
Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Dalam Islam dikenal konsep zakat, infak, dan sodaqoh atau ZIS. Zakat adalah bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila telah mencapai syarat yang ditetapkan. Sebagai salah satu Rukun Islam, zakat ditunaikan untuk diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya.
Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum. Merupakan amalan yang tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari seorang muslim. Sementara sodaqoh adalah harta atau non harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum. Mirip dengan infak.
Perkara sodaqoh antara lain terdapat dalam Surat Al-Baqarah Ayat 271, bahwa “Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu”.
Untuk infak, dalil yang mendasarinya diantaranya adalah Surat Al-Imran Ayat 133, bahwa “Dan bersegeralah kamu kepada keampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang takwa. Yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya baik di waktu senang atau di waktu susah”.
Sementara dalil yang menjadi rujukan wajibnya zakat sangat banyak, diantaranya adalah “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka”, tercantum dalam Surat At-Taubah Ayat 103. Pastinya, ayat bernada perintah ini merupakan “instruksi” Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Berbeda dengan solat, puasa, dan haji, ibadah yang dilakukan secara personal dan langsung berhubungan dengan Allah SWT, ZIS itu selain sebagai ibadah mahdhah juga berdimensi sosial. ZIS merupakan ibadah yang melibatkan hubungan sesama manusia. ZIS bisa menjadi media bagi seseorang untuk menjadi bagian dari anggota masyarakat lainnya.
Agar umat Islam patuh dan taat dalam menunaikan ZIS, Nabi Muhammad SAW memberikan penguatan dengan sabdanya bahwa “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya”.
Tangan di atas itu maknanya adalah posisi seseorang yang memberi. Sementara tangan di bawah itu adalah posisi orang yang menerima. Artinya, memberi itu merupakan perilaku yang baik dan lebih baik dibanding menerima, lebih tepatnya meminta. Apalagi mengemis.
Hadits ini sejatinya ditujukan bagi orang-orang yang mampu. Dalil ini menjadi motivasi dan pendorong bagi kalangan berpunya harta untuk mau berbagi menyisihkan sebagian hartanya dengan kaum dhuafa, seperti kalangan fakir, miskin, yatim dan yang lainnya.
Dalil ini bukan ditujukan bagi kaum dhuafa. Namun faktanya, ada banyak orang khususnya sebagian dari kaum dhuafa, namun juga terkadang tak mesti dhuafa, yang menggunakan dalil ini sebagai pembenar atas tindakannya untuk meminta atau mengemis.
Di ruang-ruang publik kerap kita menemukan pengemis dengan tampilan lusuh meminta-minta dengan cara menengadahkan tangan sembari menghiba mengharap belas kasihan. Beberapa di antara mereka ada yang memang tulus untuk dikasihani, namun tak sedikit yang memanipulasi.
Memanipulasi dimaksud adalah ketika seseorang yang sejatinya sehat badannya, kuat fisiknya, muda usianya, normal organ tubuhnya, bisa bekerja, punya harta, namun berpura-pura berpenampilan layaknya dhuafa, sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan dengan cara mengemis.
Baik yang memanipulasi tampilan tersebut maupun yang dhuafa beneran, kerap menjadikan dalil tangan di bawah itu sebagai justifikasi atau pembenar atas tindakannya. Padahal -sekali lagi- dalil itu bukan ditujukan untuk mereka. Tapi untuk kalangan berpunya harta.
Kelompok dhuafa ini merasa nyaman di zona aman itu karena seolah mendapat legitimasi dari dalil agama tersebut. Mental mengemis dan pengemis ini, dalam koteks berbeda juga kita temukan dalam bentuk dan praktik yang lain.
Kebiasaan meminta atau tepatnya mengemis ini, dalam kadar tertentu bisa kita jumpai dalam bentuk lain, dan dilakukan oleh kalangan bukan dhuafa. Baik di lingkungan swasta, pemerintahan, di kantor, di terminal, di mall, dan di ruang publik lainnya. Konyolnya, merasa benar atas tindakannya karena memiliki dalil sebagai justifikasi atasnya.
Pada kadar tertentu, nebeng, ikut, mengharap bagian, menunggu jatah, meminta tehaer, dan perilaku sejenisnya, merupakan wujud mental pengemis dalam bentuk lain itu. Termasuk melakukan aktivitas yang seolah bekerja dan memberikan jasa, padahal hanya kamuflase belaka.
Padahal, bila kita tepat dalam memaknai dalil di atas, yang adalah anjuran bagi kita untuk menjadi orang yang mengajak, memberi tumpangan, membagikan bagian, memberi jatah, memberi tehaer, dan yang lainnya. Dalil itu memotivasi kita untuk bisa menjadi tangan di atas. Mengapa? Karena tangan di atas itu lebih baik dibanding dengan tangan di bawah.
Karena kita merasa nyaman di zona aman ini, dengan memosisikan tangan di bawah, atau menjadi peminta, bukan posisi tangan di atas, atau menjadi pemberi, menyebabkan kita terbiasa dengan mental pengemis. Bisa jadi, itulah mengapa, kita selalu berada pada posisi terbelakang dibanding dengan umat lain dalam berbagai bidang. Wallahualam.
*
Tangerang, Rabu, 9 April 2025
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (FORDISKA LIBAS)