
(Kepala SMA Muhammadiyah dan Pengurus ICMI Orwil Banten)
Islam merupakan agama yang mengatur segala aspek kehidupan di dunia dalam mencapai tujuan hidup yang kekal (akhirat). Tanpanya kita tidak dapat berdiri tegak. Sumber-sumber Islam (baca, Alquran, Hadis dan ijtihad) merupakan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat. Sumber ajaran Islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat mengikat yang yang apabila dilanggar akan menimbulkan sangsi yang tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1).
Di sisi lain kita juga tidak akan berada pada keadaan yang kondusif tanpa demokrasi. Pendapat ini muncul setelah adanya keyakinan bahwa demokrasi sekarang ini sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan kerja politik, pluralisme dan keadilan hukum. Perdebatan antara Islam dan Demokrasi selalu menarik untuk dikaji. Karena keduanya bisa bersanding, tapi di sisi lain keduanya tidak bisa di satukan. Pendapat pertama, seperti penegakkan hukum baik Islam maupun Demokrasi keduanya tidak “pandang bulu”. Siapapun yang bersalah akan dihukum. Namun dalam hal otoritas, keduanya berbeda karena Demokrasi mengajarkan kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, sementara Islam mengajarkan Allah adalah Penguasa Semesta Alam.
Dalam hal ini Dr. Dhiya’uddin Ar-Rais mengatakan Islam dan Demokrasi dapat dipertemukan dalam sisi lain: adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu, misalnya asas persamaan di hadapan UU, kebebasan berpikir dan keyakinan, realisasi keadilan sosial dan seterusnya, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak untuk hidup bebas dan mendapatkan pekerjaan dan hak-hak lainnya. Lebih jelas Sang Doktor menambahkan, apabila terpaksa harus menggunakan kata “demokrasi” dengan tidak mengabaikan perbedaan-perbedaan substansial, maka dapat dipadukan dengan menyebutnya sebagai Demokrasi Islam.
Tuhan dalam Pancasila pada kritikannya Osman Raliby ialah Tuhan yang mati, yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa pada keempat sila lainnya. Ia tidak memberikan hukum sama sekali. Malah jika Pancasila itu diperas, Tuhan itu sendiri yang kena hukum dan hilang-lenyap ditelan oleh gotong-royong sebagai Eka Sila, yaitu perasan dari Pancasila. Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah terhadap Islam dan Demokrasi?
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, yang pertama cenderung menuntut “jatah” terlebih dahulu dalam kekuasaan sebagai cermin representativeness dari sebuah Negara demokratis, dan yang kedua cenderung untuk memperkokoh demokrasi dulu, dan “jatah” kekuasaan itu akan ditentukan oleh mekanisme politik yang lebih sehat, tanpa tergantung pada kekuasaan.
Pola pertama tampak sekali menjadi mainstream pemikiran para tokoh Islam yang kini berkiprah di ICMI. Hal ini amat tampak dari pernyataan tokoh ini yang menganggap bahwa peran yang dimainkan oleh sejumlah tokoh Islam dalam pemerintahan dan legislatif sekarang sudah sewajarnya. Peran ini sudah seharusnya dipegang kelompok Islam, karena dilihat dari ukuran representativeness memang sudah menjadi jatahnya. Pola kedua, berkembang pemikiran di kalangan umat Islam yang menempatkan strategi perjuangan umat sebagai bagian dari perjuangan demokrasi.
Menurut tokoh yang menganut pola ini, yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana mengokohkan politik yang demokratis. Karena itu tak pernah mempersoalkan tentang jumlah orang Islam yang duduk dalam pemerintahanmaupun lembaga perwakilan.
Kalau kita mau menyebut, maka Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dan Amien Rais lah tokoh yang paling tepat memegang model strategi perjuangan politik di atas. Dua tokoh tersebut bukan saja berbeda dalam paradigm, melainkanjuga berbeda dalam sosialisasi politik Islam. Karenanya, walaupun secara teori kedua model tersebut bersikap komplementer, namun dalam kenyataannya penggabungan kedua model tersebut tidak pernah terwujud. Gus Dur secara hipotesis dijadikan model perjuangan Demokrasi Kultural, sementara Amien Rais dipakai sebagai model perjuangan Demokrasi Struktural.
Meskipun dikatakan kombinasi antara kedua model itu tak akan pernah terwujud, namun secara teoritis kita harapkan bahwa pernyataan kedua model tersebut akan saling memperkuat tercapainya tujuan “pemuliaan” Islam Indonesia di masa depan. Sebagai tolak ukur untuk mengetahui kendala-kendala yang menghambat kedua paradigm tersebut (demokrasi kultural dan struktural).
Paradigma Nu – Muhammadiyah dalam Menanggapi Islam dan Demokrasi
Berbicara paradigma politik tidak bisa lepas dari kendala berdemokrasi. Ada dua paradigma dalam berdemokrasi yang berlandaskan agama (baca, islam), yaitu: 1) Kendala Demokrasi Kultural (Barrier of Cultural Democracy), dan 2) Kendala Demokrasi Struktural (Barrier of Structural Democration).
Penganut paradigma Demokrasi Kultural adalah Gus Dur, seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang terjun di dunia politik bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Menurut Eep Saefullah Fatah, kendala demokrasi kultural adalah sebagai berikut: Pertama, adanya corak budaya dan tingkah laku elite-politik yang sangat mengesankan memonopoli kebenaran. Seperti pada persoalan penafsiran Pancasila yang masih sangat sepihak. Sementara di sisi lain lapisan bawah tidak begitu mempermasalahkan sehingga menempatkan persoalan pengetahuan bukan yang utama.
Sementar Demokrasi Struktural dianut oleh seorang tokoh dari organisasi Muhammadiyah yang terjun di dunia politik, PAN. Menurut Arbi Sanit, kendala struktural demokrasi merupakan gambaran nyata kepasrahan elite dan warga partai terhadap pelecehan hak harga diri partai sebagai organisasi yang berasal dari dan dibentuk untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingannya di arena politik. Kooptasi semacam ini sayangnya mendapatkan legitimasi UU Parpol dan Golkar yang menjadikan bahwa partai-partai politik di Indonesia berada di bawah binaan Menteri Dalam Negeri.
Dari gambaran dua tokoh di atas, yang pemikiran keduanya dipengaruhi pemahaman keorganisasiannya, penulis dapat menyimpulkan tentang Islam dan Demokrasi. Untuk itu keduanya dapat mewakili pemikiran NU dan Muhammadiyah. Keduanya sepakat tidak ada perbedaan dalam memandang sebuah hukum atau aturan. Sementara dengan Demokrasi ada perbedaan pemahaman dari keduanya. NU melalui Gus Dur-nya menyatakan, penegakkan Demokrasi yang baik adalah melalui kultur, dari bawah. Sementara Muhammadiyah melalui Amien Rais-nya menyatakan, penegakan Demokrasi yang baik adalah secara struktur, dari atas.
Demikian, wallahu a’lam bish-shawab.