Oleh : Adung Abdul Haris

I. Pendahuluan

Arogansi keilmuan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, hal itu tergantung pada konteks situasi dan tempat. Tidak jarang juga, masalah itu terjadi pada sikap merasa lebih tahu dan lebih benar hanya karena memiliki pengetahuan akademik atau gelar tertentu tanpa melibatkan kerendahan hati. Tentunya sikap itu secara tidak langsung telah menjauhkan ilmu dari tujuan sejatinya, yakni untuk membebaskan manusia serta memperluas pemahaman lintas batas sosial. Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah, sikap seperti itu bisa membunuh keberanian orang lain (orang awam) untuk bertanya dan belajar.

Menurut seorang sosiolog pendidikan dari Prancis, Pierre Bourdieu, sebagaimana ia jelaskan di dalam bukunya berjudul “Distinction : A Social Critique of the Judgement of Taste”. Bahwa dunia pendidikan dan keilmuan kerapkali menjadi arena perebutan kekuasaan simbolik. Bahkan ilmu pengetahuan menurutnya, tidak lepas dari modal sosial dan budaya. Karena, orang-orang yang memiliki gelar, kemampuan berbahasa akademik, serta akses ke institusi bergengsi seringkali dianggap sebagai satu-satunya otoritas yang seolah-olah paling sah untuk berbicara. Dalam banyak kasus, hal itu melahirkan dominasi dan pengabaian terhadap suara-suara dari lapisan masyarakat paling bawah, yang nota bene mereka tidak memiliki akses pendidikan formal.

Arogansi itu semakin kentara ketika (oknum) sang akademisi atau kaum terpelajar itu selalu memandang remeh bagi mereka yang tidak faham teori, meski memiliki pengalaman hidup dan kearifan lokal yang demikian kaya. Padahal tujuan dari pendidikan itu sendiri bukan hanya menciptakan para individu yang cerdas secara teknis, melainkan manusia yang memiliki kerendahan hati intelektual dan sikap empati yang tinggi terhadap sesama. Oleh karena itu, seyogyanya informasi penting tentang keilmuan itu disajikan secara kronologis, rasional dan mengena. Bahkan dengan banyak ilmu, seharusnya membuat seseorang lebih mampu mendengarkan, memahami dan bukan sekadar mengoreksi atau bahkan terus menggurui orang lain.

Karena, akhir-akhir ini penulis kerapkali mencermati (menyaksikan langsung dialog perdebatan keilmuan), dan kebetulan dialog tersebut berlangsung di salah satu stasiun (tv) di Jakarta, yang ending dari dialog itu, tak jarang menjadi ajang “proses penelanjangan lawan bicara”. Bahkan, tak urung juga suka dibumbui oleh sikap “ngototisme” yang nota bene acara itu dikemas pada suatu acara diskusi/dialog publik. Tapi nampaknya, seorang (oknum sang ilmuan itu) kerapkali terus menyepelekan nara sumber yang lain maupun para audien yang hadir di ruangan dialog itu. Dan seolah-olah yang lain dianggapnya “nihilisme” dan itu menurut pandabgan penulis tidak etis dilakukan, karena sejatinya mendengarkan maupun menggurui orang lain juga perlu dilandasi oleh etika juga.

Sementara menurut salah seorang pemikir, Ivan Illich, di dalam bukunya berjudul “Deschooling Society”, ia mengkritik tajam sistem pendidikan formal yang tidak jarang juga menciptakan kasta-kasta pengetahuan. Menurutnya, ketika masyarakat terlalu bergantung pada institusi dan gelar akademik sebagai penentu yang sah atau tidaknya sebuah pendapat, maka pengetahuan rakyat yang nota bene lahir dari pengalaman, kearifan lokal, atau dari tradisi, maka hal itu akan dianggap tidak valid. Lebih dari itu, menurut sang pemikir, Ivan Illich, ia juga menolak gagasan bahwa hanya mereka yang “terdidik-lah” yang pantas bersuara dan itu menurutnya merupakan bentuk kekerasan struktural yang seringkali tak terlihat, tutur Ivan Illich, di dalam bukunya sebagaimana judul diatas.

Lebih dari itu menurut Ivan Illich, bahwa gejala arogansi keilmuan, jika terus dibiarkan bisa berbahaya. Apalagi dalam konteks yang lebih luas, bisa saja menjauhkan ilmu dari masyarakat umum, serta bisa mematikan semangat belajar mereka yang belum punya berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi, bahkan membuat diskusi-diskusi publik-pun menjadi tidak setara. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, di dunia akademik sendiri saat ini, sikap seperti itu (aroganisi keilmuan) bisa menciptakan kultur eksklusif yang anti-kritik.

Namun sebaliknya, sikap rendah hati sang ilmuan dan para intelektual, malah akan membuka ruang dialog dan pembelajaran yang sejati. Oleh karena itu, menurut Ivan Illich, ia mengajak kita semua untuk menyadari bahwa pengetahuan bukan milik segelintir orang, melainkan sesuatu yang bisa tumbuh dimana saja, yakni : bisa di ruang kelas, di jalanan, di ladang, bahkan di dalam obrolan warung kopi sekalipun. Lebih dari itu, ilmu seharusnya menjadi jembatan dan bukan menjadi tembok penghalang. Untuk itu, seyogyanya para ilmuan harus mengangkat, dan bukan merendahkan. Jika (para oknum ilmuan) mereka merasa lebih pintar dan semakin menunjukan arogansi keilmuannya, malah membuatnya semakin sulit untuk mendengar. Ivan Illich kemudian berpesan, mungkin yang kita perlukan saat ini bukan ilmu baru yang terus terprodusir dan terus tercanggihkan, melainkan hati yang lebih terbuka dan rasa empati yang tinggi yang bisa menghargai setiap orang.

Oleh karena itu menurut Ivan Illich, bahwa kerendahan hati para ilmuan/intelektual menjadi kunci untuk menciptakan ruang pembelajaran yang lebih inklusif dan adil. Dan ilmu seharusnya bukan untuk merendahkan, tetapi untuk memperkaya pemahaman dan memperluas perspektif. Dengan sikap rendah hati, maka kita dapat menghindari “arogansi keilmuan” sekaligus membuka jalan bagi terciptanya masyarakat yang lebih terbuka, lebih terintelek, tercerahkan dan lebih literat. Karena, setiap individu masyarakat bisa merasa dihargai dan diberdayakan untuk terus belajar dimanapun dan kapanpun mereka berada.

II. Ahli Fikir (Filsuf)

Hingga saat ini, besarkemungkinan kita sudah cukup sering mendengar istilah ahli fikir, alias ahli filsuf? Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan para ahli fikir (filsuf) itu? Tak hanya identik dengan suatu hal yang bijaksana, nyatanya istilah ahli fikir (filsuf) itu memang menyimpan definisi yang lebih dari itu. Jika dilihat dari pengertiannya, filsuf adalah sebutan untuk seorang ahli filsafat. Jika filsafat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan, maka ahlinya dapat didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki banyak pengetahuan tentang cinta. Namun, seorang ahli filsafat memiliki peran yang lebih dari itu. Ahli filsafat atau para filsuf merupakan orang-orang yang aktif berpikir kritis dan terlibat untuk menjawab berbagai pertanyaan besar yang sulit untuk dipecahkan. Lebih dari itu, kehidupan seorang ahli filsafat dapat dikatakan tidak mudah alias sangat dilematis-diskursif. Hal itu dikarenakan pemikirannya yang rumit dan mendalam. Mengingat rutinitas serta kesukaannya dalam mempelajari hal-hal rumit, dan bahkan sulit untuk dipahami oleh orang lain, yang akhirnya membuat sang filsuf itu harus berpikir lebih jauh dan lebih komplikitit dibandingkan dengan orang-orang awam (termasuk penulis sendiri) yang hinggavsaat ini masih kurang pati “mudeung” dengan soal kajian filsafat yang nota bene sangat abstraksi konseptual idealis, sangat konflikitif-idealistik dan bersifat filosofis-diskursif itu.

Kononkatanya, seorang ahli filsafat dituntut untuk memiliki pemikiran yang kritis terhadap hal-hal di sekitarnya. Bahkan sampai saat ini, ilmu filsafat dapat berkembang pesat seperti yang kita saksikan saat ini, hal itu juga berkat orang-orang yang memiliki pemikiran keras dan kritis dan sering mempertanyakan banyak hal yang terjadi. Lebih dari itu, seorang filsuf banyak melakukan refleksi serta observasi dengan memanfaatkan pengalaman demi pengalaman, yakni untuk terus mencari pengertian dan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benaknya.

Konon katanya, dibutuhkan kejujuran dan keberanian yang tinggi untuk bisa menjadi seorang ahli filsafat. Tidak hanya itu, ahli filsafat juga harus bisa melepas pandangan atau pendapat-pendapat dari pendahulunya yang menciptakan keyakinan atau kepercayaan terhadap pandangan kritis yang dilakukannya. Namun pada dasarnya, tidak ada keyakinan maupun sumber pandangan yang selalu bisa mendasari filsafat. Baik dari sumber, kewenangan, ataupun kekuatan emosional yang menjadi latar belakang dari seluruh pemikirannya. Sedangkan untuk bisa berpikir secara filosofis, maka seseorang harus bisa memahami dan mengenal dirinya sendiri. Karena, ahli filsafat tidak hanya memberikan pendapat dan pemikiran yang tanpa arti saja, tetapi ia juga harus terus mengembangkan argumen-argumen berbobot yang bisa membantu menciptakan pemikiran baru.

Bahkan konon katanya, para ahli filsafat besar pun, mereka terus banyak belajar filsafat, dan bahkan ada juga yang belajar secara otodidak. Namun di zaman sekarang ini, akan lebih baik untuk belajar filsafat secara terstruktur. Bahkan, kita harus bisa menyeimbangkan antara membaca filsafat dan menulis hasil investigasi atau penelitian terhadap diri sendiri. Sementara membaca (secara abstraktif) dapat membantu memperluas wawasan, tetapi pengalaman yang kita alami sendiri, hal itu akan lebih membantu kita untuk membuktikan dan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul di benak kita sendiri.

A. Peran Dan Tanggungjawab Para Ilmuan

Para ahli fikir (filsuf) ia kerapkali menghasilkan pandangannya yang lebib bijak atas suatu kondisi dan permasalahan. Ia punya konsistensi diri untuk memperjuangkan kebenaran dalam memaknai ilmu pengetahuan. Ia juga terus menjaga ilmu pengetahuan dari intimidasi tujuan-tujuan tertentu yang bertentangan dengan nilai-nilai kemurnian ilmu pengetahuan itu sendiri. Para ahli fikir (filsuf), mereka terus memberikan pencerahan kepada masyarakat atas keadaan yang tidak bisa dipahami dengan baik. Mereka selalu mendorong cara berpikir yang lebih logis dan kritis. Mereka juga berkosentrasi penuh untuk mewujudkan diskursus publik yang lebih baik dan bermoral.

B. Pengetahuan Dan Keahlian

Seorang ahli fikir (filsuf), ia punya kemampuan berpikir logis dan rasional, punya kemampuan komunikasi dan retorika yang baik, punya kemampuan membaca abstraksi. Bahkan, secara internalisasi diri, ia juga punya kemampuan untuk mengendalikan emosi serta punya kematangan untuk bersikap dan bertindak. Sementara memilih karier sebagai seorang filsuf saat ini, memang terbilang cukup langka di negeri ini. Tapi pada prinsipnya, bahwa siapapun yang konsisten dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan sekaligus mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang bernilai filosofis, yang bisa dikaji dengan proses pendekatan epistemologis, aksiologis, dan ontologis, hal itu dapat disebut sebagai filsuf. Nah, jika kita berpikir kegiatan seorang filsuf itu hanya berkutat di ranah pemikiran semata, sepertinya hal itu juga tidak 100 % benar.

Memang yang menjadi kajian utama seorang filsuf itu adalah pemikiran dan respon terhadap keadaan tetapi lewat kemampuan seperti itu, maka seorang filsuf dapat menghasilkan karya-karya tulis yang fenomenal ataupun bisa memberikan pencerahan kepada banyak orang lewat ceramah ilmiahnya. Oleh karena itu, dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa profesi filsuf itu memang tidak memiliki jenjang karier (quipperian). Sementara jurusan yang terkait dengan spesialis ahli fikir (filsuf) bisa dikatakan semua ilmu pengetahuan memang berhubungan langsung dengan ilmu filsafat. Sementara untuk menjadi seorang ahli fikir (filsuf) sejatinya memang tidak harus berasal dari suatu jurusan tertentu. Namun, akan sangat relevan jika kita belajar di beberapa jurusan itu, yakni untuk membantu kita mengoptimalkan konstruksi cara berpikir.

III. Berpikir Filosofis Dalam Kerangka Tugas Keilmuan

Berpikir secara filosofis, adalah sebuah tugas kemanusian, tugas budaya dan tugas peradaban yang semakin memperluas kesadaran (reasoning) manusia. Bahkan, manusia dengan kehebatan cara berpikirnya, akhirnya mampu mendobrak berbagai keterbatasan kodrati manusia itu sendiri, yang nota bene secara fisik manusia sangat lemah, namu akhirnya manusia bisa “berdaya” dan “digjaya” kemudian bisa melakukan berbagai penemuan (invention) serta bisa menghadilkan berbagai karya budaya dalam rangka memanusiakan diri dan lingkungannya menjadi pribadi dan lingkungan yang manusiawi serta berbudaya. Sementara berpikir filosofis, bukan berpikir yang mudah dan “encer” alias suatu proses petualangan ke-arah hantu khayalan atau untuk mencari kepuasan yang sifatnya temporer. Namun berpikir filosofis, merupakan proses yang harus membuahkan pengetahuan. Yakni, menghasilkan ilmu yang bersifat “generalis” maupun ilmu yang bersifat “spesialistis”, yang wujud nyatanya saat ini adalah keberadaan teknologi serta industrialisasi. Bahkan, pada sisi tertentu, kemajuan pikiran yang ada di benak manusia telah memicu dan memacu berkembangnya pengetahuan dengan berbagai turunannya. Kenyatan itulah yang membuat ilmu “spesialisme” berupa rekayasa teknologi dan “industrialisasi” akhirnya terus merajai alam jagat raya ini, dan bahkan pada akhirnya hasil karya cipta manusia itu sendiri saat ini (teknologi mutakhur) malah telah mendikte manusia itu sendiri, yakni sang pencipta dari teknologi tersebut.

Bahkan, keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi seakan-akan telah memberikan atribut yang khas bagi “manusia modern saat ini”, dan terkesan hidup manusia saat ini diabdikan sepenuhnya untuk mengejar kemajuan dan pertumbuhan (progres). Bahkan, keberadaan para ilmuan saat ini bukan hanya menghadapi dan bergelut dengan alsm pikirannya sendiri, namun ia juga harus terus mengolah, mengkritisi, dan menatanya sedemikian rupa dengan pola penalaran yang lebih logis maupun metode pemikiran yang lebih khas, yakni untuk membangun dunia keilmuannya yang lebih khas pula (teknologi terbarukan). Kita dan khususnya para pembelajar, dalam proses pembelajarannya (terutama di perguruan tinggi), memang terarah sepernuhnya untuk mengerjakan pikiran-pikiran keilmuan, baik untuk kepentingan pengembangan ilmu secara luas maupun untuk penerapan dalam konteks untuk memecahkan berbagai permasalahan kehidupan di dalam lingkungan kita masing-masing.

Sedangkan benih-benih pemikiran (daya rasio), kesadaran kritis maupun di dalam gejala kehidupan yang diamati, merupakan proses berpikir dalam rangka mengkaji, menyaring, menganalisis, menalar, dan menguji untuk menjadi jenis pengetahuan yang khusus atau pengetahuan keilmuan. Dengan berpikir dan terus mengembangkan pikiran keilmuan dengan baik, maka seorang pembelajar akan menjadi seorang ilmuwan yang bisa saja ia menjadi ilmuan mendunia. Sementara progres epistemik atau pertumbuhan pemikiran, pada awalnya merupakan serangkaian gerak kegiatan pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya tiba pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan khusus (special knowledge) dalam hal ini disebut pengetahuan keilmuan atau pengetahuan ilmiah (scientific knowledge).

Sedangkan ilmu atau pengetahuan keilmuan, bukanlah pikiran yang statis dan final, karena pikiran keilmuan sendiri akan terus memasuki dunia keilmuan yang baru dan terus terbarukan secara multiplikatif. Namun, setiap perkembangan ide (konsep) merupakan berpikir itu sendiri. Sementara gerak pemikiran dalam kegiatannya memang mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi dari obyek yang sedang dipikirkan. Sedangkan bahasa merupskan salah satu dari perlambang tersebut. Sementara bahasa berfungsi untuk menyatakan obyek-obyek dalam bentuk kata-kata. Hal yang sama juga dilakukan dalam matematika. Bahkan secara tahapan serta kronologisasinya, bahwa kemampuan berpikir seorang bayi misalnya, memang dimulai dari belajar berbahasa (bahasa verbal) kemudian dengan mengenal angka-angka (bahasa angka) yang dilanjutkan dengan belajar berhitung. Proses berpikir juga terus dilakukan secara formal, yakni dalam bentuk pendidikan prasekolah, kemudian terus berlanjut memasuki sekolah dasar (SD) dan seterusnya.

Gerak pemikiran itu, semakin berkembang dengan adanya prestasi-prestai pemikiran yang telah diarahkan serta diolah sedemikian rupa, yakni untuk menghasilkan teknologi yang makin menemui puncak kejayaannya saat ini (seperti teknologi Kecerdasan Buatan/AI). Lebih dari itu, berkembang pula proses perkembangan ilmu pengetahusn dalam bentuk tekno-industri serta industrialisme, yang akhirnya mampu memproduksi hasil-hasil dan spesies-psesies (teknologi baru), dan pemikiran baru secara akumulatif. Meskipun demikian, pikiran dan hal mengerjakan pikiran itu dengan segala turunannya, kini telah menjadi urusan banyak para ilmuan dan para spesialistis, yakni dengan berbagai macam kepentingan, baik yang bersifat luhur (positif), maupun buruk (negatif). Hal itu juga dilakukan dengan berbagai macam media, baik melalui media teknologi informasi, teknologi genetika, bio-medis, maupun teknologi persenjataan mutakhir. Sementara hasil pemikiran itu sendiri, yang bukan hanya menguasai proses pembelajaran secara formal, tetapi telah menguasai dan menggerogoti otonomi berpikir, moralitas, serta hak-hak privatisasi manusia itu sendiri, bahkan kerapkali hasil karya manusia itu (teknologi modern) kerapkali menimbulkan berbagai arus kecemasan dalam diri dan kehidupan manusia itu sendiri. Lebih dari, dinamika keilmuan saat ini, malah semakin menunjukkan berbagai perkembangan antar dan inter disipliner yang terus melahirkan cabang-cabang ilmu, bahkan menjurus pada spesialisasi yang terpecah-pecah.

Dengan kata lain, bahwa spesialisasi di bidang keilmuan saat ini, disamping telah membawa keuntungan bagi pemecahan berbagai masalah kemanusiaan dan dunia, tapi akhirnya terjebak juga menjadi sebuah “spesialisme”, dalam arti sikap spesialisasi yang tertutup untuk kepentingan (egoisme dan keangkuhan manusia itu sendiri). Sementara para spesialisasi dan kaum spesialis itu sendiri, malah terus mengalami kegenitan peran dan keponggahan saat ini, yang seolah-olah dunia beserta seisinya berada di genggaman para ilmuan spesialis itu. Bahkan, pasar spesialisasi telah menjadikan manusia sebagai obyek transaksi, uji-coba, lahan garapan, dan bukan semata-mata untuk menyembuhkan manusia.

Intinya, ilmu pengetahuan, sebagai produk pikiran manusia, sejatinya harus membantu manusia agar semakin mengenal dan menemukan jati dirinya serta semakin menghayati hidupnya dengan sempurna. Mengingat, berbagai ragam pemikiran akan terus dikembangkan hingga saat ini, untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia yang terus berkembang. Karena ilmu pengetahuan secara kudroti merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia, yakni untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan, dan karena itu, seyogyanya ilmu itu bukan untuk ilmu (ilmu qua ilmu) tetapi untuk manusia dan kemanusiaan itu sendiri, dan bukan malah sebaliknya, yakni, keberadaan ilmu malah menjadi alat untuk “membelingerkan” manusia itu sendiri, alias banyak manusia yang “kedeur” dan “terpelintir” oleh ciptaannya sendiri, alias menjadi “Gaptek” alias gugup dan gagap oleh teknologi.

A. Ciri Pemikiran Keilmuan

Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang sungguh-sungguh, yaitu metode berpikir yang penuh kedisiplinan. Bahkan seorang pemikir (ilmuwan) ia tidak akan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya itu berkelana tanpa arah, tapi ia akan terus mengarahkan pada suatu tujuan tertentu, yaitu muaranya pada proses penguasaan ilmu pengetahuan. Jadi berpikir keilmuan, secara filosofis, adalah berpikir sungguh-sungguh, disiplin, metodis, dan sangat terarah, dan tepat sasaran pada ilmu pengetahuan. Berpikir sungguh-sungguh, yaitu berpikir dalam kerangka keilmuan, hal itu demi tumbuhnya keseriusan serta curahan pemikiran yang mendalam dengan totalitas penghayatan untuk membedah suatu pemikiran sampai mendapatkan kejelasan, kepastian, ketepatan, dan keajekan-keajekan pemikiran yang sungguh mendasar bagi sebuah bangunan keilmuan. Dengan kata lain, berpikir sungguh-sungguh seperti itu, tidak sekedar bermain-main dengan pikirannya hanya demi untuk mencari popularitas, tetapi sebaliknya, ia menjadi teladan atau prototype kebenaran dari pemikiran keilmuan itu sendiri.

B. Berpikir Disiplin

Artinya, berpikir keilmuan membutuhkan sikap batin yang kuat (komitmen diri) dalam konteks untuk mengawal pengembangan pemikiran sampai pada pembuktian-pembuktian kebenaran pemikiran keilmuan, tanpa berdusta, tanpa memanipulasi, atau menyimpang dari prinsip-prinsip dasar kebenaran pemikiran keilmuan demi kepentingan yang tidak bertanggung jawab. Berpikir keilmuan, kerapkali menunjukkan sikap ketaatan dan kesetiaan pada garis atau ciri pemikiran yang ditekuni sampai membuahkan hasilnya sebagai ilmu, meskipun hal itu bertentangan dengan kebiasaan atau dengan tradisi yang ada di lingkungannya, namun seorang ilmuan, ia harus tetap ajeg dan konsisten untuk terus menunjukan kebenaran-kebenaran baru dan sekaligus harus bisa dipedomani demi membedah misteri kehidupan yang dihadapinya.

C. Berpikir Metodis

Artinya, setiap pemikiran keilmuan mesti diproses dan dihasilkan dengan cara-cara kerja yang bertanggungjawab, baik dari sisi rasio maupun teknis analisis, pengujian, dan proses pembuktiannya. Hal itu dapat menjadi acuan dasar bagi publik dalam rangka pengujian dan pengembangan ilmu tersebut.

D. Berpikir Yang Terarah Pada Pengetahuan

Artinya, berpikir keilmuan harus diarahkan sedemikiran rupa, demi untuk menghasilkan sistem pemikiran yang tersusun secara sistematis dan menjadi kerangka-kerangka pemikiran dasar bagi sebuah bangunan keilmuan. Lebih dari itu, berpikir keilmuan secara filosofis, hendaknya bisa mengatasi kekeliruan, alias “kerilulogi” serta kesesatan pikir serta bisa mempertahankan pemikiran yang lebih benar, dan tidak terjebak pada kubangan fantasi, hayalisme, halusinasi, ngacologi, dan absurditas yang tak jelas.

E. Kelebihan Dan Kekurangan Dari Pemikiran Keilmuan

Ilmu beserta anak kandungnya yang disebut spesialisasi, memang harus kita sadari bersama, terutama dari sisi kelebihan dan kekurangannya, sehingga ilmu dan spesialisasi itu, tidak terus didewa-dewakan alias sesuatu yang olah-olah tanpa cacat. Namun sebaliknya, tidak terus diabaikan begitu saja, yakni dengan berbagai alasan yang keliru. Maka kepicikan semacam itu, merupakan cermin keterbatasan kita semua (terutama seorang ilmuan) untuk memahami hakikat kedalaman, keluasan, dan jangkauan pemikiran sang ilmuan itu sendiri. Lebih dari itu, filsafat juga hendaknya terus menunjukkan bahwa mereka yang ingin mendapatkan kepuasan dari berpikir, harus menganggap bahwa berpikir itu merupakan sebuah nilai (value) dan proses petualangan intelektual yang mengasikkan, bukan sebagai suatu beban dan ilusi semata yang hanya memperbudak diri dan kemanusiaan itu sendiri.

Bahkan, sejarah umat manusia dari zaman “kudroti” dan dari “ajalinya” memang telah menunjukkan tentang kelemahan fisik manusia yang nota bene lemah dan tak berdaya. Karena, secara fisik asal-muasal (fisik manusia) memang berasal dari setetes air mani dan hina. Tetapi, pikiran (ruh) manusia akan tetap hidup dan punya nilai-nilai keluhuran dan kualitas tertinggi (bahkan bisa termuliakan disisi Allah). Karena, daya pemikiran manusia akan terus menemukan jalan keluar dari kekacauan, kejahatan, dan perbudakan penderitaan. Lebih dari itu, secara kontinyuitas selalu saja ada para pemikir dan para peneliti yang terus mengembangkan warisan pemikiran sebelumnya atau berusaha menemukan pemikiran-pemikiran baru yang lebih memadai baginya.

Menurut seorang filsuf, Gilbert Highet, ia menegaskan: “Perjalanan pikiran manusia yang maha dahsyat dan maha penting itulah, akhirya telah membawa manusia untuk bisa keluar dari “kebiadaban” menuju “peradaban” dan kebijkasanaan”. Bahkan, kemajuan hasil karya manusia saat ini, akan lebih lanjut lagi, yakni menuju zaman kecanggihan yang tak terprediksikan dimasa yang akan datang. Artinya, kelebihan pemikiran keilmuan adalah membantu manusia untuk terus menyingkap berbagai misteri kehidupan secara luas dan mendalam. Pemikiran keilmuan sekaligus membantu manusia untuk menangani dan menyiasati berbagai realitas yang mendeterminasi kehidupannya, sehingga menjadi realitas yang menunjang kemanusiaannya dalam sebuah tugas peradaban. Pemikiran keilmuan membantu manusia untuk menyingkap keluhuran manusia dalam menemukan jalan keluar dari berbagai lingkaran kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.

Meskipun demikian, setiap orang harus tetap kritis, waspada dan terus menyadari sepenuhnya, bahwa dalam membangun pemikiran keilmuan, seyogyanya tidak harus mendewa-dewakan pemikiran, dan bahkan lupa bahwa ilmu pengetahuan itu sendiri adalah hasil karya (cipta) manusia dan bukan ciptaan Malaikat. Faktanya, ilmu merupakan hasil proses kerja keras dan kerja cerdas manudia melalui proses riset/penelitian. Dan sudah barang tentu kebenaran ilmu pengetahuan itu bersifat “nisbiyah” dan sudah barang tentu juga tidak bisa menyelesaikan berbagai hal keseluruhan di alam jagat raya ini. Karena, tidak semua masalah yang ada di alam jagat raya ini bisa dipecahkan dan sekaligus bisa digunakan senjata pamungkasnya oleh ilmu pengetahuan. Bahkan, ilmu pengetahuan mengandung pengandaian-pengandaian yang terbatas (karena kebenaran ilmu pengetahuan bersifat relatifistik), baik dari sisi jangkauan pemikiran ilmuwan maupun dari sisi keterbatasan metodenya, dan bahkan dari kelengkapan dimensi keilmuan itu sendiri.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *