Oleh : Adung Abdul Haris

I. Prolog

Pelantikan para kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) di bulan Februari yang lalu, merupakan momen penting dalam proses perjalanan demokrasi di Indonesia. Bahkan, hingga saat ini para kepala daerah yang telah dilantik langsung oleh Presiden Prabowo Subianto itu, saat ini mereka telah bekerja serta telah memangku jawabatan sekitar 100 hari lebih. Pelantikan para kepada daerah secara serentak itu, tidak hanya menjadi simbol pergantian pimpinan di daerah, tapi hal itu menandai dimulainya era baru dalam tata kelola pemerintahan daerah. Dengan kepemimpinan yang baru, harapan masyarakat di daerah tentunya bisa terwujud suatu perubahan yang jauh lebih baik dan bisa mensejahterakan rakyat dan masyarakat di daerah. Bahkan, pelantikan para kepala daerah secara serentak itu secara konstitusional, memang mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2025, yakni sebanyak 481 Kepala Daerah dilantik Pada 20 Februari 2025 oleh Presiden RI Prabowo Subianto.

Sebagai bagian dari anggota masyarakat, penulis merasa antusias melihat proses pelantikan kepala daerah sacara serentak itu. Karena, bukan sekedar seremonial biasa, namun menjadi titik awal proses perjalanan seorang pemimpin di daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota), yaitu untuk mengemban tugas dan amanah, sekaligus juga melakukan proses kepemimpinan bagi masyarakat yang ada di daerahnya masing masinh. Menurut tinjauan penulis, ada juga seorang Gubernur, yakni kurang lebih 100 hari setelah ia dilantik, malah ia langsung melakukan gebrakan pembangunan yang sangat fenomenal dan lain sebagainya. Tapi tidak sedikit juga (para Gubenur, Bupati dan Walikota) yang hingga saat ini masih terkesan adem-adem saja, yakni belum melakukan gebrakan pembagunan di daerahnya, baik pembangunan yang bersifat fisik maupun psikis. Oleh karena itu, penulis yang nota bene sebagai bagian dari masyarakat, akan terus menseriusi soal dinamika dan tata kelola pemerintahan di daerah.

Maka pelantikan para kepala daerah yang berlangsung di Istana Negara Jakarta itu, bukan hanya tentang sumpah jabatan atau serah terima kepemimpinan semata, tapi ada dinamika yang menarik, yaitu soal transisi kepemimpinan di daerah masing-masing, yang seyogyanya agar bisa mempengaruhi arah kebijakan yang lebih baik dan lebih inovatif. Karena masyarakat di daerah memang menaruh harapan besar pada setiap sosok yang baru dilantik itu (para Gubernur, Bupati dan Walikota). Oleh karena itu, agar tidak mengecewakan masyarakat di daerah, sebisa mungkin agar para kepala daerah yang saat ini sudah pada sibuk bekerja di tahun pertamanya, tentunya harus melibatkan berbagai elemen masyarakat untuk ikut berperan dalam proses pembangunan (baik pembangunan fisik maupun non fisik), serta bisa memastikan bahwa para kepala daerah yang mereka pilih, memang betul-betul memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni untuk menjalankan tugas kepemimpinan di daerah, yakni sesuai dengan otoritasnya.

Bagi penulis, yang nota bene bagian dari masyarakat, tentunya sama, yakni ingin memastikan juga bahwa para pemimpin di daerah saat ini agar bisa melakukan gebrakan pembangunan di berbagai bidang, yang muaranya hanya satu, yaitu terwujudnya kesejahteraan bagi rakyat dan masyarakat di daerah. Lebih dari itu, adanya organisadi (Asosiasi Para Kepala Daerah), seyogyanya harus menjadi perekat para kepala daerah di seluruh Indonesia, dan tidak hanya berfungsi sebagai wadah komunikasi antar Provinsi, antar Kabupaten dan antar Walikota, tetapi juga menjadi penyambung lidah dalam upaya menyelesaikan berbagai hambatan
(bottleneck) dalam konteks kerjasama antara pemerintah daerah dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, sektor swasta, pelajar, masyarakat dan media.

Lebih dari itu menurut tinjauan penulis, bahwa hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah seyogyanya bukan hanya sekadar hubungan urusan administratif semata, namun harus ada upaya-upaya nyata untuk meningkatkan serta memperluas jangkauan dalam merealisasikan tata kelola pemerintahan daerah yang lebih efektif, inovatif, serta mampu merespons kebutuhan masyarakat di daerah. Lebih dari itu, bahwa jaringan dan komunikasi yang baik antar para kepala daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) hal itu tentu saja akan memiliki peran besar dalam membangun wilayah yang jauh lebih maju dan kompetitif di berbagai bidang.

Dengan kata lain, bahwa proses pelantikan kepala daerah yang terpilih di Pilkada 2024 yang lalu, menjadi ajang bagi masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Untuk itu, partisipasi aktif warga masyarakat amat sangat dibutuhkan, terutama dalam upaya untuk mengontrol kebijakan yang diambil oleh para pemimpin di daerahnya masing-masing, sehingga memungkinkan terciptanya pemerintahan (daerah) yang lebih bersih dan berorientasi pada kepentingan publik, dan diharapkan pula terciptanya pemerintahan yang lebih baik, inovatif, serta mampu menjawab tantangan zaman. Di sisi lain, semua elemen masyarakat, yakni mulai dari pemerintah, lembaga swadaya, hingga warga, harus bersinergi dalam upaya mendukung pembangunan daerah agar terwujudnya kesejahteraan bersama.

II. Snobisme Intelektual Dan Hasrat Merendahkan Yang Terselubung Cerdas

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, yakni pasca pelantikan para kepala daerah di bulan Februari yang lalu, nampaknya saat ini ada sejenis “aroma angkuh” yang kadang menyesakkan dada saat kita menyaksikan langsung seorang filsuf berbicara yang reaktif dan seolah-olah sedang menciptakan “Festival Kebingungan” khususnya bagi penulis sendiri yang nota bene awam dan bukan ahli filsafat. Lebih dari itu, sang filsu itu juga terkesan terus membikin “Gagap Dan Gugup” bagi para kepala daerah yang sedang menjalankan roda pemerintahan di daerahnya masing-masing. Mengingat, kalimat-kalimat seorang filsuf yang kerapkali mengkritisi para kepala daerah itu memang begitu tajam. Karena, bahasa dan berbagai istilah-istilahnya sangat membius, kutipan-kutipan filsafatnya yang demikian mengalir deras, dan seolah tanpa jeda. Tapi dibalik panggung kata itu, kita acapkali menemukan lubang yang hampa, yakni antara yang dikatakan (sang filduf itu) dan yang diperbuat terkesan terjadi paradoksal. Dan bahkan terjadi “krilu logi” antara semangat perubahan yang kerapkali dielu-elukannya, dengan sikap merendahkan orang lain yang sedang berjuang di jalan yang berbeda terkesan sangat kentara.

Bahkan, saat hangat-hangatnya fenomena yang terjadi di wilayah Jawa Barat misalnya, yakni soal penangana anak sekolah yang dididik di barak militer “sang filsuf” yang kerapkali tampil dengan gaya retorika berapi-api itu, ia terus melontarkan kritik tajam terhadap program pembinaan remaja bermasalah yang digagas seorang pemimpin daerah. Sementara program tersebut mengirimkan anak-anak dengan masalah sosial ke “barak”, semacam pelatihan kedisiplinan berbasis semi-militer. Kritiknya? Dangkal. Tidak menyentuh akar persoalan, katanya. Hanya mendisiplinkan tubuh, bukan pikiran. Bahkan, ketika bicara dipublik ia kerapkali menyitir filsuf Michael Foucault dan konsep “disciplinary society” untuk menegaskan bahwa pendekatan semacam itu adalah warisan zaman otoriter.

Kritikannya itu memang terdengar berkelas, teoretis, dan tentu saja sangat “intelelek”. Tapi dibalik semua itu, kerapkali muncul pertanyaan mendasar : Benarkah kritik itu lahir dari keinginan yang tulus untuk memperbaiki, atau sekadar ejekan dari menara gading akademik? Karena, nada bicara yang dipilih oleh sang filsuf itu bukanlah ajakan berdialog, melainkan nada menghakimi, dan terkesan tidak ada upaya untuk memahami konteks sosial di lapangan. Tidak ada tawaran alternatif yang aplikatif. Dan yang lebih menyedihkan, ada kesan sinis terhadap niat baik orang lain yang sedang berupaya dengan sumber daya yang ada dan tersedia, untuk mencoba menangani berbagai persoalan di daerahnya masing-masing.

Bahkan Socrates, yakni bapak filsafat Barat, ia juga pernah mengkritik kaum sofis, para ahli retorika bayaran yang saat itu banyak menjual kecerdasan mereka untuk kepentingan pribadi. Bagi Socrates, pengetahuan sejati bukanlah hiasan kata-kata, melainkan komitmen untuk hidup secara otentik. “The unexamined life is not worth living”, tegas Socrates. Sementara hidup yang tidak diuji adalah hidup yang tak layak dijalani. Maka ukuran moral seorang pemikir bukan hanya sejauhmana ia bisa berbicara, tetapi seberapa jauh ia hidup dalam nilai-nilai yang ia yakini.

Sementara Friedrich Nietzsche, ia juga dengan gayanya yang nyinyir, terus menyoroti para intelektual yang bersembunyi dibalik “moral palsu”. Karena, mereka fasih menyusun sistem berpikir, tapi miskin keberanian untuk hidup secara radikal dan penuh. Malah Nietzsche menyebut bahwa mereka “intelektual pengecut”, yang membungkus ketakutan mereka dalam kalimat-kalimat agung. Ia memimpikan jenis filsuf baru, yaitu seorang “penari”, yang bebas, kreatif, dan berani menari diatas absurditas hidup. Bukan mereka yang menghujat dunia dari balkon nyaman.

Sementara di ranah sosiologi, seorang Pierre Bourdieu, ia juga memperkenalkan konsep habitus intelektual. Menurutnya, para intelektual seringkali menciptakan jarak sosial lewat cara berpikir, gaya bicara, dan simbol-simbol eksklusif yang sulit diakses publik. Mereka menciptakan distingsi, bukan jembatan. Akibatnya, pengetahuan akhirnya menjadi alat dominasi, bukan emansipasi. Sementara dalam konteks ini, bahwa kritik terhadap program sosial yang bertujuan membina anak-anak (yang bermasalah), bila disampaikan tanpa empati dan pemahaman konteks yang terjadi, justru memperkuat jurang antara para intelektual dan masyarakat. Sementara Slavoj iek, yakni seorang filsuf nyentrik dari Slovenia, ia juga pernah menyentil para filsuf kiri yang terus getol mengutuk kaum kapitalisme saatu itu, namun celakanya, malah ia sambil menikmati segala kenyamanan yang ditawarkan oleh sistem kapitalis itu. Ia menyebut mereka hidup dalam hipokrisi : radikal dalam teori, tapi konservatif dalam gaya hidup. Kritik Salavoj iek, terasa relevan ketika seorang pemikir, ia hanya rajin menyitir pemikirang sang filsuf Michael Foucault, tapi abai terhadap kenyataan di lapangan, kenyataan dimana anak-anak bermasalah memang butuh pembinaan, bukan sekadar teori yang bersifat absurditas.

Sementara Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre, yaitu dua eksistensialis dari negara Prancis, mereka menekankan betapa pentingnya keterlibatan sosial. Bagi mereka, kebebasan bukan hak istimewa individual, tapi punya tanggung jawab kolektif juga. Sementara seorang intelektual yang hanya bicara tapi tidak bertindak, maka kata Simone de Beauvoir, sang kritikus dan sang filsuf itu ia telah gagal secara etis. Karena sejatinya, bahwa antara kata dan perbuatan (prilaku) harus sejalan dan menyatu. Kalau tidak, itu bukan filsafat, itu hanya citra, kata Dimine de Beauvoir.

Bahkan dalam tradisi Amerika Latin, seorang Paulo Freire, ia juga menawarkan jalan berbeda. Bahwa pendidikan kata Paulo Freire, harus membebaskan. Tapi pembebasan hanya mungkin jika dialog itu bisa dilakukan dengan cinta dan kesetaraan. Karena, kritik tanpa empati bukanlah pendidikan, tapi kekerasan simbolik. Sementara dalam konteks Indonesia saat ini, kita memang membutuhkan sang filsuf seperti Paulo Freire ketimbang seperti sang filsuf yang hanya sekedar menyinyir. Kita juga saat ini, butuh proses pemahaman kritis dari sang filsuf Michael Foucault. Bahkan saat ini, kita butuh pendekatan yang menyentuh hati, bukan hanya menggelitik otak semata. Demikian juga Albert Camus, ia juga mungkin yang paling puitis dalam soal ini. Dalam “The Myth of Sisyphus”, ia menulis tentang absurditas hidup, tapi ia juga berbicara tentang kebanggaan manusia yang tetap mendorong batu ke puncak gunung meski tahu persis bahwa batu itu akan jatuh lagi. Bagi Albert Camus, bahwa makna hidup ada dalam tindakan, bukan hanya sematamata ada dalam teori. Dalam perjuangan, bukan dalam ejekan. Dan yang lebih penting, punya keberanian untuk tetap mencintai manusia, betapa-pun rusaknya keberadaan mereka.

Apa yang bisa kita pelajari dari yang telah diungkapkan diatas, ternyata menjadi intelektual itu tidak cukup dengan membaca buku filsafat, menghafal teori sosial, atau merangkai retorika memikat. Karena intelektual sejati adalah mereka yang hadir dalam denyut masyarakat. Yang tidak sekadar menyalahkan, tapi juga merasakan. Yang tidak hanya menggugat, tapi juga membangun, yang tidak silau dengan kutipan, tapi jujur dalam tindakan. Tentu sebuah kritik itu juga tetap penting dan diperlukan, tapi kritikan yang membangun bukan lahir dari superioritas, melainkan dari kasih sayang dan nilai-nilai kebersamaan. Dari kemauan memahami, dan bukan dari upaya untuk menertawakan. Dari keberanian untuk berkata, “Saya tidak setuju, tapi saya bersedia untuk membantu serta mencoba mencarikan jalan keluarnya yang jauh lebih baik.”

Sayangnya, masih banyak (oknum) intelektual saat ini yang lupa bahwa tujuan berpikir bukanlah semata-mata untuk mengalahkan orang lain dalam debat, tetapi untuk mengangkat manusia dari keterpurukan. Tapi lagi-lagi, kerapkali yang dilakukan oleh (oknum intelektual/filsuf) saat ini, justru seringkali mempertontonkan superioritas intelektual dengan memiskinkan makna kemanusiaan. Dalam hal ini, retorika filsafat berubah menjadi topeng arogansi. Oleh karena itu, sudah saatnya kita untuk mengembalikan filsafat ke tempat asalnya: pasar, jalanan, sekolah-sekolah, dan rumah-rumah sederhana. Tempat dimana manusia sungguh-sungguh berjuang hidup. Tempat dimana pertanyaan-pertanyaan etis lahir dari tangisan anak-anak kita yang terbawa oleh arus zaman absurditas saat ini, dari peluh para orang tua yang punya banyak kehawatiran tentang masa depan anak-anaknya, yang kini berada di era milenial dan terus berselancar di dunia maya, yang acapkali terdegradasi moralitas dan minimnya akhlak kepada orang tuanya. Oleh karena itu, di situlah kita akan bisa menemukan kembali wajah asli seorang (oknum) filsuf : bukan yang bicara dari podium, tapi yang duduk di tanah dan membumi, dan sekaligus mendengarkan dunia sambil tetap berpikir abstrak dan bersifat konsrptual-idealis, filosofis dan kholistik.

III. Memahami Teori Kekuasaan Dalam Perspektif Pemikiran Filsuf Michel Foucault

Menurut sang filsuf Micharl Foucult dan Fruedrich Nietzsche, bahwa kekuasaan tidak dapat dilepaskan dengan manusia karena sadar atau tidak, bahwa manusia pada dasarnya memiliki hasrat untuk berkuasa (the will to power) dalam eksistensinya. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa kata ‘kekuasaan’ memiliki arti ‘kuasa untuk mengurus, memerintah dan sebagainya’. Di sub judul bagian ini kita akan mencoba memahami konsep kekuasaan dari perspektif yang kritis dan lebih spesifik lagi. Secara khusus, kita akan berkenalan dengan salah satu pemikir asal Poitiers (Prancis) yang banyak membahas tentang konsep dan isu-isu kekuasaan, yaitu menurut Michel Foucault (1926-1984). Micharl Foucault, ia seorang filsuf, sejarahwan, sosiolog, dan pemikir post-strukturalis yang dikenal dengan teori wacananya.

Michael Foucault, banyak menuliskan pemikiran kritisnya melalui karya-karyanya antara lain: Madness of Civilization (1965), The Order of Things: An Archeology of the Human Sciences (1966), The Archaeology of Knowledge and The Discourse of Language (1969), The Birth of Clinic: An Archaeology of Medical Perception (1975), Discipline and Punish: The Birth of Prison (1979), dan The History of Sexuality Vol. 1 & 2 (1980-5). Sepanjang karir intelektualnya, Michal Foucault, ia banyak menaruh minat dan ketertarikan akademik terhadap persoalan kekuasaan terutama dalam kaitannya dengan sejarah, dan pemikirannya juga telah memberikan pengaruh yang luas terhadap berbagai disiplin ilmu sosial-budaya termasuk sosiologi, cultural studies, dan antropologi. Bagi Michael Foucault, sejarah merupakan situs penting untuk melihat retakan zaman (diskontinuitas), untuk menemukan episteme (rezim pengetahuan) yang berkuasa di periode waktu tertentu dan bagaimana kekuasaan itu akhirnya beroperasi.

Tidak hanya itu, dalam mengungkap kedok kekuasaan, Mihael Faucault juga banyak memusatkan perhatiannya pada tema-tema tertentu seperti kegilaan, seksualitas, disiplin dan lain sebagainya. Hal itu dipahaminya sebagai wilayah beroperasinya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Menurut Michael Foucault dan konsep kekuasaan, ia tidak menyarankan kita untuk mengajukan pertanyaan ‘Apa itu kekuasaan?’ dan ‘Siapa yang memilikinya? Tetapi dengan memberikan pertanyaan ‘Bagaimana kekuasaan itu beroperasi?’ dan ‘Melalui cara apa kekuasaan itu dioperasikan? Sedangkan pemaknaan Michael Foucault tentang kekuasaan berbeda dengan tradisi Marxian dan Weberian yang melihat kekuasaan itu sebagai privilege dan ‘properti’ yang hanya dimiliki oleh segelintir orang tertentu untuk memdominasi dengan memanipulasi ideologi. Baginya, kekuasaan juga tidak selalu beroperasi secara negatif melalui tindakan yang koersif dan represif dari suatu institusi pemegang kekuasaan, termasuk negara. Uniknya, Micharl Foucault berargumen bahwa sebenarnya kekuasaan itu bisa bersifat tidak stabil, positif, produktif, dan menyebar (omnipresent) seperti jaringan yang memiliki ruang lingkup strategis di setiap relasi sosial, contohnya dalam hubungan orang tua dan anak, suami-istri, guru dan murid, pertemanan, hubungan kerja dan lain sebagainya.

Relasi-relasi sosial tersebut selalu timpang, seperti orang tua yang kerap melarang anaknya untuk tidak keluar di waktu malam hari. Demikian juga seorang guru yang meminta anak didiknya untuk mengerjakan soal ujian, dan seorang atasan yang meminta karyawannya untuk menuliskan laporan. Namun kita tidak bisa secara terburu-buru mengatakan bahwa kekuasaan selalu bersifat negatif, karena seorang ayah yang melarang keras anak perempuannya untuk keluar di malam hari misalnya, hal itu agar sang anak itu bisa terhindar dari kriminalitas, dan hal itu tidak bisa dikatakan sebagai tindakan buruk dan memaksa. Demikian juga seorang guru yang meminta anak didiknya mengerjakan soal agar anak didiknya itu lulus ujian dan mendapatkan nilai bagus serta dimaknai sebagai sebuah bentuk relasi kuasa yang bersifat positif. Artinya, kekuasaan itu bersifat relatif, bisa ‘baik’ dan juga bisa ‘buruk’. Michael Foucault, berargumen bahwa kekuasaan secara evolutif mengalami transformasi, artinya jika dulu seorang raja melakukan kontrol sosial dan menghukum warganya yang dianggap bersalah dengan cara-cara kekerasan dan represi (sovereign power) melalui kepatuhan hukum, sementara dalam konteks masyarakat modern saat ini, hal itu memang sudah ditinggalkan di banyak negara. Dan cara itu telah digantikan dengan modal “disciplinary power” atau normalisasi tindakan yang dirancang diinternalisasi dengan memanfaatkan kemampuan produktif dan reproduktif tubuh serta menempatkan subjek sebagai efek dan kendaraan bagi kekuasaan (vehicle of power).

Misalnya, dalam konsep panopticon Michael Foucault, masyarakat modern akan mengenakan helm pada saat berkendara karena aturan tersebut dibuat negara, sementara berjalannya kekuasaan tanpa tekanan adalah ketika pengendara merasa bersalah karena tidak memakai helm dan orang lain membantu negara menegakkan aturan dengan cara menegur pengendara yang tidak menggunakan helm. Sedangkan kekuasaan dan pengetahuan salah satu pemikiran penting Michael Foucault, terletak pada bagaimana ia mencurigai pengetahuan sebagai bentuk atau wujud kekuasaan, kekuasaan selalu ditopang oleh pengetahuan yang menjelma menjadi formasi wacana. Kemudian, wacana tersebutlah yang diklaim oleh Michael Foucault sebagai wajah kekuasaan. Contohnya, wacana ilmiah tentang psikiatri melahirkan yang ‘normal’ dan ‘gila’, wacana kecantikan melahirkan salon-salon kecantikan yang mengidealisasi bentuk tubuh tertentu, dan wacana seksualitas melahirkan heteroseksualitas versus homoseksualtas. Mirisnya, dampak vital dari formasi wacana melahirkan itu, yaitu apa yang disebut sebagai ‘benar’ dan ‘salah’, ‘normal’ dan ‘abnormal’, pusat dan marginalitas yang kesemuanya itu adalah efek atau kemungkinan-kemungkinan dari suatu wacana tertentu yang bersifat temporer. Oleh karena itu, menurut pandangan penulis, bahwa apa yang diwacanakan oleh Michael Faucoult sebagaimana diatas, memang harus terus kita kritiso. Namun, kita juga harus tetap mengkritisi dengan munculnya wacana yang bersifat monolog yang kerapkali (diklaim) oleh salah seorang (oknum) filsuf di negeri ini, yang nota bene sering tampil di publik dengan penuh berapi-api itu, dan ia kerapkali mengklaim apa yang ia katakannya itu sebuah “kebenaran ilmiah yang objektif”. Namun hal itu, sekali lagi perlu kita terus dikoreksi secara kritis, karena boleh jadi, apa yang dianggapnya sebagai keilmiahan itu justru malah tidak bebas nilai.

IV. Filsafat Kebersamaan

Sementara cara yang lebih tepat dan moderat menurut pendapat penulis, saat ini agar kita tidak mengklain sebagai pemegang kebenaran ilmiah yang paling mutlak, dan terus mempertahankan ego sentris kita, dan selalu mengklain diri kita-lah yang paling ilmiah, paling filosofis, sambil terus mengklain menjadi sosok seorang filsuf kemoderenan dan kekinian. Untuk itu, agar kita tidak terus terjebak pada “ego sentris kita” dan sekaligus “mengklaim hanya diri kita-lah paling otoritatif pemegang kebenaran ilmiah”. Maka seyogyanya kita untuk menela’ah secara kritis, yaitu sebuah ilustrasi yang sering dikemukakan oleh seorang filsuf terkemuka Indonesia lainnya, yaitu menurut Prof, Dr N. Driyarka, dan ia kerapkali mengatakan : “Menurut strukturnya ada kita, baru ada bersama (ada orang lain). Manusia tidak hanya meng-Aku, dia juga meng-Kita. Aku selalu memuat engkau serta hanya dengan dan dalam pertemuan dengn engkaulah, aku menjadi aku”. Tutur filsuf Prof. Dr. Driyarka. Dan itu mempertegas bahwa secara eksistensial manusia harus membangun kebersamaan dalam hidup, bahkan yang dinamakan jati-diri akan semakin tampak dalam sebuah kebersamaan. Singkat kata, bahwa kebersamaan dalam hidup adalah sesuatu yang sangat fundamental dan sangat esensial sifatnya.

Bahkan masalah pokok yang di utarakan oleh seorang filsuf, Gabriel Marcel misalnya, yakni dalam karya ilmiahnya yang menyinggung soal “Filsafat Kebersamaan”. Bahkan Gariel Marcel menyimpulkan, bahwa manusia sejatinya berorientasi pada kebersamaan ontologis (keberadaan sesuatu yang bersifat konkret) dan manusia akan merasa tidak lengkap atau tidak utuh dan mengalami frustrasi bila ia sendirikan atau mengurung diri serta lepas dari berbarengan dengan sesama (orang lain). Hal itu teristimewa nyata bagi manusia yang sadar diri, karena di dalam dirinya terkandung tuntutan-tuntutan ontologis akan pemenuhan, akan transendensi dan akan keutuhan bersama dalam semangat kebersamaan.

Pertanyaannya adalah, mengapa nilai kebersamaan itu begitu penting? Pertama, dalam konteks pembangunan misalnya, maka melalui kebersamaan akan tercipta harmonisasi dan komunikasi pada seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam mengakselerasi pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Kedua, melalui kebersamaan, akan menyatukan perspektif dan arah pandang. Hal itu sejatinya merupakan modal dasar dalam konteks untuk mewujudkan visi-misi pembangunan yang telah di canangkan. Ketiga, melalui kebersamaan, berpotensi dalam mewujudkan kesatu-paduan untuk stabilitas yang dinamis. Karena, suatu keadaan masyarakat yang tenang tapi terus bersemangat penuh dinamika sehingga dapat menjalankan fungsi-fungsi yang dimilikinya dengan baik, sesuai dengan kedudukan dan kapasitas masing-masing. Karena, setiap orang dalam kedudukan dan kapasitasnya masing-masing sesungguhnya sudah memiliki semangat dan gelora untuk membangun di dalam sanubarinya. Jika tidak, maka sudah bisa dipastikan bahwa orang tersebut sudah kehilangan semangat dan motivasi untuk maju dan berkembang.

Keempat, melalui kebersamaan, akan tercipta iklim yang kondusif dan penuh keterbukaan dan tranparansi. Karena kebersamaan akan membuka ruang bagi tumbuh dan berkembangnya iklim keterbukaan yang sejatinya merupakan salah satu pilar penting dalam demokrasi. Seperti menyampaikan ide, gagasan, tukar pikiran dan olah pikir, termasuk dalam bentuk kritik konstruktif dalam kelancaran pelaksanaan pembangunan. Kelima, sharing and caring, karena hanya dalam situasi dan kondisi yang berdasarkan nilai-nilai kebersamaan itulah, maka sikap kritis, langkah inovatif dan kreatif bagi kemajuan pelaksanaan pembangunan yang berkeadilan dapat lahir dan tercipta. Tak pelak lagi, melalui semangat kebersamaan, maka setiap proses pelaksanaan pembangunan akan selalu diletakkan dan diorientasikan semata-mata untuk kepentingan bersama, karena nilai-nilai kebersamaan yang terwujud itu merupakan kebutuhan bersama akan pelakanaan pembangunan yang berkeadilan.

Dalam konteks ini tentu saja kepentingan golongan individual, sikap cari muka sendiri, yakni untuk kepentingan yang bersifat subjektif, sikap egosentris-entosentrisme dan lain sebagainya, hal itu sama sekali tidak relevan untuk dibicarakan di sini, karena sifat-sifat ego sentris itu tidak menujukkan kemanfaatan, tapi malah berpotensi untuk menggerus nilai-nilai kebersamaan itu sendiri. Sudah saatnya kita berempati satu sama lain, saling menghargai dan mensyukuri potensi yang dimiliki, menghentikan penyakit jiwa saling curiga, intersinisme, pragmatisme, isu-isu destruktif, obrolan-obrolan dimedia sosial yang terkadang tanpa kita sadari telah menelanjangai kekerdilan cara berfikir kita.

Oleh karenanya, menyadari kunci keberhasilan pembangunan itu adalah dengan tidak membiarkan pihak pemerintah (dan termasuk pemerintah daerah) mereka berjalan sendiri, karena pemerintah memerlukan peran aktif semua pihak untuk mengawal pembangunan dalam semangat kebersamaan yang kita miliki. Bahkan, teorisasi membangun dengan konsep kebersamaan, hal itu akan menjadi modal sosial dan “resources” yang tampil sebagai energi penggerak dalam konteks untuk mendorong dinamisasi dan proses percepatan pelaksanaan pembangunan, khususnya di seantero negeri ini yang saat ini mulai agenda tahun pertama proses pembangunan yang dilakukan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (oleh Gubernur, Bupati dan Walikota), agar seluruh dinamika pembangunannya bisa berjalan lancar dan dinamis. Maka yang dibutuhkan saat ini adalah suatu proses membangun kebersamaan dalam menggagas jaringan bersama secara objektif dan konstruktif dalam konteks untuk mendorong dan mendukung pembangunan dengan konsep kebersamaan yang diusung dan menjadi rekam jejak terutama pasca Pilpres dan Pilkada beberapa bulan yang lalu itu, agar negeri ini menjadi negeri yang cemerlang, gemilang dan bisa berkompetitif dengan negara-negara lain di dunia ini. Bukan untuk siapa-siapa, tetapi dari, oleh dan untuk kita semuanya.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *