
Oleh : Adung Abdul Haris
I. Prolog
Ada saatnya kata-kata tak lagi mampu menjelaskan perasaan yang sesungguhnya. Bukan karena tidak ada yang kita ingin diungkapkan, tapi karena apa yang ingin disampaikan terasa terlalu rumit, terlalu dalam, atau terlalu menyakitkan untuk disuarakan. Di titik itulah, “diam seringkali menjadi bahasa paling jujur”. Kita hidup di zaman yang penuh kebisingan saat ini. Karena, setiap hari kita disuguhi opini, perdebatan, komentar, dan reaksi yang terus bergulir, seolah keheningan adalah kekosongan. Padahal, diam bukan selalu berarti tidak tahu, tidak peduli, atau kalah dan mengalah. Kadang, diam adalah bentuk paling utuh dari kejujuran, karena hanya dalam diam kita benar-benar bisa mendengarkan diri kita sendiri.
Pernahkah kita berada dalam sebuah percakapan panjang, tapi kita merasa kosong? Atau sebaliknya, pernahkah kita duduk bersama seseorang dalam keheningan, tapi merasa begitu dipahami? Di sana letak paradoksnya, karena “tidak semua yang terdengar itu tulus, dan tidak semua yang tak terucap itu tak bermakna”. Diam juga bisa menjadi bentuk perlawanan. Ketika kebenaran dibungkam, dan suara justru digunakan untuk menyamarkan realita, maka diam bisa menjadi sikap yang kuat. Ia tidak menyerang, tapi ia juga tidak tunduk. Ia menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan semuanya mungkin bukan lewat kata, tapi lewat tindakan. Dalam hubungan antar manusia, kita seringkali menuntut penjelasan. Tapi tidak semua orang mampu mengutarakan perasaannya. Ada luka yang terlalu dalam untuk dijabarkan. Ada kecewa yang lebih aman dipeluk dalam sunyi ketimbang terus dilepas dan menyeruak menimbulkan kegaduhan. Maka ketika seseorang memilih diam, bukan berarti mereka tidak peduli. Bisa jadi, mereka sedang berbicara dengan caranya sendiri, yaitu cara paling jujur yang mereka punya.
Kadang, diam bukan tentang menghindar, tapi tentang memberi ruang, yaitu untuk merenung, untuk memaafkan, atau sekadar untuk kembali merangkai diri. Kita tak selalu harus mengisi setiap jeda dengan kata. Karena pada akhirnya, “keheningan juga mengandung makna jika kita mau mendengarnya”. Bahkan, di dunia yang menuntut kita untuk terus bicara, kadang keberanian terbesar adalah memilih diam. Bukan karena tak mampu berkata-kata, tapi karena kita tahu, bahwa “kebenaran tak selalu harus lantang, ia bisa juga berbisik dalam hening dan sunyi seperti seorang sufi yang sedang kontemplasi diri”.
II. Di Tengah Gelombang Pikir Yang Terus Mengalir, Dan di Tengah Gelombang Dzikr Menuju Pencari Makna Kehidupan
Dulu para ulama di zaman klasik, mereka menempuh ribuan mil demi mempelajari satu hadits. Hari ini, kita realitanya terus berselancar di dunia maya, dan sambil terus menela’ah ratusan artikel, tapi terkesan kehilangan satu makna : yaitu “kehadiran-Nya”. Bahkan saat ini, terutama di tengah gelombang pikir yang terus mengalir, dan di tengah kegaduhan dunia yang semakin angkuh, dimana soal prestise akhirnya terus menggantikan makna, dan algoritma terus menggerus hikmah. Namun apapun yang terjadi di zaman milenial ini, seyogyanya bagi kita untuk terus mencari jalan sunyi yang akan kita terus lalui, yaitu suatu gelombang dzikir yang sublimatik serta mujahadah ilmiah yang mencerahkan.
Peter Drucker, yaitu bapak manajemen modern, ia pernah tercengang oleh “efisiensi sempurna” alam semesta, menurutnya, “Tidak ada CEO yang bisa menyaingi presisi sistem kosmik, dimana bintang-bintang ‘bekerja’ tanpa insentif, dan sel-sel ‘berinovasi’ tanpa rapat strategi.” hal itu adalah manajemen tanpa kebocoran, kepemimpinan tanpa kesalahan. Bahkan, setiap daun yang jatuh adalah laporan keuangan yang seimbang, setiap orbit planet adalah proyek yang tepat waktu. Sementara menurut sang ilmuwan manajemen seperti Henry Mintzberg-pun, ia mengakui: “Kita baru bisa merancang organisasi ideal bila mencontek dari desain alam semesta, dimana setiap elemen tunduk pada satu Visi Tunggal (Robbul Ijjah/Allah SWT).” Bayangkan seorang astronom yang tiba-tiba gemetar di observatorium. Karena, teleskopnya menangkap galaksi yang berotasi dalam harmoni matematis, tapi hatinya malah menangkap sesuatu yang lebih dalam: “Ini bukan sekadar gravitasi… Ini adalah tarikan Kasih-Nya.” Sementara di layar komputernya, grafik gelombang elektromagnetik tiba-tiba berubah menjadi partitur Simfoni Ilahiah. Ia menunduk, air mata jatuh pada keyboard, dan ia menyadari bahwa selama ini ia bukan sedang menghitung, tapi menyentuh ujung jubah Keagungan-Nya. Ini bukan sekadar kerja intelektual, tapi ziarah batin. Ini bukan sekadar pencarian jawaban, tapi pengembaraan ruhani yang menelusuri setiap jejak ayat-Nya dalam semesta. Dalam dunia yang retak dan penuh kebisingan saat ini, maka mujahadah ilmiah merupakan bagian dati “jihad intelektual” diam-diam, dan merupakan pedang cahaya yang tidak menghunus, tetapi menembus gulita hati yang terlupa.
A. Melawan Jahiliyah Modern
Hari ini, musuh terbesar ilmu bukan lagi kebodohan, tapi kesombongan intelektual. Kita hidup di zaman ketika ilmu dipuja, tapi ruhnya ditinggalkan. Inilah “jahiliyah modern”, yang terus mereduksi segala sesuatu menjadi angka, profit, dan kebanggaan diri. Ilmu dipisahkan dari etika dan takwa, laboratorium dijauhkan dari sajadah dan tempat ibadah. Namun mujahadah ilmiah datang sebagai tamparan bagi arus itu. Ia hadir sebagai perlawanan yang tak melulu turun ke jalan, tapi tenggelam dalam makalah, doa, dan kontemplasi diri. Lihatlah seorang profesor neurosains yang berani meneliti efek dzikir pada aktivitas otak. Bagi sebagian orang, itu sekadar data. Tapi bagi banyak orang (para ahli dzikir) itu adalah ikhtiar suci, yalni untuk membuktikan bahwa ruh bukanlah fatamorgana, dan bahwa Ayat-ayat Tuhan itu tidak hanya tertulis di mushaf al-qur’an saja, tapi juga bergetar dalam gelombang otak manusia yang berzikir. Ilmu tidak pernah netral. Tapi, ia akan condong atau berpihak kepada yang menggunakannya, entah menuju langit (kemaslahatan) atau jatuh dalam kerusakan dan kehinaan (kemafsadatan). Dalam laboratorium dan ruang kelas, mujahadah ilmiah menjadi medan perang sunyi. Di sana, seorang dosen misalnya, ia bisa menjadi mujahid intelektual, bukan karena jumlah publikasinya, tapi karena niatnya yang jernih: bahwa setiap data yang ia teliti adalah bagian dari Ayat-ayat Kauniyah, dan bahwa setiap penjelasan kepada mahasiswanya adalah bagian dari dakwah yang menyusup ke hati yang gersang. Jahiliyah bukan hanya masa lalu pra-Islam. Kini menjelma dalam wajah baru, yaitu reduksionisme ilmiah yang memisahkan pengetahuan dari nilai dan etika, yang akhirnya memenjarakan spiritualitas di luar ruang kelas. Di sinilah mujahadah ilmiah mengambil bentuknya sebagai perlawanan intelektual.
Lihatlah sosok Prof. Nadzirah Rahman, seorang neurosaintis dari Malaysia misalnya, yang meneliti efek dzikir terhadap neuroplastisitas otak. Sementara proses penelitiannya bukan hanya pembuktian saintifik, tetapi perlawanan terhadap dogma positivistik yang menafikan peran ruhani dalam ranah kognitif. Di dalam salah satu wawancara, ia menegaskan : “Saya tidak ingin hanya menjelaskan otak manusia. Saya ingin mendengar suaranya ketika ia mengingat Tuhan.” Dengan kata lain, bahwa mujahadah ilmiah disini menjadi pedang yang diasah bukan dengan kemarahan, tapi dengan kejujuran akademik dan keberanian spiritual.
B. Keheningan Yang Melahirkan Kedalaman
Ilmu yang sejati tidak tumbuh di tengah hiruk-pikuk dunia, tapi dalam hening. Seperti biji yang menunggu hujan dalam kegelapan tanah, ilmu membutuhkan kesunyian untuk tumbuh menjadi hikmah. Imam al-Ghazali, yakni sang Hujjatul Islam, ia memahami betul soal itu. Dan bahkan di ending kehidupannya, ia meninggalkan segalanya, yakni ia meninggalkan soal baju kemuliaan dan kebesarannya, kekuasaan, pujian, dan ia memilih untuk “tawakuf” di pengasingan diri (sublimasi diri). Sebelas tahun dalam uzlah (kontemplasi diri) da ia tidak untuk bersembunyi, tapi untuk bertemu kembali dengan hakikat Sang Ilahi. Lalu lahirlah kitab “Ihya’ ‘Ulum al-Din”, bukan hanya kitab, tapi cahaya yang menghidupkan jiwa umat Islam selama berabad-abad. Dan hari ini, bentuk uzlah itu mungkin tidak lagi di gua atau desa terpencil. Namun, bisa jadi di ruang sunyi perpustakaan, di balik layar komputer, atau bahkan dalam hati yang terus berdzikir di tengah aktivitas riset, atau di arus gelombang pikir yang terus mengalir.
Seorang peneliti kimia yang merenung sambil menyuling senyawa (seorang mahasiswa teknik yang tiba-tiba menangis di tengah coding), ia merasa disentuh oleh keindahan struktur logika yang serasi. Semua itu adalah bentuk riyadhoh ilmiah modern. Sementara ilmu yang tak disucikan oleh muraqabah, akan tumbuh seperti pohon tanpa akar, yaitu besar tapi rapuh, tinggi tapi mudah tumbang. Dan hari ini, ruh itu masih hidup dalam wajah yang berbeda. Seorang peneliti muda di Bandung misalnya, ia di dalam disertasinya tentang biomimikri. Dan ia juga memilih untuk bermukim sementara di hutan tropis Sulawesi. Kemudian ia telah menulis di Jurnal Internasional, namun juga mencatat refleksi sufistiknya di lembar-lembar hariannya : “Setiap daun adalah guru, setiap embun adalah ayat. Di luar kampus aku belajar untuk mengenal kehadiran-Nya lebih dalam.” Itulah riyadhah ilmiah modern. Karena, laboratorium dan ruang zikir saling bertautan dan bersautan.
C. Ayat Kauniyah di Ruang Praktikum
Di zaman para ulama salaf (zaman tradisional Islam), tidak ada dikotomi antara belajar dan beribadah. Belajar adalah ibadah, dan ibadah adalah bentuk tertinggi dari proses pencarian ilmu. Mereka membaca langit dengan teleskop batin dan memetakan bintang-bintang dengan petunjuk hati. Dalam dunia seperti itu, menulis adalah tafakur, dan berpikir adalah zikir.
Bahkan di dalam satu hadis ditegaskan : “Tinta ulama lebih mulia daripada darah syuhada.” Tapi tinta itu hanya bernilai bila ia terus mengalir dalam keikhlasan, keberanian, dan keadaban. Kini spirit itu mulai dihidupkan kembali. Di Turki misalnta, tim peneliti kecerdasan buatan atau AI, telah membangun algoritma berdasarkan prinsip maqashid syariah. Mereka tidak ingin teknologi yang terjadi saat ini, malah menjadi pedang yang menusuk kemanusiaan. Mereka ingin menciptakan “machine learning” yang tahu batas moral dan mengerti arah spiritual. Mereka menyuntikkan ruh ke dalam kabel-kabel logika. Sementara di tanah air sendiri, seorang dosen biologi dari salah satu pergurun tinggi, ia meneliti biomimikri, yaitu sebuah ilmu yang meniru Desain Ilahi dalam alam. Baginya, daun bukan hanya objek fotosintesis, tapi juga ayat yang berbisik : “Lihatlah bagaimana kami menciptakan dengan harmoni, mengaturnya dengan kasih.” Ia bukan sekadar ilmuwan, tapi seorang sufi yang menyamar sebagai peneliti. “Tinta ulama lebih mulia daripada darah syuhada.” Tapi tinta itu hanya bermakna jika diteteskan diatas kertas yang jujur, dengan niat yang lurus, dan dengan hati yang bersujud. Oleh karena itu, integrasi itu adalah bentuk tertinggi dari mujahadah ilmiah ketika menulis jurnal menjadi sebuah do’a, dan mengetik data menjadi tasbih.
Dan mujahadah ilmiah yang penulis ungkapkan lewat tulisan kali ini, memang awalnya penulis terinsfirasi dari “seorang mahasiswa fisika yang menulis skripsi tentang resonansi, sambil merenungi tasbih semesta. Ia bertanya, apakah hukum alam ini bisa menjadi jembatan untuk kembali kepada-Nya?”. Lebih dari itu, dalam tulisan kali ini, penulis tergelitik juga oleh sebuah hasil bacaan penulis ketika beberapa tahun yang lalu, yang memang pernah menulis naskah buku berjudul, “Metodologi Memahami Tasawuf Dan Tarekat”. Rupanya endapan informasi keilmuan tasawuf dan tarekat itu, hingga saat ini masih tersimpan di bawah alam sadar penulis, dan akhirnya terekspresikan kembali lewat judul tulisan kali ini.
Sementara informasi keilmuan tentang “sufistik”, sebagaimana penulis ungkapkan di atas, pada hakikatnya penulis terinsfirasi juga oleh pemikiran dati Dr. Afifah Yusra (Dosen Biologi, Dalam Molekuler Proyek, Studi Struktur DNA Inspiratif dari Ayat-ayat Kauniyah (QS. An-Nur: 35, sebagai analogi cahaya dalam foton dan molekul). Lalu sang Dr. Afifah Yusra, kemudian ia memberikan penjelasan secara detail. “Ketika membaca ayat tentang cahaya, saya tidak sedang menafsirkan Al-Qur’an sebagai ilmuwan. Saya sedang diajak untuk berdialog dengan Tuhan lewat gen dan cahaya”, tutur sang ilmuan dan sekaligus peneliti itu.
D. Epilog : Jiwa-Jiwa Yang Rindu Pulang
Mujahadah ilmiah yang penulis ungkapkan lewat tulisan kali ini, bukan sekadar aktivitas akademik. Ini adalah perjalanan pulang. Karena, ilmu sejati selalu membawa kita kembali kepada Dia yang Maha Mengetahui. Ia mengajak kita untuk menggali, bukan demi karier, tapi demi cahaya. Ia membimbing kita untuk meneliti, bukan agar dikenal, tapi agar semakin mengenal-Nya. Bayangkan: ada seorang mahasiswi teknik yang di tengah tugas akhirnya, ia tiba-tiba berhenti, terisak/ nangis dalam kesendirian. Dan ternyata ia baru saja menyadari : bahwa angka-angka yang ia hitung selama ini bukan sekadar angka. Ia adalah nyanyian terpendam dari Hukum Allah yang mengatur alam semesta. Di medan ini (di dunia riset), kita adalah pasukan sunyi. Tanpa sorotan, tanpa tepuk tangan. Tapi setiap esai yang kita tulis dengan niat lurus, setiap data yang kita baca dengan basmalah adalah bagian dari “jihad intelektual”.
Sedangkan “jihad intelektual” takkan pernah sia-sia. Karena, jihad intelektual dan mujahadah ilmiah adalah proses mengukir Ayat-ayat Tuhan di atas data, menyuling hikmah dari reaksi kimia, dan menemukan jejak Asmaul Husna dalam persamaan matematika. Wahai para pencari makna…! Jangan biarkan laboratorium kita menjadi ruang sunyi tanpa pikir dan dzikir. Jadikan setiap langkah riset yang kita lakukan sebagai jejak kaki kita untuk menuju Tuhan. Ketika dunia merayakan teknologi tanpa ruh, kita harus hadir untuk menghidupkan kembali dimensi Ilahiahiyah di tengah kabel, kode, dan kalkulasi. Bumi ini terkesan saat ini sudah retak, tapi jiwa-jiwa yang tenang tidak akan menambalnya dengan kemarahan, melainkan dengan ilmu yang jernih dan ibadah yang diam-diam menyala. Mujahadah ilmiah bukan sekadar jalan sunyi ilmuwan sejati, tapi ia adalah jalan pulang bagi jiwa-jiwa yang rindu (nafsul mut’mainnah). “Ya Allah, jadikan ilmu sebagai cahaya yang menuntun jiwa kami untuk pulang ke hadirat-Mu. Jadikan pena kami sebagai pedang yang menebas kegelapan, dan jadikan langkah kami bagian dari perjalanan menuju-Mu ya Alla.”