali fragmen-fragmen pengalaman hidup menjadi narasi yang penuh makna. Tulisan yang dihasilkan bisa menjadi alat refleksi, atau “self-reflection tool”, untuk mengevaluasi kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Disini, kita dapat mencari insight dan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Seperti halnya para ulama terdahulu, termasuk Syaikh Nawawi Al-Bantani, yang meninggalkan karya kurang lebih 110 judul karangan kitab kuning, yang hingga saat terus menjadi referensi umat Islam sedunia dan sekaligus bermanfaat bagi generasi dulu dan saat ini. Kita pun dapat mengikuti jejak langkah mereka, dengan meninggalkan warisan tulisan yang bernilai dan tulisan yang inspiratif. Ini bisa menjadi legasi yang berharga bagi keluarga maupun orang lain yang membacanya. Ingat, kegelisahan yang kita rasakan saat ini mungkin akan dirasakan oleh orang lain, baik dimasa kini maupun dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, tulisan kita diupayakan dapat menjadi sumber “experiential learning” dan kekuatan, untuk menerangi jalan yang gelap gulita, dalam kasus yang serupa yang mungkin orang lain alami. Setidaknya ada beberapa langkah yang perlu diingat ketika tulisan yang memberikan inspirasi. Pertama, jika ada data empiris atau data statistik penunjang lainnya, maka integrasikan dalam tulisan. Kedua, apalagi bila ada aturan atau nasihat, seperti kalam ilahi, hadis nabi atau regulasi selipkan dan termasuk kutipan bijak dari tokoh-tokoh ternama. Masukan pesan tersebut untuk memperkuat argumentasi tulisan kita, untuk memastikan pembaca merasakan kredibilitas dari apa yang kita tulis. Ketiga, konsistensi menulis, karena menuangkan ide dan gagasan memerlukan motivasi dan disiplin. Tanpa keduanya, maka akan sulit menjadi penulis yang produktif. Karena kita terkadang merasa lelah dan bosan, terutama ketika banyak dirundung masalah berat. Pada kondisi ini, kita harus memaksa diri kita untuk tetap menulis. Sedikitnya, untuk bisa memotret atau mendokumentasikan apa yang terjadi pada diri kita. Sehingga aktivitad menulis kita bisa menjadi kebiasaan yang teragendakan. Jika itu terus diasah, maka kemampuan menulis kita akan semakin tajam.

Bagi penulis pemula, menulis mungkin terasa sulit, karena bagaimana menangkap ide dan gagasan, memulai tulisan dari mana, atau melanjutkan kalimat yang sudah ada seringkali membingungkan, dan itu menurut pengalaman penulis sendiri, hal itu sudah biasa, yang kerapkali dialami oleh orang baru terjun ke dunia tulis-menulis. Kuncinya adalah belajar terus menerus. Perbanyak praktek menulis tema apapun yang kita kuasai. Jangan lupa untuk memiliki mentor atau guru yang akan membimbing kita menulis. Bimbingan ibarat latihan renang atau silat, dimana bagi setiap orang perlu pembimbing, karena kemahiran menulis itu tidak bisa instan dan memerlukan proses yang cukup panjang.

Jika diumpamakan mirip perkembangan manusia, dari bayi hingga dewasa. Ada proses lahir, berguling, merangkak, berjalan hingga berlari. Tip berikutnya, rajin membaca, karena bagaimana kita bisa meningkatkan kemampuan menulis kita, jika tidak rajin membaca. Melalui banyak membaca, kita juga dapat menambah wawasan dan pengetahuan, sehingga dapat menjadi nutrisi maupun vitamin bagi penulis pemula.

Tak hanya itu, dengan banyak membaca, secara tifak langsung hal itu telah mengajarkan kita bagaimana orang lain membuat tulisan itu lebih hidup dan memancarkan emosi pembaca. Jangan lupa berbagai tulisan yang kita buat itu harus secara komprehensif. Menulislah dengan kajian dari berbagai sudut pandang (holistik-konprehensif). Agar apa yang kita tulis bisa memberikan edukasi dan pencerahan bagi para pembaca. Pastikan juga apa yang kita tulis itu sangat substansial, bukan sekadar tulang, tapi tulisan yang banyak dagingnya, atau tulisan yang banyak isinya. Tentunya masih banyak tips menulis lainnya, yang bisa diperoleh dari buku atau diskusi dengan para penulis yang sudah sukses. Dengan begitu, kita bisa belajar banyak dan menimba ilmu dari mereka, yang mungkin tidak didapatkan di bangku kuliah. Tapi dari pengalaman pribadinya. Dengan kata lain, menulis tak hanya mengatasi kegelisahan diri sendiri, namun juga bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Seperti pepatah mengatakan, “Kata-kata yang baik adalah seperti obat bagi jiwa.” Jadikan tulisanmu sebagai panasehat bagi hati orang yang sedang gelisah, dan biarkan inspirasi dan motivasi yang terkandung di dalamnya terus menjadi cahaya bagi orang lain yang membacanya.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *