Oleh : Adung Abdul Haris

I. Prolog

Apa itu filsafat dan apa itu berpikir radikal? Sementara ada enam unsur yang penting diperhatikan diatantaranya : Pertama, berpikir radikal berarti berpikir sampai ke akar-akarnya (radix), yaitu orang berpikir secara mendalam untuk memahami hakekat dan unsur-unsur dari suatu hal. Kedua, untuk bisa berpikir sampai ke akar-akarnya atau berpikir radikal, maka orang harus berani berpikir kritis, alias tidak boleh percaya begitu saja pada pernyataan orang lain, siapapun yang berbicara. Ia juga harus berani bertanya, terutama memunculkan bergai pertanyaan yang lebih mendasar, amat penting, dan sakralistik. Karena sejatinya, bahwa sikap kritis akan menyelamatkan hidup manusia dari berbagai masalah dan bahaya yang mungkin mengancam, yakni mulai dari pengaruh ideologi-ideologi sesat, sampai dengan tipuan iklan dari perusahaan-perusahaan pembohong. Ketiga, sikap kritis juga harus disertai oleh logika, dalam arti ini, logika adalah ilmu berpikir lurus. Karena, penarikan kesimpulan haruslah sesuai dengan data-data yang sudah ada sebelumnya. Sementara sikap kritis tanpa logika, maka ia akan bermuara pada perdebatan yang bersifat “debat kusir” yang tak berujung.

Keempat, logika membuat orang mampu berpikir, dan berpendapat secara sistematis. Hal itu berarti, pola argumen dan tulisan memiliki hubungan sebab akibat yang jelas. Ada alur yang jelas, dan bisa dimengerti dengan akal sehat. Bahkan, sistematika berpikir, berbicara, dan menulis adalah kemampuan yang sangat fundamental di dalam masyarakat demokratis. Kelima, apa yang telah dikemukakan diatas, akhirnya membuat orang semakin terbuka pada perbedaan sudut pandang. Bahkan sikap dan sifat toleransi akan lahir secara alami. Dialog dan komunikasi lalu menjadi jalan hidup, sekaligus jalan keluar untuk beragam masalah kehidupan yang tak pernah selesai di tengah masyarakat yang sangat komflikitit saat ini. Bahkan, tak ada tempat untuk pemikiran yang tertup dan memaksa, apalagi yang penuh dengan kekerasan dan dogmatisme belaka. Keenam, semua hal diatas, sebenarnya sudah terdapat di dalam intisari ajaran filsafat, yaitu filsafat yang mengedepankan semangat pencarian secara rasional, kritis dan sistematik tentang kenyataan. Bahkan filsafat tersebut, ia terus mengeliminir sikap dogmatis yang dianut secara membabi buta oleh masyarakat yang anti filsafat. Namun faktanya, filsafat seperti itu (filsafat rasional) hingga saat ini masih amat kecil pengaruhnya di Indonesia.

Bahkam jargon, “Cogito Ergo Sum”, aku berpikir maka aku ada, merupakan jargon yang sudah akrab bagi setisp orang yang bergelut di dunia filsafat, atau bagi orang yang mempelajari dan mendalami ilmu filsafat. Ungkapan yang diutarakan oleh Rene Descartes, yakni sang filsuf ternama asal Perancis itu, yang ingin dicoba dikemukakan pada tulisan kali ini. Karena, (studi filsafat) yang selama ini dipersepsikan sebagai bidang yang “berat” atau “abstrak”, namun pendapat penulis sendiri malah sebaliknya. Karena dengan ketekunan mempelajari filsafat, malah banyak melahirkan para individu yang tangguh dan sukses di berbagai ranah kehidupan. Lebih dari itu, ketika belajar filsafat dengan penuh kesungguhan dan keberanian untuk berpikir kritis, tak ayal lagi bisa mengantarkan siapa-pun untuk menjadi sosok seorang yang relevan, dibutuhkan, dan dihormati di tengah dinamika zaman yang kompleks saat ini. Bahkan, orang yang tekun mendalami teks-teks klasik, aktif dalam diskusi filsafat, dan gemar menulis, konsekwensi logisnya, ia akan menjadi seorang yang punya karakteristik pemikiran yang “abstraksi konseptual idealis”.

Oleh karena itu, penulis mengajak kepada kita semua, yakni betapa pentingnya untuk memperlakukan berbagai disiplin ilmu (termasuk proses pengkajian ilmu filsafat). Lebih dari itu, seyogyanya ilmu bukan sebagai sekadar pengetahuan, tetapi bagaimana agar ilmu tersebut kita jadikan sebagai jalan hidup. Lebih-lebih, filsafat juga mengajarkan kita untuk terus bertanya sebelum menjawab, terus merenung sebelum bertindak, dan itu merupakan bekal paling berharga dalam hidup kita sebagai pendidik dan sebagai pembelajar tanpa batas untuk menjadi individu yang terintelektualisasi. Bagaimana agar ilmu filsafat itu bisa diterjemahkan menjadi kekuatan pikir yang relevan dan menyentuh. Karena, hakikat dari ilmu filsafat itu sendiri adalah disiplin berpikir dan itu penting bagi kita dalam konteks untuk melihat berbagai peluang, membangun relasi, dan mengambil keputusan yang lebih tepat, cepat dan akurat demi kemaslahan (keberhasilan) kita sendiri, baik kini maupun dimasa yang akan datang.

Sementara ciri-ciri pemikiran filsafat itu sendiri diantaranya, filsafat sesuai ciri dasarnya, ia adalah sebagai prinsip dan landasan berpikir bagi setiap usaha manusia di dalam upaya untuk mengenal dan mengembangkan eksistensinya, serta melakukan tugasnya dengan bertitik tolak pada beberapa ciri pemikiran diantaranya : Pertama, Berpikir Rasional. Hal itu sebagaimana diketahui, berfilsafat adalah berpikir, meskipun demikian, tidak semua kegiatan berpikir dan hasil berpikir itu bisa dikategorikan sebagai berfilsafat. Ciri pemikiran filsafat pertama, ia harus bersifat rasional, bukan perasaan subyektif, khayalan, atau imajinasi belakah. Ciri pemikiran rasional menunjukkan bahwa baik kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran filsafat, harus bisa diterima secara akal sehat, bukan sekedar mengikuti sebuah “common sense” (pikiran umum). Ciri pemikiran filsafat yang rasional itu membuat filsafat disebut sebagai pemikiran kritis atau “ilmu kritis”.

Aspek kedua dari pemikiran rasio kritis itu adalah krisis atau crycis. Menurut Jurgen Habermas, krisis atau crysis adalah ciri pemikiran yang tidak ingin terbelenggu oleh sangkar rasio tetapi ia terus bergulat dengan realitas kemanusiaannya yang penuh krisis, anomali, determinasi, dan pembusukan budaya. Pemikiran crysis berada pada tataran sosial untuk melakukan penyembuhan-penyembuhan sosial atas berbagai fenomena patologis (penyakit sosial) berupa provokasi, rasio birokratis, intersinisme, saling mendegradasi, dan saling merepresi yang cenderung mendistorsi akal sehat manusia itu sendiri.

II. Berpikir Radikal

Berpikir radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir filsafat yang ingin menggali dan menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, hal itu untuk menemukan dan mengangkat dasar-dasar pemikiran secara utuh ke permukaan. Melalui cara pemikiran yang radikal itu, maka akan diperoleh suatu hasil berpikir yang mendasar dan mendalam, serta sebuah pertanggunganjawaban yang memadai di dalam membangun pemikiran filsafat dan pikiran keilmuan itu sendiri. Ciri pemikiran radikal, mengisyaratkan bahwa orang tidak perlu terburu-buru mengambil suatu kesimpulan pemikiran sebelum menemukan hakikat kebenarannya secara fundamental. Dengan demikian, ia tidak mudah terjebak ke dalam pemikiran yang sesat dan keliru atau mengalami “krilulogi”. Berpikir radikal menunjukkan bahwa filsafat sebagai sebuah proses dan hasil pemikiran, selalu berusaha melatakkan dasar-dasar dan strategi bagi pemikiran itu sendiri sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau tantangan (ujian) zaman dengan berbagai arus pemikiran baru apa pun.

A. Kreatif-Inovatif

Artinya, pemikiran filsafat bukanlah pemikiran yang melanggengkan atau memandegkan dirinya di dalam berbagai keterkungkungan dogma-dogma atau ideologi yang beku dan statis. Justru, ia selalu berusaha untuk membangun kejataman budi untuk mampu mengeluarkan diri kebekuan inspirasi, mampu mengkritisi, memperbaiki, menyempurnakan, dan mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan penemuan-penemuan (invention) dan gagasan-gagasan baru yang lebih brilian, terbuka, dan kompetitif dalam merespons tuntutan zaman serta kemajuan-kemajuan yang penuh kejutan dan pergolakan, baik pada tataran ide maupun moral. Ciri pikiran filsafat tersebut mengandaikan sebuah kekuatan transformasi dan seni “mengolah budi” (kecerdasan) guna untuk melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual.

B. Berpikir Sistematis Dan Analitis

Artinya, ciri berpikir filsafat selalu berpikir logis (terstruktur dan teratur berdasarkan hukum berpikir yang benar). Pemikiran filsafat tidak hanya melepaskan atau menjejerkan ide-ide, penalaran, dan kreatifitas budi secara serampangan (sporadis). Justru, pemikiran filsafat selalu berusaha untuk mengklasifikasi atau menggolong-golongkan, mensintesa (mengkompilasi) atau mengakumulasikan, serta menunjukkan makna terdalam dari pikiran, merangkai dan menyusunnya dengan kata (pengertian), kalimat (keputusan), dan pembuktian (konklusi) melalui sistim-sistim penalaran yang tepat dan benar. Pemikiran filsafat selalu bergerak selangkah demi selangkah, dengan penuh kesadaran (pengujian diri), berusaha untuk mendudukan kejelasan isi dan makna secara terstruktur dengan penuh kematangan dalam urutan prosedur atau langkah berpikir yang tertib, bertanggung jawab, dan saling berhubungan secara teratur.

C. Berpikir Universal

Artinya, pemikiran filsafat selalu mencari gagasan-gagasan pemikiran yang bersifat universal, yang bisa berlaku di semua tempat. Pemikiran filsafat tidak pernah akan berhenti dalam sebuah kenyataan yang terbatas, ia akan menerobos mencari dan menemukan gagasan-gagasan yang bersifat global dan menjadi rujukan pemikiran umum. Pikiran-pikiran yang bersifat partikular dan kontekstual (bagian-bagian yang terpisah menurut konteks ruang dan waktu) diangkat dan ditempatkan (disintesakan) dalam sebuah bagian yang utuh dan universal, dan hal itu sebagai sebuah kenyataan eksistensisal yang khas manusiawi.

D. Komprehensif Dan Holistik

Artinya, pemikiran filsafat selalu bersifat menyeluruh dan utuh. Baginya, keseluruhan adalah lebih jelas dan lebih bermakna daripada bagian-perbagian atau sesuatu yang bersifat parsial. Sedangkan holistik artinya, berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas dalam kapsul egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit. Cara berpikir filsafat yang demikian itu, tentunya perlu dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka manusia dan kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan tuntutan atau klaim kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan sebuah eksistensi yang utuh.

Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena manusia sebab hanya manusia-lah yang dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat diminta pertanggungjawaban terhadap pikiran maupun perbuatan-perbuatan yang diakibatkan oleh pikiran itu sendiri. Pikiran merupakan kesatuan yang utuh dengan aneka kenyataan kemanusiaan (alam fisik dan roh) yang kompleks serta beranekaragam, alias penuh konfleksitas. Pikiran, sesungguhnya tidak dapat berpikir dari dalam pikiran itu sendiri, karena bukan pikiran itulah yang berpikir, tetapi justru manusia lah yang berpikir dengan pikirannya. Jadi, tanpa manusia maka pikiran tidak memiliki arti apa-apa. Manusia, karenanya, bukan hanya berpikir dengan akal atau rasio yang sempit, tetapi juga dengan ketajaman batin, moral, dan keyakinan sebagai kesatuan yang utuh.

E. Berpikir Abstrak

Berpikir abstrak adalah berpikir pada tataran ide, konsep atau gagasan. Maksudnya, pemikiran filsafat selalu berusaha meningkatkan taraf berpikir dari sekedar pernyataan-pernyataan faktual tentang fakta-fakta fisik yang terbatas pada keterbatasan jangkuan indera manusia untuk menempatkannya pada sebuah pangkalan pemahaman yang utuh, integral (terfokus), dan saling melengkapi pada tataran yang abstrak melalui bentuk-bentuk ide, konsep, atau gagasan-gagasan pemikiran. Baginya, sebuah fakta fisik selalu terbatas pada apa adanya karena sifatnya terbatas menurut sebuah penampakan inderawi yang sejauh dapat dilihat, didengar, atau diraba. Justru, pikiran tersebut harus lebih ditingkatkan pada taraf-taraf berpikir abstraktif dalam bentuk konsep atau gagasan-gagasan, dengan menggunakan ide, kata, kalimat, dan kreatifitas budi sehingga orang mampu memberi arti, memahami, menangkap, membedakan, dan menjelaskannya aneka pencerapan inderawi tersebut dalam sebuah pemikiran yang tersusun secara sistematis. Pemikiran abstraktif, selalu berusaha untuk membebaskan orang dari cara berpikir terbatas dengan hanya “menunjukkan” untuk makin mendewasakan pemikiran itu pada kemampuan “memahami dan “menjelaskan”. Pemikiran absatrak beruaha mengangkat pikiran pada tataran kemampuan berimajinasi, membangun kohenrensi, dan korelasi secara utuh dan terstruktur guna menunjukkan peta keutuhannya, dengan segala fenomenanya secara detail sehingga dapat dijelaskan secara lengkap dan sempurna

F. Berpikir Spekulatif

Ciri pemikiran spekulatif, merupakan kelanjutan dari ciri berpikir abstrak yang selalu berupaya mengangkat pengalaman-pengalaman faktawi ketaraf pemahaman dan panalaran. Melalui pemikiran spekulatif, orang tidak hanya berhenti pada informasi sekedar menunjukkan apa adanya (in itself), tetapi lebih meningkat pada taraf membangun pemikiran dan pemahaman tentang mengapa dan bagaimananya hal itu dalam berbagai dimensi bentuk pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri spekulatif ini, memungkinkan adanya transendensi untuk menunjukkan sebuah perspektif yang luas tentang aneka kenyataan. Tegasnya, melalui ciri pemikiran filsafat yang spekulatif dimaksud, orang tidak sekedar hanya menerima sebuah kenyataan (kebenaran) secara informatif, sempit, dan dangkal, tetapi dengan sikap kritis, dan penuh imajinasi untuk memahami (verstending) dan mengembangkannya secara luas dalam berbagai khasana pemikiran yang beragam. Dengan kata lain, bahwa berfilsafat adalah berfikir dengan sadar, yang mengandung pengertian secara teliti dan teratur, sesuai dengan aturan dan hukum yang ada. Berpikir secar filsafat harus dapat menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta secara utuh sehingga orang dimungkinkan untuk mengembangkannya dalam berbagai aspek pemikiran dan bidang keilmuan yang khas.

G. Berpikir Secara Reflektif

Maksudnya, filsafat selalu berpikir dengan penuh pertimbangan dan penafsiran guna penemuan makna kebenaran secara utuh dan mendalam. Ciri pemikiran filsafat yang reflektif ini, hendak ditunjukkan bahwa pemikiran filsafat tidak cenderung membenarkan diri, tetapi selalu terbuka membiarkan diri dikritik dan direnungkan secara berulang-ulang dan makin mendalam, untuk sambil mencari inti terdalam dari pemikiran dimaksud, juga menemukan titik-titik pertautannya secara utuh dengan inti kehidupan manusia yang luas dan problematis. Lebih dari itu, berpikir reflektif memungkinkan proses internalisasi (pembathinan) setiap pemikiran filosofis, sehingga pikiran itu sendiri bukan hanya mampu mencerminkan isi otak, tetapi juga isi kehidupan secara utuh menjadi sebuah gaya kehidupan yang khas.

H. Berpikir Humanistik

Ciri pemikiran filsafat ini (humanistik) hendak meletakkan hakikat pemikiran itu pada nilai dan kepentingan-kepentingan kemanusiaan sebagai titik orientasi, pengembangan, dan pengendalian pemikiran itu sendiri. Maksudnya, pemikiran dan segala anak pinaknya, baik dalam bentuk pengetahuan, ilmu, atau teknologi harus dapat menunjukkan sebuah pertanggungjawaban pada sebuah tugas kemanusiaan yang nyata. Bagi filsafat, pikiran atau pengetahuan itu adalah pikiran yang khas manusia, bahkan pikiran seorang anak manusia untuk sebuah tugas kemanusiaan. Ciri pemikiran filsafat, karenanya memiliki dasar, sumber dan tanggungjawab kemanusiaan yang diemban. Berpikir humanistik bukan saja berpusat pada manusia, tetapi sesungguhnya menyentuh sebuah tanggungjawab manusiawi. Dan inti kemanusiaan itulah yang menjadi dasar dan sumber aktual bagi proses berpikir maupun penerapan hasil pikiran manusia itu sendiri.

I. Berpikir Kontekstual

Ciri pemikiran ini (kontekstual) hendak menunjukkan bahwa pikiran bukan sekedar sebuah ide, tetapi sebuah realitas eksistensi dengan konteksnya yang nyata dan jelas. Maksudnya, setiap pemikiran filsafat, selalu bertumbuh dan berkembang dalam konteks hidup manusia secara nyata. Pikiran filsafat karenanya, merupakan bagian dari cara berpikir dan cara bertindak manusia atau masyarakat dalam menyiasati dan memecahkan masalah-masalah kehidupannya secara nyata. Pemikiran kontekstual mengandaikan kejeniusan lokal (local genius) dalam membangun sebuah struktur keberadaan. Pemikiran filsafat juga mencirikan sebuah pemikiran yang fungsional dalam menyiasati serta membangun tanggungjawab budaya maupun sosial kemasyarakatannya.

J. Berpikir Eksistensial

Ciri pemikiran filsafat ini (eksistensial) bermaksud menunjukkan bahwa pikiran itu adalah pikiran manusia, karenanya, setiap pemikiran selalu mengandaikan harapan, kecemasan, kerinduan, keprihatinan dan aneka kepentingan manusia sebagai sebuah manifestasi eksistensial. Pikiran itu sendiri adalah sebuah tanda keberadaan atau fenomena eksistensi, dengan pikirannya, manusia membudayakan diri dan memenuhi kodrat eksistensialnya sebagai eksistensi yang bermartabat. Berpikir eksistensial, mengandaikan sebuah ciri pemikiran yang khas, yang bukan saja berpikir dalam kerangka keilmuan, tetapi justru pemikiran dalam rangka pengembangan eksistensi jati diri dan kehidupan secara utuh.

K. Berpikir Kontemplatif

Ciri pemikiran filsafat ini (kontemplatif) diarahkan untuk menajamkan kepekaan diri, ketajaman bathin, serta kemampuan mengenal kekuatan dan kelemahan, dan kesadaran otodidik dalam diri. Melalui pemikiran kontemplatif dimaksud, setiap pemikir, filsuf, atau ilmuwan mampu menasihati dan membimbing diri (menangani diri) dengan penuh kerendahan hati, kesabaran, dan kesetiaan. Ciri berpikir kontemplatif mampu membimbing para subyek (pemikir) sedemikian rupa, sehingga mampu melalukan koreksi, perbaikan, dan penyempurnaan atas segala cara berpikir maupun hasil pemikiran itu sendiri sehingga tidak terjebak dalam keangkuhan, sikap ideologis, dan pembenaran diri menjadi “kekuatan serba oke”, yang secara buta mentukangi aneka kebohongan dan kejahatan. Berpikir kontemplatif membimbing orang untuk makin memiliki sebuah jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi yang kokoh sebagai pribadi (personal), maupun sebagai bangsa dan masyarakat yang beradab dan bermartabat.

III. Tan Malaka Dan Pemikiran Filsafat Materialismenya Yang “Nyeuleneh”

Ketika di zaman revolusi fisik (zaman kemerdrkaan 1945), bahkan pasca kemerdekaan 1945, saat itu muncul sosok seorang pemikir Indonesia, yang kebetilan ia sangat menggandrungi dunia filsafat, yaitu kemunculah seorang Tan Malaka yang gagasan serta idealismenya, pada akhirnya dianggap “nyeuleneh” dan bahkan dianggap berbahaya dan anti keyakinan agama bagi sebagian orang, terutama “kenyeleunehan” Tan Malaka dalam mengelaborasi filsafat materialisme dari sang filsuf modern asal Jerman, seperti Ludwing Feuerbach dan teori Karl Marx atau teori Maxisme (Rusia).

Namun terlepas dari apapun, bahwa eksistensi pemikiran Tan Malaka, pada realitanya telah menyajikan pemikiran-pemikiran filosofis, politik dan ekonomi. Ia saat itu mengajak rakyat dan masyarakat Indonesia untuk menjadi manusia modern, yakni keluar dari keterbelakangan serta menghindari “logika mistika”. Namun ia juga tak sempat menyaksikan bukunya yang terbit pada edisi pertama di tahun 1951. Tan Malaka dalam Madilognya, ia sangat meyakini bahwa Indonesia akan makmur sejahtera jika rakyat Indonesia ber-Madilog, ber-Materialisme, ber-Dialektika dan ber-Logika. Sementara di dalam karyanya yang terbit di edisi pertama tahun 1951 itu, Tan Malaka menyajikan pemikiran-pemikiran filosofis, politik, dan ekonomi yang menjadi dasar bagi perjuangan revolusioner. Tan Malaka saat itu, ia ingin mengajak bangsa Indonesia untuk menjadi manusia Indonesia yang modern, yakni keluar dari keterbelakangan serta menghindari “logika mistika” yang menganggap dunia dipengaruhi kekuatsn goib.

Namun madilog Tan Malaka, nyatanya memang tidak bisa diterima seutuhnya oleh anak bangsa yang sangat plural ini. Untuk akronim Dialektika dan Logika, mungkin bisa diterima, tapi untuk pemikiran filsafat materialisme tentu banyak penolakan dari berbagai pihak. Pasalnya pemikiran filsafat materialisme sangat berseberangan dengan “Iman” atau “soal keimanan”. Sementara manyarakat dan rakyat Indonesia adalah umat beragama yang kehidupannya berpegang teguh pada iman. Sementara permikiran filsafat materialisme menolak keberadaan entitas non-fisik atau spiritual seperti roh, jiwa, atau Tuhan

Hal itu sangat berbeda jauh dengan dialektika dan logika yang dikemukan oleh Tan Malaka. Sementara dialektika adalah metode yang menggunakan percakapan atau dialog melalui argumen yang beralasan dalam menyelidiki suatu masalah untuk mencapai kebenaran. Metode ini melibatkan pertukaran pandangan atau pendapat yang berbeda untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang suatu topik. Perdebatan bolak-balik antara dua kubu yang berdialog akan menghasilkan semacam perkembangan linier atau perubahan pandangan atau juga posisi filosofis dalam menemukan kebenaran

Dialektika sudah dikenal sejak masa Yunani Kuno. Dalam versi klasik, filsuf Yunani Kuno, Socrates menggunakan metode dialektika atau yang juga disebut metode kebidanan dalam mencari kebenaran dan pengetahuan melalui dialog dan pertanyaan. Socrates menggunakan metode tersebut untuk mengkomunikasikan prinsip-prinsip kebenaran kepada individu melalui dialog. Socrates meyakini metode dialektika adalah metode yang tepat untuk memahami pikiran atau jiwa seseorang dan mengungkapkan kebenaran-kebenaran universal.

Sementara logika adalah ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip dan metode berpikir yang benar, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan. Logika membantu kita untuk menganalisis dan mengevaluasi argumen, menarik kesimpulan yang tepat, dan menghindari kesalahan penalaran atau “logical fallacy”. Ini disebabkan logika menyediakan aturan dan hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang benar dan yang salah. Logika mendorong kita untuk berpikir secara terstruktur dan teratur, sehingga kesimpulan yang dihasilkan lebih valid.

Metode berpikir logika bisa membantu kita untuk mengidentifikasi kesalahan dalam argumen, seperti kesalahan dalam penarikan kesimpulan atau penggunaan bahasa yang ambigu. Karena, logika menekankan pada pentingnya untuk menggunakan akal sehat dan penalaran yang rasional dalam membuat keputusan dan mengambil kesimpulan. Dengan memahami prinsip-prinsip logika, kita juga dapat meningkatkan kemampuan untuk berpikir secara kritis, membuat keputusan yang lebih tepat, dan berkomunikasi dengan lebih efektif. Ber-Dialektika dan ber-Logika memang sepatutnya difahami anak-anak bangsa ini, terutama dalam bernalar dan mencari kebenaran yang bersifat relatifistik.

Namun bagaimana dengan pemikiran filsafat materialisme. Inilah masalahnya. Pasalnya dalam pemikiran filsafat materialisme segala yang ada, termasuk pikiran, perasaan, dianggap sebagai hasil dari proses fisik dan kimiawi semata yang berporses di dalam otak dan tubuh manusia. Bahkan faham materialisme tidak mengenal kekuasaan Tuhan, segala yang terjadi di alam semesta ini adalah hasil dari interaksi antara materi dan energi. Dalam pemikiran filsafat materialisme, realitas hanya terdiri dari materi (benda), materi adalah substansi dasar yang ada. Bahkan, semua fenomena di alam dunia ini adalah hasil interaksi materi. Pemikiran filsafat materialisme tidak mengenal entitas non-fisik atau spiritual. Artinya, pemikiran filsafat materialisme tidak mengenal “surga” dan “neraka”. Karena “Ada” dalam pandangan filsafat materialisme adalah segala sesuatu yang bisa disentuh indera. Karena itu faham filsafat materialisme menolak adanya kekuatan gaib atau supranatural. Karena seluruh fenomena alam memang berpijak pada penjelasan-penjelasan ilmiah.

Adalah Epikuros (341-270 SM), ia sang filsuf Yunani Kuno yang pertama kali untuk memperkenalkan pemikiran filsafat materialisme, dan kemudian dikembangkan oleh Demokritus dan Lucretius Carus. Epikuros yang sempat mendirikan mazhab filsafat Epikureanisme itu, ia termasuk tokoh yang sangat menentang Platonisme yang popular pada masanya. Epikuros, ia telah menulis banyak karya, tetapi sebagian besar sudah hilang ditelan zaman. Karyanya yang tersisa kini hanya tiga surat (Surat kepada Menoikeus, Pitokles, dan Herodotos) dan dua rangkaian kutipan (Ajaran Pokok dan Pepatah Vatikan).

Kemudian di abad 19 M, faham filsafat materialisme akhirnya berkembang pesat, yakni sejak munculnya filsuf modern asal Jerman seperti Ludwig Feuerbach, Jacob Moleschott, Buchner dan Ernst Haeckel. Bahkan Karl Marx (Rusia) juga menjadi salah satu tokoh penting dalam pengembangan faham materialisme. Dari tulisan-tulisan Karl Marx misalnya, maka muncullah isitilah seperti materialisme historis dan materialisme dialektis sekalipun Marx sendiri tidak pernah menggunakan istilah tersebut. Sementara Tan Malaka dalam Madilognya, ia lebih cenderung dipengaruhi pemikiran filsafat materialisme dari Ludwig Feuerbach, yakni sang filsuf asal Jerman.

Sedangkan materialisme Feuerbach adalah suatu paham filosofis yang menolak keberadaan Tuhan dan menganggap bahwa agama adalah ciptaan manusia yang berasal dari proyeksi nilai-nilai manusia itu sendiri. Feuerbach berpendapat bahwa konsepsi kita tentang “Tuhan” adalah hasil dari kebutuhan kita sendiri, yakni untuk mengobjektifikasi nilai-nilai kita dan mewujudkannya. Dalam pemikiran filsafat materialisme Feuerbach, Tuhan adalah hasil ciptaan manusia, bukan sebaliknya. Feuerbach berpandangan Tuhan adalah abstraksi dan perwujudan dari pemikiran manusia. Pemikiran filsafat materialisme Feuerbach adalah suatu faham yang menolak keberadaan Tuhan dan menganggap agama sebagai ciptaan manusia, serta menekankan pada hakikat material manusia. Feuerbach berargumen bahwa nilai-nilai manusia itu sendiri yang membentuk konsepsi tentang Tuhan. Lebih dari itu, Feuerbach menganggap bahwa hakikat manusia adalah material, bukan spiritual. Ia melihat bahwa “Aku” adalah sesuatu yang bersifat jasmani, temporal, dan spasial, yang merupakan abstraksi dari materialitas.

IV. Rene Descartes

Rene Descartes, ia dikenal sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes, ia terus membuka jalan baru dalam upaya manusia untuk memahami pengetahuan dan realitas. Salah satu kutipan terkenalnya berbunyi : “Mereka yang mencari kebenaran harus, sekali dalam hidupnya, meragukan segala sesuatu.” Kutipan itu tidak hanya mencerminkan metode berpikir dari seorang Rene Descartes yang revolusioner, tetapi juga menggugah kesadaran manusia modern tentang pentingnya keraguan dalam pencarian kebenaran sejati.

Rene Descartes (1596–1650), ia seorang filsuf, ilmuwan, dan matematikawan asal Prancis. Ia memulai tradisi intelektual baru yang tidak lagi bergantung sepenuhnya pada otoritas gereja atau filsafat skolastik di abad pertengahan. Dengan pendekatan skeptis dan rasional, ia terus membangun dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan sains modern dan metode ilmiah. Bagi Descartes, keraguan bukanlah kelemahan, melainkan alat yang sah dan penting dalam membedakan pengetahuan sejati dari sekadar asumsi. Keraguan sebagai “titik awal kebenaran”. Pernyataan Descartes, menegaskan bahwa sebelum menerima sebuah kebenaran, maka manusia perlu terlebih dahulu meragukan segala sesuatu termasuk apa yang selama ini dianggap pasti. Pendekatan itu dikenal sebagai keraguan metodologis (methodic doubt), yaitu meragukan semua pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan secara rasional. Hal itu tujuannya bukan untuk menolak segalanya, melainkan untuk sampai pada sesuatu yang benar-benar pasti dan tidak dapat diragukan: “Cogito, ergo sum”. “Aku berpikir, maka aku ada.” Dengan meragukan segala sesuatu, Descartes mengajak manusia untuk menguji dasar dari setiap kepercayaan dan pengetahuan. Dari situlah lahir semangat kritis yang menjadi pilar utama dalam filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Alih-alih menerima warisan tradisi atau dogma begitu saja, bahkan setiap individu oleh Descartez diajak untuk berpikir mandiri dan membangun pengetahuan atas dasar akal dan bukti.

Bahkan, diera digital saat ini, yakni dimana informasi tersebar luas melalui media sosial, internet, dan teknologi komunikasi, maka pendekatan Descartes menjadi semakin relevan. Kita hidup dalam zaman banjir informasi, namun juga krisis kepercayaan. Berita palsu (hoaks), teori konspirasi, dan disinformasi merajalela. Dalam kondisi seperti itu, maka idealisme (ajaran) Descartes tentang pentingnya meragukan informasi menjadi sangat penting. Generasi masa kini dituntut untuk tidak langsung menerima semua informasi yang mereka lihat atau yang mereka dengar. Meragukan bukan dalam arti pesimistis, tetapi sebagai bagian dari proses berpikir kritis menjadi kunci untuk memilah dan memilih, yakni mana yang fakta dan mana yang manipulasi. Pendidikan literasi digital, kemampuan verifikasi, dan keberanian untuk bertanya adalah wujud konkret dari semangat Rene Descartes dalam konteks modernitas saat ini.

Lebih dari itu, generasi masa kini dituntut untuk tidak langsung menerima semua informasi yang mereka lihat atau dengar. Meragukan bukan dalam arti pesimistis, tetapi sebagai bagian dari proses berpikir kritis, hal itu menjadi kunci untuk memilah mana yang fakta dan mana yang manipulasi. Keberadaan pendidikan literasi digital, kemampuan verifikasi, dan keberanian untuk bertanya adalah wujud konkret dari semangat Rene Descartes di era milenial saat ini. Menurut Rene Descartes, bahwa “Sains yang dejati berasal dari kemampuan kita untuk berpikir logis dan kritis” Sementara metode ilmiah yang digunakan para ilmuwan saat ini juga memang berakar pada prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Descartes. Karena, dalam penelitian ilmiah, tidak ada klaim yang diterima tanpa bukti. Setiap hipotesis diuji, setiap teori diverifikasi, dan setiap hasil direplikasi. Proses itu merupakan bentuk nyata dari “meragukan segala sesuatu” hingga ditemukan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan.

Bahkan, kehadiran buku yang mengguncang dunia filsafat modern, yakni dari hasil karya Rene Descates, hal itu yang menjadikan sains berkembang secara progresif dan tidak stagnan. Dengan meragukan teori lama dan menggantinya dengan penjelasan yang lebih akurat, maka ilmu pengetahuan terus berkembang dan dinamis. Itulah kekuatan dari pemikiran kritis yang diwariskan oleh Descartes pada dunia. Dengan kata lain, Descartes dapat menjadi dasar untuk mengembangkan kurikulum yang berbasis pada pemikiran kritis. Karena, siswa tidak hanya diajarkan untuk menghafal, tetapi juga untuk bertanya, meragukan, dan mencari bukti sebelum menerima kebenaran. Guru bukan lagi satu-satunya sumber kebenaran, tetapi juga fasilitator dalam proses pencarian pengetahuan. Begitu pula dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat individu, organisasi, maupun pemerintahan, proses berpikir kritis yang dimulai dari keraguan akan memperkaya pertimbangan dan mencegah kesalahan yang disebabkan oleh berbagai asumsi atau tekanan eksternal.

Cara yang paling efektif meskipun keraguan adalah alat penting dalam mencari kebenaran, namun Descartes juga memperingatkan akan bahaya skeptisisme yang bersifat ekstrem. Setelah keraguan metodologis membawa seseorang pada kepastian (cogito), maka proses membangun pengetahuan harus dilanjutkan. Artinya, keraguan bukan untuk meruntuhkan segalanya, melainkan untuk menyaring dan memperkuat dasar-dasar pengetahuan kita. Bahkan, sikap skeptis yang tidak disertai tujuan konstruktif, hal itu bisa menjebak seseorang dalam relativisme atau bahkan “nihilisme”, yaitu pandangan bahwa tidak ada yang bisa dipercaya.

Oleh karena itu, keraguan juga harus disertai dengan keinginan untuk memahami dan mencari solusi, bukan semata-mata untuk meruntuhkan keyakinan. Rene Descartes telah meninggalkan warisan pemikiran yang sangat berharga. Kutipan-kutpannya seperti, “Mereka yang mencari kebenaran harus, sekali dalam hidupnya, meragukan segala sesuatu,”. Hal itu merupakan ajakan kepada setiap manusia untuk menjalani proses berpikir yang lebih mendalam, bertanggung jawab, dan mandiri. Bahkan, dalam konteks dunia yang terus berubah saat ini, maka pendekatan seperti itu menjadi lebih dari sekadar filosofi, namun merupakan suatu kebutuhan. Dengan mengedepankan keraguan yang membangun, maka masyarakat kita-pun dapat menjadi lebih kritis, cerdas, dan terhindar dari manipulatif informasi. Dalam dunia akademik, pemerintahan, dan kehidupan sehari-hari kita, maka semangat Rene Descartes, tentunya patut dihidupkan kembali agar kebenaran sejati tidak hanya ditemukan, tetapi juga dimaknai dengan lebih bijak.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *