Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq

Sejarah dan Arah Politik Gerakan Islam di Indonesia

Bila merujuk kata “Indonesia” dalam konteks sejarah, maka titik awalnya adalah hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika Soekarno dan Hatta, mereka berdua atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan negara yang kemudian dinamai dengan Indonesia ini.

Kemerdekaan yang diraih oleh seluruh bangsa Indonesia ini, oleh para pendiri negara sebagai representasi dari rakyat Indonesia, kemudian dirumuskan aturan mainnya. Hal paling mendasar yang pertama kali disepakati oleh mereka adalah bahwa negara ini akan diselenggarakan dengan sistem demokrasi.

Lazimnya sebuah pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi, maka kekuasaan menggunakan prinsip trias politica. Trias politica merupakan model pemerintahan yang membagi kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda, yang masing-masing memiliki kewenangan yang berbeda juga. Dikenal dengan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Legislatif merupakan lembaga yang memiliki kewenangan untuk merumuskan dan menetapkan peraturan dalam bentuk undang-undang. Lembaga ini diisi oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih lewat Pemilihan Umum atau Pemilu. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk memilih calon wakil rakyat dan calon pemimpin secara demokratis.

Pemilu diikuti oleh rakyat lewat partai-partai politik. Partai-partai politik ini dibentuk oleh rakyat secara bottom-up. Pascakemerdekaan, Indonesia butuh waktu sekitar 10 tahun untuk bisa menggelar Pemilu. Bila rentang itu dinilai sangat lama, tidak terlepas dari kondisi negara ini waktu itu yang baru merangkak dan bangkit dari penjajahan.

Pemilu pertama di Indonesia digelar pada tahun 1955. Peta politik Indonesia terbagi pada 3 tipe; nasionalis, keagamaan, dan komunis. Kubu nasionalis di bawah Partai Nasional Indonesia atau PNI. Kelompok keagamaan bersama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi. Serta golongan komunis di bawah komando Partai Komunis Indonesia atau PKI.

Ada sekitar lebih dari 30 partai politik peserta Pemilu 1955. Walapun banyak dan berbeda-beda dalam ideologi dan platform partai, umumnya dapat dikategorikan ke dalam 3 bagian besar tersebut; nasionalis, agama, dan komunis. Pada akhirnya, pengelompokan garis politik tersebut menjadi trend berikutnya ketika ada penyederhanaan partai politik di masa berikutnya yaitu Orde Baru.

Mengapa nasionalis, agama, dan komunis menjadi aliran mainstream bagi partai politik di masa awal kemerdekaan ini? Hal itu tidak terlepas dari perjalanan sejarah bangsa ini ketika masih berada di bawah kekuasaan kolonial. Awal abad ke-20 kita mengenal munculnya tokoh-tokoh pergerakan yang melakukan perlawanan terhadap kolonial dengan cara politis dalam bentuk diplomasi.

Kita mengenal mereka di antaranya ada HOS. Cokroaminoto, Semaun, dan Ahmad Dahlan, juga Hasyim Asyari. Pada generasi berikutnya ada Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, dan Paul Mussotte, atau yang lebih dikenal dengan nama Muso. Kiprah ketiga tokoh utama pada setiap generasi inilah yang kemudian menjadi faktor pemetaan ideologi politik bangsa Indonesia menjadi 3 bagian besar tersebut.

Karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, maka tidak heran bila pada Pemilu pertama tersebut diikuti oleh banyak partai politik Islam dan pastinya haluan politiknya juga berdasarkan pada nilai-nilai Islam. Sebut saja ada Partai Masyumi, Partai NU, Partai Syarikat Islam Indonesia atau PSII, dan partai Islam lainnya. Uniknya, walaupun berlabel Islam atau agama, dalam khittah politiknya berbeda-beda.

Walaupun hasil perolehan suara pada Pemilu 1955 dimenangkan oleh PNI, Partai Masyumi dan Partai NU berhasil menduduki posisi kedua dan ketiga. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi politik Islam di Indonesia waktu itu sangat kuat. Karena andai digabungkan perolehan suara antara Masyumi dan NU yang sama-sama berbasis agama, jumlahnya melampaui perolehan suara PNI yang nasionalis.

Pada periode ini dan 12 tahun kemudian, Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno yang notabene Ketua PNI, terjadi pasang-surut relasi antara negara dengan kekuatan politik Islam. Hingga kemudian kekuasaan Soekarno berakhir pada tahun 1967 dan Indonesia beralih pada kekuatan politik baru di bawah Presiden penggantinya yaitu Soeharto yang kemudian dikenal dengan masa Orde Baru.

Soeharto menetapkan kebijakan baru untuk melakukan penyederhanaan partai politik. Kebijakan itu diambil karena dianggap bahwa tidak stabilnya politik pada masa sebelumnya -yang dalam kacamata Orde Baru disebut dengan Orde Lama- yang disebabkan oleh sistem kepartaian. Selain itu, diketahui juga bahwa partai politik pada era Orde Lama sangat lah banyak, sehingga memunculkan banyak ideologi sekaligus kepentingan partai.

Fusi partai politik -menurut rezim Orde Baru- adalah untuk menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebijakan fusi partai politik dianggap sebagai syarat utama untuk mencapai pembangunan ekonomi Indonesia. Dari puluhan partai politik yang ada, disederhanakan menjadi 3 partai politik saja; Partai Persatuan Pembangunan atau PPP, Golongan Karya atau Golkar, dan Partai Demokrasi Perjuangan atau PDI.

Dari trend penyederhanaan partai politik ini, serta partai-partai politik sebelumnya yang memiliki khittah dan platform masing-masing partai, masih mencerminkan 3 isme semasa perjuangan kemerdekaan dan pascakemerdekaan. Partai politik berbasis agama tergabung dalam PPP, Nasionalis ke Golkar, dan komunis merapat ke PDI. Bahkan “negara” menyatu, membaur, bahkan melebur dalam Golkar.

Lho, bukankah negara dan perangkatnya tidak boleh berpolitik praktis menjadi anggota apalagi menjadi pengurus partai politik? Itu aturan sekarang. Dulu mah, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ABRI yang kini menjadi Tentara Nasional Indonesia atau TNI, serta Aparatur Sipil Negara atau ASN, menjadi unsur kekuatan politik utama dalam tubuh Golkar. Aneh? Ya emang begitu.

Pada paruh akhir masa jabatan Presiden Soekarno dan awal kekuasaan Presiden Soeharto, relasi negara dengan agama, khususnya Islam, mengalami pasang surut. Karena kekuatan politik Islam bergabung dengan PPP dan itu merepresentasikan kepentingan Islam, sementara PPP kalah dalam Pemilu hingga dikonotasikan PPP berikut Islam adalah rival, maka pada periode itu bisa disebut sebagai masa di mana negara dengan agama mengalami kerenggangan.

Akibat situasi seperti ini, para tokoh dan aktivis Islam lebih memilih untuk mencari jalan yang lebih soft, dengan cara menempuh jalur pendidikan. Pada periode inilah era Nurcholis Madjid atau Caknur, Abdurrahman Wahid atau Gusdur, dan kawan-kawan seangkatannya muncul ke permukaan peta politik nasional. Belakangan, seiring dengan perubahan paradigma beragama Soeharto -serta karena faktor politik- Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia lahir dan direstui Presiden.

Idealisme Syariah dalam Gerakan Politik Islam

Dalam khazanah politik Islam, muncul 2 arus besar. Pertama, sebagian umat Islam yang menyetujui demokrasi sebagai model pemerintahan. Kedua, sebagian lagi umat Islam yang menginginkan agar pemerintahan diselenggarakan dengan sistem khilafah. Perbedaan sekaligus perdebatan klasik yang hingga kini masih terus berlangsung ini, tidak terlepas dari asbabul wurudnya ketika umat Islam terpecah secara politik di masa kepemimpinan umat Islam pascakepemimpinan nabi.

Saat umat Islam di bawah kepemimpinan nabi, baik secara keagamaan maupun secara pemerintahan, umat Islam berada dalam satu komando. Apa kata nabi, itu yang dijalankan. Bila umat dihadapkan pada sebuah masalah, langsung bertanya kepada nabi. Nabi memberikan solusi. Solusi dari nabi, baik dalam bentuk ucapan, tindakan, juga ketetapan, kita kenal dengan istilah sunah.

Pascapemerintahan nabi, umat mulai terpecah secara politik. Buktinya, hampir setiap pergantian kepemimpinan umat Islam, selalu diwarnai dengan tragedi. Satu versi menyebutkan Abu Bakar Ash-Shiddiq wafat karena diracun. Umar bin Khattab tewas karena dibunuh oleh Abu Luluah. Utsman bin Affan mati karena ditikam oleh sekelompok orang. Serta Ali bin Abi Thalib yang menghembuskan nafas terakhirnya akibat pukulan di kepala dengan pedang beracun milik Ibnu Muljam. Semua berakhir dengan tragedi.

Berikutnya, kita tahu dalam sejarah bahwa pergantian kepemimpinan politik dalam Islam kerap diwarnai dengan pertumpahan darah. Muwaiyah sebagai pendiri Dinasti Bani Umayah, yang berkuasa hingga 365 tahun lamanya, tidak lekang dari perseteruan baik dengan kekuatan politik luar kekhalifahan, maupun persoalan internal. Darah kerap mewarnai pergantian kepemimpinan. Pun demikian dengan Dinasti Bani Abbasyiah, juga Dinasti Bani Fathimiyah.

Semua tragedi ini bermula dari perbedaan umat Islam pascakenabian dalam menafsirkan dan memaknai konsepsi kepemimpinan. Sepeninggal nabi, tidak ada satu pun orang yang memiliki otoritas untuk memutuskan seperti selama ini dilakukan oleh nabi. Nabi yang adalah utusan Allah dan dibekali wahyu serta selalu berada dalam bimbingan dan radar Allah, tentu kelasnya berbeda dengan yang lainnya.

Akibatnya, rasa hormat umat Islam pada pemimpinnya tidak seperti mereka memperlakukan nabi. Buktinya, baru beberapa saat Abu Bakar Ash-Shiddiq didaulat sebagai pengganti nabi atau khalifah pertama, sekelompok orang langsung melakukan pembangkangan dengan cara tidak mau membayar zakat. Sikap yang tidak muncul dan ditemukan semasa nabi ketika menjadi pemimpin umat Islam.

Polemik persoalan keabsahan kepemimpinan politik dalam Islam berlanjut ketika umat Islam waktu itu memiliki perbedaan pandangan atas dalil bahwa “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik” (Al-Maidah 47). Dari perbedaan tafsir dan makna inilah melahirkan adanya kelompok, kubu, aliran dalam Islam. Khawarij diantaranya.

Dari semula yang hanya “fasik” sebagai stigma atas orang yang dianggap tidak kaffah dalam menerapkan hukum Allah sebagaimana yang tertuang dalam kitab suci -karena faktor politik- bergeser menjadi lebih sadis dan kejam, menjadi munafik dan kafir. Sementara pada ayat lain terdapat keterangan bagaimana cara umat Islam untuk memperlakukan orang-orang yang masuk kategori itu; boleh dibunuh!

Konsepsi khilafah inilah yang kemudian menjadi polemik yang tidak berkesudahan di kalangan umat Islam hingga saat ini. Sebagian dari umat Islam masih ada yang keukeuh untuk menegakkan model pemerintahan dengan cara kekhalifahan. Sebagian lainnya menganggap bahwa itu hanyalah produk politik dan bukan bagian dari ajaran inti atau pokok dalam Islam.

Karenanya, bagi kalangan ini, model demokrasi pun tak soal. Walau pada saat yang sama dituduh oleh kelompok Islam lainnya yang merupakan pegiat model khilafah, bahwa demokrasi merupakan produk Barat yang kafir karena bukan “anzalallah”. Diskursus ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan umat Islam Indonesia.

Lalu, ketika kita di satu sisi merupakan bagian dari umat Islam yang menginginkan penerapan syariat Islam secara utuh, termasuk model pemerintahan, dan di sisi lain merupakan warga negara Indonesia yang demokratis berdasarkan Pancasila, harus memilih yang mana dan bersikap seperti apa?

Penulis berpandangan bahwa tidak bijak bila kita disodorkan pada pilihan yang aple to aple seperti ini. Mengapa? Karena tidak tepat menghadapkan ajaran agama -yang menurut pendukung sistem khilafah merupakan bagian dari ajaran pokok agama- di satu sisi serta demokrasi Pancasila di sisi lain. Sudah banyak tulisan yang menyajikan integrasi antara agama dan demokrasi.

Tulisan-tulisan itu bisa pembaca temukan dalam berbagai buku, jurnal, dan karya ilmiah lainnya. Intinya, Indonesia sebagai sebuah negara yang menerapkan demokrasi, telah mengakomodir nilai-nilai agama dalam dasar negara Pancasila dengan 5 silanya itu. Bila masih penasaran tentang itu, mari kita diskusi. Wallahualam.
*

Tangerang, Selasa, 10 Juni 2025
Penulis adalah Pengurus ICMI Orwil Banten, Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (FORDISKA LIBAS)

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *