
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Prolog
Darimana datangnya filsafat atau berpikir secara filosofis-diskursif itu? Pertanyaan itu tampak sederhana, tetapi menyentuh akar terdalam dari tradisi berpikir manusia sejak zaman purba. Ia bukan sekadar soal asal-usul soal filsafat itu merupakan suatu cabang ilmu, melainkan selalu menggugat dasar-dasar eksistensi manusia itu sendiri. Mengapa kita harus terus bertanya, mengapa kita selalu gelisah, dan mengapa kita terus mencari makna dibalik hidup di alam zagat raya ini?
Filsafat bisa saja dipahami sebagai produk rasio yang memang cemerlang, ia lahir dari kejernihan akal yang resah, yang menolak menerima dunia begitu saja tanpa penalaran. Dalam perspektif ini, filsafat muncul karena manusia ingin mengetahui, memahami, dan menjelaskan realitas secara rasional. Filsafat muncul sejak zaman Thales di Miletos hingga Imanuel Kant di Knigsberg (Jerman), dan hingga saat ini dalam konteks Indonesia sendiri, munculah sosok seorang ahli filsafat “kekinian”, yaitu Rocky Gerung. Sementara sejatinya akar filsafat atau berpikir filosofis-diskursif itu adalah untuk mengurai benang merah, dan menggelitik manusia untuk terus beusaha menggunakan logikanya (akal), yakni untuk menembus tabir kenyataan.
Namun, mungkinkah filsafat justru lahir dari wilayah lain, yakni dari hati yang gelisah, dari batin yang terusik oleh absurditas, penderitaan, dan ketidakpastian hidup? Bahkan, dalam kekosongan makna, manusia kerapkali bertanya : Untuk apa semuanya ini? Di sinilah filsafat muncul bukan hanya sebagai pencarian kebenaran, melainkan juga sebagai tangisan sunyi manusia yang mendambakan pengertian, keadilan, dan harapan.
Maka pertanyaan awal itu menjadi lebih dalam lagi : Apakah filsafat pertama-tama adalah dorongan akal untuk memahami, ataukah jeritan batin yang ingin dimengerti? Apakah ia lahir dari kepala yang penuh tanya, atau dari dada yang penuh luka? Pertanyaan itu membawa kita pada proses penelusuran lintas zaman dan lintas budaya. Yakni, bagaimana para filsuf dari Yunani kuno, Timur kuno, hingga dunia modern saat ini, memahami dan menjalani filsafat. Dengan menggali akar filsafat, maka kita akan melihat bahwa filsafat bukanlah milik akal semata, juga bukan monopoli hati, melainkan pertemuan keduanya dalam diri manusia yang terus bertanya dan tak pernah puas dengan jawaban pertama.
Dalam sejarah panjang filsafat Barat, akal (reason) menempati posisi yang sangat penting, yaitu sejak zaman Yunani Kuno, saat itu manusia mulai diyakinkan bahwa dunia ini dapat dipahami melalui nalar. Hal itu bukan sekadar pilihan metodologis, tetapi juga keyakinan eksistensial bahwa realitas memiliki struktur yang rasional, dan karenanya dapat diselami oleh pikiran manusia.
Thales misalnya, ia sering disebut sebagai filsuf pertama yang memulai tradisi ini bukan dengan mitos, tetapi dengan pertanyaan : Apa unsur dasar dari segala sesuatu? Jawabannya, air, mungkin terdengar naif hari ini, tetapi langkah intelektual yang ia ambil saat itu memang sangat revolusioner. Ia mencoba memahami dunia ini bukan dari cerita dewa, melainkan dari logika alam.
Lompatan besar terjadi bersama Socrates. Ia tidak menulis buku, tetapi namanya abadi karena satu hal, karna ia juga terus bertanya. Melalui metode dialektikanya, ia mempertanyakan pengertian-pengertian yang umum diterima begitu saja, seperti “keadilan” atau “kebajikan.” Dalam dialog Plato, Socrates tidak memberikan jawaban pasti, namun yang ia berikan adalah kegelisahan intelektual, dan mungkin disitulah filsafat dimulai, yakni dari akal yang resah karena tidak puas dengan jawaban-jawaban yang sudah ada.
II. Buku Kerangka Berpikir Filosofis
Untuk menelusuri urgensitas dari filsafat, di tahun 2024 yang lalu, “Lingkar Studi Filsafat Discourse”, mengadakan acara bedah buku bersama A. Fadhil Aprilyandi Sultan dan Dr. Fahruddin Faiz. Acara itu diikuti berbagai peserta, dan dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kegitan tersebut berlangsung pada tanggal 31 November 2024.
Kegiatan itu diadakan untuk mengulas karya A. Fadhil Aprilyandi Sultan berjudul “Kerangka Berpikir Kritis : Sebuah Catatan Hermeneutik”. Karya tersebut hingga saat ini telah diterbitkan oleh penerbit Discourse.
Sementara latar belakang penulisan buku itu, konon katanya terinsfirasi oleh rasa keingintahuan Fadhil terhadap sejarah. Bahkan katanya, ia mula-mula banyak membaca buku-buku sejarah Islam hingga bermuara pada pemikiran-pemikiran filosofis para tokoh Islam. Fadhil juga sering mengikuti kajian filsafat dari Dr. Fahruddin Faiz, terutama melalui kanal Youtube MJS Channel. Dari sana, ia sering menulis artikel tentang filsafat yang kemudian ia kirimkan ke laman LSF Discourse. Dan seiring berjalannya waktu, akhirnya Fadhil terinspirasi untuk menulis buku tentang filsafat dengan tema “Berpikir Filosofis” karena menurutnya tema tersebut sangat relevan dengan kebutuhan kita saat ini, serta ingin memberikan manfaat kepada orang lain melalui buku tersebut.
Sementara diskusi (saat bedah buku itu) dan sekaligus juga sebagaimna telah tersistimatisir di dalam isi buku yang ditulis oleh Fadhil itu, memang banyak mengulas tentang tema berpikir. Menurut Fadhil, berpikir filosofis memerlukan pertanyaan yang demikian dalam, hal itu sebagai pemantik untuk memikirkan suatu permasalahan secara kritis. Lebih lanjut menurut salah seorang ahli filsafat asal Yogyakarra, dan sekaligus sebagai pemateri diacara bedah buku karya Fadhil itu, Dr. Fahruddin Faiz menjelasan, bahwa berpikir merupakan kegiatan yang sering kita jalani sebagai manusia. Meski demikian, banyak dari kita yang tidak benar-benar berpikir. Apa itu berpikir? Menurutnya, berpikir filosofis memiliki perbedaan dengan berpikir praktis. Berpikir filosofis merupakan kegiatan berpikir yang bersifat reflektif, analitis, dan sistematis. Hal itu berbeda dengan berpikir praktis; untuk membuat jus atau menanak nasi misalnya, kita memang tidak memerlukan pikiran filosofis. Pikiran filosofis diperlukan dalam ranah teoretis yang seringkali bersifat abstrak, serta diperlukan untuk memecahkan permasalahan yang besar disertai dengan argumentasi untuk membuktikan validitas dan kebenarannya.
Lebih dari itu, berpikir filosofis menurut Dr. Fahruddin Faiz, memang memiliki beberapa karakteristik yang perlu dihindari agar dapat mencapai pemikiran yang lebih objektif dan kritis. Salah satunya adalah pemikiran “egocentrism”, dimana seseorang cenderung menilai segala sesuatu itu hanya dari sudut pandang pribadi, sulit menerima kritik, dan menganggap pemikirannya paling benar. Karakteristik lainnya adalah “sociocentrism”, yaitu cara berpikir yang sangat dipengaruhi oleh kelompok sosialnya, sehingga keputusan dan penilaiannya selalu didasarkan pada norma kelompok tanpa melakukan analisis kritis. Sedangkan dalam berpikir filosofis, kita juga sering terjebak dalam “unwarranted assumption”, dimana kita membuat kesimpulan atau asumsi tanpa bukti yang memadai dan cenderung mengandalkan prasangka serta stereotip dalam menilai sesuatu. “Wishful thinking” juga menjadi hambatan dalam berpikir filosofis karena pemikiran lebih didasarkan pada keinginan daripada realitas, mengabaikan fakta-fakta yang bertentangan dengan harapan, dan bahkan terlalu optimis tanpa dasar yang kuat.
Karakteristik terakhir yang perlu dihindari adalah “total relativism”, yaitu pandangan bahwa semua kebenaran bersifat relatif dan tidak ada standar mutlak dalam menilai benar-salah, sehingga semua pendapat dianggap sama benarnya tanpa mempertimbangkan validitas argumentasi dan bukti yang ada. Kelima karakteristik diatas, merupakan hambatan dalam konteks untuk mencapai pemikiran filosofis yang ideal karena cenderung mengarah pada subjektivitas dan kurangnya analisis kritis dalam menghadapi berbagai persoalan. Sementara untuk mencapai pemikiran filosofis yang baik, seseorang perlu mengembangkan cara berpikir yang lebih objektif, kritis, logis, dan selalu didasarkan pada bukti serta argumentasi yang lebih valid.
III. Awal Sejarah Dan Perkembangan Filsafat
Sebagaimana telah dijelaskan dibagian atas, bahwa jumhur para “ahli pikir” mereka mengatakan bahwa awal adanya berpikir (berfilsafat) itu, yaitu sejak zaman Thales, alias sejarah filsafat pertama kali lahir di zaman Yunani kuno. Sementara lahirnya filsafat berdampak besar pada perubahan pola fikir bangsa Yunani, dan umat manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Pada awalnya masyarakat Yunani percaya bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini disebabkan oleh pengaruh dewa-dewa. Namun akhirnya filsafat mengubah pandangan masyarakat itu menjadi lebih rasional, kemudian lahirlah filsafat dan ilmu pengetahuan yang membawa pembaharuan bagi dunia menjadi lebih modern. Alam dan segala isinya yang dulunya ditakuti dan disegani masyarakat lama-kelamaan mulai didekati dan dimanfaatkan. Termasuk juga modernisasi ilmu pengetahuan yang ditandai dengan munculnya teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan baik alam semesta (makrokosmos) maupun teori yang mempelajari manusia dan makhluk hidup (mikrokosmos). Dalam proses erkembangannya, akhirnya filsafat dibagi menjadi tiga masa :
- Masa Yunani Kuno.
Pada masa ini teori-teori ilmu pengetahuan yang muncul lebih mengacu kepada teori-teori alam. Darimana alam dapat terjadi, bagaimana alam bekerja menjadi pokok pikiran para filsuf pada zaman itu. Tokoh yang paling terkenal pada zaman tersebut diantaranya adalah Thales (625 — 545 SM). Salah satu teori milik Thales diantaranya bahwa semua adalah air. Air adalah teori yang pangkal dan pokok. Hal itu karena air meresapi segala hal yang ada di dunia. Tokoh yang lainnya adalah Heraklitos (540-480 SM). Berbeda dari Thales, Heraklitos beranggapan bahwa semua yang ada di dunia ini adalah api. Hal itu karena ia menggangap bahwa api adalah simbol perubahan, semua berubah dari yang dingin disebabkan oleh panas. - Masa Abad Pertengahan.
Abad pertengahan dikenal sebagai abad kristiani. Pada masa itu pola berpikir yang awalnya antroposentri berubah menjadi theosentris. Pada abad ini semua filosofi yang ada digunakan untuk mendukung ajaran agama dan harus mendukung ajarannya. Sehingga teori-teori yang lahir lebih bersifat theologis. Para filsuf yang terkenal pada masa itu adalah Agustinus dan Thomas Aquinias. - Zaman Abad Modern.
Pada abad modern cara pandang masyarakat terhadap pengetahuan kembali kepada Antroposentri. Namun teori-teori yang muncul lebih menjadikan manusia sebagai pusat filsafat. Era ini disebut sebagai era kembalinya kebebasan berfikir masyarakat. Perhatian-perhatian yang mucul lebih luas lagi, diantaranya pada bidang seni, arsitektur, musik, sastra, serta teknologi dan ilmu pengetahuan. Ada beberapa aliran-aliran yang lahir pada masa ini diantaranya Rasionalisme, Idealisme, Positivisme, Emperisme, Kritisme, dan Marxisme.
IV. Bagaimana Umat Islam Saat Ini Untuk Terus Mengambil Afinitas Dari Filsafat, Dan Terus Menelisik Kembali Substansi Dari Ayat Suci Al-qur’an (Surat Al-Baqarah, Ayat 31)
Dalam konteks pemahaman umat Islam sendiri, yaitu jauh sebelum ditemukannya pemikiran filsafat oleh Thales, sesungguhnya dimensi kefilsafat umat Islam itu sendiri secara substantif jauh lebih dahsyat. Karena, di dalam al-qur’an (Surat Al-Baqarah ayat 31), yaitu bagaimana Nabi Adam AS saat pertama kali ia berada di alam zagat raya ini, ketika itu ia dapaksa untuk berpikir filosofis dan terus mempertanyaan berbagai hal yang ada di sekitarya atau di sekelilingnya.
Dalam dalam perspektif pemikiran Islam (zaman Nabi Adam) ketika ia mempertanyakan berbagai hal di alam zagat raya ini, hal itu disebut sebagai proses pembelajaran. Sementara pembelajaran merupakan interaksi antara pendidik (sang Kholik/Allah) dengan sang makhluk/peserta didik (Nabi Adam AS), yang dalam surat Al-baqarah Ayat 31, memang terdapat materi yang ditransfer, yaitu interaksi memuat pola dan cara transfer pengetahuan. Dari interaksi Nabi Adam saat itu, akhirnya Nabi Adam menjadi tahu dan bisa menampilkan pengetahuannya melalui keterampilan tertentu. Dengan interaksi itu, Nabi Adam dapat memperoleh ilmu dari sang Kholik yang menyampaikan ilmu.
Bahkan, di dalam al-Qur’an, kata ilmu banyak disebutkan. Misalnya, kita juga bisa menemukan beragam bentuk seperti ‘ilm, ‘alim, ‘allama, ‘alimtum, ya’lamu-na, ta’lamu-na, juga ‘ulama. Setiap kata itu memuat makna yang beragam pula, yaitu sesuai dengan bentuk kata dan pola kalimat yang digunakan. Namun, berujung pada sebuah makna yang beredar yaitu pengetahuan atau ilmu.
A. Kata “Ta’lim” Dalam Al-Qur’an
Pembelajaran atau “learning” sepadan dengan kata ‘allama (dengan bentuk tad’if) berpola fa’ala atau taf’il. Kata itu diterjemahkan menjadi mengajarkan. Makna pada pola itu biasanya bersifat muta’addi, yang subjeknya ketika mengerjakan sesuatu membutuhkan maf’u (objek). Apa yang dilakukan oleh subjek diarahkan pada objek yang harus menerima perlakukan dari perbuatan subjek. Kata ‘allama ditemukan pada beberapa tempat dalam al-Qur’an, seperti pada QS al-Baqarah:31, QS al-Rahman: 2 dan 4, dan QS al-‘Alaq :4 dan 5. Pada QS. al-Baqarah ayat 31 terdapat penggalan ayat وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا, “Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya”. Penggalan ayat tersebut bersifat aktif, Allah sebagai subjek mengajarkan Adam (objek) pada nama-nama secara keseluruhan (objek kedua). Ayat itu menjelaskan tentang Allah yang mengajarkan nama-nama secara keseluruhan pada Adam sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana ayat sebelumnya. Adam adalah manusia pertama, yang sebelumnya belum ada manusia yang mendidiknya. Dalam hal ini Allah Swt yang langsung mendidik dan mengajarkannya. Karena, Adam dipersiapkan untuk menjadi khalifah. Dalam Tafsir Kementerian Agama RI (2019) dijelaskan bahwa Allah Swt mengajarkan Adam tidak seperti manusia biasa. Allah Swt mengajarkan secara langsung dan memberikan potensi berupa kemampuan berfikir yang memungkinkan mengetahui semua nama yang ada di hadapannya.
Peristiwa itu meneguhkan bahwa manusia adalah makhluk yang dapat dididik atau bahkan harus dididik. Untuk menjadi khalifah di muka bumi, manusia harus mengetahui atau memahami apa yang tampak di hadapannya yang didalamnya termasuk nama-nama sesuatu. Sesuatu yang dikenal pasti harus terlebih diketahui. Sedangkan jangkauan untuk mengetahui adalah melalui nama-nama. Sebab, segala sesuatu yang tampak dalam jangkauan pengalaman manusia pasti memiliki nama. Penggalan ayat itu menegaskan bahwa dalam proses pembelajaran terdapat beberapa komponen penting yang saling terkait. Di dalamnya terdapat subjek mengajar (Allah Swt), subjek yang diberi pelajaran (Adam), konten yang diajarkan (al-asma), juga proses saling berkaitan antara subjek yang mengajar dan yang diberi pelajaran. Yang terakhir ini, dapat dipahami dari proses yang ada pada makna muta’addi antara Allah Swt, ‘allama, dan Adam.
B. Komponen Penting Pembelajaran
Apa saja komponen pembelajaran sesuai isyarat penggalan ayat di atas? Merujuk pada beberapa kata yang ada pada frase وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا, dapat diuraikan beberapa hal. Pertama, komponen pendidik. Komponen ini terdapat pada damir yang ada pada kata ‘allama yang kembali pada rabbuka (QS. al-Baqarah:30) ditunjukkan pada Allah Swt. Pendidik mengajari subjek lain dengan memberikan semua pengetahuan. Apa yang diberikannya adalah pengetahuan agar subjek lain dapat menjalani kehidupan berdasarkan pengetahuan dan potensi yang dapat dikembangkan. Kedua, komponen subjek yang dididik. Komponen ini diwakili oleh kata Adam sebagai objek. Dalam hal ini, objek dikenai sesuatu dari apa yang dilakukan oleh subjek. Adam diberi pengajaran oleh Allah Swt, meskipun berbeda caranya dengan manusia biasa.
Hubungan antara subjek pendidik dan yang dididik mengisyaratkan adanya interaksi tertentu, seperti halnya fa’il yang berinteraksi dengan maf’ul. Dua komponen penting menyatu dan dapat dipandang dalam proses pengajaran apabila keduanya saling berinteraksi. Interaksi pada frase ini adalah Allah Swt sebagai pendidik dan Adam sebagai manusia yang dididik. Ketiga, sesuatu yang diajarkan. Pada frase ini, al-asma’ bentuk jamak dari ism (nama), menjadi materi yang diajarkan oleh Allah Swt kepada Nabi Adam.
Bahkan diberi penguatan dengan kata “kullaha” yang menunjukkan keseluruhan nama. Seolah tidak ada suatu nama pun di hadapan Adam yang tidak diajarkan oleh Allah Swt.
Layaknya pembelajaran, interaksi pendidik dan yang dididik berisi tentang sesuatu yang diajarkan dengan beragam cara. Penyebutan al-asma’ bukan al-‘ilm berada dalam ruang makna bahwa pengetahuan dibangun oleh pengalaman empiris. Apa yang tampak dalam lingkup empiris menjadi idrak, dari idrak menjadi pengetahuan yang menetap (al-‘ilm). Boleh jadi, pengetahuan manusia secara umum mewujud setelah manusia berinteraksi dengan lingkungannya berkat pengamalan inderawi. Terkait hal ini, para ahli tafsir (mufasir) sudah cukup banyak menyajikan penjelasan tentang makna al-asma’ kullaha. Suatu pengetahuan yang menetap menjadi bekal bagi manusia dalam menjalani kehidupan sebagai khalifah di muka bumi. Begitu pun dengan Nabi Adam pada frase ini yang dihubungkan dengan ayat sebelumnya. Frase yang indah pada QS. al-Baqarah:31 ini dalam perspektif tafsir pendidikan bisa dijadikan dasar untuk menggali pesan Ilahi untuk pengembangan teori pendidikan. Dengan kata lain, bahwa Al-Qur’an bukan hanya kitab teori, namun di dalamnya memuat isyarat-isyarat yang dapat dijadikan dasar untuk pendidikan. Seperti halnya pada frase ini, muatan komponen dan pemaknaannya yang meneguhkan sebuah pemahaman bahwa interaksi pembelajaran sejatinya dapat ditemukan melalui isyarat al-Qur’an. Ini baru pada satu frase dalam ayat, belum lagi jika kata ‘allama digali pada ayat lain, dan kita semua (terutama pembaca dan pemerhati pendidikan) pasti akan menemukan makna lain.