
Oleh: Endang Yusro
(Kepala SMA Muhammadiyah Kota Serang dan Pengurus ICMI Orwil Banten)
Jagal adalah orang atau sekelompok orang yang ditugaskan untuk menyembelih, menguliti sampai pada memotong bagian-bagian hewan qurban karena dianggap berpengalaman. Tidak asing lagi biasanya sang jagal meminta imbalan atau jatah bagian hewan qurban. Bagaimana hukumnya? Setelah daging kurban selesai dipotong-potong dengan beberapa bagian siap untuk dibagikan.
Berikut beberapa ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang menjelaskan pendistribusian qurban, yaitu; al-Hajj: 28 yang artinya: “Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”
Pada Surah yang sama ayat 36 yang artinya: “Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat).”
Kemudian hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ali bin Abi Thalib. “Sesungguhnya Ali ra telah mengabarkan bahwa Nabi SAW telah memerintahkan kepadanya agar ia (Ali) membantu (melaksanakan kurban) untanya dan agar ia membagikan seluruhnya, dagingnya, kulitnya, dan pakaiannya dan ia tidak boleh memberikan sedikitpun dalam urusan jagal.” (HR al-Bukhari)
Dengan merujuk kepada ayat-ayat dan hadis tersebut, maka penerima qurban dapat dikelompokkan pada empat, yaitu; 1) shahibul qurban; 2) Orang yang sengsara lagi faqir; 3) Orang yang yang tidak meminta-minta (al-Qaani’) maupun yang meminta-minta (al-Mu’tar); dan 4) Orang-orang miskin.
Ayat dan hadis di atas tidak ada yang menyatakan adanya bagian qurban kepada tukang jagal. Adapun untuk mengganti upah atas aksinya (jagal) panitia bisa menyiasatinya dengan uang operasional kepanitian yang biasanya meminta kerelaan sebelumnya dari pihak yang berqurban.
Dalam hal ini tukang jagal masuk dalam kepanitian. Dan jika menghendaki daging qurban, maka bisa masuk kategori No. 2, 3, atau 4. Jadi mendapat bagian yang sama, tidak khusus.
Ada beberapa hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan shohibul qurban berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis di atas yaitu; Pertama boleh memanfaatkan kulit hewan qurban; kedua, Memberikan kepada orang yang berkecukupan; ketiga, menyedekahkannya kepada fakir miskin; keempat, membagikan seluruh bagian dari hewan qurban, seperti daging, kulit dan pakaian hewan qurban (dalam hal ini unta yang memiliki pelana, sepatu, dan aksesoris lainnya); kelima, memakan daging qurbannya.
Kemudian beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh shahibul qurban, di antaranya: Pertama, menjual bagian dari hewan qurban baik daging, kulit dan lainnya; Kedua, memberikan bagian dari hewan qurban sebagai upah penyembelihan tetapi boleh diberi sebagai bagian dari penerima daging qurban.
Menutup tulisan ini, bahwa perbedaan waktu menentukan kapan (tanggal berapa hitungan Masehi) pelaksanaan hari Lebaran Haji berlangsung sudah biasa terjadi di Negeri ini. Bukan saja Iduladha, Idulfitri pun sering kita jumpai. Hal ini dikarenakan sistem penentuan tanggal berkaitan dengan keagamaan diserahkan kepada masing-masing Ormas. Dalam hal ini Pemerintah tidak memberikan keputusan mutlak. Alih-alih memberi kebebasan kepada semua paham yang ada, namun pelaksanaannya jika menemukan perbedaan, Pemerintah seakan memihak pada paham tertentu.
Seperti Iduladha tahun 1443 H./2022 M. berdasarkan berita yang beredar di Negeri ini akan ada perbedaan. Ada yang mengatakan 10 Dzulhijjah 1443 H. jatuh pada hari Sabtu 9 Juli, namun ada juga yang berpendapat hari berikutnya, Minggu 10 Juli 2021 H.
Masing-masing pendapat tentunya memunyai sandaran atas alasan mereka menjadikan waktu Iduladha yang berbeda. Meyakini pendapatnya yang (paling) benar adalah kebenaran, namun menganggap yang lain salah bahkan berdosa karena melakukan sesuatu yang diharamkan adalah perbuatan yang tidak dibenarkan.
Sesungguhnya yang patut menghukumi perihal ubudiyah (ibadah) hanyalah Allah SWT. kita sebagai makhluk-Nya hanya diperintahkan untuk beribadah sebagai wujud cinta kepada Sang Pencipta.
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qu’ran itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” [al-An’am:114].
Bukankah perbedaan seperti ini sudah sering terjadi dari zaman sebelumnya dan setelahnya tidak terjadi apa-apa? Jika berbicara dosa (haram) hanya karena perbedaan menentukan waktu hari raya, bukankah untuk hal-hal yang lebih luas (bahkan prinsipil) Allah SWT. mengatakan “lakum dinukum waliyadin”.
Baiknya jika tidak mau menerima perbedaan dibahas jauh-jauh hari sebelumnya. Ulama menyerahkan keputusan kepada pemerintah, seperti di negara-negara lain. Bukankah (katanya) adanya perbedaan itu adalah rahmat.
Semoga Bangsa dan Umat ini mencontoh para pendahulu yang menghormati setiap perbedaan!
Demikian, Wallahu a’lam bish-shawab