
oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Sebuah tayangan video berdurasi 2 menit 8 detik, yang menampilkan seorang tokoh agama dengan caption “Murtadnya status keislaman para pembela ijazah palsu” beredar viral di media sosial. Pada bagian bawah tercantum “Ustadz Fahmi Al-Anjati, pengasuh ponpes ABA Cirebon”.
Dalam tayangan itu, sang ustadz mengutip pendapat Ibnu Katsir yang menafsirkan Surat Al-Maidah Ayat 2 bahwa “Ketika Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini beliau mengutip salah satu hadits yang mengatakan bahwa barang siapa yang berjalan bersama orang dzalim untuk membantu kedzalimannya, padahal dia tahu bahwa yang ditolongnya itu adalah dzalim, maka sungguh ia telah keluar dari Islam”.
Lalu dia melanjutkan bahwa “Sudah tahu dzalim kok dibantu, sudah tahu salah kok dibela, sudah tahu ijazahnya palsu kok dibela. Siapa pun yang membelanya padahal dia tahu bahwa orang itu adalah tidak benar, maka kalau kita berlandaskan pada hadits nabi ini, maka dia telah keluar dari Islam. Dia telah murtad!”.
Penjelasan inilah yang kemudian disimpulkan oleh si pembuat video bahwa “Pembela ijazah palsu maka dia murtad”. Menarik ini. Menarik karena untuk menyemat stigma murtad pada orang yang melakukan pembelaan atas ijazah palsu dengan berlandas pada tafsir, kutipan hadits, dan cara yang sangat apriori.
Mengapa disebut apriori? Karena dari captionnya saja sudah tidak objektif. Bayangkan, “Murtadnya status keislaman para pembela ijazah palsu”. Bila ini dimaksudkan merujuk pada ijazah Jokowi yang sedang riuh diperdebatkan, objeknya saja belum tuntas statusnya. Yang sudah ada, baru gugatan dugaan palsu dari para penggugat, kesaksian UGM, dan gelar perkara Mabes Polri.
Untuk kepastiannya, tinggal menunggu putusan pengadilan. Hakim lah yang berwenang memutuskan secara hukum, apakah asli atau palsu. Jadi, terminology “pembela ijazah palsu” itu sudah apriori. Belum juga diputuskan sudah disebut palsu. Saya pun sepakat bila yang namanya palsu itu tidak perlu dibela. Walau pun, ga gitu-gitu amat, bahwa “pembela kepalsuan otomatis murtad”.
Sebelumnya, berdasarkan penelitian yang diakui sebagai ilmiah lewat cara digital forensik, para penggugat melayangkan gugatan ke pengadilan atas keaslian -tepatnya ketidakaslian- ijazah Jokowi. Kasusnya sedang dalam proses di pengadilan. Atas perkara ini, publik pun terbelah menjadi 2 kubu, mendukung dan menolak.
Per hari ini, yang sudah muncul adalah pernyataan pihak UGM, kampus tempat Jokowi kuliah -sebagaimana pengakuannya- yang menyebutkan bahwa ijazah Jokowi itu asli. Yang kedua, hasil gelar perkara Bareskrim Mabes Polri yang menyatakan bahwa ijazah Jokowi “identik”.
Dengan didukung puluhan berkas mulai pemberitaan di surat kabar perihal pendaftaran calon mahasiswa UGM, pengumuman hasil Sipenmaru, lembar pengesahan skripsi, hingga beberapa lembar foto semasa kuliah dan wisuda, kepolisian menyimpulkan bahwa “kertas” itu identik; istilah yang kembali menuai prasangka karena dianggap bukan “otentik”.
Belakangan muncul belasan kawan-kawan seangkatan dan satu jurusan dengan Jokowi. Mereka tampil di hadapan publik secara berjamaah sembari membawa dan memperlihatkan ijazah masing-masing sebagai penguat kesaksian bahwa Jokowi benar pernah menjadi mahasiswa UGM, pernah menyusun skripsi, pernah diwisuda, dan memiliki ijazah yang identik tersebut.
Pernyataan pihak UGM, hasil gelar perkara kepolisian, dan pengakuan kawan-kawan seangkatan, oleh penggugat dan para pendukungnya dianggap belum cukup sebagai bukti. Dalam situasi seperti ini, mungkin saja Jokowi bergumam, “Mesti dengan cara apalagi saya membuktikan keaslian ijazah saya?”. Kata para penggugat, gampang. Tunjukkan saja aslinya!
Bila proses hukum di pengadilan jadi digelar, tidak menutup kemungkinan pihak tergugat memenuhi tuntutan para penggugat. Semoga saja putusan pengadilan dapat mengakhiri polemik yang telah banyak menyita energi ini, apapun hasilnya. Entah dinyatakan asli atau kah palsu. Kalau dinyatakan palsu, Jokowi wajib menerima konsekuensi logisnya.
Andai pun dinyatakan asli, semoga para penggugat pun mengakhiri rasa penasarannya dengan menerima putusan pengadilan. Tapi bila targetnya bukan perkara ijazah, namun personal Jokowi yang kadung tidak disukai, entah karena tindak-tanduknya, rekam jejaknya, bahkan bentuk fisik tubuhnya, itu sih penyakit hati yang sulit dihilangkan karena rasa benci yang sudah berkarat.
Kembali ke perkara murtad. Bahwa membela orang yang dzalim itu salah, membela orang yang salah itu salah, membela sesuatu yang palsu itu salah, saya sepakat. Tapi perkara dzalim, salah, dan palsu ini lah yang masih dalam perdebatan. Pun termasuk bahwa “Orang yang sudah tahu bahwa seseorang dzalim tapi tetap membantu kedzalimannya maka dia telah keluar dari Islam”, saya juga sepakat.
Namun menyeret dalil ini lalu dijadikan sebagai justifikasi atas murtadnya seseorang gegara melakukan tindakan yang dianggap sebagai pembelaan, ini adalah stigma gegabah. Enteng amat menyematkan cap murtad pada orang lain, hanya karena berbeda pandangan dengannya. Itu hanya tafsir atas tafsir.
Menggeser substansi ke stigma itu biasanya dilakukan oleh orang yang ketika berdebat kehabisan argumentasi. Suka main ad hominem. Padahal kita diajarkan undzur ma qola, bukan man qola. Jadi, sebaiknya fokus saja pada apa, bukan pada siapa. Eleh omong laju ngaranan! Ku sabab beak akal, laju ngaranan murtad, fasik, munafik, kafir. Bisana ngan kitu. Wuyu!
*
Tangerang, Senin, 26 Mei 2025
Penulis adalah Pengurus ICMI Banten, Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (FORDISKA LIBAS)