
Darurat Ketenagakerjaan Banten
Pembangunan tidak cukup ditopang oleh gedung-gedung baru dan angka-angka makro yang menjulang. Ia harus berdiri kokoh di atas fondasi keadilan sosial dan keberpihakan nyata kepada kaum pekerja—mereka yang tiap hari memutar roda ekonomi dengan tenaga, waktu, dan harapan. Di Banten hari ini, ketika gempuran digitalisasi, ketimpangan struktural, dan ketidakpastian global terus membayangi, nasib para pekerja menjadi isu yang tak bisa ditunda lagi.
Di ruang-ruang rapat DPRD, tengah dibahas sebuah naskah penting: RancanganPeraturan Daerah tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Bagi sebagian orang, ia mungkin terlihat sebagai satu dari sekian regulasi teknis. Namun sesungguhnya, ia adalah cermin dari keberanian politik daerah ini—apakah betul berpihak kepada buruh, petani, pekerja informal, hingga sopir ojek daring, atau hanya sekadar menambal wajah kebijakan yang selama ini timpang.
Pertanyaannya kini menjadi tajam: apakah Raperda ini akan menjadi instrumen perubahan, atau hanya aksesoris hukum yang molek dalam wacana tapi rapuh dalam pelaksanaan?
Kita tidak butuh janji-janji kosong, melainkan regulasi yang bekerja. Perlindungan yang tidak hanya terasa saat seremoni, tapi juga saat kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, atau saat usia sudah senja. Di sinilah kita menguji keberpihakan: apakah keberpihakan itu nyata, atau sekadar basa-basi yang dipoles demi popularitas?
Sudah saatnya Banten meletakkan pekerja sebagai subjek utama pembangunan, bukan sekadar angka statistik. Dan Raperda ini bisa menjadi batu loncatan menuju arah itu—asal disusun dengan nalar publik, dijalankan dengan integritas, dan diawasi dengan keberanian moral.
Darurat Ketenagakerjaan: Jalan Sunyi Menuju Keadilan Sosial
Jika ada satu kata yang merangkum situasi ketenagakerjaan di Banten hari ini, maka itu adalah darurat. Kata ini tidak berlebihan, sebab data yang dikutip dari BPJS Ketenagakerjaan dan disampaikan oleh beberapa Fraksi dalam Rapat Paripurna DPRD Banten tanggal 26 Mei 2025 menunjukkan fakta telanjang: dari 5,63 juta tenaga kerja di Banten, hanya 2,29 juta atau sekitar 40 persen yang terlindungi jaminan sosial ketenagakerjaan. Artinya, lebih dari tiga juta pekerja berada di luar pagar perlindungan negara. Mereka hidup dalam ketidakpastian dan bekerja tanpa jaring pengaman.
Para pekerja itu bukan entitas abstrak. Mereka adalah wajah-wajah yang kita temui setiap hari—tukang ojek daring yang mengantar anak ke sekolah, petani yang mengolah tanah di pelosok Lebak, pedagang kecil yang saban pagi membuka lapak di pasar Cikande, buruh harian di kawasan industri Cilegon, hingga penyandang disabilitas yang diam-diam menelan diskriminasi sistemik di dunia kerja. Semua mereka bekerja, tetapi belum tentu dilindungi.
Di tengah kenyataan itu, Raperda tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan hadir. Ia tak boleh sekadar menjadi formalitas prosedural atau pelengkap etalase regulasi. Ia harus menjadi instrumen perubahan sosial. Pertanyaannya: apakah Raperda ini mampu menjangkau mereka yang paling rentan? Atau justru hanya menjadi dokumen hukum yang indah dalam naskah, tetapi rapuh dalam pelaksanaan?
Perlindungan Sosial: Antara Norma dan Realita
Penulis mengajukan sebuah tuntutan moral yang kuat: Raperda ini harus berpihak. Bukan berpihak kepada yang kuat, tetapi kepada yang sering kali tak bersuara—pekerja informal, buruh rentan, dan penyandang disabilitas.
Perlindungan kepada kelompok ini bukan semata amanat undang-undang, tetapi juga panggilan akal sehat dan nurani bernegara. Usulan tentang aksesibilitas tempat kerja bagi disabilitas, skema jaminan sosial yang adaptif, hingga insentif fiskal bagi perusahaan inklusif adalah bentuk konkret dari keberpihakan itu. Tetapi keberpihakan, jika hanya berhenti di teks tanpa keberanian mengeksekusi, tidak lebih dari kosmetik kebijakan.
Yang lebih penting dari niat baik adalah teknik pelaksanaan yang baik. Bagaimana menjamin pekerja informal yang tak punya kontrak kerja tetap bisa mengakses jaminan sosial? Bagaimana mekanisme pendataan, verifikasi, hingga distribusi bantuan iuran?
Tanpa menjawab hal-hal teknis ini secara detail, regulasi hanya akan menjadi harapan yang menggantung.
Iuran, Subsidi, dan Etika Fiskal
Permasalahan klasik dalam perluasan jaminan sosial selalu berakar pada satu kata: biaya. Banyak pekerja informal ingin ikut program jaminan sosial, tetapi tak sanggup membayar iuran. Di sisi lain, negara (dalam hal ini pemerintah daerah) juga dibatasi oleh kemampuan fiskal. Maka usulan penulis tentang skema iuran fleksibel, subsidi dari APBD, serta relaksasi tunggakan adalah langkah progresif yang rasional.
Tentu, subsidi tidak boleh dilihat sebagai beban fiskal semata. Ia adalah investasi sosial jangka panjang. Tetapi investasi ini hanya akan bermanfaat jika dibarengi dengan sistem pengawasan yang transparan dan akuntabel. Tanpa itu, subsidi bisa berubah menjadi celah penyalahgunaan.
Satu catatan penting dalam pandangan penulis adalah aspek pengawasan. Tanpa pengawasan, hukum akan kehilangan wibawanya. Pembentukan Unit Reaksi Cepat untuk pengawasan ketenagakerjaan adalah ide yang patut diapresiasi, tetapi perlu dijabarkan secara operasional. Siapa yang bertugas? Apa ruang lingkupnya? Bagaimana koordinasinya dengan Dinas Ketenagakerjaan dan PPNS?
Regulasi bukan hanya butuh niat baik, tapi juga struktur kelembagaan yang lincah dan tegas. Evaluasi berkala, pelaporan kepada DPRD, dan sanksi administratif yang proporsional adalah bagian dari proses membangun hukum yang hidup. Hukum yang bisa menggigit jika dilanggar, namun tetap adil ketika dijalankan.
Pemberdayaan Anak Muda:
Dari Pelindungan ke Proyeksi Masa Depan
Bicara ketenagakerjaan tidak cukup dengan melindungi yang ada, tetapi juga merancang masa depan. Angka pengangguran terbuka di kalangan anak muda Banten cukup mengkhawatirkan. Jika Raperda ini ingin relevan dalam jangka panjang, ia harus membuka pintu pemberdayaan.
Pelatihan keterampilan, fasilitasi wirausaha, dan kebijakan afirmatif untuk pekerja muda adalah kunci.
Magang, kerja praktik, dan program inkubasi bisnis jangan sampai menjadi lorong eksploitasi yang dibungkus narasi pendidikan kerja. Di sinilah pentingnya penegasan tentang standar upah magang, perlindungan sosial bagi pekerja non-permanen, dan jaminan keterlibatan anak muda dalam perumusan kebijakan ketenagakerjaan.
Anak muda Banten adalah potensi, bukan beban. Dan potensi hanya akan tumbuh jika disiram oleh kebijakan yang berpihak.
Sinkronisasi dan Landasan Yuridis:
Raperda Tidak Boleh Berdiri Sendiri
Tidak ada regulasi yang berdiri sendiri. Raperda ini harus selaras dengan arah pembangunan daerah dalam RPJMD Banten, dan juga kebijakan nasional tentang perluasan jaminan sosial. Harmonisasi juga perlu dilakukan dengan regulasi serupa dari daerah lain—belajar dari keberhasilan, menghindari kegagalan.
Tepat ketika menekankan pentingnya landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Pancasila dan UUD 1945 memberikan payung nilai. Data sosial memberikan dasar empirik. Dan undang-undang nasional menjadi kerangka hukum. Tanpa keselarasan ini, Raperda hanya akan menjadi produk hukum yang timpang kaki.
Raperda tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bukan sekadar tanggung jawab formal DPRD atau Pemerintah Provinsi Banten. Ia adalah titik tolak menuju Banten yang lebih adil, modern, dan berkeadaban. Sebuah Banten yang tidak membiarkan pekerja kecil berjalan sendirian menghadapi risiko hidup, tetapi hadir bersama mereka dengan perlindungan, pengawasan, dan pemberdayaan.
Pandangan penulis, publik harus terus menampilkan sikap yang tidak hanya kritis, tetapi juga konstruktif. Kritik tidak berarti menolak, dan dukungan tidak berarti menutup mata. Justru dalam kombinasi antara apresiasi dan koreksi, antara ide dan kontrol, regulasi ini bisa lahir sebagai produk hukum yang hidup—bukan sekadar bunyi pasal, tapi juga denyut keadilan sosial di tengah masyarakat.
Karena pada akhirnya, ukuran sebuah regulasi bukan pada tebal naskahnya, tetapi pada dalamnya dampak yang ia hadirkan.
Jalan Menuju Banten yang Berkeadilan
Banten bukan sekadar entitas administratif; ia adalah ruang hidup bagi jutaan warga yang menaruh harapan pada negara, lewat janji perlindungan dan keadilan. Raperda Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sejatinya bukan hanya instrumen hukum, melainkan cermin dari keberpihakan negara kepada rakyat yang bekerja—terutama mereka yang rentan, diam, dan tak terjangkau oleh arus utama kebijakan.
Kita tidak sedang berbicara tentang hitung-hitungan angka semata, tetapi tentang etika sosial dalam bernegara. Ketika tiga juta lebih pekerja Banten masih berjalan tanpa payung perlindungan, maka di situlah negara diuji, bukan hanya dalam regulasi yang dibuat, tetapi dalam keberanian untuk hadir dan berpihak.
Raperda ini, jika hanya ditulis rapi dalam dokumen, tidak akan mengubah apa pun. Tetapi jika ia dijalankan dengan semangat kerakyatan, ia bisa menjadi jembatan antara kesenjangan dan keadilan. Sebab, hukum yang baik adalah hukum yang berpihak kepada yang lemah, bukan yang tunduk pada yang kuat.
Apa yang sedang dipertaruhkan di sini bukan hanya efektivitas kebijakan, tetapi juga kredibilitas negara dalam memenuhi janji konstitusionalnya. Maka, pemerintah daerah ditantang untuk tidak berhenti pada penyusunan norma, melainkan juga menyiapkan ekosistem pelaksanaan yang kuat, transparan, dan inklusif. Pengawasan yang melekat, insentif bagi kepatuhan, serta pemberdayaan bagi pekerja adalah bagian yang tak terpisahkan dari keadilan itu sendiri.
Tugas kita hari ini adalah memastikan bahwa jalan menuju Banten yang berkeadilan tidak berhenti di ruang paripurna, tetapi terus bergema di ruang-ruang kerja, di pasar, di sawah, di pabrik, dan di warung-warung kopi tempat rakyat menggantungkan harapan. Sebab keadilan sosial bukanlah retorika, melainkan praksis yang menyentuh hidup sehari-hari.
Jika negara ingin benar-benar hadir, maka mulailah dari yang paling dasar: menjamin rasa aman bagi setiap orang yang bekerja. Di situlah letak martabat kita sebagai bangsa. Dan dari situ pula, Banten bisa melangkah menuju masa depan yang tak hanya maju, tetapi juga berkeadilan.***
Tentang Penulis
BUNG EKO SUPRIATNO
Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten