Oleh: Lukman Hakim, S.Pd., M.I.Kom.
Stafsus bid. Kurikulum SMAN 6 Kabupaten Tangerang Banten
Dibaca Nadiim (dua harakat). Namun hati saya, ketika melapalkannya, suka menjadi Nadi-yem, entah kenapa, menjadi nama yang identik dengan Asisten Rumah Tangga (ART), senada dengan Iyem, Sarniem, dan lain-lain. Tiada maksud apapun saat meluncur menjadi Nadiyem, semata naluriah dan instingiyah, namun nyata, saat menjadi Menteri, ia adalah ART dari seorang Presiden dalam rumah tangga besar Indonesia.
Dalam konteks tradisional, ART umumnya nurut kepada majikan. Namun setelah era reformasi, ternyata ada orang yang mendaftar jadi ART, ujung-ujungnya maling kekayaan majikan. Tentang ART yang maling ini, sering diberitakan. Ada juga ART yang ternyata pintar menabung dan berbisnis. Saya teringat sama gadis bernama Tarni, yang menjadi ART di mana saya nge-kost waktu awal-awal di Jakarta. Ada sekitar 8 kamar yang dihuni para gadis yang bekerja kantoran. Nah, urusan cuci pakaian dan bersih-bersih kamar, dilakukan oleh yang namanya Tarni itu. Suatu hari saya plenga–plengo ke dapur Pak Haji, pemilik rumah kost. Si Tarni nanya, “kok kaya kebingungan, Bang?”
Saya tuturkan, sedang butuh uang mendesak Rp.1 juta, nyari Pak Haji, mau pinjam dulu uang. Si Tarni memberi solusi, kalau mau pinjam sejuta, dia juga ada. Lalu saya pinjam, dan saya tanya, “Kamu banyak duit, ya. Bisa menjamin uang.”
Dia tuturkan, selama ini ia menabung, sudah terkumpul Rp.32 juta. Biaya hidupnya relatif murah, karena untuk mamin (makan-minum) kan sudah ditanggung majikan. Ia diberi kamar sendiri, dan mengoperasikan uusan dapur. Nah, yang cuci pakaian dan bersih-bersih 8 kamar itu, dalam sebulan, nilainya lebih besar dari gaji yang ia terima dari Pak Haji. Tahun 2001, ia punya tabungan jauh lebih besar, dibanding saya yang berangkat kerja pakai seragam bergambar kepala burung rajawali, warna biru seperti sopir taksi Blue Bird, dan tidak sekali dua kali bertemu mentri. Tapi, tak punya tabungan. Huhu… gaji wartawan itu kecil, Lur! Angpow, kan sesekali saja kuterima, kalau sudah kepepet. Kata sekian kawan, bodoh kamu! Ya, memang aku bodoh.
Rupanya Nadiyem ini seperti Tarni. Ia pandai menabung dan berbisnis, sehingga punya skodran mencapai 400 orang. Para skondan ini, setidaknya, sekali setidaknya, turut serta dalam proses proyek terkait dengan Kurikulum Merdeka. Anggaran pendidikan itu besar loh, 20% dari APBN. Sekali ada perubahan, uang menggelontor cukup besar. Mari kita lihat salah satu contoh kecil.
Saat SMA diganti nama menjadi SMU, yang harus mengubah judul novel Gita Cinta dari SMA menjadi Gita Cinta dari SMU, di situ harus ada perubahan bet dalam seragam siswa. Kita akan pukul rata saja, jumlah SMA dan negeri dan swasta di Indonesia pada tahun perubahan itu, mencapai 10.000, kalau sekarang kisaran 14.600-an.
Rata-rata sekolah punya kelas mencapai 15 (kelas 1, 2, 3), dan tiap kelas dihuni 30 siswa. Maka akan terdapat 10.000 sekolah X 15 kelas X 30 orang = 4.500.000 siswa. Tiap siswa punya dua seragam, maka harus mengganti 9 juta bet seragam siswa. Misalkan harga bet dan pemasangannya Rp.250 (untuk tahun itu) berarti 9 juta X 250 = Rp.2.250.000.000.
Itu tahun dulu, kalau tahun sekarang, dengan jumlah sekolah lebih dari 14.000, dan harga per bet dengan pemasangannya Rp 5.000, uang yang digunakan hanya untuk mengganti bet, bisa mencapai Rp 65.250.000.000. Ini baru untuk mengganti bet, blm dihitung raport, plank, stempel, dan atribut lainnya.
Ini mengganti kurikulum, jelas dana yang harus ‘ditandean’ amat besar. Dengan memasang 400 orang skondran, ya bisa lumayan kan?
Jejak rekam Mas Nadiem memang seorang pebisnis, yang sukses dengan Gojeg dan Gopay. Tentang hal ini, hadirin anggota sidang rakyat, bisa punya data lebih rinci, bisa ‘sercing’ di mbah AI Gemini. Mau tak mau, otak dan mental bisnis itu akan melekat dan muncul ketika menangani sebuah masalah yang di dalamnya bergelimang uang.
Namun yang menjadi keprihatinan cukup banyak guru, sehubungan saya ada di 20-an grup guru dari berbagai derah, adalah tradisi dari luar, Amerika, yang dibawa dan hendak ditanamkan dalam kancah pendidikan Indonesia. Salah satu tradisi dari luar itu ialah liberalisme. Nah, dalam Kurikulum Merdeka, unsur liberalisme itu terbaca secara tersirat maupun tersurat. Namanya juga merdeka, yang dalam beberapa sisi mengandung arti ‘bebas’, sangat jelas dong ada kebebasan di sana.
Kebebasan apa? Yang ditakutkan tentu saja kebebasan yang kebablasan, yang bibit-bibitnya mulai tampak. Lalu harus bagaimana? Ya, kita tunggu saja gebrakan menteri pendidikan yang terbaru, apakah benar menggebrak, atau hanya gaung di ruang kosong, seperti kenaikan gaji guru 2 kali gaji pokok…..insting saya sih kali ini tidak ..tidak salah lagi. Wallahumuafiq illaatwamithoriq wasallam mualaikum warahmatullahi Wabarakaatuh…🇲🇨👍